Dasar Hukum Ibadah Haji

Firman Allah SWT dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “..Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengiklaskan ketaatan kepada-Nya..”. Keiklasan dalam menjalankan ibadah haji merupakan perintah Allah SWT, dengan meluruskan niat, mengobarkan semangat dengan perasaan tulus dan ikhlas, bahwa pergi haji merupakan demi menjalankan perintah Allah SWT, dan untuk mengharapkan Ridha-Nya, bukan untuk mendapatkan pujian, sanjungan, dan sebagainya, maka hindarkanlah diri dari penyakit hati semacam itu.

2.6. Dasar Hukum Ibadah Haji

Ibadah haji diwajibkan bagi kaum muslimin, tetapi bagi yang mampu secara lahir, batin dan mampu secara ekonomi. Hadis Nabi Muhammad Rasulullah SAW, dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khatab RA berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun diatas lima pondasi, 1.Persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasulullah, 2.Melaksanakan Shalat, 3.Mengeluarkan zakat, 4.Haji ke Baitullah, dan 5.Puasa Ramadhan” H.R.Bukhari, dan Muslim. Melaksanakan ibadah haji hanya wajib sekali seumur hidup, selebihnya tidaklah wajib, hal ini dikarenakan dalam melaksanakan perjalanan ibadah haji dibutuhkan biaya yang sangat mahal, dan dibutuhkan kesiapan mental dan fisik yang kuat. Nabi Muhammad SAW sendiri melaksanakan ibadah haji hanya sekali saja, sejak adanya perintah haji turun yaitu pada saat haji wada’ Haji selamat tinggal pada tahun ke sepuluh Hijriah. Universitas Sumatera Utara Hadist yang menjelaskan bahwa haji tidaklah wajib dilaksanakan berkali- kali yaitu: “Ibnu ‘Abbas RA berkata : Rasulullah SAW berkhutbah kepada kami sabdanya : Hai sekalian manusia, telah diwajibkan haji atas kamu. Al- Aqra ibn Habis bertanya : apakah haji itu setiap tahun yaRasulullah ? Rasulullah menjawab : sekiranya kukatakan “Ya” tentulah haji itu menjadi wajib setiap tahun, dan sekiranya diwajibkan demikian, kamu tidak akan melaksanakannya, lagi pula kamu tidak akan sanggup. Ibadah haji itu sekali saja. Siapa yang menambahnya akan menjadi ibadah sunat baginya. HR. Ahmad, Abu Daud, al-Nasa’i, al-Hakim dan Ibnu ‘Abbas. Masalah lain yang menjadi permasalahan apakah ibadah haji harus sesegara mungkin dilaksanakan atau ditunda sampai waktu yang akan datang. Sebagian ulama berpendapat, al-Syafi’i, al-Tsauri, menyatakan bahwa waktu pelaksanaan haji itu sangatlah luas artinya, bisa saja ibadah haji itu dilakukan kapan saja pada musim haji atau tahun-tahun depannya, selama kita masih mampu di dunia ini. Orang yang sudah mampu untuk pergi haji, namun seseorang tersebut menunda keberangkatannya tidaklah berdosa, asalkan orang tersebut tetap berniat untuk melaksanakan ibadah haji tersebut dan akan tetap berangkat pada musim haji yang akan datang, namun alangkah baiknya apabila dilaksanakan sesegera mungkin. Sebagai contoh adalah Rasulullah SAW sendiri yang pernah menunda untuk melaksanakan ibadah haji, dimana pada saat itu perintah haji sudah turun pada tahun ke-6 Hijriah, tetapi Rasulullah melaksanakan haji pada tahun ke-10 Universitas Sumatera Utara Hijriah. Apabila ada perintah bahwa ibadah haji harus sesegera mungkin untuk dilaksanakan, maka Rasulullah pasti akan segara untuk melaksanakan, namun pada kenyataannya Rasul sendiri pernah menunda untuk melaksanakan ibadah haji sampai beberapa tahun berikutnya.

2.7. Syarat Wajib Haji