Coping Sumber stres dan strtegi coping pada pelajar atlet bulutangkis

sebagai proses yang aktif bila individu memfokuskan pada usaha menghadapi stresor, tapi juga dapat dikatakan sebagai strategi yang pasif karena harus menunggu. 5. Seeking social support for instrumental reason, merupakan bentuk strategi coping berupa upaya untuk mendapatkan dukungan sosial dengan cara mencari nasehat, bantuan atau informasi dari orang lain. Sedangkan jenis strategi yang termasuk dalam emotion focussed coping, sebagai berikut: 1. Seeking social support for emotional reason, merupakan strategi coping dalam bentuk mencari dukungan moral, simpati, atau pengertian dari orang lain. Kecendrungan individu untuk mencari dukungan sosial untuk alasan emosional ini dapat membuat individu yang tadinya merasa tidak aman karena situasi yang menekan, menjadi merasa aman kembali. Di sisi lain kecendrungan ini bisa bersifat negatif karena sumber-sumber simpati lebih banyak dipergunakan sebagai jalan untuk menyalurkan perasaan individu. Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis coping ini tidak selalu adaptif dalam mengatasi stres. Meskipun demikian, jenis coping ini dapat menjadi sesuatu yang positif bila dukungan sosial yang diperoleh individu membuat ia termotifasi untuk menghadapi dan mengatasi stres secara aktif. 2. Positive reinterpretation and growth, merupakan suatu bentuk coping dengan cara menilai kembali situasi secara lebih positif. Selanjutnya penilaian ini dapat mengarahkan individu untuk melakukan tindakan problem focused coping. 3. Denial, merupakan usaha untuk menolak kehadiran sumber stres tersebut tidak nyata. 4. Turning to religion, yaitu kembali berpaling pada agama apabila seseorang berada dalam keadaan stres. Perilaku coping ini cukup penting sifatnya bagi sebagian besar individu. Alasan individu beralih ke agama ketika mengalami stres adalah: a. Agama dianggap sebagai alat yang dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosional. b. Agama dianggap sebagai alat untuk mengatasi distress emosi dengan memandang stres yang dihadapi sebagai peristiwa yang ada hikmahnya. 5. Acceptance, merupakan kebalikan dari denial, dan merupakan perilaku coping yang penting pada situasi dimana seseorang harus menerima atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialaminya. Namun acceptance bukan merupakan perilaku coping yang adaptif pada situasi dimana sumber stres dapat diubah secara mudah karena itu kedudukan acceptance sebagai perilaku coping yang adaptif dan fungsional masih dipertanyakan. Sedangkan yang termasuk strategi coping maladatif, yaitu: 1. Focusing on and venting of emotions, yaitu merupakan kecenderungan untuk memusatkan diri pada stres yang bersifat negatif, kekesalan atau perasaan-perasaan yang dialami oleh individu dan mengungkapkan kekesalan serta kekesalan-kekesalan tersebut. 2. Behavioral disengagement, merupakan bentuk strategi coping berupa berkurangnya usaha-usaha yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi suatu sumber stres, bahkan menyerah untuk berusaha mencapai tujuan yang terhambat oleh sumber stres. Strategi coping ini terefleksi pada fenomena helplessness, yaitu keadaan di mana individu menyerah dan merasa tidak berdaya untuk mengatasi masalahstres yang dialami. Oleh karena jenis coping ini diyakini tidak adaptif dalam berbagai situasi. Secara teoritis, jenis coping ini mungkin terjadi jika seseorang menduga bahwa cara-cara yang dilakukannya untuk mengatasi stres tidak membuahkan hasil yang diharapkan. 3. Mental disengagement, jenis coping ini muncul dalam berbagai bentuk aktifitas yang pada dasarnya adalah menggunakan aktifitas alternatif untuk menghilangkan masalah yang sementara sifatnya. Misalnya dengan berkhayal, tidur ataupun menonton televisi. Meskipun aktifitas alternatif ini dapat membuat individu melupakan masalah yang dihadapinya untuk sementara waktu tapi jenis coping ini akan menghambat individu untuk melakukan yang adaptif. Dodds 1993 mengemukakan bahwa strategi coping yang lebih adaptif adalah problem solving focussed coping yang akan berhasil dalam jangka panjang; sedangkan emotion-focused coping dapat digunakan hanya apabila masalah yang dihadapi tidak dapat diatasi secara memuaskan. Individu cenderung untuk menggunakan problem focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol Lazarus Folkman, 1984. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu Taylor, 2006. 2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Strategi Coping Bentuk strategi coping yang dipilih individu untuk mengurangi dan mengatasi tekanan yang dialami berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain, meskipun memiliki tujuan sama. Menurut Taylor 2006 terdapat empat tujuan melakukan strategi coping, yaitu mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif, dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Perbedaan dalam pemilihan strategi coping tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Menurut Lazarus dan Folkman 1984 sumber-sumber individual seseorang seperti: pengalaman, persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan, dan situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman. Menurut Mu’tadin 2002 cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi : a. Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar b. Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib eksternal locus of control yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan helplessness yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focused coping c. Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. d. Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat. e. Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya f. Materi Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

2.3. Atlet Bulutangkis

2.3.1. Pengertian Atlet Bulutangkis Monty 2000 mengartikan bahwa istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, atlet diartikan sebagai olahragawan yang terutama mengikuti perlombaan atau pertandingan kekuatan, ketangkasan dan kecepatan Depdikbud, 1990. Sedangkan yang disebut atlet bulutangkis adalah atlet yang menekuni olahraga cabang bulutangkis. Tugas utama seorang atlet adalah bertanding. Untuk mempersiapkan diri agar dapat menampilkan yang terbaik dan mencapai prestasi yang maksimal, maka seorang atlet haruslah berusaha senantiasa berlatih. Penampilan atlet dalam permainan atau pertandingan tidak dapat dilepaskan dari tingkah laku dan aspek psikis yang mendasarnya. Kondisi fisik yang meliputi kekuatan dan kelenturan otot-otot, struktur anatomis-fisiologis, keterampilan teknis adalah faktor yang mempengaruhi penampilan dan sekaligus prestasi atlet. Prestasi yang diperoleh seorang atlet dapat mengharumkan nama bangsa, oleh karena itu untuk menjadi atlet yang baik tidaklah mudah, dibutuhkan ketekunan, semangat yang tinggi dan bertanggung jawab. Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya. Semua atlet akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stres terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga khususnya olahraga kompetitif, atlet harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stres terhadap dirinya seperti sorakan dan cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stres. Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional, atau internasional harus mempunyai kemampuan dalam coping stress, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet. Psikologi olahraga juga diperlukan agar atlet berpikir mengenai mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin mereka capai. Setelah tujuannya diketahui, latihan-latihan ketrampilan psikologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut. Harris D. Y dari Pennsylvania state university Amerika, mengemukakan bahwa penampilan seorang atlet adalah hasil dari stamina, kekuatan, fleksibilitas, koordinasi, keterampilan dan kemampuan bermain Gunarsa dkk, 1996. Karenanya, jika seorang atlet dikuasai oleh pikiran-pikiran yang mengganggu seperti perasaan khawatir dan cemas berlebihan maka atlet tersebut akan terganggu konsentrasinya dan selanjutnya penampilan dalam menghadapi pertandingan atau berolahraga akan sulit diperlihatkan. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa atlet adalah seseorang yang gemar akan olahraga dan ikut serta dalam suatu kompetisi olahraga. 2.3.2. Kepribadian atlet Menurut Monty 2000 para psikolog memandang aspek kepribadian atlet dari sejumlah sudut pandang yang secara garis besar terdiri dari 3 pendekatan : 1. Pendekatan trait, pandangan ini mengemukakan bahwa seorang juara misalnya sudah memiliki trait sebagai seorang juara, sehingga ia berupaya keras dalam latihan, memiliki kebutuhan untuk berprestasi tinggi, tidak mengenal menyerah dan sebagainya. 2. Pendekatan situasional, pandangan kedua ini dilandasi oleh pandangan belajar sosial yang mengemukakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh proses belajar mencontoh dan adanya penganut sosial. Dan pendekatan ini berpendapat bahwa perilaku seorang atlet akan berubah jika lingkungannya mengalami perubahan. 3. Pendekatan interaksional, pendekatan ketiga ini berpendapat bahwa faktor pribadi individu yang bersangkutan dan faktor lingkungan berperan bersama-sama dalam menentukan tingkah laku atlet. Penampilan atlet adalah apa yang terlihat atau yang diperlihatkan oleh atlet dalam suatu pertandingan. Gunarsa 2004 Ada beberapa faktor yang berpengaruh besar pada penampilan atau kemampuan bermain seorang atlet, diantaranya yaitu: 1. Komponen psikis Meskipun unsur kegigihan selalu berperan, namun setiap atlet menampilkan berbagai tingkatan kegigihan. Ada atlet yang sangat gigih sehingga berfungsi positif terhadap penampilannya, sebaliknya ada juga yang kurang gigih, kurang menggigit, mudah putus asa, mudah menyerah sehingga hasilnya menjadi mengecewakan. 2. Jenis olahraga Jenis olahraga tentunya berpengaruh besar terhadap penampilan atlet yang bersangkutan. Misalnya, bulutangkis sebagai suatu olahraga yang penampilan atletnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti unsur motivasi, emosi dan unsur akal. 3. Tingkatan pertandingan Yang dimaksud dengan tingkatan pertandingan adalah apakah kejuaraan tersebut diadakan pada tingkat daerah, nasional, regional atau tingkat internasional. Tingkatan pertandingan jelas memberikan beban yang berbeda-beda. Misalnya, pertandingan tingkat daerah, beban yang dirasakan tentunya relatif ringan dibandingkan pertandingan tingkat nasional.