Latar Belakang Avicenna, HSc. Psy NIP: 197709062001122004

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan pada manusia terjadi seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan, yaitu periode pranatal, masa bayi, masa kanak- kanak, masa remaja, masa dewasa, dan berakhir di masa lanjut usia lansia. Dimana pada masing-masing tahapan tersebut melalui masa perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Seseorang yang memiliki kesehatan yang baik dan umur panjang pasti akan mengalami tahap perkembangan masa lansia dimana hal tersebut pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan kata lain menurut Hurlock 1980, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua yaitu suatu periode dimana sesorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan. Pada tahap dewasa akhir lansia, Erikson menyatakan bahwa lansia akan mengalami tahapan kedelapan dalam siklus kehidupan, yaitu integrity vs despair. Pada masa ini, individu melihat kembali apa yang telah dilakukannya dalam kehidupannya. Integrity bisa dicapai bila lansia mengembangkan suatu harapan yang positif di setiap periode sebelumnya. Jika demikian, pandangan tentang masa lalu dan kenangan akan menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang dilewatkan dengan baik, dan ia 1 akan merasa puas. Sebaliknya, jika lansia tersebut tidak mengalami integrity maka ia akan mengalami despair Santrock, 2002. Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, lansia ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, apakah pria atau wanita lansia tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk Hurlock, 1980. Kondisi fisik dan psikologis lansia seringkali dipengaruhi oleh pengalaman tahapan perkembangan sebelumnya. Untuk itu lansia perlu mengelola pengalaman yang kurang baik agar tidak teringat kembali pada saat yang kurang menyenangkan, yang dapat menyebabkan lansia merasa sedih. Begitu pula sebaliknya, pengalaman yang menyenangkan perlu dimunculkan agar semangat hidupnya tetap tinggi. Menurut Sartini Nuryoto dalam Rahadyanti, 2007, lansia harus mampu melakukan reorganize. Lansia perlu menyadari bahwa kondisi sekarang berbeda dengan kondisi di masa muda. Karenanya, lansia juga harus mampu mengukur kemampuan diri, menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan. Ia juga menyarankan agar para lansia memfokuskan diri untuk mengerjakan satu kegiatan yang benar-benar disenangi. Dalam menjalankan aktivitas tersebut, lansia juga perlu menyadari bahwa kondisi fisik yang sudah berbeda tentu akan mempengaruhi kecepatan penyelesaian pekerjaan. Jadi, lansia dan keluarganya harus lebih sabar menghadapi perubahan tersebut. Supaya lebih tenang dan bahagia dalam menerima diri menjalani masa tua, lansia juga harus rela melepaskan segala sesuatu yang pernah dicapai atau dimiliki sebelum memasuki masa tua. Mereka yang sudah memasuki masa pensiun, misalnya, perlu menerimanya dengan hati terbuka dan meyakini bahwa pengabdian yang selama ini mereka lakukan sudah banyak memberi arti bagi keluarga, masyarakat, maupun negara. Soemiarti 2001 mengatakan, pada saat ini pola kehidupan keluarga tradisional dengan berciri hadirnya kaum Ibu dalam rumah tangga yang secara penuh dan dapat memberikan pelayanan menyeluruh terhadap keluarganya mulai menghilang. Banyak lansia yang beranggapan dengan keluarnya kaum perempuan dari keluarga ke dunia kerja, tidak dapat lagi diandalkan sepenuhnya sebagai service provider bagi keluarganya termasuk bagi lansia dalam keluarga itu. Pada saat sekarang, banyak ditemukan kenyataan bahwa keluarga tidak lagi secara penuh dapat menjadi basis kekuatan yang menopang kesejahteraan lansia. Nilai- nilai kemandirian, tidak ingin berada dalam ketergantungan pada anak-anak, merupakan nilai-nilai yang berasal dari masyarakat modern. Banyak lansia yang memilih hidup terpisah dari anak-anak, tidak ingin merepotkan anak, namun tetap merasa bahagia. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Bambang 1998, tantangan sebuah keluarga modern tidak terlepas dari persoalan moral dan etika ditengah-tengah masyarakat. Persoalan etika dan moral di masyarakat juga banyak terpengaruhi oleh kondisi sosial perekonomian serta budaya masyarakat. Menurut Rahardjo dalam Bambang, 1998, dalam desakan arus ekonomi yang demikian kuat dan kompetisi yang demikian ketat, menjadikan keluarga umumnya di kota memiliki aktifitas yang padat dengan tujuan utama mengejar kebutuhan ekonomi. Tidak jarang ditemukan kondisi keluarga yang pola pengasuhan anak atau lansia diserahkan kepada orang lain, yang salah satunya disebabkan karena suami dan istri berkerja di luar rumah. Maka salah satu cara yang di tempuh keluarga dalam mengatasi persoalan ini ialah menitipkan para lansia pada panti wreda, dengan harapan para lansia ini mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir maupun batin. Walaupun panti wreda dapat menjadi salah satu pilihan yang baik, untuk beberapa orang hal itu dipandang masih kurang cocok dengan budaya masyarakat Indonesia. Menurut Siti Rahayu Haditono, guru besar psikologi Universitas Gajah Mada dalam Jis, 1989, anggapan bahwa lansia tidak perlu apa-apa lagi kecuali istirahat harus dikaji kembali, sikap itu sama saja dengan mendorong orang tua bersiap-siap untuk mati. Lansia masih memerlukan ativitas, hubungan sosial, dan juga seks. Niat anak-anak agar para orang tua menikmati hari tua dengan istirahat nyatanya membuat mereka lebih cepat uzur. Di panti wreda, lansia bisa lebih bebas dan mandiri. Rubijati Ismudarto, ketua Panti Wedha Hargo Dedali Surabaya dalam Wigunaningsih, 2008, mengatakan bahwa para lansia merasa kesepian karena keluarganya sibuk beraktivitas. Sedangkan ia ditinggal sendiri di rumah. Kalaupun ada yang menemani, biasanya pembantu. Sedangkan yang dibutuhkan bukan hanya materi tapi juga perhatian atau teman sebaya untuk saling mencurahkan hati. Jadi, agar mereka mempunyai banyak teman yang sebaya, mereka memilih untuk tinggal di panti. Di panti para lansia ini bisa saling tukar pikiran dan mereka merasa diperhatikan karena banyak teman sebayanya. Menurut Andra 2007, menjalani masa tua di panti wreda dengan berbagai fasilitas dan kenyamanan kini dijadikan pilihan. Seperti salah satunya pada Graha Werdha Aussi, lansia yang berada disana memilih untuk menghabiskan masa tuanya di panti werdha atas keinginannya sendiri. Bagi mereka, masa tua tidak selalu harus berada di tengah-tengah keluarga. Mereka lebih memilih tinggal dengan teman sebaya, untuk menikmati usia senja mereka. Segala percakapan, pembicaraan, akan lebih ‘nyambung’ jika dilakukan dengan teman satu generasi, terlebih untuk bernostalgia. Juga untuk melakukan beberapa kegiatan. Meski tinggal di tempat yang kerap disebut panti jompo, para lansia ini tidak merasa hidup ‘terasing’. Selain mereka tetap bisa bersosialisasi atau mendapat teman baru, keluarga bebas mengunjungi mereka kapan saja. Bahkan, ada yang setiap minggu, dikunjungi berganti-ganti oleh cucu, anak, atau keponakan. Mereka, tetap menerima perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Profesor Sujudi, mantan Mentri Kesehatan dalam Hamonangan, 2006 mengatakan, panti wreda sangat membantu lansia tetap bersemangat untuk hidup. Dengan berkumpul dalam komunitas yang sama, lansia dapat mengerjakan aktivitas yang sama. Mereka tetap bahagia dan tidak kehilangan kontak dengan anak, menantu, dan cucu. Pendapat itu juga didukung oleh psikolog keluarga, Ina Saraswati dalam Hamonangan, 2006, mengatakan, lansia yang tinggal di panti wreda memang bisa mempunyai berbagai motivasi. Mereka yang termotivasi sendiri akan menemui kebahagiaan dan kenyamanan. Kepuasan terhadap tempat dimana akan tinggal berpengaruh pada psychological well-being seseorang. Salah satu tujuan bagi panti wreda sebagai salah satu pilihan tempat tinggal bagi lansia adalah untuk mencapai kondisi psychological well-being bagi para penghuninya. Dimana Bradburn Ryff, 1989 mendefinisikan psychological well- being sebagai kebahagiaan dengan adanya perbedaan antara pengaruh postif dan negatif. Ryff 1995 juga menyebutkan bahwa psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki. Pada kenyataanya, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh lansia ketika mereka pindah kesana. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang aktif mengorganisir dirinya, maka tentu mereka memiliki kemampuan untuk menguasai lingkungannya. Jika ia termasuk seorang yang memiliki peniliaian baik positif terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, pada apa yang telah terjadi dalam hidupnya maka bisa dikatakan memiliki psychological well-being yang tinggi. Demikian pula sebaliknya Jika ia memiliki peniliaian yang kurang baik negatif terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, maka bisa dikatakan memiliki psychological well-being yang rendah. Maka, berdasarkan pada penelitian tersebut, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian lanjutan tentang hubungan integrity dengan psychological well- being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

1.2 Batasan Masalah