Sistematika Penulisan Panti Wreda

1.4 Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan integrity dengan psychological well-being lansia di panti wreda dan untuk mengetahui seberapa jauh lansia dapat memperoleh psychological well-being di panti wreda. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis: 1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi Psikologi Positif, memperkaya hasil penelitian yang telah ada, dan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan integrity dengan psychological well-being lansia di panti wreda. 2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya pada pengurus panti wreda dan keluarga lansia dalam upaya membantu memberikan kenyamanan, dan kesejahreraan psikologis selama lansia tinggal di panti wreda.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA American Psychology Association style dan pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini: BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan BAB II: Merupakan kajian pustaka yang memuat tentang hal- hal mengenai teori integrity dan psychological well-being, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. BAB III: Metodologi penelitian yang meliputi pendekatan dan metode penelitian, definisi konseptual dan operasional, pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik uji instrumen penelitian, metode analisa data, dan prosedur penelitian. Bab IV: Mengemukakan tentang gambaran umum subjek penelitian presentasi data, uji persyaratan, deskripsi statistik, hasil uji hipotesis dan uraiannya. Bab V : Mengemukakan kesimpulan, diskusi dan saran. BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1 Integrity

Integrity yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori psikososial Erik Erikson dan berada pada tahapan perkembangan terakhir yaitu lansia. Dimana pada tahap ini lansia akan mengalami interaksi yang bertentangan antara integrity lawan despair. pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada integrity, karena jika lansia memiliki integrity yang tinggi maka despair yang dimiliki pasti rendah. Agar lebih jelas tentang psikososial Erikson pada tahap perkembangan lansia, maka peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu tentang teori Erikson, tahapan perkembangan bayi sampai dewasa, dan terakhir integrity pada lanjut usia.

2.1.1 Teori Erikson

Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah satu teori yang banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan delapan tahapan perkembangan manusia. Dimana untuk setiap manusia tahapan perkembangan tersebut tidak memiliki rentang waktu yang sama. Erikson berpendapat, bahwa setiap manusia memiliki rentang waktu yang berbeda. Setiap tahapan yang telah dilewati tidak untuk ditinggalkan, melainkan tiap tahap tersebut ikut 11 serta membentuk seluruh kepribadian. Hal ini dikenal sebagai prinsip epigenetik Hall, 1993. Prinsip epigenetik dipinjam dari istilah embriologi. Dalam Feist 2006, perkembangan epigenetik adalah perkembangan tahap demi tahap dari organ-organ janin. Embrio tidak terbentuk hanya karena menunggu dalam mengembangkan struktur dan bentuknya. Sebaliknya embrio berkembang berdasarkan tingkatan yang telah ditetapkan dan dalam tahapan yang teratur. Jika organ tubuh tidak berkembang selama periode kritis dalam perkembangan seseorang, maka ia tidak akan mengalami kematangan. Dalam teori yang dijabarkan oleh Erikson, terdapat tujuh pokok teori perkembangan psikososial Feist, 2006, yaitu: 1 Pertumbuhan berlangsung sesuai dengan prinsip epigenetik. Artinya satu tahapan muncul dari tahapan sebelumnya dan memiliki rentang waktu sendiri dari pengaruh yang menguasai, tapi tidak sepenuhnya mengganti tahapan yang sebelumnya. 2 Setiap tahapan kehidupan terdapat interaksi yang bertentangan. Pertentangan antara syntonic harmonis dan elemen dystonic menganggu. Dengan cara yang sama setiap tahapan perkembangan, manusia harus memiliki kedua pengalaman syntonic dan dystonic. 3 Dalam setiap tahapan, konflik antara elemen dystonic dan syntonic menghasilkan kualitas ego atau kekuatan ego yang disebut juga kekuatan dasar basic strength. 4 Terdapat beberapa kekuatan dasar pada setiap hasil inti patologi dalam tahap tersebut. 5 Walaupun Erikson menunjuk ke delapan tahapan sebagai tahapan psikososial, ia tidak pernah kehilangan pengamatan pada aspek biologi dari perkembangan manusia. 6 Peristiwa pada awal perkembangan tidak berdampak langsung pada perkembangan kepribadian selanjutnya. Ego identitas dibentuk oleh konflik dan peristiwa pancaragam multiplicity of conflict and events-masa lalu, kini dan masa yang akan datang. 7 Disetiap tahap perkembangan, khususnya dari masa dewasa dan sesudahnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas identity crisis, yang dinamakan oleh Erikson “titik balik, periode peningkatan bahaya dan memuncaknya potensi”. Delapan tahap perkembangan kepribadian Erikson memiliki ciri utama untuk setiap tahapnya, di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Jadi dalam setiap krisis, seseorang mudah rentan terkena modifikasi utama dalam identitas, baik positif dan negatif. Berbeda dengan yang umum, sebuah krisis identitas bukan merupakan bencana besar tetapi lebih merupakan kesempatan baik untuk penyesuaian adaptif atau maladaptif yang berlanggsung jika satu tahap berhasil atau tidak berhasil dilewati.

2.1.2 Tahapan Perkembangan Psikososial Bayi Sampai Dewasa

Erikson mengatakan dalam prinsip epigenesis bahwa tiap masa perkembangan yang telah dilalui tidak akan ditinggalkan begitu saja akan tatapi pengalaman pada tiap tahapan sebelumnya akan mempengaruhi tahapan selanjutnya serta ikut membentuk seluruh kepribadian. Maka untuk lebih jelasnya akan dijabarkan tahapan fase perkembangan bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa terlebih dahulu Alwisol, 2007. 1. Fase Bayi Bagi Erikson kegiatan bayi tidak terikat dengan mulut semata. Bayi adalah saat untuk memasukkan incorporation, bukan hanya melalui mulut menelan tetapi juga dari semua indera. Tahap sensori oral ditandai oleh dua jenis inkorporasi: mendapat receiving dan menerima accepting. Tahun pertama kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, eliminasi buang kotoran, dan tidur. Ketika ia menyadari ibu akan memberi makanminum secara teratur, mereka belajar dan memperoleh kualitas ego atau identitas ego yang pertama, perasaan kepercayaan dasar basic trust. Bayi harus mengalami rasa lapar, haus, nyeri, dan ketidaknyamanan lain, dan kemudian mengalami perbaikan atau hilangnya kondisi yang tidak menyenangkan itu. Dari peristiwa itu bayi akan belajar mengharap bahwa hal yang menyakitkan ke depan bisa berubah menjadi menyenangkan. Bayi menangkap hubungannya dengan ibu sebagai sesuatu yang keramat numinous. 2. Fase Anak-Anak Dalam teori Erikson, anak memperoleh kepuasan dari keberhasilan mengontrol alat-alat anus dan mengontrol fungsi tubuh yang lain seperti urinasi, berjalan, melempar, memegang, dan sebagainya. Pada tahun kedua, penyesuaian psikososial terpusat pada pengontrolan tubuhnya, khususnya yang berhubungan dengan kebersihan. Pada tahap ini anak dihadapkan dengan budaya yang menghambat ekspresi diri serta hak dan kewajiban. Anak belajar untuk melakukan pembatasan-pembatasan dan kontrol diri dan menerima kontrol dari orang lain. Hasil mengatasi krisis otonomi lawan malu-ragu adalah kekuatan dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari kebebasan kemauan dan kekuatan kemauan benar-benar hanya permulaan, yang terjadi di dalam egonya. Pada tahap ini pola komunikasi mengembangkan penilaian benar atau salah dari tingkah laku diri dan orang lain, disebut bijaksana judicious. 3. Fase Remaja Tahap ini merupakan tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan lainnya, karena orang harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik. Bagi Erikson, pubertas penting bukan karena kemasakan seksual, tetapi karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang. Pencarian identitas ego mencapai puncaknya pada fase ini, ketika remaja berjuang untuk menemukan siapa dirinya. Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap dewasa adalah kesetiaan fidelity yaitu setia dalam beberapa pandangan idiologi atau visi masa depan. Memilih dan memiliki ediologi akan memberi pola umum kehidupan diri, bagaimana berpakaian, pilihan musik dan buku bacaan, dan pengaturan waktu sehari-hari. 4. Fase Dewasa Tahap dewasa adalah waktu menempatkan diri di masyarakat dan ikut bertanggung jawab terhadap apapun yang dihasilkan dari masyarakat. Kualitas sintonik tahap dewasa adalah generativita, yaitu penurunan kehidupan baru, serta produk dan ide baru. Kepedulian adalah perluasan komitmen untuk merawat orang lain, merawat produk dan ide yang membutuhkan perhatian. Kepedulian membutuhkan semua kekuatan dasar ego sebelumnya sebagai kekuatan dasar orang dewasa. Generasional adalah interaksi antara orang dewasa dengan generasi penerusnya bisa berupa pemberian hadiah atau sanjungan, sedangkan otoritisme mengandung pemaksaan. Orang dewasa dengan kekuatan dan kekuasaannya memaksa aturan, moral, dan kemauan pribadi dalam interaksi.

2.1.3 Integrity Pada Lanjut Usia

Dalam teori Erikson, tahapan perkembangan kehidupan seseorang ada delapan tahap. Dimana dalam masing-masing tahap perkembangan tersebut mempunyai tugas dan karakteristik perkembangan yang berbeda. Tahapan terakhir dari teori Erikson tersebut adalah lanjut usia dan krisis perkembangan yang terjadi pada tahap ini adalah integrity vs despair. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada integrity karena setiap tahapan kehidupan pada teori psikososial Erikson terdapat interaksi yang bertentangan. Jika lansia mengalami integrity yang lebih tinggi maka despair yang dimiliki pasti lebih rendah. Menurut Erikson, Erikson, Kivnick dalam Papalia, 2009, pencapaian puncak bagi dewasa akhir adalah ego integrity atau integritas diri. Sebuah prestasi yang berdasarkan refleksi tentang kehidupan seseorang. Lansia membutuhkan evaluasi dalam menerima hidup mereka sehingga dapat menerima kematian, hasil dari yang telah dibangun pada ketujuh tahapan sebelumnya. Mereka berjuang untuk mencapai rasa hubungan dan keutuhan. Boyd 2006 berpendapat bahwa tugas ego integrity bila lansia memiliki hidup yang berguna. Untuk mencapai ego integrity, lansia harus bisa berdamai dengan dirinya, dengan kehidupannya, pilihan yang telah dibuat, peluang yang telah diperoleh dan yang tidak diperoleh. Feist 2006 berpendapat, lansia dengan ego identity kuat yang telah belajar intimacy dan menjaga keduanya maka akan memiliki kualitas syntonic yang akan didominasi oleh integrity. Santrock 2002 berpendapat, integrity adalah bila lansia mengembangkan suatu harapan yang positif di setiap periode sebelumnya. Jika demikian, pandangan tentang masa lalu dan kenangan akan menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang dilewatkan dengan baik, dan ia akan merasa puas. Jika terdapat sejumlah putus asa dalam diri seseorang itu termasuk sesuatu hal yang alami dan diperlukan dalam kematangan psikologis. Perjuangan dalam mengatasi krisis identitas pada masa lansia ini akan menghasilkan kebijaksanaan, yang merupakan kekuatan dasar lansia. Erikson mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “suatu informasi dan lepasnya persoalan dengan kehidupan itu sendiri dalam menghadapi kematian” Feist, 2006. Berdasarkan pada beberapa pendapat teori integrity yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti berfokus pada pendapat Santrock, karena dari beberapa pendapat yang dikemukakan tentang teori integrity secara umum telah terangkum dalam pendapat yang diutarakan oleh Santrock.

2.2 Psychological Well-Being

2.2.1 Definisi Psychological Well-Being

Definisi psychological well-being yang dikemukakan para ahli belum mencapai satu kata sepakat. Definisi yang muncul bersifat tumpang tindih antar satu dengan lain. Adapun definisi dasar yang beredar selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan pendapat dari Bradburn. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bradburn dalam Ryff, 1989, dalam meneliti perubahan sosial pada level makro yang merujuk pada buku terkenal karangan Aristotle, Nimomachean Ethics, yang menerjemahkan psychological well- being menjadi happiness kebahagiaan. Dalam Nimomachean Ethnics dijelaskan bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradbrun merupakan tujuan dari tindakan seseorang 1969 adanya keseimbangan antara efek positif dan efek negatif dalam Ryff, 1989. Definisi kedua berkaitan dengan pengukuran psychological well-being pada masa lansia yang dilakukan oleh Neugarten, Havigrust, dan Tobin dalam Ryff, 1989. Mereka membuat sebuah alat ukur Life Statisfaction Index untuk membedakan lansia yang termasuk successful aging dan yang tidak. Pada pengukuran ini, psychological well-being diartikan sebagai kepuasan hidup. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff terhadap mengenai studi psychological well-being, ia berusaha mengajukan konsep psychological well-being yang bersifat multidimensional enam dimensi psychological well-being. Menurut Ryff dan Keyes 1995, psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being–nya menjadi rendah, atau berusaha memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being-nya meningkat. Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui potensi-potensi positif yang ada pada dirinya. Ryff 1989 mengajukan konsep psychological well-being yang mengacu pada teori positive psychological functioning, teori kesehatan mental, dan teori psikologi perkembangan. Seseorang dapat dikatakan memiliki psychological well-being apabila ia mampu menerima dirinya, mampu menjalin hubungan dengan individu lain, memiliki kemandirian, mampu menguasai lingkungan kehidupannya, memiliki tujuan hidup, dan berupaya menjadi individu yang terus berkembang. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dengan mengembangkan potensi positif yang ada pada dirinya, yang terwujud dalam keenam dimensi yaitu kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik.

2.2.2 Dimensi Psychological Well-Being

Dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff 1989 mengacu pada teori positive psychological functioning Maslow, Rogers, Jung, dan Allport, teori perkembangan Erikson, Buhler, dan Neugerten, dan teori kesehatan mental Jahoda. Adapun keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan Ryff adalah: 1. Autonomy kemandirian Individu mampu mengarahkan dirinya self determination, mampu meregulasi perilakunya berdasarkan tuntunan dari dalam dirinya, mampu melakukan evaluasi berdasarkan standar pribadi tanpa menunggu persetujuan dari orang lain, dan merasa bebas untuk melakukan keinginannya tanpa takut menentang norma-norma yang berkembang. 2. Environment Mastery penguasaan lingkungan Individu mampu memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi dirinya, berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas lingkungan, mampu memanipulasi dan mengontrol lingkungan, mengubah lingkungan secara kreatif melalui aktivitas fisik dan mental, dan mampu mengambil peluang dan kesempatan- kesempatan yang disediakan oleh lingkungan. 3. Personal Growth pengembangan pribadi Individu senantiasa mengembangkan potensi dirinya, secara terbuka terhadap pengalaman baru, terus tumbuh dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas- tugas perkembangan dalam berbagai tahapan kehidupannya. Individu yang memiliki pribadi yang berkembang berarti menyadari potensinya, memiliki kemampuan untuk berkembang secara berkelanjutan, melihat kemajuan diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu, berubah dengan cara yang efektif untuk menjadi lebih baik, dan terbuka pada pengalaman–pengalaman baru. 4. Positive relation with others menjalin hubungan baik dengan orang lain Individu mampu merasakan kehangatan dan rasa percaya pada antar individu. Dalam perspektif perkembangan, selain mampu menjalin hubungan hangat dengan orang lain intimacy, juga mampu membimbing dan mengarahkan individu yang lain generativity. Individu dengan kemampuan menjalin hubungan dengan individu lain berarti memiliki kemampuan untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya, memiliki perasaan empati terhadap sesama, memiliki persahabatan yang dalam, dan identifikasi yang baik dengan orang lain. 5. Purpose in life tujuan hidup Individu yakin dan memahami akan adanya makna dan tujuan yang jelas dari kehidupan yang dijalaninya, baik pada masa kini maupun masa lampau. Tujuan dapat diperoleh melalui pengikatan diri pada nilai–nilai tertentu. 6. Self acceptance penerimaan diri Merupakan gambaran sentral dan kesehatan mental, dan sebagai karakteristik dari aktualisasi diri dan kematangan. Individu dengan penerimaan diri berarti memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan menilai positif kehidupan yang sedang dan telah dijalaninya. Pada penelitian ini penulis mengambil keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik, sebagai skala dalam menentukan psychological well-being lansia di panti wreda. Karena pada keenam dimensi tersebut dapat menggambarkan secara keseluruhan psychological well-being lansia di panti wreda.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Dari beberapa literatur dan hasil penelitian pada psychological well-being, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, beberapa diantaranya ialah: 1. Jenis kelamin Menurut Seligman 2002, jenis kelamin memiliki hubungan yang mengherankan dengan suasana hati. Tingkat emosi rata-rata laki-laki dengan perempuan tidak jauh berbeda. Yang mengherankan adalah perempuan lebih bahagia dan sekaligus lebih sedih daripada laki-laki. Dalam Diener 1984, meskipun perempuan menghasilkan lebih memiliki pengaruh yang negatif, tetapi mereka juga mengalami kebahagiaan yang lebih besar. Jadi menurut Andrew dan kawan-kawan, pada jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan secara umum dalam kebahagiaan atau kepuasan. 2. Usia Usia muda yang selalu dianggap memiliki keadaan yang lebih berbahagia daripada usia tua tidaklah terbukti. Penelitian yang dilakukan atas 60 ribu orang dewasa dari 40 bangsa menyatakan bahwa kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, perasaan yang menyenangkan sedikit melemah, dan perasaan yang negatif tidak berubah. Yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas emosinya. Perasaan “mencapai puncak dunia” dan terpuruk dalam keputusasaan menjadi berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman Seligman, 2002. Hal ini sesuai dengan pernyataan Braun dalam Diener, 1984 yang menemukan bahwa responden yang lebih muda memiliki tingkatan yang lebih kuat antara pengaruh positif dan negatif, tetapi responden yang lebih tua secara keseluruhan melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih besar. 3. Pendapatan Dahulu untuk mengatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan yang tinggi merasa lebih bahagia atau memiliki pengalaman yang lebih baik mungkin benar, tapi itu bukanlah suatu penjelasan yang utama. Untuk dua alasan kenyataannya adalah tidak seperti itu. Pertama, penghasilan berhubungan dengan faktor hidup lainnya, seperti memiliki pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan bebas dari kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, adanya hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan belum dapat dipastikan, karena hanya sedikit informasi bagaimana pendapatan seseorang dapat mempengaruhi psychological well-being Bardburn, 1969. 4. Status pernikahan Perkawinan erat hubungannya dengan kebahagiaan. Pusat Riset Opini Nasional Amerika Serikat mensurvei 35 ribu warga Amerika selama 30 tahun terakhir, 40 dari orang menikah mengatakan mereka “sangat bahagia”, sedangkan 24 dari orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, dan ditinggal mati oleh pasangannya yang mengatakan ini. Pada budaya Jepang dan Cina, kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan yang berlaku pada laki- laki dan perempuan Seligman, 2002. Terdapat dua kemungkinan, yang pertama, orang yang memang sudah bahagia lebih mungkin untuk menikah dan mempertahankan pernikahannya dan yang kedua, orang-orang yang depresi cendrung lebih menarik diri, gampang tersinggung, dan berfokus pada diri sendiri. Dengan demikian mereka menjadi patner yang semakin tidak menarik Seligman, 2002. 5. Kehidupan sosial Orang-orang yang sangat bahagia jauh berbeda dengan orang yang tidak bahagia, karena mereka menjalani kehidupan sosial yang lebih baik dan memuaskan. Orang- orang yang sangat berbahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan kebanyakan mereka bersosialisasi. Berdasarkan penilaian sendiri maupun teman, mereka mendapat nilai tertinggi dalam berinteraksi Seligman, 2002. 6. Keberagamaan Seseorang yang religius lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat penyalahgunaan obet-obatan, malakukan kejahatan, bercerai, dan bunuh diri. Mereka juga secara fisik lebih sehat dan berumur lebih panjang. Ibu religius yang memiliki anak cacat, melawan depresi dengan lebih baik. Lebih sedikit orang relius yang takut terhadap perceraian, penganggguran, penyakit, dan kematian. Relevansi yang paling langsung tampak pada fakta bahwa data survei secara konsisten menunjukan bahwa orang- orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya daripada orang yang tidak religius Seligman, 2002.

2.2.4 Psychological Well-Being Lanjut Usia

Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis psychological well-being. Hurlock 1980 menyebutkan bahwa psychological well-being atau kebahagiaan pada lansia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” kebahagiaan, yaitu acceptance penerimaan, affection kasih sayang, dan achievement pencapaian. Apabila seorang lansia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan. Misalnya, ia merasa diabaikan oleh anggota keluarga atau petugas panti wreda, merasa bahwa prestasi pada masa lalu tidak memenuhi harapan dan keinginan, atau apabila mereka mengembangkan perasaan bahwa tidak ada satu orang pun yang mencintainya, maka lansia akan merasa tidak bahagia. Studi tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan pada lansia melahirkan pendapat bahwa keduanya itu biasanya merupakan sikap bawaan yang dibentuk pada tahapan sebelumnya, sebagai akibat dari keberhasilan dan kegagalan menyesuaikan diri pada tahapan sebelumnya. Hurlock 1980 menambahkan bahwa ada beberapa kondisi penting yang dapat membantu pencapaian psychological well-being lansia, beberapa diantaranya adalah: 1. Mengembangkan kenangan yang mengembirakan sejak masa anak-anak sampai masa dewasanya. 2. Sikap yang realistis dan mau menerima kenyataan tentang perubahan fisik dan psikis yang sedang dialami. 3. Terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik. 4. Perasaan puas dengan status yang ada sekarang dari prestasi masa lalu. 5. Menikmati kegiatan rekrasional yang direncanakan khusus bagi lansia 6. Menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman- teman. 7. Melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara sukarela dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu cara untuk membantu para lansia untuk keluar dari masalah-masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan lansia adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being.

2.3 Lanjut usia

2.3.1 Definisi Lanjut Usia

Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia, pasal 1 nomor 2, Lanjut usia lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas Depsos, 1998. Dimana lansia dibagi menjadi dua kategori yaitu lansia potensial dan tidak potensial. Berdasarkan pasal 1 ayat 3 lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melaksanakan pekerjaan dan jasa, sedangkan lansia yang tidak potensial adalah lansia yang sudah tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain. Menurut Bernice Neugarten dalam Davidoff, 1991 lansia adalah orang-orang yang mulai suka introspeksi dan banyak merenungkan apa yang sebetulnya sedang terjadi di dalam diri masing-masing. Banyak diantara mereka yang berfikir ”berbuat sesuatu di sisa waktu hidupnya”, jadi bukan waktu sejak kelahiran yang dipikirkan. Lanjut usia juga sering dimaknai sebagai masa kemunduran, terutama pada keberfungsian fungsi-fungsi fisik dan psikologis. Hurlock 1980 mengemukakan bahwa penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua. Riset telah membuktikan Atkinson bahwa penuaan tidak berarti penurunan kemampuan fisik dan mental yang tidak terhindarkan. Penuaan normal adalah proses bertahap yang membawa beberapa perubahan. Tetapi perubahan yang lebih ekstrim yang dikaitkan dengan lansia adalah akibat dari penyakit, diet yang tidak tepat, kegagalan secara nyata untuk secara aktif fisik dan mental. Keyakinan bahwa kemampuan mental menurun bersamaan dengan penuaan juga telah diragukan oleh temuan riset. Lansia tidak memproses informasi secepat orang muda dan mereka cenderung buruk dalam mengerjakan beberapa tugas pemecahan masalah. Tetapi tidak ada bukti bahwa kemampuan umum untuk belajar menurun bersamaan dengan peningkatan usia. Latihan yang singkat dapat memperbaiki kemampuan pemecahan masalah lansia. Masa lansia juga disertai dengan berbagai penyakit yang menyerang dan menggerogoti kehidupan lansia sekalipun tidak semua lansia adalah berpenyakit, tapi kebanyakan lansia rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu akibat kondisi organ- organ tubuh yang telah mengalami kemunduran juga fungsi imun kekebalan tubuh yang juga menurun. Kemunduran dari segi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan atau posisi tertentu dalam sebuah organisasi atau masyarakat, yang telah menempatkan dirinya sebagai individu dengan status terhormat, dihargai, memiliki pengaruh, dan didengarkan pendapatnya. Sekalipun mengalami kemunduran pada beberapa aspek kehidupannya, bukan berarti lansia tidak bisa menikmati kehidupannya. Lansia pasti memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang bermanfaat dan menghibur. Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah berumur 60 tahun ke atas baik laki-laki atau perempuan, yang mengalami kemunduran fisik dan psikis, dan mulai suka introspeksi dan banyak merenungkan apa yang telah terjadi di masa lalu.

2.3.2 Keadaan Lanjut Usia

Berbagai perubahan terjadi ketika individu memasuki tahap lansia. Perubahan tersebut antara lain dalam hal penampilan fisik, fungsi tubuh maupun dalam hubungan sosial, dan juga perubahan psikis. Perubahan yang terjadi biasanya merupakan kemunduran dan lansia harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Menurut terdapat berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, diantaranya adalah: a. Perubahan fisik dan psikologis Periode selama lanjut usia, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap yang dikenal sebagai senescence yaitu proses menjadi tua. Dimana perubahan terjadi pada bagian tubuh luar seperti keelastisan kulit, dan bagian dalam tubuh seperti yang terjadi pada kerangka tubuh yang diakibatkan dari mengerasnya tulang-tulang, menumpuknya garam mineral dan modifikasi pada susunan organ tulang bagian dalam yang dapat mengakibatkan tulang menjadi mengapur dan mudah retak yang mana untuk proses penyembuhannya lebih lambat sesuai dengan bertambahnya usia Hurlock, 1980. Lansia juga mengalami kemunduran fungsi tubuh seperti lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengambil nafas, berkurangnya kemampuan pendengaran dan penglihatan, tubuh yang merasa cepat lelah, dan munculnya penyakit baru yang sebelumnya tidak ada keluhan, atau dapat menjadikan penyakit yang sudah diderita lebih buruk. Istilah “keuzuran” digunakan untuk mengacu pada periode waktu selama usia lanjut dan apabila sudah terjadi disorganisasi mental. Seseorang yang menjadi eksentrik, kurang perhatian dan terasing secara sosial, maka penyesuaian dirinya pun buruk, biasanya disebut “uzur”. Kemunduran juga mempunyai penyebab psikologis seperti sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan Hurlock, 1980. b. Perubahan dalam keuangan Keadaan fisik lansia yang cepat lelah tidak memungkinkan lansia untuk bekerja keras seperti masa sebelumnya. Lansia di panti tidak memiliki pekerjaan lagi. Lansia di panti dapat memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan dari panti tempatnya bernaung, uang pensiunan, dan keluarga jika masih memiliki keluarga. Dengan berkurangnya pendapatan lansia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dalam mengatur keperluannya. Walaupun lansia memiliki sumber keuangan, seperti dari panti, anak, kerabat, atau uang pensiunan, jumlah pendapatan yang memiliki tersebut tidaklah sebesar seperti ketika masih bekerja. c. Perubahan terhadap minat Perubahan fisik dan waktu luang yang lebih banyak mempengaruhi minat lansia. Perubahan fisik seperti cepat merasa lelah menyebabkan lansia mengurangi kegiatan-kegiatannya. Lansia mengubah kegiatan yang dilakukan saat ini tidak membutuhkan tenaga yang besar seperti ketika mereka masih muda. Diantara perubahan minat pada lansia adalah sebagai berikut: minat pribadi yang meliputi minat terhadap diri sendiri, minat terhadap penampilan, sosial-ekonomi, tempat tinggal, pakaian, uang, rekreasi, kegiatan sosial, seks, status pernikahan, keagamaan, dan kematian Hurlock, 1980. d. Perubahan kemampuan mental Perubahan mental bagi setiap individu secara usia kronologis mempunyai persamaan usia tetapi mempunyai perbedaan intelektual. Secara umum mereka yang mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relative penurunana dalam efisiensi mental kurang dibandiang mereka yang pengalaman intelektualnya rendah. e. Perubahan kehidupan dalam keluarga Keluarga mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya usia. Lansia sebelumnya tinggal dengan keluarga memiliki peranan besar bagi anak-anaknya. Sekarang ini anak-anak memiliki keluarga sendiri dan peranan lansia dalam kehidupan anak berkurang atau hanya memiliki peranan lagi dalam kehidupan anak. Bagi lansia yang tidak menikah, perubahan dalam pola kehidupan keluarga yang terjadi berkaitan dengan hubungan antar saudara kandung yang biasanya terjalin erat, namun suatu saat lansia juga dapat mengalami kematian kakak atau adik kanduang, atau bahkan mereka sama sekali tidak memiliki kerabat lagi.

2.3.3 Batasan-Batasan Umur Lanjut usia

Lansia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak dapat dihindari oleh siapapun, namun manusia dapat berupaya menghambat kejadiannya Bandiyah, 2009. Seseorang baru dapat dikatakan berusia lanjut dapat dibedakan menurut dua macam umur, yaitu umur kronologis dan umur biologis. Umur kronologis adalah umur yang dicapai seseorang dalam kehidupannya yang dihitung dengan tahun kalender. Sedangkan umur biologis adalah usia yang sebenarnya berdasarkan pematangan jaringan. Hal ini dapat menerangkan, mengapa orang yang berumur kronologis sama mempunyai penampilan fisik dan mental yang berbeda Bandiyah, 2009. Mengenai kapankah orang disebut lansia, sulit dijawab secara memuaskan. Dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur lansia, diantaranya ialah: 1. Menurut Hurlock 2002 - njut dini : antara usia 60 tahun sampai 70 tahun usia la Usia lanjut - : usia 70 tahun ke ata sampai akhir kehidupan 2. Menurut WHO dalam Bandiyah, 2009 - : usia 45 tahun sampai 59 tahun - lanjut usia elderly usia pertengahan middle age : usia 60 tahun sampai 74 tahun lanjut usia tua old ery old : di atas usia 90 tahun enurut Boyd 2006 sia 60 tahun sampai 75 tahun the old-old antara usia old mulai dari usia 85 tahun ke atas telah dikemukakan diatas, ial Trisna Wredha Melania kan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 pasal 1 nomor 2, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas kembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. 1980 adalah sebagai berikut: - : usia 75 tahun sampai 90 tahun - usia sangat tua v 3. M - young old antara u - 75 tahun sampai 85 tahun - the oldest Berdasarkan beberapa batasan usia lansia yang dimana dalam penelitian ini populasi usia lansia di Panti Sos berkisar antara 64 tahun sampai 93 tahun dan berdasar Depsos, 1998, maka peneliti mengambil batasan usia menurut Boyd yang dibagi menjadi young old, the old-old, dan the oldest old.

2.3.4 Tugas Perkembangan Lanjut Usia

Pada setiap tahap kehidupan manusia memiliki tugas perkembangan tertentu, demikian juga halnya pada lansia. Sebagian tugas per Tugas perkembangan lansia menurut Hurlock 1. Me sia perlu kematian menghindari kesepian. dasarnya tugas perkembangan lansia itu adalah menentukan iri dengan baik serta menjalani hidup dengan rasa penuh engurus atau kediaman dan merawat orang jompo. urut Depsos 2005, Panti Sosial Tresna Werdha atau biasa di nyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan menurunnya kesehatan secara bertahap. 2. Mencari kegiatan baru untuk mengganti kegiatan yang dahulu dilakukan. 3. Akibat menurunnya tingkat kesehatan dan pendapatan, maka lan menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup yang sesuai dengan keadaan saat itu. 4. Lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa pasangan hidupnya. 5. Lansia perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, jika ingin Berdasarkan pendapat dari Hurlock mengenai tugas perkembangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada siapakah dirinya, dan bagaimana mereka dapat menjalani setiap perubahan yang terjadi sehingga dapat menyesuaikan d bahagia.

2.4 Panti Wreda

Dalam kamus Bahasa Indonesia 2000 panti wreda atau panti jompo adalah rumah tempat m Sedangakan men kenal dengan sebutan panti wreda adalah wadah atau institusi yang memberikan pelayanan dan perawatan jasmani, rohani, dan sosial, serta perlindungan untuk em . Panti reda terdiri dari dua jenis, yaitu panti wreda negara dan panti wreda swasta. nggal dan itangkap saat pekerja dinas sosial melakukan razia di jalan. Sedangkan pada panti wreda da usia lansia, lansia yang keluarganya sibuk tau tidak mampu merawatnya, dan atas keinginan dari lansia itu sendiri agar bisa bergab m enuhi kebutuhan lanjut usia agar dapat menikmati taraf hidup secara wajar. Pengadaan panti wreda bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia, sebagai sarana agar lansia dapat terpenuhi kebutuhan jasmaninya dan rohaninya w Panti wreda negara digunakan sebagai tempat tinggal untuk lansia yang masih memiliki keluarga maupun yang tidak, lansia yang tidak memiliki tempat ti d swasta digunakan sebagai tempat perawatan lansia, dimana lansia atau keluarga membayar biaya perawatan selama lansia tinggal di panti. Biaya selama tinggal dip anti wreda negara dan swasta tidaklah jauh berbeda. Sumbernya bisa dari keluarga yang membiayai, tabungan pensiun, subsidi silang dari lansia lain yang lebih mampu, bantuan dari negara atau yayasan secara berkala. Penghuni panti swasta biasanya terdiri dari lansia yang tidak mempunyai keluarga lain yang bisa merawatnya pa a ung dengan sesama lansia lain di panti wreda. Menurut Hurlock 1980, terdapat berbagai keuntungan yang didapat oleh lansia jika mereka tinggal di panti wreda, diantaranya yaitu: 1. Sem a makanan mudah di dapat dengan biaya yang memadai, 2. Ad r oleh teman seusia penghuni panti lansia dan pengurus dapat ak mempunyai keluarga tersedia di panti. dak mungkin terjadi jika berada dalam kelompok dengan usia yang mendapatkan perhatian yang baik dari pengasuh dan para pengurus ia Dalam periode rentang kehidupan seseorang, mulai dari dalam kandungan ampai akhirnya menjadi lansia, ia mengalami tahap-tahap tugas perkembangan yang lansia, u anya kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama 3. Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara tempore daripada dengan usia yang lebih muda. 4. Menghilangkan kesepian karena dijadikan teman. 5. Perayaan hari libur bagi mereka yang tid 6. Adanya kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu. Kesempatan ini ti lebih muda. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan panti wreda milik swasta, dikarenakan fasilitas yang digunakan dapat mendukung kehidupan lansia dengan baik dan mereka juga panti.

2.5 Hubungan Psychological Well Being dengan Integrity Lanjut us