Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Pada penelitian ini penulis mengambil keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik, sebagai skala dalam menentukan psychological well-being lansia di panti wreda. Karena pada keenam dimensi tersebut dapat menggambarkan secara keseluruhan psychological well-being lansia di panti wreda.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Dari beberapa literatur dan hasil penelitian pada psychological well-being, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, beberapa diantaranya ialah: 1. Jenis kelamin Menurut Seligman 2002, jenis kelamin memiliki hubungan yang mengherankan dengan suasana hati. Tingkat emosi rata-rata laki-laki dengan perempuan tidak jauh berbeda. Yang mengherankan adalah perempuan lebih bahagia dan sekaligus lebih sedih daripada laki-laki. Dalam Diener 1984, meskipun perempuan menghasilkan lebih memiliki pengaruh yang negatif, tetapi mereka juga mengalami kebahagiaan yang lebih besar. Jadi menurut Andrew dan kawan-kawan, pada jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan secara umum dalam kebahagiaan atau kepuasan. 2. Usia Usia muda yang selalu dianggap memiliki keadaan yang lebih berbahagia daripada usia tua tidaklah terbukti. Penelitian yang dilakukan atas 60 ribu orang dewasa dari 40 bangsa menyatakan bahwa kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, perasaan yang menyenangkan sedikit melemah, dan perasaan yang negatif tidak berubah. Yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas emosinya. Perasaan “mencapai puncak dunia” dan terpuruk dalam keputusasaan menjadi berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman Seligman, 2002. Hal ini sesuai dengan pernyataan Braun dalam Diener, 1984 yang menemukan bahwa responden yang lebih muda memiliki tingkatan yang lebih kuat antara pengaruh positif dan negatif, tetapi responden yang lebih tua secara keseluruhan melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih besar. 3. Pendapatan Dahulu untuk mengatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan yang tinggi merasa lebih bahagia atau memiliki pengalaman yang lebih baik mungkin benar, tapi itu bukanlah suatu penjelasan yang utama. Untuk dua alasan kenyataannya adalah tidak seperti itu. Pertama, penghasilan berhubungan dengan faktor hidup lainnya, seperti memiliki pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan bebas dari kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, adanya hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan belum dapat dipastikan, karena hanya sedikit informasi bagaimana pendapatan seseorang dapat mempengaruhi psychological well-being Bardburn, 1969. 4. Status pernikahan Perkawinan erat hubungannya dengan kebahagiaan. Pusat Riset Opini Nasional Amerika Serikat mensurvei 35 ribu warga Amerika selama 30 tahun terakhir, 40 dari orang menikah mengatakan mereka “sangat bahagia”, sedangkan 24 dari orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, dan ditinggal mati oleh pasangannya yang mengatakan ini. Pada budaya Jepang dan Cina, kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan yang berlaku pada laki- laki dan perempuan Seligman, 2002. Terdapat dua kemungkinan, yang pertama, orang yang memang sudah bahagia lebih mungkin untuk menikah dan mempertahankan pernikahannya dan yang kedua, orang-orang yang depresi cendrung lebih menarik diri, gampang tersinggung, dan berfokus pada diri sendiri. Dengan demikian mereka menjadi patner yang semakin tidak menarik Seligman, 2002. 5. Kehidupan sosial Orang-orang yang sangat bahagia jauh berbeda dengan orang yang tidak bahagia, karena mereka menjalani kehidupan sosial yang lebih baik dan memuaskan. Orang- orang yang sangat berbahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan kebanyakan mereka bersosialisasi. Berdasarkan penilaian sendiri maupun teman, mereka mendapat nilai tertinggi dalam berinteraksi Seligman, 2002. 6. Keberagamaan Seseorang yang religius lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat penyalahgunaan obet-obatan, malakukan kejahatan, bercerai, dan bunuh diri. Mereka juga secara fisik lebih sehat dan berumur lebih panjang. Ibu religius yang memiliki anak cacat, melawan depresi dengan lebih baik. Lebih sedikit orang relius yang takut terhadap perceraian, penganggguran, penyakit, dan kematian. Relevansi yang paling langsung tampak pada fakta bahwa data survei secara konsisten menunjukan bahwa orang- orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya daripada orang yang tidak religius Seligman, 2002.

2.2.4 Psychological Well-Being Lanjut Usia