Ada beberapa bentuk Ishlah dalam Islam yang kita kenal antara lain :
a. Ishlah antara orang muslim dengan orang kafir;
b. Ishlah antara suami dengan isteri;
c. Ishlah antara kelompok yang berbuat aniaya dengan orang yang berbuat
adil; d.
Ishlah antara orang yang saling menuntut; e.
Ishlah dalam hal penganiayaan seperti mema‟afkan dengan ganti rugi berupa uang;
f. Ishlah untuk memutuskan suatu persengketaan yang terjadi dalam hak
milik.
E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan terdiri dari 8 bab dan 27 pasal:
Sistematika PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Bab I: Ketentuan Umum
Ruang Lingkup
dan Kekuatan
Berlakunya Perma Pasal
1 – 6
Biaya pemanggilan para pihak
Jenis perkara yang dimediasi
Sertifikasi mediator
Sifat proses mediasi Bab II: Tahap Pra Mediasi
Kewajiban hakim pemeriksaan dan kuasa hukum
Hak para pihak memilih mediator
Daftar mediator
Honorarium mediator
Batas waktu pemilihan mediator
Menempuh mediasi dengan iktikad baik Pasal
7 – 12
Bab III:
Tahap-Tahap Proses Mediasi
Penyerahan resume perkara dan lama waktu proses mediasi
Kewenangan mediator
menyatakan mediasi gagal
Tugas-Tugas mediator
Keterlibatan ahli
Mencapai kesepakatan
Tidak mencapai kesepakatan
Keterpisahan mediasi dan litigasi Pasal
13 – 19
Bab IV:
Tempat Pasal
Penyelenggaraan Mediasi 20
Bab V: Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali Pasal
21 – 22
Bab VI: Kesepakatan di Luar Pengadilan
Pasal 23
Bab VII: Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif
Pasal 24
– 25 Bab VIII: Penutup
Pasal 26
– 27
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung
RI Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003
ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya
mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan
instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa,
disamping proses pengadilan yang bersifat memutus adjudikatif.
Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim
tersebut batal demi hukum Pasal 2 ayat 3 Perma. Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan
telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama,
kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaikan Sengketa
Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan
lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama. Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat
mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI Pasal 5 ayat 1 Perma.
Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para pihak.
Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih
mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang
memuat sekurang-kurangnya 5 nama mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi
mediator dan memperbarui daftar mediator setiap tahun. Pasal 9 Ayat 7 Perma. Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya
apapun, sedangkan bila memilih mediator nonhakim uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasakan kesepakatan.
Dalam Pasal 11 Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 dua hari
kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim membertahukan mediator untuk
melaksanakan tugasnya. Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh
para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim Pasal 13 ayat 3Perma. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari
sejak berakhirnya masa 40 hari Pasal 13 ayat 4 Perma. Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka
dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada
tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada
ketua pengadilan tinggi pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang
berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendap para pihak untuk menempuh perdamaian.
Adapun perbedaan-perbedaan mendasar antara PERMA No. 2 Tahun 2003 dan PERMA 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut
23
: 1.
Penegasan sifat wajib, mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas perkara yang bersangkutan batal demi hukum [Pasal 2 ayat 3]. Dalam
PERMA sebelumnya tidak ada penegasan seperti ini. 2.
Pihak tergugat lebih dahulu menanggung biaya pemanggilan para pihak [Pasal 3]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada pengaturan seperti ini.
3. Hakim pemeriksa perkara diperkenankan menjadi mediator [Pasal 8 ayat 1
d]. Dalam PERMA sebelumnya hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan menjadi hakim mediator.
4. Dimungkinkannya mediator lebih dari satu orang [ Pasal 8 ayat 1 edan ayat
2]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 5.
Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib [Pasal 13 ayat 1 dan 2]. Dalam PERMA sebelumnya pembuatan resume bersifat
wajib. 6.
Lama proses mediasi yaitu 40 empat puluh hari dan dapat diperpanjang serta masa untuk proses mediasi itu terpisah dari masa pemeriksa perkara selma 6
23
Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency JICA dan Indonesia Institute For Conflict Transformation IICT, Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency JICA dan Indonesia Institute For Conflict Transformation IICT, 2008, h. 11-13.
enam bulan. Dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 selam 21 dua puluh satu hari dan termasuk masa pemeriksaan perkara [Pasal 13 ayat 3 dan 5].
7. Mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak
layak pasal 15, dalam PERMA sebelumnya pengaturan ini tidak ada. 8.
Hakim wajib mendorong para pihak untuk menempuh perdamaian pada tiap tahap pemeriksaan perkara sebelum pembacaan putusan [Pasal 18 ayat 3].
Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 9.
Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan [Pasal 19 ayat 4]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak
diatur. 10.
Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi [Pasal 21 dan Pasal 22]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
11. Pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan
[Pasal 23]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
44
BAB III TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Teori Efektivitas
Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu hukum dalam menangani suatu permasahan yang dapat diselesaikan oleh
keeksistensian hukum itu tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana
hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Efektivitas juga dapat dikatakan adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan
perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.
1
Efektifitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu tujuan. Kriteria yang menjadikan suatu tujuan atau rencana menjadi efektif, harus
meliputi : kegunaan, ketetapan dan objektifitas, adanya ruang lingkup prinsip
1
E. Mulyana, Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi Jakarta, PT Rosyda Karya, 2004, h. 82.