Teori Efektivitas TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG

44

BAB III TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG

PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Teori Efektivitas

Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu hukum dalam menangani suatu permasahan yang dapat diselesaikan oleh keeksistensian hukum itu tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Efektivitas juga dapat dikatakan adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan. 1 Efektifitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu tujuan. Kriteria yang menjadikan suatu tujuan atau rencana menjadi efektif, harus meliputi : kegunaan, ketetapan dan objektifitas, adanya ruang lingkup prinsip 1 E. Mulyana, Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi Jakarta, PT Rosyda Karya, 2004, h. 82. kelengkapanm, kepaduan dan konsisten, biaya akuntabilitas serta ketepatan waktu. 2 Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Namun agar hukum dan peraturan benar-benar berfungsi sacara efektif, senantiasa dikembalikan pada penegak hukumnya, dan untuk itu sedikitnya memperhatikan empat faktor penegakan hukum law enforcement, yaitu: 1. Hukum atau aturan itu sendiri ; 2. Penegak hukum; 3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum; 4. Masyarakat; Adapun secara terminologi, pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Soejono Soekanto mengungkapkan bahwa efektivitas adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan efektif. 3 Kemudian efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan dari usaha yang telah dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan mediasi di 2 T. Hani Handoko, Managemen, edisi II Yogyakarta, BPFE, 1993, h.7. 3 Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Padang, Alumni, 1979, h. 114. Peradilan Agama Jakarta Selatan. Seberapa besar kesuksesan yang diraih oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan melaksanakan usaha damai dalam wadah mediasi dengan memperhatikan berbagai macam aturan yang ada, baik peraturan yang berasal dari pemerintah maupun peraturan yang berasal dari agama. Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam perspektif efektivitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksanaan hukum yang kurang efektif. Pada hakikatnya persoalan efektivitas hukum seperti yang diungkapkan Syamsuddin Pasamai, dalam bukunya “Sosiologi dan Sosiologi Hukum”, persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangan erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. 4 Dalam hal ini ukuran atau indikator efektivitas adalah sebagai berikut: 5 1. Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat sesuai target dengan waktu yang ditetapkan. 2. Ekonomis, dipergunakan dengan setepat-tepatnya sesuai dengan rencana serta tidak ada penyelewengan. 4 Ilham Idrus, “efektivitas Hukum” artikel di akses pada 23 September 2010 dari hhtp:ilhamidrus.blogspot.com200906artikel-efektivitas-hukum.html 5 Sujudi FX, OM, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen Jakarta, CV Masagung, 1990, h.36. 3. Pelaksanaan kerja bertanggung jawab, sebagai bukti telah dimanfaatkan dengan setepat-tepatnya. 4. Rasionalitas wewenangan dan tanggungjawab, harus dihindari adanya dominasi oleh salah satu pihak atas pihak lainnya. 5. Pembagian kerja yang nyata, dibagi berdasarkan beban kerja, ukuran kemampuan kerja dan waktu yang tersedia. 6. Prosedur kerja yang praktis, kegiatan operasional yang dapat dilaksanakan dengan lancar. Apabila dikaitkan dengan mediasi Laurence Boulle seperti yang dikutip dalam buku “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia” karangan Gatot Soemarsono, untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan mediasi ada beberapa prasyarat yang berupa faktor-faktor kunci kesuksesan key success factor yang harus diketahui. Faktor-faktor kunci kesuksesan mediasi tersebut diantaranya: 6 1. sengketa masih dalam batas “wajar”. Konflik diantara para pihak masih moderate, artinya permusuhan masih dalam batas yang bisa ditoleransi. Ukuran wajar atau moderate sangat relatif. Misalanya, jika kedua belah pihak tidak mau bertemu, berarti permusuhan diantara mereka telah sangat parah. Jika sengketa sudah sangat parah, harapan untuk mendapatkan win-win solution sulit atau tidak mungkin tercapai. Dengan demikian mereka lebih menyukai penyelesaian lose solution. Dalam kondisi demikian, 6 Gatot Soemarsono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. 6-7. penyelesaian melalui APS Alternatif Penyelesaian Sengketa 7 mungkin tidak mampu memberikan kontrol perlindungan serta pengaruh yang cukup untuk menghasilkan keputusan yang konstruktif. 2. Komitmen para pihak Para pihak, penguasa, atau pelaku bisnis yang bersengketa memang bertekad menyelesaikan sengketa mereka melalui APS, dan mereka menerima tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri serta menerima legitimasi dari APS. Semakin besar komitmen dan penerimaan atas proses tersebut dari para pihak, semakin besar kemungkinan para pihak akan memberikan response positif terhada penyelesaian melalui APS. 3. keberlanjutan hubungan Penyelesaian melalui APS selalu menginginkan hasil win-win solution. Dengan demikian, harus ada keinginan dari para pihak untuk mempertahankan hubungan baik mereka. Misalnya, dua pengusaha yang bersengketa, seorang dari Indonesia dan seorang dari jepang, inin tetap melanjutkan hubungan usahanya setelah sengketa mereka berhasil. Dengan pertimbangan kepentingan di masa depan, hal itu mendorong mereka untuk tidak hanya memikirkan hasilnya tapi juga cara mencapainya. 7 Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilandengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. 4. Keseimbangan posisi tawar menawar Para pihak harus memikliki keseimbangan dalam posisi tawar menawar. Meskipun hal itu kadang sulit dijumpai, khususnya jika sengketa melibatkan multinasional dan pengusaha lokal, dimana hampir seluruh sumberdaya dikuasai oleh pengusaha multinasional. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak seharusnya mempengaruhi posisi tawar menawar. Artinya salah satu pihak harus tidak mendikte atau bahkan mengintimidasi agar sebuah penyelesaian di setujui. 5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia Para pihak menyadari bahwa, tidak seperti penyelesaian sengketa di pengadilan,proses penyelesaian sengketa melalui APS tidak terbuka untuk umum. Demikian pula, hasil penyelesaian sengketa tidak dimaksudkan untuk diketahui oleh umum atau dipublikasikan kepada khalayak, bahkan dinilai konfidensial. Jadi, tujuan yang hendak dicapai, yang terpenting, adalah para pihak mencapai penyelesaian sengketa mereka dengan hasil yang memuaskan.

B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan