Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Nasional

lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan. PERMA 2008 memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. PERMA 2003 sama sekali tak mengenal tahapan demikian. PERMA No.1 Tahun 2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi. Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, PERMA No.1 Tahun 2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat 3 tegas menyebutkan: “Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum ”. Demikianlah latar belakang lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yang merupakan peraturan baru dalam proses penyelesaian perkara melalui litigasi lembaga peradilan.

B. Dasar Hukum Mediasi

1. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Nasional

Yang menjadi dasar hukum diberlakukannya mediasi dalam proses litigasi: a. Pancasila. Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat 1 menyatakan: Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase. 7 Kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaian sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. b. Pasal 130 HIR154 Rbg 7 Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI Jakarta: Peslitbang Hukum Dan Peradilan MA-RI, 2007, h.36. Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat 1 HIR berbunyi: Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka. 8 Selanjutnya ayat 2 menyatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa. 9 Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130 Herzien Indonesis Reglement HIR maupun pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten Rbg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. 10 8 R. Soesilo, RIBHIR Dengan Penjelasan Bogor: Politeia,1985, h.88. 9 R. Soesilo, RIBHIR Dengan Penjelasan, h.187. 10 Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak. Dan dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum. Lihat Suyud Margono, ADR Alternative Dispute Resolution Arbiterase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000, h. 23-33. c. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Pasal 82 berbunyi: 1 Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2 Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. 3 Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi. 4 Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah, walaupun perbuatan itu adalah halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa seorang hakim dalam menangani kasus pasal ini menyebutkan gugat cerai berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha perdamaian mediasi tidak hanya dilakukan pada peradilan tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi. Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan pihak yang berperkara. d. Penjelasan Pasal 31 ayat 2 PP No.9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat 2 PP No.9 Tahun 1975 berbunyi: 2 Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Di mana penjelasan pasal tersebut adalah: “Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. 11 Pasal tersebut menyiratkan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para pihak yang berperkara dalam pasal ini suami istri dengan bantuan seorang mediator hakim. Proses mediasi dapat dilakukan pada setiap persidangan, ini berarti bahwa usaha untuk mendamaikan tidak hanya dilakukan pada sidang pertama saja yang dihadiri oleh kedua belah pihak, tetapi dapat juga dilakukan pada sidang kedua, sidang ketiga dan sidang berikutnya selama perkara belum diputus. e. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara. 11 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama Jakarta: Depag RI, 2001, h.178.

2. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Islam