Penafsiran Hamka Akhlak terhadap Allah A. Surat al-

perantaraan Malaikat lagi, akan menurunkan titah perintah Wahyu kepadanya, yaitu kitab Taurat yang akan jadi pimpinan bagi bangsanya. Tetapi Musa yang seluruh jiwanya yang suci itu telah dipenuhi oleh Al-hubb al-Ilahi. Cinta kepada Allah yang tiada taranya, memohon diberi kemuliaan yang lebih tinggi lagi. Sesudah Allah berkenan mengajaknya bercakap di belakang hijab, Musa meminta melihat rupaNya, supaya tabir dinding itu dihindarkan saja. Allah hanya memperlihatkan zatnya saja. Musa diperintahkan untuk Melihat ke atas puncak gunung itu, yaitu pertalian gunung Thursinna. Jika kelak engkau lihat gunung itu tetap pada tempatnya, di waktu itu engkau akan melihat Daku. “Maka tatkala Tuhannya telah menunjukkan diri pada gunung itu, maka menjadi hancurlah dia, dan tersungkurlah Musa, pingsan” “Syahdan setelah dia sadar, berkatalah dia: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau, dan aku adalah orang yang pertama sekali beriman” ujung ayat 143. Musa yakin Allah ada. Dia telah menjadi ilmul yaqin, dan dia tidak ada keraguan lagi.

b. Analisa

Surat al- ‘Araf ayat 143 ini menjelaskan tentang Nabi Musa yang ingin berjumpa dengan Allah, karena beliau rindu ingin berjumpa dengan Allah. Tetapi Allah tidak menunjukkan dirinya hanya zatnya saja dan Nabi Musa pun tidak sanggup melihat zat Allah tersebut.

B. Surat Thahaa ayat 12 dan 84

                     12. Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. 84. Berkata, Musa: Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha kepadaku

a. Penafsiran Hamka

Musa diperintahkan menanggalkan terompah, sesampai di lereng bukit itu. Setengah tafsir mengatakan kerena pada terompah yang dipakainya itu terdapat najis atau kotoran. Sebab itu disuruh membuka. Tetapi Sa’id bin Jubair menafsirkan, bahwasanya menanggalkan terompah karena akan menginjak bumi yang dimuliakan itu adalah menambah rasa hormat dan merendahkan diri. Sekesan dalam bagaimana masuk Ka’bah pun orang seharusnya jangan beralas kaki. Dalam ayat ini pun tersimpuhlah suatu teladan dari seorang Nabi, bagaimana dia menyediakan diri, bergegas, terburu-buru, tiada perduli kesukaran yang akan merintang di tengah jalan, bagaimanapun tingginya bukit, akan senantiasa didakinya, karena ingin menemui wajah Tuhan, karena ingin akan beroleh ridha-Nya. 2

b. Analisa