Pengaruh POLITIK LUAR NEGERI AS TERHADAP IRAN
Hendrajit et al. 2010, h. 82. Jaringan yang sudah tersusun sejak 1917 ini sulit untuk dikalahkan. Sejak awal perkembangannya, tercatat beberapa nama-nama tokoh Neo-
konservatif AS yang sangat berpengaruh terhadap formulasi kebijakan luar negeri AS. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Percy Rockefeller, Avrill Harriman, dan
McGeorge. Ketiga tokoh tersebut sangat diperhitungkan keberadaannya. Hal ini dikarenakan tokoh-tokoh tersebut merupakan penguasa perusahaan-perusahaan besar
AS seperti Standart Oil, Brown Brothers, Harriman Banking, Halliburton, dan Manhattan.
Yuliantoro 2005, h. 97 mengatakan bahwa tujuan dari kelompok Neo- konservatif AS adalah untuk mempertahankan dominasi AS diseluruh dunia dengan
segala cara. Selain itu, Wolfowitz 2000, dikutip dalam Anwar 2003, h. 17 juga menambahkan bahwa visi utama kelompok Neo-konservatif AS pasca Perang Dingin
adalah menjaga ketertiban dunia dengan mempertahankan hegemoni AS terutama keunggulan militernya serta mencegah negara lain untuk membangun kemampuan
yang dapat menyaingi hegemoni AS, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Eropa Barat, Asia Timur, wilayah bekas Uni Soviet dan Asia Barat Daya. Hal ini
yang menyebabkan para tokoh Neo-konservatif memilih untuk bertindak secara unilateralisme dalam mengeluarkan kebijakan luar negerinya.
Kelompok Neo-konservatif AS merupakan tokoh-tokoh kunci AS yang berpahaman realist pemikiran bahwa politik internasional didominasi oleh
persaingan militer antar negara Anwar 2003, h. 17. Pasca Perang Dingin peran kaum Neo-konservatif sangat terlihat. Runtuhnya Uni Soviet menjadikan para tokoh
Neo-konservatif semakin percaya diri tampil mendunia. Dengan pemahaman
realisnya, tokoh-tokoh Neo-konservatif AS secara umum menilai bahwa AS merupakan negara yang tepat untuk menjadi hegemoni dunia. Ikenberry 1989,
dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 94-95 mengatakan bahwa kelompok Neo- konservatif yakin bahwa AS dapat menjadi pemeran utama yang mengatur sistem
politik dan ekonomi internasional dengan memberikan penekanan bahwa AS memiliki kemampuan materi seperti kekuatan militer dan ekonomi untuk
mempertahankan hegemoni. Hal ini bertentangan dengan pemahaman para aliran materialis sejarah yang memandang bahwa kekuatan sosial, nilai, teori, norma,
ideologi sama pentingnya dengan kekuatan militer dan ekonomi bagi sebuah negara untuk mendapatkan dan menjalankan hegemoni Yuliantoro 2005, h. 95.
Pasca berlalunya Perang Dingin hingga terjadinya peristiwa 911 pada 2001, kelompok Neo-konservatif AS mencapai puncak kejayaannya sekaligus memperkuat
pembenarannya sebagai negara hegemoni yang mendominasi geopolitik, ekonomi, dan militer dunia Yuliantoro 2005, h. 96. Hal ini dikarenakan AS yang dikuasai
oleh kelompok Neo-konservatif semakin yakin bahwa peran hegemoni AS sangat dioptimalkan untuk mencegah bangkitnya kekuatan utama tandingan dan
mempertahankan dominasi AS dalam politik dan ekonomi internasional Yuliantoro 2005, h. 96.
Hirsh 2002, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97 mengatakan bahwa kelompok Neo-konservatif semakin menunjukkan kekuatannya setelah mengeluarkan
pernyataan politik luar negeri yang disebut go it alone menentukan dan menjalankan politik dan kebijakan luar negeri tanpa mempertimbangkan kedaulatan negara lain.
Pernyataan tersebut merupakan strategi yang dikembangkan oleh jaringan-jaringan
Neo-konservatif AS yang juga disebut sebagai Neo-imperialis Hirsh 2002, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97. Kelompok Neo-konservatif tersebut mencoba
mempertahankan hegemoni AS dalam regulasi sistem internasional. Bahkan, Foster 2003, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97 mengatakan Neo-konservatif
memberanikan diri dengan menginginkan terbentuknya sebuah imperium AS dengan didukung oleh kekuatan militer yang tak tertandingi.
Peran kelompok Neo-konservatif semakin terbuka ketika AS dipimpin oleh Presiden George W. Bush. Dalam kepemimpinannya periode 2000-2004 dan 2004-
2008, Presiden Bush menjadikan tokoh-tokoh Neo-konservatif masuk ke dalam penentu kebijakan luar negeri AS. Hal ini dikarenakan, seperti yang sudah penulis
jelaskan di atas, Presiden Bush berasal dari Partai Republik yakni Partai yang dikuasai oleh kelompok Neo-konservatif AS. Oleh sebab itu, segala kebijakan yang
akan dikeluarkan oleh Presiden Bush harus melalui perundingan antara Presiden Bush dengan tokoh-tokoh Neo-konservatif AS. Adapun tokoh Neo-konservatif di sekeliling
Presiden Bush yang sangat berpengaruh adalah Max Boot yang merupakan mantan editor Wall Street Journal yang pada masa pemerintahan Presiden Bush bergabung
dengan The Council on Foreign Relations Boot 2001, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 99. Hingga saat ini Boot merupakan salah satu tokoh Neo-konservatif yang
sangat berpengaruh di Washington Yuliantoro 2005, h. 99. Selain itu, beberapa tokoh Neo-konservatif AS lainnya seperti Paul Wolfowitz mantan Wakil Menteri
Pertahanan AS yang sekarang menjadi Presiden Direktur Bank Dunia, ketua Dewan Kebijakan Pertahanan Richard Pelre, penerbit Weekly Standart yaitu William Kristol,
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, John Bolton
Asisten Menlu Bidang Kontrol Senjata, dan Lewis Libby Kepala Staf Kantor Wakil Presiden Time 10 September 2001, h. 32-33. Semua tokoh-tokoh tersebut
merupakan tokoh-tokoh pemikir Neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush yang mengembangkan pemikiran imperialis menuju Imperium AS sejak bergabung dalam
pemerintahan Presiden Bush Senior Time 10 September 2001, h. 33. Anwar 2003, h. 17 mengatakan bahwa dalam pandangan kelompok Neo-
konservatif yang menggunakan pemahaman realis, prioritas garis keras yang diambil pada kebijakan luar negeri AS adalah melindungi kepentingan nasional AS, terutama
keamanan nasional,
tanpa perlu
mempertimbangkan komitmen-komitmen
internasional yang selama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, AS harus berani bertindak secara unilateral demi menjaga kepentingan nasionalnya.
Selama Neo-konservatif berkuasa, AS tidak akan segan-segan untuk menggunakan kekuatan militernya demi menjaga keamanan nasionalnya, karena militer dianggap
sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional Anwar 2003, h. 17. Bagi kelompok Neo-konservatif kritikan dan kecaman dari negara-negara lain tidak
menjadi pertimbangan atas tindakan unilateralisme AS. Hal yang terpenting adalah menjaga kepentingan nasionalnya termasuk di antaranya melindungi warga negara
AS baik yang berada di dalam AS maupun di luar AS, dan melindungi keamanan nasionalnya Jafar 1996, h. 117.
Jafar 1996, h. 117 menjelaskan tujuh aspek kepentingan nasional AS yang di utarakan oleh Anthony Lake selaku Mantan National Security Advisor AS pada masa
Presiden Bill Clinton yang kemudian diteruskan hingga kepemimpinan Presiden George W. Bush. Pertama, kepentingan nasional AS untuk mempertahankan AS,
warga negaranya yang berada di dalam maupun luar negeri, dan para sekutu AS dari berbagai bentuk serangan langsung. Kedua, untuk mencegah timbulnya agresi yang
dapat mengganggu perdamaian internasional. Ketiga, untuk mempertahankan kepentingan ekonomi AS. Keempat, untuk mempertahankan dan menyebarluaskan
nilai-nilai demokrasi. Kelima, untuk mencegah proliferasi senjata nuklir. Keenam, untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS, untuk itu AS harus
selalu mempertahankan komitmen-komitmen internasionalnya. Ketujuh, memerangi kemiskinan, kelaparan serta pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Pada masa kepemimpinannya, Presiden Bush menunjuk seorang menteri luar negeri yang berhaluan multilateralis yaitu Jenderal Collin Power. Akan tetapi, hal ini
tidak dapat merubah jalan kebijakan luar negeri AS yang unilateralis. Hal ini dikarenakan kuatnya pengaruh kelompok Neo-konservatif di sekeliling Presiden
Bush. Seperti yang dituliskan majalah Time 10 September 2001, h. 31 yaitu “Powell is a multilateralist, other Bush advisers are unilateralist. He’s
internationalist, they are America first ”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui
bagaimana sulitnya Powell untuk menerapkan kebijakan multilateralisme karena di sekeliling Bush adalah kelompok Neo-konservatif yang berhaluan unilateralisme.
Sejak bergabung dengan pemerintahan Presiden Bush, Powell menjadi tokoh Neo- konservatif yang peduli terhadap pihak lain atau disebut dengan compassionate Neo-
conservatism Time 10 September 2001, h. 31. Sedangkan kelompok Neo-
konservatif lainnya yang berada disekeliling Bush sama sekali tidak peduli terhadap hal-hal di luar kepentingan AS Anwar 2003, h. 17.
Peran kelompok Neo-konservatif AS selalu diperhitungkan sekalipun AS dipimpin oleh Presiden Barack Obama yang menjadi Presiden AS pada periode 2008-
2012 Sidik, Antaranews, 6 Februari 2008. Kebijakan luar negeri Presiden Obama lebih kepada jalur perdamaian, kerjasama dan diplomasi Sidik, Antaranews, 6
Februari 2008. Akan tetapi, kebijakan luar negeri Presiden Obama tidak menjadikan eksistensi kelompok Neo-konservatif AS menurun. Tercatat kelompok Neo-
konservatif AS semakin mencetak generasi baru untuk meneruskan peran kelompok Neo-konservatif AS sewaktu masa Presiden George W. Bush. Tokoh tersebut seperti
Samantha Power yang kini menjabat sebagai Penasihat Khusus Presiden Obama di Dewan Keamanan Nasional AS bidang Hak Asasi Manusia Permatasari, Media
Indonesia Online, 1 April 2011. Samantha Power juga merupakan tokoh Neo- konservatif AS yang berasal dari lulusan Universitas Yale Permatasari, Media
Indonesia Online, 1 April 2011.