Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran
domestik lainnya yang begitu penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Iran seperti yang sudah penulis paparkan sebelumnya. Pengembangan nuklir Iran juga
diyakini sebagai alat bargaining power Iran terhadap Israel yang merupakan satu- satunya negara yang memiliki bom nuklir di kawasan Timur Tengah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Labib et al. 2006, h. 87-88 yang mengatakan bahwa “alasan dan
tujuan Iran mengembangkan teknologi nuklirnya adalah sebagai alternatif pengalihan sumber energi listrik dari pembakaran BBM, teknologi nuklir juga sebagai
bargaining power di kawasan Timur Tengah terhadap Israel selaku sekutu dekat AS
yang menentang pengembangan teknol ogi nuklir Iran”. Apabila AS dan Sekutunya
menginginkan penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur militer, maka langkah tersebut tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah melainkan semakin
merumitkan permasalahan. Perubahan kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran ditandai oleh
kesedian AS untuk mau mempertimbangkan penyelesaian melalui jalur diplomasi terhadap sengketa nuklir Iran IRI Broadcasting, 7 Desember 2010. Misalnya,
Shoelhi 2007, h. 171 mengatakan bahwa AS akan mempertimbangkan tawaran Iran mengenai akan diadakannya suatu konsorsium penelitian nuklir Iran yang diketuai
oleh Perancis. Akan tetapi, pertimbangan AS ini dikritik oleh Israel selaku sekutu AS di Timur Tengah. Menurut laporan Republika Online 14 Desember 2010 Israel
melalui Perdana Menterinya Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa “satu-satunya cara untuk menghentikan nuklir Iran adalah dengan menyerang negara tersebut
melalui jalur militer bukan melalui perundingan damai”. Pernyataan Perdana Menteri Israel ini secara langsung mendapat kecaman dari Rusia dan Cina. Menurut kedua
negara tersebut pernyataan semacam itu hanya memperkeruh sengketa nuklir Iran dan hanya memperpanjang perang urat syaraf psywar antara Iran dengan AS Gogary
2007, h. 253. Kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran yang semula bersikap
menekan berubah menjadi mengedepankan solusi diplomasi. Perubahan kebijakan tersebut dimulai pada Desember 2010 yang dibarengi dengan pertemuan pertama
antara Iran beserta negara 5+1 di Jenewa Swiss IRI Broadcasting, 7 Desember 2010. Perubahan kebijakan tersebut juga dilakukan setelah tidak adanya dukungan
internasional untuk menghentikan pengembangan teknologi nuklir Iran melalui jalur militer IRI Broadcasting, 4 Mei 2006.
Antaranews 31 Maret 2010 melaporkan bahwa dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, Presiden Obama mengatakan bahwa AS
tidak mendapat dukungan suara bulat dari negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman dan serangan militer kepada Iran. Selain itu, menurut analisa penulis seperti
yang telah penulis paparkan pada Bab II beberapa sanksi yang dijatuhkan DK-PBB Lihat hlm. 49-51 terbukti tidak berpengaruh terhadap ambisi Iran untuk
mengembangkan teknologi nuklirnya Gogary 2007, h. 314. Iran semakin berkembang dengan teknologi nuklirnya. Hal ini dikarenakan para pemuda-pemudi
Iran telah menguasai teknologi nuklir Labib et al. 2006, h. 189. Sehingga Iran tidak perlu banyak bergantung kepada negara lain dalam pengembangan teknologi
nuklirnya IRI Broadcasting, 11 September 2010. Jafar 2006, h. 17 mengatakan bahwa hal tersebut dibuktikan dengan semakin
bertambahnya tempat instalasi pengembangan nuklir Iran yang semula hanya empat
instalasi menjadi sembilan instalasi. Instalasi tersebut di antaranya adalah Saghand, Ardkan, Gehine, Asfahan, Natanz, Teheran, Bushehr, Arak dan Anarak. Sejak awal
2010 instalasi Bushehr telah beroperasi memproduksi listrik dalam jumlah sedang yang dialirkan ke seluruh wilayah Iran Sunariah, Tempo Interaktif, 10 Mei 2011.
Dalam waktu dekat instalasi nuklir Iran akan segera mengalirkan energi listrik ke negara-negara kawasan Teluk IRI Broadcasting, 11 September 2010.
Mengamati peningkatan teknologi nuklir Iran, maka AS merespon dengan meminta Iran menyerahkan hasil produksi sisa uraniumnya kepada IAEA guna
mencegah sisa hasil uranium tersebut digunakan untuk memperoleh senjata nuklir Hileudnews, 29 Juli 2010. Gogary 2007, h. 282 mengatakan bahwa Iran telah
mampu memproduksi uranium sampai level 3,5 persen melalui 164 perangkat sentrifugal. Level tersebut adalah level minimal yang harus dicapai untuk
memproduksi tenaga listrik nuklir. Sedangkan level produksi uranium untuk mencapai senjata nuklir harus mencapai 92 persen dengan menggunakan uranium
jenis 235 bervolume tinggi Gogary 2007, h. 277. Hal ini menunjukkan bahwa Iran tidak memproduksi uranium yang berlebihan yang dapat mengembangkan suatu bom
nuklir. Pada perkembangannya, Iran mengumumkan kepada IAEA bahwa Iran
berencana akan memproduksi uranium ke tingkat 20 persen Hileudnews, 29 Juli 2010. Hal ini dilakukan Iran karena tingginya permintaan listrik domestik Iran yang
selama ini mengandalkan dari tenaga hidrolik dan pembakaran BBM. IAEA pun sepakat, begitu juga dengan DK-PBB yang mengusulkan penambahan uranium ke
level 20 persen dilakukan di Perancis dan Rusia. Akan tetapi, usulan DK-PBB ini
ditolak Iran, karena Iran tetap menginginkan peningkatan level uraniumnya diproduksi di dalam negeri. Iran telah memiliki ilmuwan-ilmuwan dalam negeri yang
telah menguasai bidang teknologi nuklir Labib et al. 2006, h. 189. Sehingga, menurut Ali Akbar Salehi selaku ketua badan energi nuklir Iran mengatakan bahwa
“produksi uranium tidak perlu dilakukan di negara lain, Iran mampu untuk memproduksi sendiri bahan bakar penghasil energi nuklir” IRI Broadcasting, 11
September 2010. AS menyadari Iran merupakan kekuatan yang perlu dipertimbangkan bagi
kepentingan nasional AS di Timur Tengah Gogary 2007, h. 255. Melalui pengembangan teknologi nuklir, Iran telah menjadi negara maju di kawasan Timur
Tengah. Kemajuan Iran memaksa AS untuk memperlunak sikap kebijakan luar negerinya. Pasalnya, pasca pengembangan teknologi nuklir, Iran berhasil mendapat
dukungan negara-negara di kawasan Teluk yang menjadi poros kekuatan Iran. Di antaranya, Mesir pasca tumbangnya rezim Presiden Husni Mubarok, negara ini
berkoalisi dengan Iran untuk mewujudkan perdamaian di kawasan IRI Broadcasting, 4 Juni 2011. Suriah yang mayoritas penduduknya bermazhab Shia salah satu aliran
Mazhab dalam agama Islam mendukung legalitas nuklir yang dikembangkan Iran IRI Broadcasting, 9 Mei 2010.
Berikutnya, Turki melalui Perdana Menteri Reccep Tayip Erdogan mendukung secara penuh hak legal bangsa Iran mengembangkan nuklir untuk tujuan
damai dan mengecam senjata nuklir yang dimiliki Israel IRI Broadcasting, 9 Mei 2010. Kelompok Muslim Shia Irak yang berjumlah 60 persen dari penduduk Muslim
di Irak siap membantu Iran dari ancaman serangan AS dan Israel Gogary 2007, h.
318. Kemudian, Raja Abdullah dari Yordania bersedia menghadiri undangan Presiden Mahmoud Ahmadinejad untuk membicarakan peran kedua negara di
kawasan Timur Tengah dan mendukung nuklir Iran untuk tujuan damai IRI Broadcasting, 25 Desember 2010. Berikutnya Hamas Palestina, dan Hizbullah
Lebanon mendukung penuh hak bangsa Iran dalam pengembangan nuklirnya, dan bersedia membantu Iran dari ancaman serangan AS dan Israel Kazhim dan Hamzah
2007, h. 154. Hal di atas menyebabkan AS memperlunak kebijakan luar negerinya dalam
merespon pengembangan teknologi nuklir Iran. Tidak hanya itu, hal di atas juga menyebabkan keberadaan Israel menjadi terancam. Menurut Riza Sihbudi selaku Ahli
Peneliti Utama dan Pakar Ahli Politik Timur Tengah P2P LIPI Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta dalam wawancara pada 20 Juni
2011, mengatakan bahwa “negara-negara kawasan Timur Tengah telah mengetahui
Israel memiliki senjata nuklir yang berhulu ledak tinggi, sehingga memaksa negara- negara di kawasan Teluk membuat kesepakatan untuk membersihkan dan
membebaskan kawasan Timur Tengah dari ancaman senjata nuklir. Namun, hal ini tidak dihiraukan oleh Israel walaupun telah mendapat kritik dan kecaman dari negara-
negara kawasan Teluk ”.
Kemudian, Riza Sihbudi menambahkan “Israel tidak akan melucuti senjata nuklirnya, karena Israel merasa kuat dengan adanya dukungan penuh dari AS untuk
menjaga keberadaannya di Timur Tengah. Akan tetapi, usulan Israel yang mendesak agar AS melakukan serangan terhadap Iran ditolak AS. Penolakan tersebut karena AS
tidak ingin membuka konflik baru di Timur Tengah setelah invasi militernya ke
Afganistan 2001 dan Irak 2003 yang belum terselesaikan hingga saat ini. Selain itu, anggaran dalam negeri AS menipis akibat invasi tersebut yang menghabiskan
biaya ± US 3 triliun serta tidak adanya d ukungan publik domestik AS”.
Pada perkembangannya, AS menerapkan kebijakan diplomatis kepada Iran dalam merespon pengembangan teknologi nuklir Iran. Menurut analisa penulis, hal
ini dilakukan AS karena jika sengketa nuklir Iran diselesaikan dengan jalur militer tentu akan berdampak signifikan bagi keamanan kawasan Timur Tengah. Seperti
yang telah penulis jelaskan di atas, AS menyadari keberadaan Iran beserta poros kekuatannya. Oleh sebab itu, AS tidak ingin mengambil resiko besar akibat dari
serangan militer ke Iran yang akan mengancam kepentingan AS di Timur Tengah. Untuk tetap menjaga posisi dan pengaruhnya di kawasan, AS menerapkan
kebijakan diplomasi terhadap Iran mengenai penyelesaian sengketa nuklir Iran. Hal ini juga disebabkan karena negara perwakilan Uni Eropa yakni Inggris, Jerman dan
Perancis menyadari pendekatan diplomasi merupakan satu-satunya cara realistis untuk menyelesaikan sengketa nuklir Iran yang harus diterima.
A.2. Solusi Diplomasi Kepada Iran
Seperti yang telah penulis paparkan dalam Bab II dan III bahwa respon AS terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran adalah dengan memberikan tekanan
politik, ekonomi, dan keamanan terhadap Iran. Tekanan tersebut bertujuan agar Iran memberhentikan pengembangan nuklirnya. Namun, secara drastis AS merubah
kebijakannya tersebut dengan mengupayakan penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur diplomasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama Riza Sihbudi
selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Timur Tengah P2P LIPI Jakarta pada 20 Juni 2011 yang mengatakan bahwa
“AS dan negara-negara anggota DK-PBB lebih mengedepankan solusi perundingan damai. Hal ini dikarenakan, sekutu kuat AS di
Eropa yaitu Inggris, Perancis dan Jerman memperhatikan permasalahan di Afganistan dan Irak yang belum terselesaikan. Negara-negara tersebut mementingkan dampak
buruk yang akan terjadi dari serangan militer ke Iran. Kemudian, Cina dan Rusia juga menyetujui penyelesaian melalui jalur diplomasi. Hal ini dikarenakan Cina dan Rusia
memiliki kedekatan hubungan bilateral dengan Iran. Selain itu, Cina dan Rusia turut membantu pengembangan instalasi teknologi nuklir Iran. Oleh sebab itu, negara-
negara maju tersebut lebih mengedepankan jalur diplomasi ”.
Menurut analisa penulis, selain hal di atas, cara penekanan diplomasi yang dilakukan negara-negara 5+1 negara-negara yang tergabung dalam anggota tetap
DK-PBB ditambah Jerman disebabkan karena tidak adanya dukungan menyeluruh dari dunia internasional terhadap langkah represif AS dan Sekutu dalam merespon
pengembangan nuklir Iran. Buktinya mayoritas negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam
OKI menyatakan
dukungannya terhadap
pengembangan teknologi nuklir Iran Jamaan 2007, h. 52. Selanjutnya, Jamaan juga menambahkan tidak hanya OKI, negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-
Blok GNB juga menyatakan dukungan penuh terhadap hak Iran mengembangkan teknologi nuklir selama bertujuan damai Jamaan 2007, h. 52. Belum lagi aliansi
sayap kiri yang tergabung dalam negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Kuba dan Nicaragua juga mendukung hak legal bangsa Iran untuk
mengembangkan teknologi nuklir Gogary 2007, h. 143-147.
Negara-negara dan organisasi dunia di atas mendukung penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui diplomasi. Oleh sebab itu, AS memperlunak kebijakan luar
negerinya terhadap Iran. Holsti 1992, h. 469 mengatakan bahwa “perumusan
kebijakan luar negeri harus memperhatikan situasi yang mencangkup faktor eksternal, domestik, dan kondisi kontemporer historis yang dianggap pembuat kebijakan luar
negeri relevan dengan setiap masalah politik tertentu ”.
Menurut analisa penulis, pernyataan di atas relevan melihat situasi kondisi yang sedang dihadapi AS. Pada faktor eksternal, mayoritas negara-negara di dunia
menentang penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur militer dan mendukung hak legal bangsa Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir selama bertujuan
damai. Melihat keadaan seperti ini, AS merubah kebijakan luar negerinya yang semula begitu represif menjadi membuka jalur diplomasi kepada Iran dalam
menyelesaikan sengketa nuklir. Ditinjau dari segi internal, apabila AS melancarkan serangan ke Iran maka akan berdampak signifikan terhadap posisi dan kepentingan
AS di Timur Tengah. Jika itu terjadi, maka harga minyak akan menjadi tinggi dan AS akan terancam mengalami krisis minyak yang berkepanjangan.
Tidak hanya itu, menurut analisa penulis, faktor internal lainnya adalah krisis ekonomi global AS yang terjadi pada 2008. Krisis tersebut diakibatkan oleh invasi
AS ke Afganistan 2001 dan invasi ke Irak 2003. Invasi tersebut menghabiskan biaya ± US 3 triliun yang sangat merugikan anggaran dalam negeri AS. Penyebab
lain dari krisis tersebut adalah adanya kredit macet oleh masyarakat AS yang mengambil kredit rumah melalui jasa perbankan. Kemudian, di sektor politik, adanya
kejenuhan masyarakat AS terhadap Presiden George W. Bush yang berasal dari Partai
Republik atas kebijakan perang yang diterapkannya. Pasalnya, masyarakat AS jenuh terhadap peperangan yang dilakukan AS. Masyarakat AS menginginkan situasi yang
damai tanpa adanya peperangan. Hal ini menyebabkan naiknya suara Presiden Barack Obama dari golongan Partai Demokrat dan berhasil merebut kursi kepresidenan AS
pada pemilu tahun 2008. Masyarakat AS mendukung kebijakan Presiden Obama yang mengedepankan kerjasama dan perundingan damai untuk menyelesaikan
sengketa internasional. Oleh sebab itu, AS mengabaikan keinginan Israel yang mendesak untuk melakukan serangan militer terhadap Iran. Karena AS lebih
memperhitungkan konsekuensi yang akan ditanggung apabila melakukan serangan militer ke Iran ketimbang menuruti keinginan Israel.
Tercatat telah terjadi dua kali pertemuan antara Iran dengan negara-negara 5+1 AS, Inggris, Perancis, Cina, Rusia dan Jerman. Pertemuan pertama dilakukan
pada tanggal 6-7 Desember 2010 di Jenewa, Swiss IRI Broadcasting, 7 Desember 2010. Pertemuan pertama tersebut menghasilkan sebuah harapan yang baik dan
konstruktif. Karena, menurut Antaranews 8 Desember 2010 dalam proses pertemuan tersebut, Cathrene Ashtone selaku wakil diplomatik negara 5+1 mengakui
hak kedaulatan Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir. Akan tetapi menurutnya, Iran harus memberikan jaminan kepada masyarakat internasional dan
tetap menjalankan lima sanksi DK-PBB yang telah diberlakukan kepada Iran. Menanggapi hal tersebut, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa
jika para negosiator datang bertemu tetapi tidak untuk mencabut sanksi yang telah mereka terapkan kepada Iran, maka sesungguhnya pertemuan tersebut tidak akan
membuahkan hasil dan kesamaan pandangan Antaranews, 8 Desember 2010.
Pertemuan di Jenewa tersebut memang belum menghasilkan suatu pernyataan dan keputusan. Akan tetapi, pertemuan tersebut menjadi langkah awal para negara-
negara 5+1 dan Iran untuk melanjutkan pertemuan mengenai nuklir Iran pada bulan berikutnya. Saeed Jalili selaku ketua tim runding Iran mengatakan bahwa
“antara Iran dan negara 5+1 akan memulai perundingan kembali di Istanbul Turki untuk
mendiskusikan kerjasama dan kesamaan pandangan ” Antaranews, 8 Desember
2010. Kemudian Saeed Jalili menambahkan bahwa “pertemuan ini merupakan
kepentingan masyarakat internasional yang menginginkan jaminan terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran. Iran membuktikannya dengan diadakannya
pertemuan tersebut untuk membahas secara rinci mengenai pengembangan nuklir Iran” Hileudnews, 6 Desember 2010.
Pertemuan kedua dilaksanakan di Istanbul, Turki pada 21-22 Januari 2011 Metrotvnews, 11 Januari 2011. Pada pertemuan ini tidak menghasilkan suatu
kesepakatan antara pihak negara 5+1 dengan Iran. Tiap-tiap pihak bersikeras kepada kemauan masing-masing. Pihak Iran menginginkan pencabutan sanksi terhadap Iran
dan diplomasi atas dasar akal sehat sesuai kerangka yang berlaku di NPT yakni setiap negara berhak mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Sebaliknya, pihak negara
5+1 yang diwakili oleh Cathrene Ashtone menginginkan Iran menghentikan pengayaan uraniumnya, jika tidak maka negara 5+1 akan menambahkan sanksi baru
kepada Iran Antaranews, 22 Januari 2011. Namun, dari hasil pertemuan tersebut, Hileudnews 29 Juli 2010 melaporkan Iran bersedia untuk mengurangi produksi
uraniumnya dari level 20 persen apabila negara-negara 5+1 bersedia mencabut sanksi dan embargo yang diberlakukan terhadap Iran. Hal ini ditawarkan Iran untuk
mengurangi kecurigaan negara-negara 5+1 terhadap pengembangan nuklir Iran. Namun belum ada respon dari negara-negara tersebut terkait penawaran tersebut.
Menurut analisa penulis, kekhawatiran dan kecurigaan negara-negara penentang nuklir Iran sangat wajar. Karena dalam pemahaman Neo-realis keadaan
sistem internasional yang anarkis setiap negara yang memiliki kekuatan mencoba untuk terlibat dan mengikuti sistem tersebut untuk menunjukkan dan
mendistribusikan kemampuan unit dalam sistem Burchill dan Linklater 2007, h. 117. Dalam kasus nuklir Iran, negara-negara yang memiliki kekuatan dominan
mencoba untuk terlibat dalam kasus nuklir tersebut. Pada dasarnya pengembangan teknologi nuklir Iran timbul karena sistem internasional yang anarkis. Pengembangan
teknologi nuklir Iran dimunculkan sebagai penyeimbang kekuataan negara-negara di dunia dan kawasan. Namun, Iran memiliki tujuan utama yang spesifik berdasarkan
kepentingan nasional negaranya, yakni mengembangkan teknologi nuklir untuk kemajuan riset teknologi dan keperluan sipil bukan untuk keperluan militer. Oleh
sebab itu, atas dasar kepentingan nasional bangsa Iran, pemerintah Iran terus memperjuangkan pengembangan teknologi nuklir Iran walaupun mendapat tekanan
dari berbagai pihak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Frankel 1988, h. 93 yang mengatakan
bahwa “kepentingan nasional merupakan kunci utama dari konsep kebijakan luar
negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa
”. Menurut analisa penulis, Iran terus berupaya mempertahankan kepentingan nasionalnya. Upaya yang dilakukan pemerintah Iran adalah dengan menerapkan suatu
usaha diplomasi terhadap segala macam bentuk tekanan AS dan Sekutu.