Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran

domestik lainnya yang begitu penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Iran seperti yang sudah penulis paparkan sebelumnya. Pengembangan nuklir Iran juga diyakini sebagai alat bargaining power Iran terhadap Israel yang merupakan satu- satunya negara yang memiliki bom nuklir di kawasan Timur Tengah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Labib et al. 2006, h. 87-88 yang mengatakan bahwa “alasan dan tujuan Iran mengembangkan teknologi nuklirnya adalah sebagai alternatif pengalihan sumber energi listrik dari pembakaran BBM, teknologi nuklir juga sebagai bargaining power di kawasan Timur Tengah terhadap Israel selaku sekutu dekat AS yang menentang pengembangan teknol ogi nuklir Iran”. Apabila AS dan Sekutunya menginginkan penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur militer, maka langkah tersebut tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah melainkan semakin merumitkan permasalahan. Perubahan kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran ditandai oleh kesedian AS untuk mau mempertimbangkan penyelesaian melalui jalur diplomasi terhadap sengketa nuklir Iran IRI Broadcasting, 7 Desember 2010. Misalnya, Shoelhi 2007, h. 171 mengatakan bahwa AS akan mempertimbangkan tawaran Iran mengenai akan diadakannya suatu konsorsium penelitian nuklir Iran yang diketuai oleh Perancis. Akan tetapi, pertimbangan AS ini dikritik oleh Israel selaku sekutu AS di Timur Tengah. Menurut laporan Republika Online 14 Desember 2010 Israel melalui Perdana Menterinya Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa “satu-satunya cara untuk menghentikan nuklir Iran adalah dengan menyerang negara tersebut melalui jalur militer bukan melalui perundingan damai”. Pernyataan Perdana Menteri Israel ini secara langsung mendapat kecaman dari Rusia dan Cina. Menurut kedua negara tersebut pernyataan semacam itu hanya memperkeruh sengketa nuklir Iran dan hanya memperpanjang perang urat syaraf psywar antara Iran dengan AS Gogary 2007, h. 253. Kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran yang semula bersikap menekan berubah menjadi mengedepankan solusi diplomasi. Perubahan kebijakan tersebut dimulai pada Desember 2010 yang dibarengi dengan pertemuan pertama antara Iran beserta negara 5+1 di Jenewa Swiss IRI Broadcasting, 7 Desember 2010. Perubahan kebijakan tersebut juga dilakukan setelah tidak adanya dukungan internasional untuk menghentikan pengembangan teknologi nuklir Iran melalui jalur militer IRI Broadcasting, 4 Mei 2006. Antaranews 31 Maret 2010 melaporkan bahwa dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, Presiden Obama mengatakan bahwa AS tidak mendapat dukungan suara bulat dari negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman dan serangan militer kepada Iran. Selain itu, menurut analisa penulis seperti yang telah penulis paparkan pada Bab II beberapa sanksi yang dijatuhkan DK-PBB Lihat hlm. 49-51 terbukti tidak berpengaruh terhadap ambisi Iran untuk mengembangkan teknologi nuklirnya Gogary 2007, h. 314. Iran semakin berkembang dengan teknologi nuklirnya. Hal ini dikarenakan para pemuda-pemudi Iran telah menguasai teknologi nuklir Labib et al. 2006, h. 189. Sehingga Iran tidak perlu banyak bergantung kepada negara lain dalam pengembangan teknologi nuklirnya IRI Broadcasting, 11 September 2010. Jafar 2006, h. 17 mengatakan bahwa hal tersebut dibuktikan dengan semakin bertambahnya tempat instalasi pengembangan nuklir Iran yang semula hanya empat instalasi menjadi sembilan instalasi. Instalasi tersebut di antaranya adalah Saghand, Ardkan, Gehine, Asfahan, Natanz, Teheran, Bushehr, Arak dan Anarak. Sejak awal 2010 instalasi Bushehr telah beroperasi memproduksi listrik dalam jumlah sedang yang dialirkan ke seluruh wilayah Iran Sunariah, Tempo Interaktif, 10 Mei 2011. Dalam waktu dekat instalasi nuklir Iran akan segera mengalirkan energi listrik ke negara-negara kawasan Teluk IRI Broadcasting, 11 September 2010. Mengamati peningkatan teknologi nuklir Iran, maka AS merespon dengan meminta Iran menyerahkan hasil produksi sisa uraniumnya kepada IAEA guna mencegah sisa hasil uranium tersebut digunakan untuk memperoleh senjata nuklir Hileudnews, 29 Juli 2010. Gogary 2007, h. 282 mengatakan bahwa Iran telah mampu memproduksi uranium sampai level 3,5 persen melalui 164 perangkat sentrifugal. Level tersebut adalah level minimal yang harus dicapai untuk memproduksi tenaga listrik nuklir. Sedangkan level produksi uranium untuk mencapai senjata nuklir harus mencapai 92 persen dengan menggunakan uranium jenis 235 bervolume tinggi Gogary 2007, h. 277. Hal ini menunjukkan bahwa Iran tidak memproduksi uranium yang berlebihan yang dapat mengembangkan suatu bom nuklir. Pada perkembangannya, Iran mengumumkan kepada IAEA bahwa Iran berencana akan memproduksi uranium ke tingkat 20 persen Hileudnews, 29 Juli 2010. Hal ini dilakukan Iran karena tingginya permintaan listrik domestik Iran yang selama ini mengandalkan dari tenaga hidrolik dan pembakaran BBM. IAEA pun sepakat, begitu juga dengan DK-PBB yang mengusulkan penambahan uranium ke level 20 persen dilakukan di Perancis dan Rusia. Akan tetapi, usulan DK-PBB ini ditolak Iran, karena Iran tetap menginginkan peningkatan level uraniumnya diproduksi di dalam negeri. Iran telah memiliki ilmuwan-ilmuwan dalam negeri yang telah menguasai bidang teknologi nuklir Labib et al. 2006, h. 189. Sehingga, menurut Ali Akbar Salehi selaku ketua badan energi nuklir Iran mengatakan bahwa “produksi uranium tidak perlu dilakukan di negara lain, Iran mampu untuk memproduksi sendiri bahan bakar penghasil energi nuklir” IRI Broadcasting, 11 September 2010. AS menyadari Iran merupakan kekuatan yang perlu dipertimbangkan bagi kepentingan nasional AS di Timur Tengah Gogary 2007, h. 255. Melalui pengembangan teknologi nuklir, Iran telah menjadi negara maju di kawasan Timur Tengah. Kemajuan Iran memaksa AS untuk memperlunak sikap kebijakan luar negerinya. Pasalnya, pasca pengembangan teknologi nuklir, Iran berhasil mendapat dukungan negara-negara di kawasan Teluk yang menjadi poros kekuatan Iran. Di antaranya, Mesir pasca tumbangnya rezim Presiden Husni Mubarok, negara ini berkoalisi dengan Iran untuk mewujudkan perdamaian di kawasan IRI Broadcasting, 4 Juni 2011. Suriah yang mayoritas penduduknya bermazhab Shia salah satu aliran Mazhab dalam agama Islam mendukung legalitas nuklir yang dikembangkan Iran IRI Broadcasting, 9 Mei 2010. Berikutnya, Turki melalui Perdana Menteri Reccep Tayip Erdogan mendukung secara penuh hak legal bangsa Iran mengembangkan nuklir untuk tujuan damai dan mengecam senjata nuklir yang dimiliki Israel IRI Broadcasting, 9 Mei 2010. Kelompok Muslim Shia Irak yang berjumlah 60 persen dari penduduk Muslim di Irak siap membantu Iran dari ancaman serangan AS dan Israel Gogary 2007, h. 318. Kemudian, Raja Abdullah dari Yordania bersedia menghadiri undangan Presiden Mahmoud Ahmadinejad untuk membicarakan peran kedua negara di kawasan Timur Tengah dan mendukung nuklir Iran untuk tujuan damai IRI Broadcasting, 25 Desember 2010. Berikutnya Hamas Palestina, dan Hizbullah Lebanon mendukung penuh hak bangsa Iran dalam pengembangan nuklirnya, dan bersedia membantu Iran dari ancaman serangan AS dan Israel Kazhim dan Hamzah 2007, h. 154. Hal di atas menyebabkan AS memperlunak kebijakan luar negerinya dalam merespon pengembangan teknologi nuklir Iran. Tidak hanya itu, hal di atas juga menyebabkan keberadaan Israel menjadi terancam. Menurut Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Politik Timur Tengah P2P LIPI Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta dalam wawancara pada 20 Juni 2011, mengatakan bahwa “negara-negara kawasan Timur Tengah telah mengetahui Israel memiliki senjata nuklir yang berhulu ledak tinggi, sehingga memaksa negara- negara di kawasan Teluk membuat kesepakatan untuk membersihkan dan membebaskan kawasan Timur Tengah dari ancaman senjata nuklir. Namun, hal ini tidak dihiraukan oleh Israel walaupun telah mendapat kritik dan kecaman dari negara- negara kawasan Teluk ”. Kemudian, Riza Sihbudi menambahkan “Israel tidak akan melucuti senjata nuklirnya, karena Israel merasa kuat dengan adanya dukungan penuh dari AS untuk menjaga keberadaannya di Timur Tengah. Akan tetapi, usulan Israel yang mendesak agar AS melakukan serangan terhadap Iran ditolak AS. Penolakan tersebut karena AS tidak ingin membuka konflik baru di Timur Tengah setelah invasi militernya ke Afganistan 2001 dan Irak 2003 yang belum terselesaikan hingga saat ini. Selain itu, anggaran dalam negeri AS menipis akibat invasi tersebut yang menghabiskan biaya ± US 3 triliun serta tidak adanya d ukungan publik domestik AS”. Pada perkembangannya, AS menerapkan kebijakan diplomatis kepada Iran dalam merespon pengembangan teknologi nuklir Iran. Menurut analisa penulis, hal ini dilakukan AS karena jika sengketa nuklir Iran diselesaikan dengan jalur militer tentu akan berdampak signifikan bagi keamanan kawasan Timur Tengah. Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, AS menyadari keberadaan Iran beserta poros kekuatannya. Oleh sebab itu, AS tidak ingin mengambil resiko besar akibat dari serangan militer ke Iran yang akan mengancam kepentingan AS di Timur Tengah. Untuk tetap menjaga posisi dan pengaruhnya di kawasan, AS menerapkan kebijakan diplomasi terhadap Iran mengenai penyelesaian sengketa nuklir Iran. Hal ini juga disebabkan karena negara perwakilan Uni Eropa yakni Inggris, Jerman dan Perancis menyadari pendekatan diplomasi merupakan satu-satunya cara realistis untuk menyelesaikan sengketa nuklir Iran yang harus diterima. A.2. Solusi Diplomasi Kepada Iran Seperti yang telah penulis paparkan dalam Bab II dan III bahwa respon AS terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran adalah dengan memberikan tekanan politik, ekonomi, dan keamanan terhadap Iran. Tekanan tersebut bertujuan agar Iran memberhentikan pengembangan nuklirnya. Namun, secara drastis AS merubah kebijakannya tersebut dengan mengupayakan penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur diplomasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Timur Tengah P2P LIPI Jakarta pada 20 Juni 2011 yang mengatakan bahwa “AS dan negara-negara anggota DK-PBB lebih mengedepankan solusi perundingan damai. Hal ini dikarenakan, sekutu kuat AS di Eropa yaitu Inggris, Perancis dan Jerman memperhatikan permasalahan di Afganistan dan Irak yang belum terselesaikan. Negara-negara tersebut mementingkan dampak buruk yang akan terjadi dari serangan militer ke Iran. Kemudian, Cina dan Rusia juga menyetujui penyelesaian melalui jalur diplomasi. Hal ini dikarenakan Cina dan Rusia memiliki kedekatan hubungan bilateral dengan Iran. Selain itu, Cina dan Rusia turut membantu pengembangan instalasi teknologi nuklir Iran. Oleh sebab itu, negara- negara maju tersebut lebih mengedepankan jalur diplomasi ”. Menurut analisa penulis, selain hal di atas, cara penekanan diplomasi yang dilakukan negara-negara 5+1 negara-negara yang tergabung dalam anggota tetap DK-PBB ditambah Jerman disebabkan karena tidak adanya dukungan menyeluruh dari dunia internasional terhadap langkah represif AS dan Sekutu dalam merespon pengembangan nuklir Iran. Buktinya mayoritas negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam OKI menyatakan dukungannya terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran Jamaan 2007, h. 52. Selanjutnya, Jamaan juga menambahkan tidak hanya OKI, negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non- Blok GNB juga menyatakan dukungan penuh terhadap hak Iran mengembangkan teknologi nuklir selama bertujuan damai Jamaan 2007, h. 52. Belum lagi aliansi sayap kiri yang tergabung dalam negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Kuba dan Nicaragua juga mendukung hak legal bangsa Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir Gogary 2007, h. 143-147. Negara-negara dan organisasi dunia di atas mendukung penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui diplomasi. Oleh sebab itu, AS memperlunak kebijakan luar negerinya terhadap Iran. Holsti 1992, h. 469 mengatakan bahwa “perumusan kebijakan luar negeri harus memperhatikan situasi yang mencangkup faktor eksternal, domestik, dan kondisi kontemporer historis yang dianggap pembuat kebijakan luar negeri relevan dengan setiap masalah politik tertentu ”. Menurut analisa penulis, pernyataan di atas relevan melihat situasi kondisi yang sedang dihadapi AS. Pada faktor eksternal, mayoritas negara-negara di dunia menentang penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur militer dan mendukung hak legal bangsa Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir selama bertujuan damai. Melihat keadaan seperti ini, AS merubah kebijakan luar negerinya yang semula begitu represif menjadi membuka jalur diplomasi kepada Iran dalam menyelesaikan sengketa nuklir. Ditinjau dari segi internal, apabila AS melancarkan serangan ke Iran maka akan berdampak signifikan terhadap posisi dan kepentingan AS di Timur Tengah. Jika itu terjadi, maka harga minyak akan menjadi tinggi dan AS akan terancam mengalami krisis minyak yang berkepanjangan. Tidak hanya itu, menurut analisa penulis, faktor internal lainnya adalah krisis ekonomi global AS yang terjadi pada 2008. Krisis tersebut diakibatkan oleh invasi AS ke Afganistan 2001 dan invasi ke Irak 2003. Invasi tersebut menghabiskan biaya ± US 3 triliun yang sangat merugikan anggaran dalam negeri AS. Penyebab lain dari krisis tersebut adalah adanya kredit macet oleh masyarakat AS yang mengambil kredit rumah melalui jasa perbankan. Kemudian, di sektor politik, adanya kejenuhan masyarakat AS terhadap Presiden George W. Bush yang berasal dari Partai Republik atas kebijakan perang yang diterapkannya. Pasalnya, masyarakat AS jenuh terhadap peperangan yang dilakukan AS. Masyarakat AS menginginkan situasi yang damai tanpa adanya peperangan. Hal ini menyebabkan naiknya suara Presiden Barack Obama dari golongan Partai Demokrat dan berhasil merebut kursi kepresidenan AS pada pemilu tahun 2008. Masyarakat AS mendukung kebijakan Presiden Obama yang mengedepankan kerjasama dan perundingan damai untuk menyelesaikan sengketa internasional. Oleh sebab itu, AS mengabaikan keinginan Israel yang mendesak untuk melakukan serangan militer terhadap Iran. Karena AS lebih memperhitungkan konsekuensi yang akan ditanggung apabila melakukan serangan militer ke Iran ketimbang menuruti keinginan Israel. Tercatat telah terjadi dua kali pertemuan antara Iran dengan negara-negara 5+1 AS, Inggris, Perancis, Cina, Rusia dan Jerman. Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 6-7 Desember 2010 di Jenewa, Swiss IRI Broadcasting, 7 Desember 2010. Pertemuan pertama tersebut menghasilkan sebuah harapan yang baik dan konstruktif. Karena, menurut Antaranews 8 Desember 2010 dalam proses pertemuan tersebut, Cathrene Ashtone selaku wakil diplomatik negara 5+1 mengakui hak kedaulatan Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir. Akan tetapi menurutnya, Iran harus memberikan jaminan kepada masyarakat internasional dan tetap menjalankan lima sanksi DK-PBB yang telah diberlakukan kepada Iran. Menanggapi hal tersebut, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa jika para negosiator datang bertemu tetapi tidak untuk mencabut sanksi yang telah mereka terapkan kepada Iran, maka sesungguhnya pertemuan tersebut tidak akan membuahkan hasil dan kesamaan pandangan Antaranews, 8 Desember 2010. Pertemuan di Jenewa tersebut memang belum menghasilkan suatu pernyataan dan keputusan. Akan tetapi, pertemuan tersebut menjadi langkah awal para negara- negara 5+1 dan Iran untuk melanjutkan pertemuan mengenai nuklir Iran pada bulan berikutnya. Saeed Jalili selaku ketua tim runding Iran mengatakan bahwa “antara Iran dan negara 5+1 akan memulai perundingan kembali di Istanbul Turki untuk mendiskusikan kerjasama dan kesamaan pandangan ” Antaranews, 8 Desember 2010. Kemudian Saeed Jalili menambahkan bahwa “pertemuan ini merupakan kepentingan masyarakat internasional yang menginginkan jaminan terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran. Iran membuktikannya dengan diadakannya pertemuan tersebut untuk membahas secara rinci mengenai pengembangan nuklir Iran” Hileudnews, 6 Desember 2010. Pertemuan kedua dilaksanakan di Istanbul, Turki pada 21-22 Januari 2011 Metrotvnews, 11 Januari 2011. Pada pertemuan ini tidak menghasilkan suatu kesepakatan antara pihak negara 5+1 dengan Iran. Tiap-tiap pihak bersikeras kepada kemauan masing-masing. Pihak Iran menginginkan pencabutan sanksi terhadap Iran dan diplomasi atas dasar akal sehat sesuai kerangka yang berlaku di NPT yakni setiap negara berhak mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Sebaliknya, pihak negara 5+1 yang diwakili oleh Cathrene Ashtone menginginkan Iran menghentikan pengayaan uraniumnya, jika tidak maka negara 5+1 akan menambahkan sanksi baru kepada Iran Antaranews, 22 Januari 2011. Namun, dari hasil pertemuan tersebut, Hileudnews 29 Juli 2010 melaporkan Iran bersedia untuk mengurangi produksi uraniumnya dari level 20 persen apabila negara-negara 5+1 bersedia mencabut sanksi dan embargo yang diberlakukan terhadap Iran. Hal ini ditawarkan Iran untuk mengurangi kecurigaan negara-negara 5+1 terhadap pengembangan nuklir Iran. Namun belum ada respon dari negara-negara tersebut terkait penawaran tersebut. Menurut analisa penulis, kekhawatiran dan kecurigaan negara-negara penentang nuklir Iran sangat wajar. Karena dalam pemahaman Neo-realis keadaan sistem internasional yang anarkis setiap negara yang memiliki kekuatan mencoba untuk terlibat dan mengikuti sistem tersebut untuk menunjukkan dan mendistribusikan kemampuan unit dalam sistem Burchill dan Linklater 2007, h. 117. Dalam kasus nuklir Iran, negara-negara yang memiliki kekuatan dominan mencoba untuk terlibat dalam kasus nuklir tersebut. Pada dasarnya pengembangan teknologi nuklir Iran timbul karena sistem internasional yang anarkis. Pengembangan teknologi nuklir Iran dimunculkan sebagai penyeimbang kekuataan negara-negara di dunia dan kawasan. Namun, Iran memiliki tujuan utama yang spesifik berdasarkan kepentingan nasional negaranya, yakni mengembangkan teknologi nuklir untuk kemajuan riset teknologi dan keperluan sipil bukan untuk keperluan militer. Oleh sebab itu, atas dasar kepentingan nasional bangsa Iran, pemerintah Iran terus memperjuangkan pengembangan teknologi nuklir Iran walaupun mendapat tekanan dari berbagai pihak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Frankel 1988, h. 93 yang mengatakan bahwa “kepentingan nasional merupakan kunci utama dari konsep kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa ”. Menurut analisa penulis, Iran terus berupaya mempertahankan kepentingan nasionalnya. Upaya yang dilakukan pemerintah Iran adalah dengan menerapkan suatu usaha diplomasi terhadap segala macam bentuk tekanan AS dan Sekutu.

B. Masa Depan Hubungan Bilateral Iran-AS

Pasca perubahan kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran tidak semata-mata memberikan peluang untuk terciptanya hubungan yang harmonis antara Iran-AS. Pasalnya, ketegangan antara Iran-AS sudah terjadi kurang lebih 32 tahun pasca terjadinya Revolusi Islam Iran 1979. Selain itu, Takdir 1998, h. 26-27 menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor selain isu nuklir yang menyebabkan kedua negara ini sulit untuk kembali normal. Adapun faktor tersebut adalah, pertama, adanya upaya perlindungan AS terhadap sekutu dekatnya yakni Israel di kawasan Timur Tengah. Kedua, adanya perbedaan jalan politik luar negeri Iran dan AS. Menurut analisa penulis, Iran yang dipimpin oleh Wilayat El-Faqih suatu lembaga tertinggi di pemerintah Iran di atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif KBRI Teheran 2009 memiliki prinsip untuk menentang hegemoni AS dan Israel sejak meletusnya Revolusi Islam Iran 1979 Cipto 2004, h. 112. Sedangkan AS di bawah kelompok Neo-konservatif maupun kelompok Neo-liberalis memiliki kebijakan pokok yang sama, yakni menentang Iran selama kebijakan luar negeri Iran dikendalikan oleh kelompok konservatif Iran yang mayoritas berasal dari Wilayat El- Faqih Rahman 2003, h. xviii. Ketiga, faktor kepentingan nasional AS di kawasan Timur Tengah. Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Timur Tengah P2P LIPI Jakarta dalam wawancara pada 20 Juni 2011 mengatakan bahwa “semenjak terjadinya Revolusi Islam Iran 1979, AS tidak dapat mengeksploitasi minyak Iran. Bahkan, AS pun tidak pernah membuka jalur diplomatik kepada Iran pasca Revolusi Islam 1979. Kemudian, dengan adanya peningkatan pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah, semakin membuat AS khawatir akan posisi Israel dan kepentingan AS sendiri di kawasan. Pasalnya, Iran dapat menciptakan suatu keseimbangan kekuatan di kawasan. Selain itu, pasca pengembangan teknologi nuklir dan kekuatan militer, Iran dapat mengancam posisi Israel di kawasan Timur Tengah dan bahkan berpeluang menjadi kekuatan dominan di kawasan ”. Menurut analisa penulis, Iran berhasil mengumpulkan poros kekuatannya di Timur Tengah seperti kelompok Hizbullah Lebanon, Hamas Palestina, Kelompok Shia Irak yang berjumlah 60 persen, Suriah selaku negara mayoritas penduduknya beraliran mazhab Shia, Mesir pasca turunnya Husni Mubarok, Turki di bawah Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan Yordania melalui Raja Abdullah. Hal tersebut semakin menipiskan pengaruh AS di kawasan Timur Tengah. Apalagi setelah negara-negara Timur Tengah menginginkan adanya penghapusan senjata pemusnah masal senjata nuklir milik Israel yang berada di puncak gurun Negev Dimona. Sesuai pernyataan yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani 2007, h. 49 yakni “kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional”. Menurut analisa penulis, kebijakan Iran mengembangkan teknologi nuklir merupakan suatu bentuk pencapaian dari input kepentingan nasional bangsa Iran. Iran memiliki kepentingan untuk menjadi negara maju di kawasan. Lebih jauhnya, Iran memiliki kepentingan untuk melawan dominasi kekuatan Israel selaku sekutu AS di Timur Tengah.