Pertanyaan Penelitian Kerangka Pemikiran

Selanjutnya, masuk pada konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Kedua konsep tersebut merupakan konsep turunan dari pemahaman Neo- realis. Dari konsep tersebut, penulis akan mendalami bagaimana suatu input dari kepentingan nasional dan politik luar negeri yang akan terproses lalu membentuk suatu output yang melahirkan kebijakan luar negeri. Hal ini dikarenakan setiap kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu negara mengacu kepada kepentingan nasional. Menurut Frankel 1988, h. 93 kebijakan luar negeri bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan nasional suatu negara. Oleh sebab itu, kedua konsep ini memiliki peranan yang sangat penting bagi suatu negara untuk mencapai suatu target dan tujuan yang diinginkan. Berikutnya konsep keamanan internasional. Secara tidak langsung peningkatan kekuatan militer merupakan tata cara melindungi negara dari ancaman negara lain. Sebaliknya, peningkatan militer suatu negara juga dilakukan sebagai upaya ancaman terhadap negara lain. Konsep ini merupakan konsep lama yang mulai digunakan pada saat berlangsungnya Perang Dunia I dan II. Isu nuklir Iran sangat berpengaruh bagi keamanan kawasan Timur Tengah. Pasalnya, dengan adanya pengembangan nuklir Iran, maka negara-negara di kawasan Timur Tengah berkeinginan untuk mengembangkan kekuatan militernya untuk menghadapi ancaman terburuk jika Iran mengembangkan senjata nuklir. Seperti contohnya Israel yang khawatir kedaulatan negaranya terancam akibat pengembangan nuklir Iran, sehingga Israel mendesak AS untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran melalui jalur militer Jamaan 2007, h. 31. Keamanan internasional bersifat global dan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara atau aktor-aktor internasional Amstutz 1995, dikutip dalam Jemadu 2008, h. 138. Tentu kebijakan luar negeri yang disusun oleh pemerintah merupakan wujud dari kepentingan nasional dalam upaya menjaga keamanan nasional yang mengancam kedaulatan suatu negara. Frankel 1988, h. 93 mengatakan bahwa “kepentingan nasional merupakan kunci utama dari konsep kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa ”. Selebihnya, kepentingan nasional dapat mendeskripsikan suatu gambaran aspirasi dari rakyat yang dapat diwujudkan dalam suatu gerakan operasional yang menghasilkan suatu aplikasi kepada perwujudan kebijakan dan program yang dikeluarkan pemerintah Frankel 1988, h. 93. Kemudian, menurut Holsti 1992, h. 3 “kebijakan luar negeri merupakan akar dari politik luar negeri dan politik luar negeri sendiri merupakan pola perilaku sebuah negara dan juga reaksi ataupun respon dari negara lain terhadap perilaku tersebut ”. Kebijakan luar negeri yang disusun oleh AS tidak terlepas dari pemikiran kelompok Neo-konservatif AS yang bekerjasama dengan kelompok Neo-liberalis AS Brenner dan Theodore 2002, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1527-1528. Kedua kelompok ini memiliki tujuan yang sama yakni menekan dan melakukan ekspansi dengan cara baru lebih bersifat soft power yang disebut dengan new-imperialism dari ekspansi AS sebelumnya pasca Perang Dunia II Glassman 2004, h. 1527. Neo- konservatif dan Neo-liberalis memiliki perbedaan ideologi dan cara penekanan. Bila Neo-konservatif menekankan kebijakan yang bersifat hard power yaitu menggunakan jalur militer dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Glassman 2004, h. 1528. Sebaliknya Neo-liberal cenderung memilih jalur ekonomi dengan menerapkan ekonomi global, deregulasi mata uang Harvey 2003, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1528, dan penyebaran industri global seperti MNCTNC MultiTrans National Corporation di negara-negara maju dan berkembang Brenner dan Theodore 2002, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1528. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni melanjutkan imperialisme AS dengan cara baru atau disebut dengan Neo- imperialisme. Hubungan antara kedua kelompok ini sangat erat dan sama-sama melihat kondisi melalui fenomena sosial yang terjadi Glassman 2004, h. 1527. Selama pola perencanaan kebijakan masih berada dalam lingkup domestik maka belum dapat dikategorikan sebagai kebijakan luar negeri. Namun, apabila kebijakan telah terolah dari input yang terkait kemudian dikembangkan, maka kebijakan tersebut akan terproses dengan melibatkan berbagai macam pihak yang terkait baik pemerintah maupun NGO Non-Governmental Organization. Sehingga pihak pemerintah akan menjadikan kebijakan tersebut sebagai kebijakan luar negeri untuk melawan ataupun bertahan dari unit politik internasional. Hal ini sepadan dengan yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani 2007, h. 49 yang menyatakan bahwa “kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional”. Selain keamanan internasional, keamanan energi juga dapat menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan kebijakan luar negeri suatu negara Jemadu, 2008, h. 145. Konflik sering kali timbul karena sumber energi yang terbatas dan karena pemakaian yang eksploitatif oleh suatu negara baik di kawasan maupun secara global. Oleh sebab itu, tiap negara mulai merencanakan pengembangan energi yang efektif untuk mengantisipasi adanya krisis energi yang kemungkinan akan terjadi. Adanya pengalihan krisis energi melalui solusi pengembangan teknologi nuklir merupakan suatu fenomena yang krusial dan kontroversial. Belakangan ini pengembangan teknologi nuklir Iran membuat keamanan global menjadi isu penting yang mengundang perhatian banyak pihak. Namun, langkah tepat yang dilakukan Iran mengembangkan nuklir untuk mengantisipasi krisis energi yang akan melanda Timur Tengah justru menjadi ancaman bagi negara lain. Oleh karena itu, pengembangan ini dianggap akan menimbulkan isu keamanan internasional baru yang tidak hanya melibatkan negara di kawasan Timur Tengah, namun juga melibatkan negara di seluruh kawasan. Sarkesian 1989 yang dikutip dalam Jemadu 2008, h. 139-140 mendefinisikan bahwa : the confidence held by the great majority of the nation’s people that the nation has the military capability and effective policy to prevent its adversaries from effectively using force in pre venting the nation’s pursuit of its international interest . Keyakinan dimiliki oleh mayoritas masyarakat suatu negara dengan menggunakan kapabilitas militer dan kebijakan yang efektif dalam mencegah musuh untuk menggunakan kekuatan militer untuk mengacaukan kepentingan internasional. Terjemahan Penulis. Pada dasarnya keamanan internasional merupakan state of mind Jemadu 2008, h. 140 yang terikat dalam suatu entitas politik yang bernama negara. State of mind tersebut tidak datang dengan sendirinya melainkan didasarkan pada basis material kapabilitas nasional yaitu kekuatan militer yang di dukung oleh unsur-unsur kepentingan, dan kekuatan nasional lainnya Jemadu 2008, h. 140. Dalam hal ini, Iran telah memiliki state of mind dengan didukung beberapa kepercayaan diri tidak hanya dalam kemampuan mengembangkan teknologi nuklir, namun juga dalam bidang militer baik strategi maupun sistem persenjataan, politik luar negeri, dan semangat nasionalis Revolusi Islam Iran yang dinamakan oleh Presiden Ahmadinejad merupakan revolusi ke-3 yaitu melawan hegemoni AS dan Israel. Penggunaan kekuatan militer oleh negara tidak semata-mata hanya terbatas pada masa perang saja. Sekurang-kurangnya ada empat fungsi kekuatan militer dalam politik internasional Jemadu 2008, h. 146-147. Pertama, kekuatan militer diproyeksikan sebagai prestige power di mana suatu negara menunjukkan keunggulan militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan daya penghancur yang dapat menggentarkan musuh. Hal ini biasanya ditunjukkan ketika suatu negara baru menyelesaikan proyek alutsista Alat Utama Sistem Persenjataan baru, atau biasanya ditunjukkan ketika perayaan kemerdekaan, dan perayaan hari Angkatan Bersenjata untuk menunjukkan dan mengirim sinyal tanda kepada musuh tentang peningkatan kekuatan militer suatu negara. Kedua, kekuatan militer digunakan sebagai deterrence power atau kekuatan penangkal. Yakni lebih jelasnya suatu negara meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila benar melakukan tindakan militer yang tidak dikehendaki, kredibilitas tersebut tentu mempengaruhi efektivitas dari ancaman militer lawan dan bahkan dapat memberikan tekanan balik kepada lawan. Ketiga, kekuatan militer dibangun sebagai kekuatan defensif untuk melindungi diri dari kekuataan musuh. Defensive power dapat berupa peningkatan anggaran belanja militer, dan uji coba alutsista baru yang bertujuan untuk melindungi diri dari serangan musuh. Keempat, kekuatan militer juga dapat digunakan sebagai alat pemaksa atau coercive diplomacy guna menekan suatu negara agar mengikuti keinginan dari negara yang menekan atau minimal melakukan suatu tindakan tertentu, dalam konteks ini kekuatan militer berfungsi sebagai compellent power Amstutz 1995, dikutip dalam Jemadu 2008, h. 147, misalnya seperti pelatihan gabungan militer AS dengan militer negara-negara Arab di Timur Tengah bertujuan agar Iran menghentikan pengayaan uranium nuklirnya. Namun, justru sebaliknya dengan ancaman dan tekanan AS dan Sekutu membuat Iran semakin percaya diri dan mandiri dalam mengembangkan militernya untuk melawan kemungkinan serangan-serangan militer AS dan sekutu ke instalasi nuklir, dan kota-kota besar Iran. Penggunaan kekuatan militer tidak terlepas dari kebijakan suatu negara dalam menyikapi isu keamanan internasional yang mengancam negaranya. Tentunya negara yang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kekuatan militernya telah siap untuk menghadapi lawan dengan segala resiko yang akan terjadi. Apabila suatu negara berhasil mengalahkan suatu lawan melewati jalur peperangan maka tingkat kepercayaan diri suatu negara tersebut semakin meningkat baik di kawasan maupun di dunia. Selain itu, negara-negara lain juga akan menganggap prestige dalam percaturan politik internasional. Peningkatan militer tersebut dapat ditinjau kepada tujuan awal suatu negara yang bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional dari ancaman negara lain. Oleh sebab itu, dirumuskanlah kebijakan luar negeri untuk mewujudkan kepentingan nasional tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Mas‟oed 1990, h. 184 yaitu “kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan masyarakat suatu negara meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu ”. Dapat diketahui bahwa kepentingan nasional tidak memandang siapakah pemimpin negaranya dan pada waktu kapankah memimpin suatu negara. Kepentingan nasional adalah hal yang mutlak menjadi perhitungan setiap pemerintahan suatu negara. Selebihnya, kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku internasional Mas‟oed 1990, h. 162. Karena kepentingan nasional merupakan konsep abstrak yang meliputi berbagai kategori dan keinginan dari suatu negara yang berdaulat Mas‟oed 1990, h. 162. Dari kepentingan nasional beranjak kepada perumusan formulasi kebijakan luar negeri. Perumusan ini harus memperhatikan situasi yang mencangkup faktor eksternal, domestik, dan kondisi kontemporer historis yang dianggap pembuat kebijakan luar negeri relevan dengan setiap masalah politik tertentu Holsti 1992, h. 469. Adapun formulasi kebijakan luar negeri harus meliputi kejadian-kejadian penting, kebutuhan-kebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman, kesempatan yang dirasakan dalam suatu situasi, konsekuensi yang telah diduga, biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan situasi tertentu Holsti 1992, h. 469. Dengan demikian, ketiga konsep yang merupakan turunan dari pemahaman Neo-realis yakni konsep kebijakan luar negeri, konsep kepentingan nasional, dan konsep keamanan internasional yang saling berkesinambungan kiranya relevan untuk membahas lebih lanjut mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penulis memperhatikan bahwa data kualiatif dapat dianalisis dalam berbagai format, termasuk di antaranya kajian peluang yang ditawarkan oleh format riset observasi termasuk observasi partisian, wawancara, riset sumber dokumen, dan riset media Harison 2007, h. 85. Dengan kajian format riset observasi tersebut maka penelitian kualitatif memberikan kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar Harison 2007, h. 86. Metode kualitatif ini juga didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati Moleong 2002, h. 3. Selain itu, pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini meliputi tiga tipe, yaitu observasi, interview, dan dokumen yang masing-masing mempunyai fungsi dan keterbatasan Creswell 1994, h. 149. Berdasarkan kepada tipe-tipe tersebut penulis lebih menggunakan data-data yang bersifat primer yakni data-data yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Politik Timur Tengah P2P LIPI Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. Kemudian data-data sekunder yang penulis dapatkan melalui sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, laporan kerja, tesis dan berita online. Dengan sumber data primer dan sekunder tersebut diharapkan membantu penulis untuk menggambarkan dan memaparkan lebih dalam mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010. Selain itu juga diharapkan data-data kepustakaan dan tipe-tipe pengumpulan data kualitatif ini bisa mengidentifikasikan motif-motif dibalik tekanan AS terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pertanyaan Penelitian

C. Kerangka Pemikiran

D. Metode Penelitian