2. Pasca Revolusi Islam Iran 1979

pembunuhan bagi masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah juga menjadi alasan bagi rakyat dan Mullah untuk menjatuhkan Shah Reza Kedutaan Besar RII 1989, h. 9. Terbukti pada 10 Februari 1979 rezim Shah Reza Pahlevi beserta tentaranya yang lengkap dengan persenjataan terpaksa menyerah dihadapan kesatuan rakyat dan kelompok Mullah Iran yang dipimpin oleh Imam Ayatullah Khomeini yang kemudian disebut sebagai Revolusi Islam Iran Puar 1980, h. 44. Keberhasilan Revolusi Islam Iran tidak hanya menurunkan Shah Reza Pahlevi dari puncak kekuasaannya, namun juga berdampak signifikan bagi AS yang semakin sulit untuk menjalin kedekatan hubungan dengan Iran. Bagaimana tidak, salah satu alasan terjadinya Revolusi Islam Iran karena bentuk kedekatan Shah Reza Pahlevi dengan AS yang terlalu membuka akses luas bagi AS untuk mengeksploitasi Iran. Rahman 2003, h. xviii mengatakan bahwa pasca Revolusi Islam Iran, AS semakin sulit untuk mengendalikan Iran. Bahkan salah seorang pejabat Dewan Keamanan Nasional AS Karen Brooks mengatakan bahwa Pemerintah Washington sangat menghormati Iran. Cara pendekatan Washington kepada Iran tidak bisa seperti umumnya dilakukan kepada negara-negara di Timur Tengah lainnya. Karena Iran bukanlah negara yang tertinggal, bangsa Iran merupakan bangsa yang maju, cerdas pemikirannya dan tinggi pendidikannya. Atas dasar itulah tidaklah mudah bagi pejabat Washington untuk mempengaruhi bangsa Iran. Apalagi pasca Revolusi Islam bangsa Iran sudah memiliki tradisi demokrasinya sendiri sehingga tidak ada alasan Washington untuk ikut campur dalam upaya penegakan demokrasi Rahman 2003, h. xix. Nampaknya pernyataan Karen Brooks tersebut terbukti benar. Pasalnya, Iran merupakan negara yang diperhitungkan kekuatannya di Timur Tengah oleh AS Gogary 2007, h. 267. Misalnya, terhitung kisaran waktu seperempat abad setelah terjadinya Revolusi Islam, AS belum berani kembali melancarkan politik luar negeri ekspansionisnya ke Iran. Bahkan, pemikiran AS bahwa kekuasaan dan kepemimpinan para Mullah Iran tidak akan mampu bertahan lama ternyata salah, buktinya para Mullah masih terus bertahan bahkan semakin kuat pengaruhnya bagi kehidupan sosial dan politik Iran Rahman 2003, h. xviii. Akan tetapi, pada 1981, Revolusi Islam Iran mengalami sedikit gangguan akibat adanya skandal Iran Gate Marshall et al. 1987, h. 172. Skandal yang melibatkan pemimpin tertinggi Imam Ayatullah Khomeini dan mantan Presiden Rafsanjani 1989-1997 tersebut terungkap dikalangan pemerintah Iran pada 1981 oleh mantan Presiden Iran Abu Hassan Bani Sadr 1980-1981 Adiguna, Tempo Interaktif, 6 Juni 1987. Skandal Iran Gate merupakan skandal penjualan senjata militer milik AS yang dijual oleh Israel ke Iran dengan persetujuan konselor AS Robert McFarlane dan David Kimche Dirjen Kementerian Luar Negeri Israel, yang ditukar dengan pembebasan dua sandera AS ketika terjadinya Revolusi Islam 1979 Marshall et al. 1987, h. 172. Namun, skandal tersebut cepat diselesaikan oleh Imam Khomeini sehingga tidak menjadi suatu kasus yang berdampak signifikan bagi sosok pribadi Imam Khomeini dan Revolusi Islam 1979 Adiguna, Tempo Interaktif, 6 Juni 1987. Pasca Revolusi 1979 dan skandal Iran gate 1981, segala bentuk kerjasama yang pernah terjalin antara Shah Reza Pahlevi dengan AS dibatalkan begitu saja oleh AS Gogary 2007, h. 313. Tidak hanya itu, AS juga membekukan beberapa aset kekayaan Iran yang berada di bank-bank milik AS Gogary 2007, h. 313. Akan tetapi, keadaan seperti ini semakin menumbuhkan semangat nasionalisme Iran untuk membangun Iran yang maju pasca Revolusi Islam. Terutama keadaan ekonomi Iran yang hancur pasca Revolusi Islam dan pasca Perang Irak-Iran pada 1980-1988 yang kemudian dibangun kembali oleh Presiden Hashemi Rafsanjani yang berasal dari kubu konservatif Iran Cipto 2004, h. 41. Presiden Rafsanjani memimpin Iran pada periode 1989-1993 dan 1993-1997. Selama Presiden Rafsanjani memimpin, AS belum berani mengambil langkah untuk membuka kembali kerjasama dengan Iran. Hal ini dikarenakan dilema AS terhadap kelompok konservatif Iran yang merupakan penggerak terwujudnya Revolusi Islam. Kemudian, Cipto 2004, h. 112 menambahkan bahwa menurut AS selama Iran dipimpin oleh kelompok konservatif maka AS akan semakin sulit untuk mengendalikan dan mencampuri urusan dalam negeri Iran. Cipto 2004, h. 91 menyatakan bahwa menurut Presiden Rafsanjani jika AS ingin menormalkan kembali hubungan kerjasama dengan Iran, maka AS harus menunjukan niat baiknya terlebih dahulu. Hingga kepemimpinannya berakhir pada 1997, Presiden Rafsanjani tetap tidak membuka akses bagi AS untuk bekerjasama dengan Iran. Bahkan kebijakan open door policy diberlakukan untuk seluruh negara di dunia kecuali AS dan Israel Cipto 2004, h. 44. Kemajuan ekonomi yang pesat pada masa kepemimpinannya menyebabkan Presiden tersebut dijuluk i “Bapak Pembangunan Iran” Cipto 2004, h. 41. Pengaruh AS di Iran mulai terlihat ketika Iran dipimpin oleh Presiden Muhammad Khatami pada periode 1997-2001 dan 2001-2005. Presiden yang berasal dari golongan reformis ini memutar drastis arah kebijakan politik Iran yang telah disusun dan diperjuangkan kelompok Ulama-Ulama pada Revolusi Islam. Melihat sosok Presiden Khatami yang begitu reformis dan terbuka, AS yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Bill Clinton segera melakukan pendekatan kepada Iran. AS tidak dapat menyembunyikan simpatinya terhadap Presiden Khatami, bahkan AS menjadikan ini sebagai peluang yang tepat untuk menjadikan Iran sejalan dengan kepentingan AS Rahman 2003, h. xxiii. AS di bawah kepemimpinan Presiden Clinton memiliki misi untuk menciptakan sistem multi partai, liberalisasi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya di Iran Rahman 2003, h. 23. Demokrasi menjadi seruan utama AS untuk memulai kembali memasuki ranah politik domestik Iran. Misi yang diinginkan AS ini sepadan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Presiden Khatami selama menjadi Presiden Iran yakni “toleransi, modernisme dan k eterbukaan” Rahman 2003, h. 17. Pengaruh AS di Iran pada masa kepemimpinan Presiden Khatami semakin meluas. Apalagi setelah Presiden Khatami membuka “dialog peradaban” kepada AS Cipto 2004, h. 96, dialog ini disambut dengan meriah oleh Presiden Bill Clinton. Dialog ini sama-sama menguntungkan kedua pihak. Di satu sisi Iran meyakinkan AS untuk kembali membuka hubungan kerjasama dengan Iran, dan di sisi lain AS mulai dapat membuka pengaruhnya di Iran melalui reformasi modernisasi dengan mengusung terbentuknya demokrasi di Iran yang bersahabat dan bersekutu dengan AS Rahman 2003, h. xviii. Walaupun Presiden Khatami membuka lebar akses kerjasama dengan AS, hubungan Iran-AS semata-mata tidak mengalami perubahan signifikan ke arah perdamaian. Secara total misi AS untuk menguasai Iran dengan menyebarkan pengaruh demokrasinya yang sejalan dengan kebijakan Presiden Khatami belum berhasil. Hal ini dikarenakan peran dan pengaruh para Mullah Iran masih mendominasi dan merupakan lembaga tertinggi dalam suatu urutan kelompok yang berpengaruh di Iran Rahman 2003, h. 87. Segala kebijakan Presiden Iran yang menyimpang dari tujuan awal Revolusi Islam Iran akan ditentang oleh para kelompok Mullah Iran. Karena menurut Ulama-Ulama Iran kebijakan membuka jalan kerjasama kepada AS itu sama saja menentang Revolusi Islam 1979, agama dan negara Cipto 2004, h. 93. Memasuki tahun 2004 menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Khatami, AS semakin bersikap tegas terhadap Iran. Sulitnya AS melancarkan agresinya ke Iran menyebabkan AS untuk memilih jalan keras untuk menundukkan Iran. Ternyata naiknya Khatami menjadi Presiden Iran tidak dapat mengubah struktur alamiah masyarakat Iran menuju reformasi ke arah yang lebih liberal. Hal ini yang menyebabkan AS memutar arah dengan melakukan tekanan terhadap Iran. Rahman 2003, h. xvi mengatakan bahwa media internasional seperti newsweek dan time mencoba memprediksi situasi dengan mengatakan bahwa target AS selanjutnya setelah invasinya ke Irak kemungkinan adalah Iran. Prediksi tersebut tampaknya kurang akurat. Kenyataannya pasca Presiden Mahmoud Ahmadinejad terpilih menjadi Presiden Iran periode 2005-2009 dan 2009-2013, AS hanya melakukan tekanan dan ancaman secara terbuka kepada Iran. Rahman 2003, h. xvii mengatakan bahwa Presiden George W. Bush menuduh Iran di bawah Presiden Ahmadinejad tengah mengembangkan senjata pemusnah masal senjata nuklir. Berbagai strategi dikerahkan oleh AS, mulai dari melakukan pengintaian melalui CIA Central Intelligence Agency AS yang berada di Iran sampai mendanai kelompok-kelompok pembangkang seperti suku Kurdi di Iran untuk bekerjasama dengan AS Gogary 2007, h. 317. Melalui CIA, AS mendapatkan instalasi nuklir Iran yang bernama Natanz yang menurut AS telah dijadikan tempat pengembangan heavy water yang digunakan sebagai pembiak cepat fast breeder reaktor yang menghasilkan plotunium yang penting untuk pembuatan senjata nuklir Rahman 2003, h. xvii. Pemerintah Iran membantah tuduhan tersebut, akan tetapi pemerintah Iran mengakui bahwa Iran sedang mengembangkan teknologi nuklir, namun untuk tujuan damai yakni sebagai energi listrik bukan sebagai senjata nuklir. Badan atom internasional IAEA International Atomic Energy Agency yang memiliki otoritas untuk memeriksa pengembangan nuklir dunia pun menyatakan bahwa pengembangan nuklir Iran tidak terindikasi menuju pengembangan senjata nuklir Jamaan 2007, h. 48. Selebihnya, Presiden Ahmadinejad menyatakan bahwa Iran akan mengembangkan sekitar 20 pusat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir PLTN, dan Iran akan menyalurkan tenaga listrik nuklir tersebut untuk kebutuhan domestik negaranya Rahman 2003, h. xvii.

D. Embargo Ekonomi, Senjata Militer dan Pengisolasian Terhadap Iran

Pengembangan teknologi nuklir Iran terus mengalami kemajuan pesat. Melihat kondisi seperti ini, AS kembali menekan dengan mengambil langkah represif melalui Sekutu-sekutu dekatnya. AS tidak dapat mengelakkan bahwa para ilmuwan- ilmuwan Iran telah berhasil menguasai teknologi nuklir yang menyebabkan Iran tidak sepenuhnya bergantung pada negara lain untuk mengembangkan teknologi nuklirnya Labib et al. 2006, h. 189. Pengembangan teknologi nuklir tersebut dikhawatirkan akan berakhir pada pengembangan senjata nuklir Jamaan 2007, h. 44. Oleh sebab itu, AS menganggap pengembangan nuklir Iran harus dihentikan karena berdampak negatif bagi stabilitas keamanan kawasan Timur Tengah. Strategi untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran terus diterapkan oleh AS. Mulai dari kebijakan luar negeri AS yang menentang dan mengancam akan menyerang Iran jika Iran tidak menghentikan pengembangan nuklirnya, hingga pelebaran sayap pengaruh AS dengan menguatkan barisan Sekutu-sekutunya di berbagai belahan kawasan untuk bersama-sama melakukan sikap menolak terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran. Misalnya, di Eropa, AS mendorong sekutunya yakni Inggris, Perancis dan Jerman untuk melakukan negosiasi agar Iran mau menghentikan pengembangan nuklirnya dengan menukar teknologi nuklir dengan teknologi Light Water Reactor LWR Gogary 2007, h. 283-284. Kemudian, menurut laporan mingguan BPPK Kemenlu RI 2010, di kawasan Asia, AS mendorong Jepang untuk tidak memberikan bantuan yang berhubungan dengan pensuplaian bahan-bahan pengembangan teknologi nuklir. Tidak hanya itu, Kazhim dan Hamzah 2007 menambahkan bahwa di kawasan Timur Tengah, AS berhasil mempengaruhi negara-negara pan Arabisme seperti Uni Arab Emirates UAE, Arab Saudi, Kuwait, Irak, dan Oman untuk melakukan penekanan terhadap Iran atas tuduhan pengembangan senjata nuklir. Dalam usaha menghentikan pengembangan teknologi nuklir Iran, AS giat melakukan penggalangan dukungan ke negara-negara di berbagai belahan dunia. Tidak cukup menggalang dukungan hanya dengan Sekutu-sekutunya, AS pun mencoba mengendalikan IAEA selaku badan otoritas tertinggi yang berhak melakukan pemeriksaan terhadap suatu negara yang mengembangkan teknologi nuklir Jamaan 2007, h. 31. Terbukti sejak 2003 AS telah melakukan penekanan terhadap IAEA agar melakukan monitoring terhadap industri energi atom Iran dengan mengubah skema menjadi senjata pemusnah masal Jamaan 2007, h. 31. Akan tetapi, menurut Gogary 2007, h. 314 IAEA tidak mendapatkan bukti bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir untuk keperluan militer. Oleh sebab itu, IAEA menggantungkan kasus nuklir Iran ini. Pada Maret 2006, AS menekan IAEA untuk memaksa kasus nuklir Iran ini agar dilanjutkan ke DK-PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Jamaan 2007, h. 31. Kasus nuklir Iran telah mencapai tingkat DK-PBB. BPPK Kemenlu RI 2010 melaporkan bahwa dengan pengendalian AS beserta Sekutunya, AS berhasil mendorong DK-PBB untuk mengeluarkan beberapa Resolusi kepada Iran, berikut Resolusi-resolusi DK-PBB terhadap Iran beserta isinya: Resolusi DK-PBB No. 1696 Tahun 2006 Memutuskan bahwa DK-PBB memperingatkan kepada Iran mengenai ancaman program pengayaan nuklirnya. DK-PBB meminta Iran untuk memberhentikan pengayaan nuklirnya dan memberikan penangguhan sampai 31 Agustus 2006. Jika Iran tidak memenuhinya, maka sanksi