10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Gaya Untuk Hidup atau Hidup Untuk Gaya
Gaya hidup dan hidup bergaya adalah dua hal yang berbeda, tetapi saling terkait. Ketik
a “hidup bergaya” menjadi pilihan, orientasi, sikap, dan nilai, maka “gaya hidup” sebagai bidang kajian budaya dan media menjadi semakin
menemukan urgensinya. Ketika urusan gaya bergaya memang sudah menjalari pelbagai lapisan sosial masyarakat indonesia, yang sedikit banyak menjadi potret
tengah berlangsungnya dinamika dalam dunia kehidupan seperti terlihat pada bagaiman cara orang, baik sebagai individu maupun kolektif, menjalani dan
mengekspresikanya. Walaupun memang harus diakui kajian dan penerbitan tentang gaya hidup jauh tertinggal dibandingkan percepatan dinamika realitas
gaya hidup itu sendiri. Subandy, 2011:303
1. Konsep Gaya Hidup a. Menurut, Jhon C. Mowen Michael Minor, 2001:282, Gaya hidup
adalah bagaimana seseorang hidup, bagaimana mereka membelanjkan uangnya, dan bagaimana mereka mengalokasikan waktu mereka.
b. Menurut, Chaney, 1996:91, Gaya Hidup adalah tata cara, atau cara menggunakan barang, tempat, dan waktu, khas kelompok masyarakat
11
tertentu, yang sangat bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan, meski bukan merupakan totalitas pengalaman sosial.
c. Menurut, Engel, Blackwell Miniard, gaya hidup merupakan pola dimana orang hidup dan menggunakan uang dan waktunya. Sumarwan,
2011:45. d. Menurut, Featherstone 1987, Gaya Hidup mencakup praktik-praktik,
citarasa, perilaku konsumsi, aktivitas waktu luang, modus bicara, dan busana orang sehari-hari. Subandy, 2011:307.
2. Gaya Hidup dalam Budaya Konsumen Menurut, Soedjatmiko, 2008, dalam arti ekonomi, konsumsi
merupakan pemanfaatan dan penggunaan suatu barang. Sedangkan konsumsi yang di maksud dalam gaya hidup adalah seluruh tipe aktivitas sosial yang
orang lakukan sehingga bisa kita pakai untuk mencirikan dan mengenali mereka, selai
an sebagai tambahan apa yang mungkin mereka “lakukan” untuk hidup. Kegiatan mengkonsumsi pada dunia modern terkait dengan
kegiatan berbelanja. Berbelanja dilakukan manusia guna memperoleh barang atau hal yang dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
H adirnya alat pembayaran berimplikasi “kebebasan-dalam-situasi”
yang dimiliki manusia sebagai konsumen adalah kebebasan individu. Dalam konteks konsumsi, pernyataan “aku adalah mahluk yang bebas” dapat
dimodifikasi menjadi “aku adalah mahluk yang bebas mengkonsumsi apapun
”. Di sini, melalui maraknya iklan dan media, manusia tidak hanya
12
ditawari apa yang mereka butuhkan, melainkan pula apa yang mereka harapkan. Dengan demikian “wants” berubah menjadi “needs”, apa yang pada
awalnya adalah keinginan berubah menjadi kebutuhan. Nilai lebih yang ditawarkan produsen “surplus value” berubah menjadi nilai lebih yang
diterima oleh konsumen surplus desire. Boleh jadi, “aku adalah mahluk yang bebas mengkonsumsi apapun”
merupakan ekspresi dari kebebasan individu di atas. Yang terjadi kemudian, yaitu konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Atau dengan kata lain, “semakin
aku mengkonsumsi, semakin nyatalah jati diriku ”. Sehingga konsumsi
mendapat pemaknaan baru yakni sebagai cara hidup konsumerisme. Disinilah idiologi dasar konsumerisme, yaitu eksplisitasi kebebasan individu.
Sekali lagi advertensi dan media berperan dalam memperkenalkan produk tertentu, sekaligus menciptakan imaji manusia ideal melalui produk yang
ditampilkan melalui media dan periklanan masal. Lebih lanjut Soedjatmiko, 2008:51,
mengatakan “dampak sosial konsumerisme tersebut dapat melalui lima rana tematis kehidupan sosial,
yaitu ruang dan tempat, teknologi, mode, musik pop dan pola konsumsi makanan dan minuman
”. a. Mengkonsumsi ruang dan tempat
Pusat-pusat perbelanjaan merupakan unsur yang paling nyata dalam transformasi kota metropolitan, yang secara langsung maupun lewat
kiriman mempengaruhi konsumen untuk menjarahkan benda-benda
13
duniawi. Hal ini dipengaruhi oleh “Deteritorialisasi”, yakni perkembangan
kominikasi massa dan jaringan hiburan yang berdasarkan kota metropolitan dan yang menyebabkan budaya konsumen, yang
memunculkan homogenitas budaya yang meliputi pelbagai ruang dan tempat.
Salah satu bagian dari pusat-pusat perbelanjaan itu adalah mal. Mal dapat dikatakan sebagai surga bagi konsumerisme. Dimana secara
sadar, pengalaman berbelanja berlanjut hingga masuk wilayah hiburan. Mal tidak hanya merupakan tempat dimana konsumen bebas memilih dan
juga merupakan pusat ekonomi pasar, melainkan secara aktif membentuk imaji
mengenai kehidupan
konsumerisme. Konsumerisme
telah memaksakan suatu perilaku sosial yang dikendalikan oleh para
pengembang daripada konsumen itu sendiri. Mal tampak memenuhi seluruh pemuasan langsung konsumerisme, tetapi pada saat yang sama
menyembunyikan keharusan sosial yang terselubung. b. Mengkonsumsi teknologi
Perkembangan teknologi telah membawa akibat yang signifikan bagi pembentuk konsumsi kontemporer. Secara particular, teknologi
informasi dan komunikasi hadir sebagai komponen pokok budaya konsumsi rumah tangga. Dalam arti tertentu, dampak teknologi pada
masyarakat kontemporer, dan secara spesifik bagi para konsumen, mampu memenuhi standar “jerat-jerat” konsumerisme yang mempesona sekaligus
14
tak terelakan. Salah satu indikator perkembangan teknologi yang begitu pesat adalah desain produksi. Menurut Alfathir Adlin:
Desain produksi dapat memberikan kemampuan diferensiasi bagi industri sebagai salah satu keunggulan bersaing, karena dapat
memberikan preferensi bagi konsumen melalui keberagaman desain fungsi dan atribut produksi. Inilah salah satu kata kunci dalam
wacana kapitalisme mutakhir dalam membangun identitas gaya hidup.Subandy, 1996:160
c. Mengkonsumsi mode Fashion Mode
fashion merupakan
rana konsumsi
di mana
konsumerisme tampak paling ekspresif sebagai sebuah cara hidup. Dalam konteks ini, mode terkait dengan seni industrial yang komersial
menghasilkan uang daripada sekedar berhubungan dengan keindahan belaka. Mode merupakan isu penting yang mencirikan pengalaman hidup
sosial dan secara partikular menandai peran konsumerisme di dalam pengalaman tersebut. Menurut, N. Daljoeni, 1982:71:
Dalam mode ada rangsangan untuk meniru, mencipta, dan menemukan yang baru. Itu merupakan kemampuan dari individu
untuk mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa dirintangi oleh tradisi, kecurigaan, dan perlawanan dari sekitarnya. Memang kota
memberikan kebebasan kepada individu untuk “chance of
15
expression”. Sehubungan dengan ini individualism berjalan sejajar dengan trend dari urbanisasi.
Secara singkat, hal utama dalam fashionable, yakni: terkait dengan pemaknaan budaya yang dibentuk oleh kelompok elite sosial
maupun pandangan “pemimpin” tertentu, seperti para tokoh terkenal popular pop stars. Tentu saja, konsumen yang memiliki pengaruh
“kurang” akan mengimitasi pemaknaan tersebut. Mode hadir sebagai norma hidup sehari-hari. Sedikitnya, melalui
busana dapat ditentukan parameter lingkungan hidup seseorang. Mode boleh jadi membentuk kehidupan sosial, namun perlu diingat bahwa
konsumerismelah yang membentuk mode, dan idiologi konsumerisme itulah yang meresap di dalam hidup sehari-hari. Melalui mode, apa yang
terjadi sekarang mempresentasik an “keberhasilan” perempuan dalam
menyetarakan identitasnya dengan pria. d. Mengkonsumsi musik pop
Kajian cultural studies berkenaan dengan budaya musik pop lebih tepat dimulai dengan karya Sutart Hall dan Paddy Whanel 1964.
Sebagaimana mereka tegaskan “potret anak muda sebagai orang lugu yang
dieksploitasi” oleh industri musik pop. Mengenai hal ini, mereka berpendapat bahwa terdapat konflik yang sangat sering antara
penggunaan teks atau praktik yang dipahami oleh khalayak, dan penggunaan yang dimaksud oleh produser. Secara signifikan, mereka
16
mengaku bahwa meskipun „konflik ini secara khusus menjadi ciri rana hiburan remaja... sampai pada tingkat tertentu, konflik ini juga jamak bagi
keseluruhan wilayah hiburan massa dengan sebuah setting komersial‟. Budaya musik pop-lagu, majalah, konser, festifal, komik, wawancara
dengan bintang pop, film, dan sebagainya-membantu memperlihatkan pemahaman akan pemahaman identitas di kalangan kaum muda. Menurut,
Storey, 1996:126: Budaya yang disediakan oleh pasar hiburan komersial... memainkan
peran penting. Ia mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada di sana, dan pada saat bersamaan menyediakan wilayah yang penuh
ekspresi serta sederet simbol yang melalui simbol itu sikap tersebut bisa diproyeksikan... budaya remaja merupakan sebuah paduan
kontradiktif antara yang autentik dan yang dimanufaktur: ia adalah area ekspresi diri bagi kaum muda dan padang rumput yang subur
bagi provider komersial. Selain itu, lagu-lagu pop
Merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusustan persolalan emosi dan seksual. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan
untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang
tidak pasti dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial berarti bahwa lagu dan setting itu kekurangan
17
autensitas. Kendati demikian, lagu-lagu itu mengekspresikan dilema emosional remaja dengan gamblang.
Permasalahan yang muncul disini adalah kehadiran industri musik lebih dikosentrasikan pada perlindungan asset yang telah dimiliki
daripada memenuhi konsumen. Terlepas dari perluasan batas-batas keberagaman dan kreatifitas musikal, sedikitnya pada level permukaan,
industri musik tampak sebagai industri yang membatasi diri terhadap resiko yang ada. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa musik tidak
lagi menjadi
tempat dimana
konsumen dapat
secara umum
mengekspresikan ketidaknyamanan mereka dengan kelompok sosial yang dominan.
Lebih jauh, proses ini menunjukan pengaruh idiologis konsumerisme sebagai cara hidup. Sebagai akibatnya, konsumsi
menawarkan konsumen sebuah kerangka di mana mereka dapat mengkonstruksikan identitas dengan mengikuti aliran musik tertentu dan
gaya hidupnya fans yang dipengaruhi oleh media. e. Pola konsumsi makanan dan minuman
Pola konsumsi makanan dan minuman adalah barang-barang pemenuhan kebutuhan terutama makanan dan minuman. Konsumsi tidak
diterjemahkan sebagai lalulintas kebudayaan benda tetapi menjadi panggung sosial dimana dalam kebudayaan konsumen dewasa ini terdapat
produk-produk konsumer yang merupakan medium pembentukan
18
personalitas, gaya-gaya, citra dan cara-cara diferensiasi diri yang berbeda- beda. Ini dapat dilihat dari gaya hidup masyarakat yang suka berbelanja
pakaian, makanan dan minuman, merayakan ulang tahun, kebiasaan mentraktir, menggunakan dan lain-lain. Ditambah lagi dengan
menjamurnya lingkungan fisik yang mendukung gaya hidup seseorang.
B. Media Komunikasi dan Gaya Hidup