Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Sepeda Motor Honda Pada PT Aksara Honda Motor Medan
SKRIPSI
PENGARUH KONFLIK TERHADAP HUBUNGAN KERJA SAMA FRANCHISE PADA AYAM PENYET SURABAYA DI MEDAN
OLEH Sandi Satria
080502153
PROGRAM STUDI STRATA-1 MANAJEMEN DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ABSTRAK
Pengaruh Konflik Terhadap Hubungan Kerjasama Franchise Ayam Penyet Surabaya di Medan
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise Ayam Penyet Surabaya di Medan. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis triangulasi yaitu merupakan salah satu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa (1) Konflik yang terjadi pada kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya di Medan terjadi masih pada tahapan konflik yang pertama yaitu Konflik yang mendahului (Laten) dan kedua yaitu konlik yang mendahului (antecedent condition). (2) Dampak adanya konflik dalam hubungan kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya tidak terlalu menganggu hubungan kerja sama tersebut. Setiap konflik yang ada, masih dapat teratasi dengan azas kekeluargaan.
(3)
ABSTRACT
Influence of the conflict on the relationship of franchise Ayam Penyet Surabaya in Medan
This study aimed to determine and analyze the effect of the conflict on the relationship of franchise Ayam Penyet Surabaya, Medan. This type of research is qualitative research, ie research methods used to examine the condition of the natural object. The main source of data in qualitative research is the words and actions of the informant obtained through interviews, the rest is additional data such as document and others. To obtain the data and information the informants in this study are determined by purposive or deliberate where the informant had previously set.
Data collection techniques used were interviews, observation and documentation. Data analysis techniques in this study using the triangulation analysis is one that utilizes data validity checking something else out that data for checking purposes or as a comparison to the data.
The results showed that (1) The conflict in the franchise cooperation Ayam Penyet Surabaya Medan happen still in the first stages of the conflict that preceded the conflict (laten) and the second is beyond conflict that preceded the (antecedent condition). (2) The impact of conflict in franchise relationships of cooperation at Ayam Penyet Surabaya is not overly disturb the relations of cooperation. Any existing conflict, still can be resolved with the principle of kinship..
(4)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dan ridho serta nikmat-Nya khususnya pada peneliti sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Dalam penelitian skripsi ini peneliti mengangkat judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Sepeda Motor Honda Pada PT Aksara Honda Motor Medan”.
Peneliti mengucapkan terima kasih yang tulus, ikhlas dan tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Ayahanda Syahrin Siregar dan Ibunda Salmah Harahap yang telah memberikan kasih sayang serta dukungan moril dan materil sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Azhar,MEC.AC selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Isfenti Sadalia, SE, ME, selaku Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Marhayanie, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. Endang Sulistya Rini, SE, M.Si, selaku Ketua Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dra. Setri Hiyanti Siregar, M.si, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan arahan dalam menyusun skripsi.
6. Bapak Drs. Ami Dilham, M.si selaku Dosen Pembaca Penilai yang telah banyak membantu dan memberikan saran untuk kesempurnaan dalam skripsi ini.
(5)
7. Terima kasih banyak untuk semua keluarga besarku atas kasih sayang dan dukungan doa dan semangat yang telah diberikan selama ini.
8. Untuk Fandi, Herlina, Gusniarti, Mutia, Puteri dan seluruh teman Manajemen Stambuk 2008. Terima kasih atas bantuan dan doa yang telah diberikan selama ini.
Semoga Allah SWT memberikan Rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril, spritual maupun pengetahuan kepada peneliti. Peneliti menyadari skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Medan, September 2013 Peneliti
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Franchise ... 7
2.1.1 Pengertian Franchise ... 7
2.1.2 Sejarah Franchise (Waralaba) ... 9
2.1.3 Jenis/ Bentuk Franchise ... 10
2.1.4 Keunggulan dan kelemahan sistem Franchise ... 12
2.1.5 Kerjasama Franchise ... 14
2.2 Konflik ... 22
2.2.1 Pengertian Konflik ... 22
2.2.2 Ciri-ciri Konflik ... 23
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik ... 26
2.2.4 Strategi mengatasi Konflik ... 28
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Manajemen Konflik ... 32
2.3 Kerjasama... 33
2.3.1 Pengertian Kerja Sama ... 33
2.3.2 Bentuk-bentuk Kerjasama ... 34
2.3.3 Manfaat Kerjasama ... 36
2.4 Penelitian Terdahulu ... 37
2.5 Kerangka Konseptual ... 38
2.6 Hipotesis... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 41
3.1 Jenis Penelitian ... 41
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 41
3.3 Batasan Operasional ... 41
(7)
3.5 Sumber Data ... 44
3.6 Teknik Pengumpulan data ... 45
3.7 Teknik Analisis Data ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1 Gambaran Umum ... 47
4.1.1 Sejarah Ayam Penyet Surabaya ... 47
4.1.2 Struktur Organisasi Rumah Makan Ayam Penyet Surabaya ... 50
4.1.3 Menu Ayam penyet Surabaya ... 52
4.1.4 Visi, Misi dan Tujuan Perusahaan ... 54
4.2 Paparan Data ... 55
4.2.1 Konflik Masih Tersembunyi (Laten) ... 55
4.2.2 Konflik Yang Mendahului (antecedent condition) 58 4.2.3 Konflik Yang Dapat diamati (Perceived Conflict). 59 4.2.4 Konflik Terlihat Secara Terwujud dalam Perilaku (Manifest Behaviour) ... 61
4.3 Temuan Penelitian ... 64
4.3.1 Konflik Masih Tersembunyi (Laten) ... 64
4.3.2 Konflik Yang Mendahului (antecedent condition) 67 4.3.3 Konflik Yang Dapat diamati (Perceived Conflict). 70 4.3.4 Konflik Terlihat Secara Terwujud dalam Perilaku (Manifest Behaviour) ... 72
4.3.5 Beberapa Penentu Kesuksesan Kerjasama Dalam Franchise ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
5.1 Kesimpulan ... 78
5.2 saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
(8)
DAFTAR TABEL
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik… 25 3.1 Operasionalisasi Variabel ... 42
(9)
DAFTAR GAMBAR
No. Tabel Judul Halaman
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
(11)
ABSTRAK
Pengaruh Konflik Terhadap Hubungan Kerjasama Franchise Ayam Penyet Surabaya di Medan
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise Ayam Penyet Surabaya di Medan. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis triangulasi yaitu merupakan salah satu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa (1) Konflik yang terjadi pada kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya di Medan terjadi masih pada tahapan konflik yang pertama yaitu Konflik yang mendahului (Laten) dan kedua yaitu konlik yang mendahului (antecedent condition). (2) Dampak adanya konflik dalam hubungan kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya tidak terlalu menganggu hubungan kerja sama tersebut. Setiap konflik yang ada, masih dapat teratasi dengan azas kekeluargaan.
(12)
ABSTRACT
Influence of the conflict on the relationship of franchise Ayam Penyet Surabaya in Medan
This study aimed to determine and analyze the effect of the conflict on the relationship of franchise Ayam Penyet Surabaya, Medan. This type of research is qualitative research, ie research methods used to examine the condition of the natural object. The main source of data in qualitative research is the words and actions of the informant obtained through interviews, the rest is additional data such as document and others. To obtain the data and information the informants in this study are determined by purposive or deliberate where the informant had previously set.
Data collection techniques used were interviews, observation and documentation. Data analysis techniques in this study using the triangulation analysis is one that utilizes data validity checking something else out that data for checking purposes or as a comparison to the data.
The results showed that (1) The conflict in the franchise cooperation Ayam Penyet Surabaya Medan happen still in the first stages of the conflict that preceded the conflict (laten) and the second is beyond conflict that preceded the (antecedent condition). (2) The impact of conflict in franchise relationships of cooperation at Ayam Penyet Surabaya is not overly disturb the relations of cooperation. Any existing conflict, still can be resolved with the principle of kinship..
(13)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Sistem Waralaba (Franchise) kini sudah berkembang pesat tidak hanya di luar negeri tetapi juga di dalam negeri, ini karena bisnis waralaba sudah menjadi bisnis yang sangat di gemari oleh para pengusaha, dewasa ini bisnis Waralaba (Franchise) sudah meningkat sampai 45 % dari segala bidang usaha yang telah di jalani oleh para pengusaha, contohnya di Inggris, Waralaba (Franchise) sudah menjadi pilihan untuk berbisnis, karena dalam hal ini Waralaba (Franchise) mempunyai syarat agar bisnis ini tetap berkembang, yaitu tidak pernah mengenal diskriminasi untuk mendapatkan perkembangan yang lebih meningkat para pemilik waralaba akan menyeleksi terlebih dahulu calon pengusaha yang ikut bergabung agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan memuaskan.
Waralaba (Franchise) mempunyai jenis yang berbeda-beda mulai dari waralaba pendidikan, waralaba makanan dan minuman serta waralaba kecantikan. Tetapi sebenarnya masih banyak sekali jenis-jenis waralaba yang telah berkembang di Indonesia. Di Indonesia, kalangan masyarakat pada tahun 1950-an, ini terbukti ketika mulai munculnya waralaba dalam bidang kendaraan, baik bermotor maupun mobil.
(14)
Perkembangan Waralaba (Franchise) di Indonesia memang telah sangat berkembang pesat, sehingga banyak sekali jenis-jenis waralaba yang sudah memenuhi pasar. Belakangan ini bisnis waralaba yang sedang di gemari oleh orang-orang yaitu bisnis waralaba makanan, karena dapat di ketahui bahwa makanan selalu di butuhkan oleh manusia, serhingga tak jarang banyak orang yang melirik usaha ini.
Usaha waralaba di Indonesia sesungguhnya telah berkembang sejak lebih dari 20 tahun yang lalu dan tumbuh pesat 10 tahun terakhir sebelum masa krisis ekonomi tahun 1997. Pada tahun 1984 hanya terdapat 12 merek waralaba, maka pada tahun 1996 diperkirakan sudah terdapat lebih 200 merek waralaba. khususnya dalam bidang makanan. Sayangnya, usaha waralaba disini masih didominasi oleh merek-merek asing. Sampai saat ini belum banyak pemilik waralaba nasional padahal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.
Berdasarkan data Deperindag RI pada periode tahun 1997-2003 pertumbuhan waralaba nasional/lokal rata-rata sebesar 17,3%. Pada tahun 2009 terdapat sekitar 230 usaha waralaba asing dan sekitar 360 waralaba lokal di Indonesia. Pesatnya perkembangan waralaba daerah perkotaan di Indonesia ini, karena di dukung oleh jumlah populasi yang tinggi dan daya beli yang tinggi, disamping pola makan masyarakat, bisnis (middle-up) yang cenderung makan di luar rumah
Ini menunjukkan setidaknya sebuah indikasi respon yang baik dari masyarakat terhadap bisnis makanan. Makan adalah sebuah kebiasaan yang rutin dan dilakukan berulang-ulang selama hidup manusia. Kelompok pendapatan masyarakat manapun membutuhkan makanan. Hal ini memperlihatkan potensi pasar yang sangat
(15)
luas. Ayam Penyet Surabaya merupakan salah satu jenis franchise (waralaba) nasional yang berkembang di Indonesia. Ayam penyet Suarabaya membuka dua gerai di Medan yaitu di Jl. Krakatau Simp. Bukit barisan dan Jl. Brig. Zein Hamid Simp. Alvala, Medan yang menawarkan ayam penyet dengan urap menjadi menu khas tersendiri Restoran Ayam Penyet Surabaya.
Bisnis Franchise adalah bisnis yang melibatkan kerja sama beberapa pihak dan Konflik adalah hal yang sangat mungkin terjadi dalam setiap perikatan antara dua pihak. Konflik antara franchisor dan franchisee bisa jadi dan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Franchisor (pemberi waralaba) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan kewenangan untuk menggunakan bisnis yang sudah ada yang dimilikinya kepada seorang pembeli franchise. Sedangkan Franchisee (Penerima Waralaba) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak oleh pebisnis untuk menanamkan modalnya untuk memanfaatkan dan menggunakan usahanya tersebut dari pebisnis tadi.
Konfik yang ditimbulkan oleh masalah-masalah hubungan pribadi dengan ruang lingkup yang kecil kadang-kadang memiliki dampak luas dalam suatu organisasi. Ketidaksesuaian tujuan dan nilai-nilai pribadi seseorang dalam jabatan tertentu yang diembannya seringkali sangat resisten terhadap konflik. Secara umum konflik tidak dapat dihilangkan sama sekali, tetapi hanya bisa ditekan atau dikurangi kualitas, kuantitas dan intensitasnya.
(16)
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik (Gibson, et.al., 2009:437).
Konflik yang terjadi pada usaha franchise biasanya Franchisor telah mengorbankan banyak waktu, tenaga dan biaya dalam membangun sistem franchise. Didalam bisnis franchise sistem dibuat untuk mengontrol kualitas usahanya yang harus diikuti oleh franchisee, namun di sisi lain, franchisee sering menolak menjalankan aturan yang dianggap tidak adil atau merugikan dirinya. Bila ketegangan antara kedua pihak berlangsung lama, maka berbagai bentuk perselisihan dan permusuhan akan menjadi konflik yang pada akhirnya akan menjauhkan mereka dari tujuan awal kerjasama ini.
Faktor lainnya yang menyebabkan banyak perselisihan (konflik) antara franchisor dan franchisee adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Di dalam bisnis franchise, Franchisor menentukan kualifikasi yang tinggi saat merekrut franchisee, sedangkan calon franchisee mengharapkan dukungan penuh dalam berbagai aspek untuk mencapai sukses, maka ketika kenyataannya tidak sesuai
(17)
dengan harapan, yang terjadi adalah kekecewaan bahkan frustrasi. Hal ini lah yang juga terjadi dalam mengelolah suatu bisnis/usaha seperti Waralaba (Franchise).
Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise Ayam Penyet Surabaya di Medan”.
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dan penjelasan di atas yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalahnya sebagai berikut:
“Bagaimana pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise
Ayam Penyet Surabaya di Medan?”
1.3 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebenaran suatu pengetahuan. Dengan demikian, adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise Ayam Penyet Surabaya di Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Bagi perusahaan
Sebagai masukan terhadap pemilik usaha terutama dalam menyukseskan bisnis franchise yang digelutinya.
(18)
2. Bagi peneliti
Sebagai suatu sumber pengetahuan untuk peneliti dalam memperluas wawasan mengenai pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise. 3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang melakukan penelitian mengenai objek yang sama, yakni pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise.
(19)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Franchise
2.1.1 Pengertian Franchise
Franchising adalah suatu sistim pemasaran berkisar tentang perjanjian dua belah pihak, dimana terwaralaba menjalankan bisnis sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pewaralaba. Franchising dapat pula berarti sistem pemasaran yang melibatkan dua belah pihak yang terikat perjanjian, sehingga usaha waralaba harus dijadikan sesuai dengan aturan-aturan dari pewaralaba.
Secara umum waralaba/franchise dapat diartikan sebagai pengaturan bisnis yang memiliki perusahaan (pewaralaba atau franchisor) memberi/menjual hak kepada pihak pembeli atau penerima hak (terwaralaba atau franchisee) untul menjual produk dan atau jasa perusahaan pewaralaba tersebut dengan peraturan dan syarat-syarat lain yang telah ditetapkan oleh pewaralaba.
Menurut European Code of Ethics for Franchising di dalam sewu (2004:5-6) “Franchise adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup dan terus menerus antara pelaku-pelaku independent (maksudnya franchisor dan individual franchisee) dan terpisah baik secara legal (hukum) dan keuangan, dimana franchisor memberikan hak pada individual franchisee, dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor”.
(20)
Kemudian pengertian waralaba menurut Asosiasi Franchise Indonesia adalah: “Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”.
Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, “Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa”.
Beberapa terminologi berkaitan dengan usaha waralaba:
1. Pemberi waralaba (Franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
2. Penerima waralaba (Franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.
(21)
2.1.2 Sejarah Franchise (Waralaba)
Pertama kali Waralaba dikenalkan pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca-Cola. Namun menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca-Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898.
Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restoran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restoran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran.
Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS.
(22)
Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA. Kategori waralaba berbeda-beda antara lain: franchise dalam bentuk makanan, pendidikan dan lain-lain. salah satu bentuk nya adalah dan masih banyak lagi franchise yang berkembang di
Indonesia ini.
2.1.3 Jenis/Bentuk Franchise
Dalam praktek franchise terdiri dari empat bentuk: 1. Product Franchise
Suatu bentuk franchise dimana penerima franchise hanya bertindak mendistribusikan produk dari petnernya dengan pembatasan areal
2. Processing or Manufacturing Franchise
Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
3. Bussiness Format atau System Franchise
Franchisor memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh Mc.Donald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket.
(23)
4. Group Trading Franchise
Bentuk franchise yang menunjuk pada pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada.
Sedangkan menurut organisasi Franchise International yang beranggotakan negara-negara di dunia, ada empat jenis franchise yang mendasar yang biasa digunakan di Amerika Serikat, yaitu:
1. Product Franchise
Produsen menggunakan produk franchise untuk mengatur bagaimana cara pedagang eceran menjual produk yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memberikan hak kepada pemilik toko untuk mendistribusikan barang-barang milik pabrik dan mengijinkan pemilik toko untuk menggunakan nama dan merek dagang pabrik. Pemilik toko harus membayar biaya atau membeli persediaan minimum sebagai timbal balik dari hak-hak ini. Contohnya, toko ban yang menjual produk dari franchisor, menggunakan nama dagang, serta metode pemasaran yang ditetapkan oleh franchisor.
2. Manufacturing Franchises
Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
(24)
3. Business Oportunity Ventures
Bentuk ini secara khusus mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli dan mendistribusikan produk-produk dari suatu perusahaan tertentu. Perusahaan harus menyediakan pelanggan atau rekening bagi pemilik bisnis, dan sebagai timbal baliknya pemilik bisnis harus membayarkan suatu biaya atau prestasi sebagai kompensasinya. Contohnya, pengusahaan mesin-mesin penjualan otomatis atau distributorship.
4. Business Format Franchising
Ini merupakan bentuk franchising yang paling populer di dalam praktek. Melalui pendekatan ini, perusahaan menyediakan suatu metode yang telah terbukti untuk mengoperasikan bisnis bagi pemilik bisnis dengan menggunakan nama dan merek dagang dari perusahaan. Umumnya perusahaan menyediakan sejumlah bantuan tertentu bagi pemilik bisnis membayar sejumlah biaya atau royalti. Kadang-kadang, perusahaan juga mengaharuskan pemilik bisnis untuk membeli persediaan dari perusahaan.
2.1.4 Keunggulan dan Kelemahan Sistem Franchise
Franchising juga merupakan strategi perluasan dari suatu usaha yang telah berhasil dan ingin bermitra dengan pihak ketiga yang serasi, yang ingin berusaha, dan memiliki usaha sendiri. Sistem franchise ini mempunyai keunggulan-keunggulan dan juga kerugian-kerugian. Keunggulannya adalah:” Seperti dalam praktek retailing, franchising menawarkan keuntungan untuk memulai suatu bisnis baru dengan cepat
(25)
berdasar pada suatu merek dagang yang telah terbukti bisnisnya, tidak sama seperti dengan membangun suatu merek dan bisnis baru dari awal mula”.
Selain itu menurut Rachmadi keunggulan lainnya dari sistem franchise bagi franchisee, antara lain:
1. Pihak franchisor memiliki akses pada permodalan dan berbagi biaya dengan franchisee dengan resiko yang relatif lebih rendah.
2. Pihak franchisee mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah bisnis dengan cara cepat dan biaya lebih rendah dengan produk atau jasa yang telah teruji dan terbukti kredibilitas mereknya.
3. Lebih dari itu, franchisee secara berkala menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran. (Rachmadi, 2007:7-8)
Sedangkan kerugian sistem franchise bagi franchisee menurut Rachmadi (2007:9) adalah:
1. Sistem franchise tidak memberikan kebebasan penuh kepada franchisee karena franchisee terikat perjanjian dan harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat oleh franchisor.
2. Sistem franchise bukan jaminan akan keberhasilan, menggunakan merek terkenal belum tentu akan sukses bila tidak diimbangi dengan kecermatan dan kehati-hatian franchisee dalam memilih usaha dan mempunyai komitmen dan harus bekerja keras serta tekun.
(26)
3. Franchisee harus bisa bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dalam hubungannya dengan franchisor.
4. Tidak semua janji franchisor diterima oleh franchisee.
5. Masih adanya ketidakamanan dalam suatu franchise, karena franchisor dapat memutuskan atau tidak memperbaharui perjanjian.
2.1.5 Kerjasama Franchise
Format bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sektor ekonomi di USA dan UK (Mandelsohn, 1995:69). Pemberian ijin franchisor kepada franchisee untuk mengembangkan bisnis menggunakan mereknya. Pada dasarnya franchisor menyediakan proses managerial kepada franchisor untuk menjalankan bisnis sesuai dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001:86). Sistem franchise tidak hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem sosial karena adanya unsur relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005:331).
Hubungan kerjasama antara franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik. Dari hasil penelitian Tikoo (2005:329) peran franchisor meliputi permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disebabkan oleh asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000:354).
(27)
Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor dan franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh ketergantungan franchisee. Sehingga peran franchisor diatas mempunyai hubungan negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas 2 (dua) arah antara franchisor dengan franchisee (Tikoo, 2005:329) misal menggunakan pertukaran informasi (information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain) atas penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi franchisee.
Dimensi dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas (Tikoo, 2005:329). Kualitas hubungan digambarkan sebagai kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Dalam dunia franchise ada beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas hubungan dalam jaringan franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik, kekeluargaan, kerjasama. (Monroy dan Alzola, 2005:585). Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network patner tapi dalam kinerja penjualan.
(28)
Adapun beberapa penentu kesuksesan kerjasama dalam franchise antara lain: 1. Kepercayaan
Menurut Monroy dan Alzola, (2005:585) Kepercayaan adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama. Disamping itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen berbeda yaitu kredibilitas dan benevolence (kebajikan)
Kredibilitas mengacu pada perluasan dimana satu partner mempercayai bahwa partner lain memiliki kecakapan untuk menampilkan kerja yang efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
2. Komitmen
Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial kesuksesan hubungan. (Monroy dan Alzola, 2005: 585). Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurang potensi ketertarikan alternative ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit.
Geyskens dalam Monroy dan Alzola (2005:585) menyatakan bahwa perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang terpenting dalam hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif menghubungkan dengan keinginan untuk meneruskan hubungan karena pengaruh positif kedepan dalam mengidentifikasi partnernya. Partner yang memiliki komitmen afektif meneruskan hubungan karena menyukai partner lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen
(29)
kalkulatif merupakan komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner yang menerima kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada perpindahan biaya yang ditinggalkan yang menghasilkan perhitungan antara biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah hubungan. 3. Relasionalism (rasa kekeluargaan).
Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku partner. Pada kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah flexibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik.
Ada sepuluh permasalahan yang sangat penting diperhatikan oleh franchisor yang berpotensi menjadi wilayah konflik, yaitu :
1. Franchisee Recruiting
Franchisor harus sangat berhati-hati dalam mengevaluasi dan menyaring calon franchisee-nya, karena itu penting menetapkan kriteria, meneliti dan memastikan mereka memiliki latar belakang keuangan dan pengalaman dalam mengoperasikan bisnis. Didalam bisnis Franchise, Calon Franchisee harus memiliki kekuatan keuangan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan modal usaha, termasuk juga untuk penggajian, sewa, pembelian produk, pajak, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Idealnya, calon franchisee harus memiliki latar belakang menjalankan bisnis serupa atau yang sejalan dengan bisnis franchise atau setidaknya pengalaman bekerja
(30)
yang memadai. Faktor lain yang berkontribusi terhadap sukses frachisee itu adalah motivasi, loyalitas, dan komitmen. Tentu saja, hampir mustahil untuk mengevaluasi calon franchisee hanya dari test tertulis, oleh karena itu franchisor harus melakukan wawancara langsung termasuk juga dengan beberapa referensi yang mereka berikan jika ada, setidaknya franchisor mempunyai gambaran awal yang cukup banyak tentang figur calon franchiseenya. Berhati-hati bila sejak awal calon franchisee sudah memunculkan sikap bermusuhan dan memancing perdebatan. Site Selection and Territorial Rights.
Franchisee biasanya diberikan kebebasan untuk memilih lokasi bisnisnya, namun franchisor juga memiliki hak untuk menerima atau menolak lokasi yang diajukan franchisee, akan tetapi sejak awak franchisor harus sudah memberikan kriteria yang jelas mengenai pemilihan lokasi yang diinginkan dengan berbagai faktor pertimbangan seperti target market, ukuran luas, kesesuaian lokasi dengan jenis usaha, kapasitas parkir, biaya pengembangan, kemudahan akses, kompetitor usaha sejenis, demografi, populasi dan lain-lain.
Franchisee seringkali mengharapkan banyak bantuan dalam pemilihan lokasi ini. Biasanya pertimbangan franchisee lebih pada dana yang harus dikeluarkan dan bagaimana tingkat pengembaliannya nanti. Franchisee akan diberikan wilayah eksklusif di mana tercantum dalam perjanjian sebagai radius tertentu untuk wilayah pemasarannya. Jangan sampai terjadi overlap dalam penentuan lokasi dengan franchisee lainnya karena ini akan menimbulkan konflik antara franchisor dengan franchisee.
(31)
2. Supervision and Support
Franchisee biasanya individu independen yang ingin menjalankan bisnis untuk diri mereka sendiri, mereka juga tertarik pada franchise karena bimbingan dan dukungan yang ditawarkan oleh franchisor yang menawarkan konsep bisnis yang mapan dan terbukti berhasil. Sebuah bisnis franchise dikatakan sukses tidak hanya sebatas dapat memenuhi komitmen kontrak yang ditetapkan oleh perjanjian franchise, tetapi franchisor bisa memberikan dukungan dan pengawasan tambahan yang bahkan tidak tercantum dalam kesepakatan. Pengawasan mengingatkan franchisor akan kesulitan yang mungkin dihadapi franchisee dan selalu mengingatkan untuk kembali kepada sistem.
Sementara pengawasan berlebihan oleh franchisor biasanya tidak diperlukan dan bahkan dapat mengganggu kemampuan franchisee untuk menjalankan bisnis. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pengawasan, diantaranya dengan memelihara kontak rutin melalui telepon, SMS, email dan melakukan kunjungan sebagai tanda bahwa franchisor selalu menunjukkan kesediaan untuk membantu menyelesaikan masalah franchisee dan berkomitmen membantu mencapai tujuan franchisee. Kurangnya dukungan bisa menyebabkan ketidakpuasan dan berakhir konflik. Franchisee juga menginginkan support dalam bentuk pengembangan produk baru, sehingga franchisor memang harus sudah siap dengan Research & Development (R & D).
Kegagalan dalam merespon dan mengelola masalah yang terjadi di operasional franchisee, akan membuat masalah semakin menumpuk dan menciptakan hubungan
(32)
permusuhan antara para pihak. Dalam hal ini, sangat mungkin para franchisee saling berkomunikasi dan membentuk asosiasi franchisee. Franchisor dapat juga menawarkan layanan konsultasi manajemen untuk program-program khusus dalam upaya pemasaran atau bahkan memberikan bantuan pada akses pendanaan dengan pihak ketiga. Komunikasi yang baik antara franchisee dan franchisor akan mengurangi kemungkinan timbulnya konflik, sehingga yang terjadi adalah bagaimana tujuan awal kerjasama kedua pihak bisa diwujudkan dengan saling menguntungkan. 3. Quality Control
Kontrol kualitas (Quality Control) bertujuan menjaga danmengarahkan agar kualitas produk perusahaan dapat dipertahankan sesuaidengan rencana. Kontrol kualitas sangat diperlukan dalam memproduksi suatu barang untuk menjaga kestabilan mutu. Tidak hanya dalam industri,kontrol kualitas dibutuhkan juga pada manajemen.
4. Accounting practices and Procedures (Praktek Akuntansi dan Prosedur)
Perubahan yang cepat dalam masyarakat telah menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan badan usaha atau perusahaan. Di samping itu, adanya peningkatan aktivitas usaha suatu perusahaan baik yang profit maupun yang non profit dirasakan sebagai beban yang berat. Oleh karena itu, agar semua kegiatan usaha dapat berjalan dengan baik dan lancar, suatu perusahaan memerlukan informasi mengenai keadaan seluruh kegiatan perusahaan secara cepat dan dapat diandalkan. Salah satu informasi yang sangat penting dan diperlukan oleh perusahaan adalah
(33)
informasi mengenai keadaan keuangan dan hasil usaha yang telah dicapai. Informasi yang menyajikan keadaan tersebut dikenal sebagai akuntan.
5. Misuse of Advertising fund (Penyalahgunaan dana Periklanan)
Dengan adanya pengawasan yang tepat, penyalagunaan dana periklanan oleh pihak franchisee dapat dihindarkan.
6. Unequal Treatment
Unequal Treatment adalah jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi pengertian penghasilan, apabila jumlahnya sama dikenakan tarif yang sama, tanpa membedakan jenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan.
7. Transfers by Franchisees (Transfer oleh Franchisee)
Transfer adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Baik transfer uang keluar atau masuk akan mengakibatkan adanya hubungan antar cabang yang bersifat timbal balik, artinya bila satu cabang mendebet cabang lain mengkredit. Keuntungan transaksi Transfer adalah menghemat waktu, lebih aman, Tidak perlu modal, tidak ada biaya menerima, dana langsung tersedia, relatif mudah, jarang ada transaksi palsu, dan tidak ada biaya membayar (kecuali transfer beda bank/beda kota atau negara)
8. Training for Franchisor’s Management and Sales Team (Pelatihan Manajemen Franchisor dan Tim Penjualan)
Pelajaran pertama yang dipelajari oleh profesional penjualan berbagai pembinaan komunikasi persuasif dengan berbagai populasi. Staf penjualan dalam
(34)
berhubungan dengan konsumen khawatir tentang anggaran mereka, eksekutif yang sibuk dan orang-orang yang tidak pernah menganggap membeli produk perusahaan. 9. Documentation (Dokumentasi)
Pengelolaan dokumen suatu perusahaan merupakan salah satu unsur dari pengelolahan informasi perusahaan. Dokumen perusahaan sebagai data, catatan, rekaman aktifitas perusahaan harus dikelolah dengan tepat oleh franchisee.
2.2 Konflik
2.2.1 Pengertian Konflik
Dalam kehidupan yang dinamis antar individu dan antar komunitas, baik dalam organisasi maupun di masyarakat yang majemuk, konflik selalu terjadi manakala saling berbenturan kepentingan. Konflik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi sosial dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka.
Menurut Engkoswara & Komariah (2010:166) mengatakan” konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak”. Pertentangan kepentingan ini berbeda dalam intensitasnya tergantung pada sarana yang dipakai. Masing-masing ingin membela nilai yang telah mereka anggap benar, dan memaksa pihak lain untuk mengakui nilai-nilai tersebut baik secara halus maupun kasar. Ada definisi lain tentang konflik kerja yaitu: Ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/perusahaan) yang harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau
(35)
persepsi. Konflik kerja juga dapat diartikan sebagai perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Selain itu konflik diartikan sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan” (Murni dan Veithzal , 2009:805). Menurut Antonius, dkk (2002:175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. Sedangkan menurut Scannell (2010:2) konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. 2.2.2 Ciri-Ciri Konflik
Menurut Wijono( 2003:37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
(36)
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen, dan tidak jarang komponen-komponen tersebut bersinggungan dan menjadikan suatu konflik diantara organisasi tersebut. Terdapat beberapa tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik, yaitu:
Tabel 2.1
Tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik.
Konflik Penjelasan
1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului
(antecedent condition).
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict).
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior).
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat dari individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja. Sumber: Wijono (2003:38-41)
(37)
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga kategori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
1. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
2. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
(38)
3. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict).
Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1. Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2. Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih; 3. Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
(39)
4. Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
5. Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
6. Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
7. Peraturan-peraturan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
8. Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
9. Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
10. Pengambilan keputusan melalui konsensus;
11. Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
12. Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik. 2.2.4 Strategi Mengatasi Konflik
Pengertian manajemen adalah sebuah tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencaSpiritual tujuan sedangkan pengertian konflik adalah segala macam interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat timbul pada berbagai situasi sosial, baik
(40)
terjadi dalam diri individu, antar individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah cara yang digunakan individu untuk menghadapi pertentangan atau perselisihan antara dirinya dengan orang lain yang terjadi di dalam kehidupan.
Manajemen konflik menurut Murni dan Veithzal (2009:346) adalah “Pemecahan masalah dibawah tekanan dan lingkungan emosional”. Adanya batasan dalam resolusi konflik memungkinkan pemimpin pendidikan memberikan penekanan pada periode singkat dimana terdapat sistem Pendidikan diluarnya.
Manajemen konflik merupakan cara-cara yang dapat dilakukan individu maupun kelompok dalam menyelesaikan konflik, di bawah ini akan dijabarkan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik baik antara individu, kelompok, maupun individu-kelompok menurut para ahli.
Menurut Stevenin (2000:134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan.
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
(41)
2. Diagnosis.
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat
diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok. 5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (2003:139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
(42)
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan tiga hal:
1. Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut.
2. Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusi-solusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
3. Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan meingat semua jajaran dalam organisasi.
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Konflik
Pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (internal) dan kondisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh
(43)
seberapa penting tujuan-tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah, yaitu:
1. Tujuan atau kepentingan pribadi yang dirasa sebagai hal yang sangat penting sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan. 2. Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan
dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama sekali tidak penting.
Menurut Boardman dan Horowitz dalam Mardianto (2000:212), karakteristik kepribadian berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu. Karakteristik yang berpengaruh adalah kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir konflik.
Sikap etnosentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau menilai orang lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik-karakteristik seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak memecahkan masalah secara sepihak.
(44)
2.3 Kerjasama
2.3.1 Pengertian Kerjasama
Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama. Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untukmencapai suatu hasil (Baron & Byane, 2000). Menurut Sunarto (2000:58) Kerjasama (Cooperation) adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama (Cooperation) adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik.
2.3.2 Bentuk-bentuk Kerjasama
1. Merger
Merger atau fusi adalah suatu penggabungan satu atau beberapa badan usaha sehingga dari sudut ekonomi merupakan satu kesatuan, tanpa melebur badan usaha yang bergabung. Di pandang dari segi ekonomi, ada dua jenis merger, yaitu merger horizontal dan merger vertikal.
a. Merger horizontal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan
yang masing-masing kegiatan bisnis (produksinya) berbeda satu sama lain sehingga yang satu dengan yang lain nya merupakan kelanjutan dari masing-masing produk. Contoh PT A mengusahakan kapas, bergabung
(45)
dengan PT C yang mengusahakan kain dan seterusnya. Dengan demikian tujuan kerjasama disini adalah menjamin tersedianya pasokan atau penjualan dan distribusi di mana PT B akan mempergunakan produk PT A dan PT C akan mempergunakan produk PT B dan seterusnya.
b. Merger vertikal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang
masing-masing kegiatan bisnis berbeda satu sama lain, namun tidak saling mendukung dalam penggunaan produk. Misal nya badan usaha perhotelan, bergabung dengan badan usaha perbankan, perasuransian sehingga di sini terlihat adanya diversifikasi usaha dalam suatu penggabungan badan usaha. Di pandang dari aspek hukum, bentuk kerjasama ini hanya dapat dilakukan pada badan usaha dengan status badan hukum ( dalam hal ini perseroan terbatas ).
2. Konsolidasi
Antara konsolidasi dan merger sering kali dipersamakan sehingga dalam praktik kedua istilah ini sering di pertukarkan dan dianggap sama artinya, namun sebenarnya terdapat perbedaan pengertian antara konsolidasi dan merger.
Dalam merger penggabungan antara dua atau lebih badan usaha tidak membuat badan usaha yang bergabung menjadi lenyap, sedangkan konsolidasi adalah penggabungan antara dua atau lebih badan usaha yang menggabungkan diri saling melebur menjadi satu dan membentuk satu badan usaha yang baru, oleh kerena itu, konsolidasi ini sering kali di sebut dengan peleburan.
(46)
3. Joint Venture
Joint venture secara umum dapat di artikan sebagai suatu persetujuan di antara dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerjasama dalam suatu kegiatan. Persetujuan di sini adalah kesepakatan yang di dasari atau suatu perjanjian yang harus tetap berpedoman kepada syarat sah-nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHP perdata.
Jadi menurut Amirizal joint venture adalah kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka ( contractueel ).Subjek dari joint venture dapat di bagi menjadi dua jenis kerjasama yaitu:
1. Antara orang atau badan hukum RI dengan orang atau badan hukum RI
2. Antara orang atau badan hukum RI dengan orang atau badan hukum asing/lembaga internasional.
4. Waralaba
Waralaba yang dulu dikenal dengan istilah franchise sekarang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
(47)
2.3.3 Manfaat Kerjasama
Menurut H. Kusnadi (2003:78) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian kerja sama mempunyai beberapa manfaat, yaitu sebagai berikut:
1. Kerja sama mendorong persaingan di dalam pencapaian tujuan dan peningkatan produktivitas.
2. Kerja sama mendorong berbagai upaya individu agar dapat bekerja lebih produktif, efektif dan efisien.
3. Kerja sama mendorong terciptanya sinergi sehingga biaya operasionalisasi akan menjadi semakin rendah yang menyebabkan kemampuan bersaing meningkat. 4. Kerja sama mendorong terciptanya hubungan yang harmonis antarpihak terkait
serta meningkatkan rasa kesetiakawanan.
5. Kerja sama menciptakan praktek yang sehat serta meningkatkan semangat kelompok.
6. Kerja sama mendorong ikut serta memiliki situasi dan keadaan yang terjadi dilingkungannya, sehingga secara otomatis akan ikut menjaga dan melestarikan situasi dan kondisi yang telah baik.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Sadat (2011) dengan judul “Pengaruh Konflik Peran dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Astra Daihatsu Tbk Bagian Divisi Service”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Konflik Peran dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Astra Daihatsu Tbk bagian Divisi Service.
(48)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran tidak memiliki pengaruh namun tidak signifikan dalam mempengaruhi prestasi kerja pada PT. Astra Daihatsu Tbk, Bagian divisi service. Dengan nilai thitung 0,997 < 199714, dan tingkat signifikansinya 0,322 > 0,05. Variabel Faktor Gaya Kepemimpinan memiliki pengaruh dan signifikan terhadap peningkatan Kinerja Karyawan pada PT. Astra Daihatsu, Medan, dengan nilai thitung 3,972 > 1,99714 dan tingkat 0,000 < 0,05.
Penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2011) dengan judul “Pengaruh Manajemen Konflik Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT PLN (Persero) Cabang Medan.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh manajemen konflik dengan indikator keterbatasan sumber daya, komunikasi,struktur organisasi dan perbedaan individu, terhadap kinerja karyawan PT PLN (Persero) Cabang Medan, dengan indikator kunatitas kerja, kualitas kerja, pemanfaatan waktu dan kerja sama.
Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis deskriptif, metode analisis statistik yang terdiri dari analisis regresi linier sederhana, pengujian signifikan parsial dan pengujian koefisien determasi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel nilai pelanggan terhadap loyalitas nasabah, dengan nilai thitung sebesar 4,341 dan nilai koefisien determasi sebesar 23%.
(49)
2.5 Kerangka Konseptual
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (2009:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.
Sebuah organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau didalamnya tidak ada pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemimpin itu tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya tampa adanya bawahan (karyawan) yang selalu berintraksi dan membantunya. Adanya pemimpin dan bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling berkaitan. Oleh karena itu, istilah struktur digunakan dalam artian yang
(50)
mencakup: ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Jadi, konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian atau perbedaan antara dua pendapat (sudut pandang), baik itu terjadi dalam ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota keorganisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat, baik pengaruh positif maupun dalam sebuah organisasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat dibuat kerangka konseptual sebagai berikut: Kerangka konseptual
Sumber : Gibson(2009) data diolah
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Konflik (X):
• Konflik masih tersembunyi (laten). (1) • Konflik yang mendahului (antecedent
condition). (2)
• Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict). (3)
• Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior). (4)
Hubungan Kerjasama Franchise (Y)
(51)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2009:15) penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel, sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi. Data yang berbentuk kata, skema dan gambar. Pengambilan data atau penjaringan fenomena dilakukan dari keadaan yang sewajarnya. (Arikunto, 2006:55)
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jl. Krakatau Simp. Bukit barisan dan Jl. Brig. Zein Hamid Simp. Alvala, Medan. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013.
3.3 Batasan Operasional
Penelitian ini membahas mengenai pengaruh konflik terhadap hubungan kerjasama franchise Ayam Penyet Surabaya. Adapun Variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah:
1.Variabel independen yaitu Konflik yang terdiri dari: 1. Konflik masih tersembunyi (laten).
(52)
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict).
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior). 2.Variabel dependen yaitu Hubungan kerjasama Franchise.
3.4 Definisi Operasional
Defenisi Operasional variabel diperlukan untuk menjelaskan variabel-variabel yang sudah diidentifikasi sebagai upaya pemahaman dalam penelitian. Defenisi variabel yang diteliti adalah sebagai berikut:
Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan operasionaliasi variabelnya dalam Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1
Operasionalisasi variabel
Variabel Indikator
Konflik • Konflik masih tersembunyi (laten). (1)
• Konflik yang mendahului (antecedent condition). (2)
• Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict). (3)
• Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior). (4)
Hubungan Kerjasama
1. Kepercayaan 2. Komitmen 3. Kekeluargaan
(53)
Seperti penjelasan sebelumnya dan terlihat pada Tabel 3.1, adapun variabel pada penelitian ini adalah:
1. Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang nilainya tidak tergantung pada variabel lainnya.
a. Konflik masih tersembunyi (laten).
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
b. Konflik yang mendahului (antecedent condition).
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
c. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict).
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan d. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior).
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat dari individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
(54)
2. Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang nilainya dipengaruhi variabel bebas
a. Variabel dependen yaitu Hubungan kerjasama Franchise (Y).
Kualitas hubungan digambarkan sebagai kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan.
3.5 Sumber Data
Menurut Moleong (2007:88) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya. Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Informan
Informan sebagai sumber data adalah orang-orang yang terlibat atau mengalami proses pelaksanaan dan perumusan program dilokasi penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pimpinan Franchising Ayam Penyet di Jl. Krakatau Simp. Bukit barisan Medan
2. Pimpinan Franchising Ayam Penyet di Jl. Dr. Mansyur No. 45 Medan 3. Pimpinan Franchising Ayam Penyet Surabaya di Jl. Titi Kuning, Medan 4. Pimpinan Franchising Ayam Penyet Surabaya di Jl. Ring Road, Medan
(55)
2. Dokumen
Dokumen sebagai sumber data adalah berbagai arsip, agenda atau berkas-berkas yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini dan sifatnya memberikan tambahan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap ini, peneliti melakukan proses pengumpulan data yang telah ditetapkan berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong, 2007). Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada informan dengan mengunakan pedoman teknik wawancara.
2. Dokumentasi
Dokumen sebagai sumber data adalah berbagai arsip, agenda atau berkas-berkas yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini dan sifatnya memberikan tambahan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Menurut Arikunto (2006:158) “Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan lain sebagainya”.
(56)
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk mengolah data yang masih mentah sehingga memberikan arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Penyusunan ini penulis menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu analisis data yang dilaksanakan dengan jalan menggambarkan,melukiskan dan menguraikan secara mendalam keadaan yang sebenarnya di lapangan atau peristiwa yang terjadi. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis triangulasi yaitu merupakan salah satu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Bugin (2008:16).
(57)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Sejarah Ayam Penyet Surabaya
Sejarah berdirinya rumah makan Ayam Penyet Surabaya merupakan usaha waralaba sebagai pelopor warung makan ayam penyet di Indonesia. Ayam Penyet Surabaya didirikan oleh bapak Puspo Wardoyo. Selama ini, beliau dikenal sebagai pemilik Ayam Bakar Wong Solo. Namun tidak banyak yang tahu, jika beliau juga sukses membuat produk ayam penyet dengan merek Ayam Penyet Surabaya. Bahkan, Ayam Penyet Surabaya lah sebagai pelopor ayam penyet di Indonesia, sebelum ayam penyet ramai seperti belakangan ini.
Ayam Penyet Surabaya juga telah dikenal oleh negara tetangga yaitu Malaysia. Di negara jiran tersebut, ayam penyet buatan Wong Solo Group merupakan menu yang paling disukai oleh masyarakat sana. Banyaknya peminat ayam penyet buatan Wong Solo Group di negara Malaydi sia, membuat bapak Puspo Wardoyo membuka beberapa gerai dan menjadikan ayam penyet menjadi menu andalannya. Ini merupakan sebuah peluang usaha untuk bisa kita geluti.
Awalnya Ayam Penyet Surabaya hanyalah sebuah produk pelengkap di gerai Ayam Bakar Wong Solo. Awal mula Puspo memasukan ayam penyet ke dalam gerai Wong Solo karena pada 1992, anaknya senang makan tempe penyet di Surabaya. Dari situlah beliau memiliki inisiatif untuk memasukkan menu tempe penyet ke bagian dari menu Ayam Bakar Wong Solo. Banyaknya peminat tempe
(58)
penyet yang kian hari kian bertambah, menciptakan ide baru bagi beliau untuk membuat ayam penyet. Dan ternyata ayam penyet tersebut dapat diterima oleh lidah konsumen. Sejarah terbentuknya ayam penyet tidak berjalan singkat, bahkan harus melewati waktu yang lama untuk disukai customer.
Pada tahun 1997, ayam penyet mulai disukai oleh warga Djogja, bahkan Ibu Megawati berkeinginan untuk mencicipi cita rasa dari tempe dan ayam penyet tersebut. Kemudian pada tahun 2006, bapak Puspo mendirikan gerai ayam penyet sendiri dengan nama Ayam Penyet Surabaya di daerah Medan. Alasan beliau menggunakan nama Ayam Penyet Surabaya di Medan karena ide dalam menemukan ayam penyet terebut berasal dari kota Surabaya.
Saat ini, Ayam Penyet Surabaya sudah memiliki sekitar 20 gerai tersebar di Medan, Aceh, Palembang, Jakarta, Bandung, Purbalingga, Purwokerto, Malang, Balikpapan, Samarinda, dan Banjarmasin. Kedahsyatan Ayam Penyet Surabaya memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk membuka usaha serupa, termasuk mantan-mantan karyawan bapak Puspo Wardoyo. Ada ratusan ayam penyet dengan berbagai merek, yang dibuka oleh mantan karyawan saya baik yang skalanya kecil-kecil, sampai yang skala menengah, dan tersebar di seluruh Indonesia.
Seperti yang diketahui, ayam penyet sebenarnya merupakan kuliner yang sangat sederhana, menu tersebut merupakan ayam goreng yang dipenyet menggunakan uleg/batu giling, lalu menggunakan sambal yang sangat pedas. Letak rahasianya ada pada resep sambelnya. Ayam Penyet Surabaya memiliki sambal yang khas, yaitu sambel kampung yang pedasnya nonjok,” katanya. Selain ayam penyet,
(59)
banyak menu-menu lain yang terdapat dalam Ayam Penyet Surabaya. Antara lain, lele penyet, tempe penyet, ikan penyet, nasi goreng, ayam bakar, sayur, kangkung, capcay, dan sebagainya. Dan semua menu ditawarkan dengan harga yang relatif murah, yang pastinya tidak memberatkan pengeluaran konsumen.
Kini di setiap gerai Ayam Penyet Surabaya selalu ramai oleh pengunjung. Untuk hari biasa saja, Ayam Penyet Surabaya bisa dikunjungi sekitar 250 hingga 300 pengunjung, belum lagi kalau hari weekand, bisa didatangi sekitar 600 pengunjung. Peluang bisnis Ayam Penyet Surabaya akan selalu menjadi peluang bisnis yang bagus jika digeluti dengan serius. Pasalnya, produk ayam mau dibuat apa saja laku, karena orang Indonesia sangat menyukai ayam, mau ayam goreng, ayam bakar atau apa saja. “Namun ayam penyet punya kelas sendiri, sambalnya yang bikin orang bisa berkeringat, dan membuat orang ketagihan. Ucap Wardoyo.
Bagi calon franchisee yang berminat menjadi mitra bisnis Ayam Penyet Surabaya, maka sediakan investasi sekitar Rp 500 juta. “Itu semua sudah total investasi termasuk sewa tempat, kitchen set dari bahan stainlis, kendaraan motor untuk delivery, bahan baku, training, promosi dan lain-lain. Dengan investasi tersebut, sang mitra diasumsikan bisa break even dalam jangka waktu sekitar 1 tahun setengah. “Akan tetapi yang fenomal ada yang cukup satu tahun saja sudah break even. Itu dengan syarat sang mitra bisa menempati lokasi usaha yang strategis, di sebuah daerah yang banyak trafic masyarakatnya”.
(60)
4.1.2 Menu Ayam penyet Surabaya
Menu yang ditawarkan oleh Rumah Makan Ayam Penyet Surabaya di golongkan ke dalam dua jenis yaitu makanan dan minuman. Adapun menu yang di tawarkan oleh Rumah Makan Ayam Penyet Surabaya adalah sebagai berikut:
Menu Makanan : 1. Ayam Bakar 2. Ayam Penyet 3. Empal Sapi 4. Tempe Penyet 5. Lalaban 6. Ayam Bakar 7. Ayam Utuh 8. Ayam Penyet
9. Ayam Sayap Tepung 10. Empal Sapi
11. Tempe Penyet 12. Lalaban 13. Tahu Penyet 14. Gurami Goreng 15. Sayur Asam 16. Tumis Kangkung 17. Sambel Terong
(61)
18. Sambel Balado Pete 19. Nasi Piring
20. Nasi Bakul Kecil 21. Nasi Bakul Besar Menu Minuman : 1. Juice Sirsak 2. Juice Alpukat 3. Juice Mangga 4. Juice Belimbing 5. Juice Melon 6. Juice Jeruk 7. Juice Martabe 8. Lemon Tea 9. Es Teh Manis 10. Teh Manis Panas 11. Es Teh Tawar
4.1.3 Visi, Misi dan Tujuan Perusahaan
Visi Restoran Ayam Penyet Surabaya adalah menjadi bisnis waralaba makanan bernuansa Islami yang professional dan maju. Sebagai bentuk pejabaran dari visi perusahaan Restoran Ayam penyet Surabaya memiliki misi sebagai berikut :
(62)
1. Mengelola usaha atau bisnis dengan menerapkan bisnis secara Islami
2. Mencetak generasi insani Restoran Ayam Penyet Surabaya yang unggul dan sukses baik di dunia maupun di akhirat dengan penanaman akhlak yang baik dan penerapan budaya Islami.
Adapun tujuan dari perusahaan Restoran Ayam Penyet Surabaya adalah mencapai laba yang memadai guna membiayai pertumbuhan dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran perusahaan. Sedangkan moto Restoran Ayam Penyet Surabaya adalah “Halalaln Thayyiban”. Halal artinya produk-produk yang disajikan berasal dari bahan-bahan yang Halal dan diproses dengan memperhatikan hukum-hukum agama Islam. Sedangkan Thayyiban (baik) artinya menu-menu yang disajikan berasal dari bahan-bahan yang segar (fresh) dan memiliki nilai gizi yang tinggi.
4.2 Paparan Data
Konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian atau perbedaan antara dua pendapat (sudut pandang), baik itu terjadi dalam ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota keorganisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat, baik pengaruh positif maupun dalam sebuah organisasi. Dampak dari konflik itu sendiri sebagian merubah dan menambah ancaman bagi hubungan kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya.
(63)
Berikut paparan data dari hasil observasi lapangan dan wawancara pada pimpinan cabang Ayam Penyet Surabaya di beberapa cabang Ayam Penyet Surabaya yang ada di kota Medan.
4.2.1 Konflik Masih Tersembunyi (Laten)
Bagaimana berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu diri Anda?
1. Apakah anda pernah merasakan ketidaknyamanan antar sesama pimpinan cabang Ayam Penyet Surabaya atau terhadap franchisor dalam hubungan kerjasama Franchise Ayam Penyet Surabaya?
Jawaban dari bapak Yudi salah satu pimpinan cabang Ayam penyet Surabaya di Jl. Dr. Mansyur No. 45 Medan, beliau menjawab ketidaknyaman pernah ada, karna hubungan kerja sama ini kan terdiri dari beberapa orang yang masing-masingnya memiliki kepribadian yang berbeda, jadi wajar sesekali pernah tersinggung atau tidak enak hati dengan rekan bisnis lainnya.
Jawaban dari bapak Sugiono salah satu pimpinan cabang Ayam penyet Surabaya di Jl. Ring Road Medan, beliau menjawab ketidaknyamanan terkadang memang ada, tetapi itu bukan masalah besar bagi saya.
Jawaban dari bapak Rusli salah satu pimpinan cabang Ayam penyet Surabaya di Jl. Titi Kuning, Medan, beliau merasa nyaman saja dengan hubungan kerja sama franchise Ayam Penyet Surabaya ini. Karna memang beliau sudah lama bekerja pada Ayam Penyet Surabaya tersebut dan sedikit
(1)
6. Relasionalism (rasa kekeluargaan)
Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku partner. Pada kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah flexibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik.
Dari pemaparan bapak Rusli, dalam memberikan saran atau kritikan pada saat rapat beliau menjaga perasaan orang lain agar tidak menimbulkan konflik laten. Begitu juga dalam mengambil keputusan, beliau juga mengutamakan kompromi dibandikan ego pribadi, bagi dirinya rasa kekeluargaan menjadi nomor satu dalam menjalankan hubungan kerja sama franchise ayam Penyet Surabaya ini.
Rasa kekeluargaan pada usaha Ayam Penyet surabaya Medan sangat kuat dibuktikan dengan seringnya para pimpinan franchising mengadakan pengajian bersama, hang out bareng dan refreshing. Tujuannya bukannya hanya untuk bersenang-senang tetapi juga untuk meningkatkan tali silaturahmi di antara sesama pimpinan franchising dan juga untuk tukar pikiran dalam berinovasi dalam memajukan usaha Ayam Penyet Surabaya.
Hal yang sama juga diutarakan oleh bapak Sugiono, “selama ini setiap konflik yang terjadi dalam hubunga kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya masih dapat diselesaikan secara azas kekeluargaan”.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh konflik terhadap hubungan kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya di Medan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Konflik yang terjadi pada kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya di Medan terjadi tetapi masih pada tahapan konflik yang pertama yaitu Konflik yang masih tersembunyi (Laten) dan kedua yaitu konlik yang mendahului (antecedent condition). Konflik laten memiliki Gejala yang sulit untuk terdeteksi, karena bersifat tertutup, sama halnya sebuah kekuatan yang disimpan, tentu akan menjadi semakin kuat dan berdaya tinggi bila sewaktu-waktu meledak. Bahaya laten yang tidak terdeteksi akan menjadi konflik sangat merusak bagi suatu hubungan kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya Medan. Sedangkan konflik yang mendahului biasanya disebabkan oleh faktor komunikasi. Seringkali pimpinan dalam organisasi tidak mengkomunikasikan pikiran mereka secara terbuka, dan di pihak lain merasa sulit menyampaikan pikiran dan perasaan mereka secara langsung karena takut dan menyadari bahwa orang lain tidak tertarik akan masalah yang mereka hadapi.
(3)
2. Dampak adanya konflik dalam hubungan kerja sama franchise pada Ayam Penyet Surabaya
Konflik terjadi pada hubungan franchisee dan franchisor masih berada pada tahapan proses konflik yang pertama dan kedua, dampaknya tidak terlalu menganggu hubungan kerja sama tersebut. Setiap konflik yang ada, masih dapat teratasi dengan azas kekeluargaan. Dimana mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti dapat memberikan saran atau masukan sebagai berikut:
1. Untuk menghindari atau mencegah konflik meningkat ke tahapan selanjutnya, sebaiknya para pimpinan franchising Jangan mengabaikan konflik karena dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga. Kemudian pimpinan franchising juga sebaiknya Jangan membiarkan misi dibangun oleh konflik yang ada, seperti konflik laten dan konflik yang mendahului. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
(4)
2. Menjaga komunikasi yang baik dengan kegiatan kekeluargaan seperti pengajian, refreshing, hang out bareng sebuah kegiatan positif yang harus diadakan lebih intens lagi dari sebelumnya, tujuannya untuk menambah rasa kekeluargaan antar satu dengan lainnya, sehingga setiap konflik yang ada dapat diatasi dengan azas kekeluargaan yang tertanam di masing-masing pimpinan franchising Ayam Penyet Surabaya.
(5)
DAFTAR PUSTAKA BUKU:
Anoraga, Panji.2002. Kewirausahaan dan Usaha Kecil, Jakarta: Rineka Cipta
Bugin, Burhan, 2008. Penelitian Kualitatif, Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Ciptono, Fandy. 2001. Strategi Pemasaran, Edisi Kedua, Yogyakarta: Prenada Media Group
Engkoswara &Komariah. 2010. Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, Gibson, J.L.Ivancevich, J.M, Donelly, J.H, & Konopaske, R. 2009. Organizations:
Behavior, Structur, Processes, New York: Mc. Graw- HillIrwin
Ginting, Paham dan Syafrizal Helmi Situmorang. 2008. Analisis Data Penelitian, Medan: Usu Press
Hisrich, Robert, D. 2008, Kewirausahaan, Jakarta: PT. Salemba Empat Hutagalung, Raja Bongsu. 2010. Kewirausahaan, Medan: Usu Press
Kottler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2007. Manajemen Pemasaran, Jakarta: PT. Indeks
Kusumawati, Susi. 2008. Franchise Guide Series, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat Lindrayanti, 2003. Franchise, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Mulyana, Debby. 2003. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rachmadi, Bambang. 2007. Franchising The most Practical Excellent Way of Succeeding, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Riyanti. 2003. Kewirausahaan dari sudut Pandang Psikologi Kepribadian, Jakarta: Grasindo
(6)
Pramono, Peni R. 2007. Cara Memilih Waralaba yang menjanjikan Profit, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Winardi (1994). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan),
Bandung: Mandar Maju
Tikoo, Surinder. 2005. Franchisor use of Influence and and Conflict in Business format Franchise System, International Journal Of Retail & Distribution Management, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
ARTIKEL DAN JURNAL:
Sadat, Anwar. 2011. Pengaruh Konflik Peran dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Astra Daihatsu Tbk Bagian Divisi Service. Skripsi. Fakultas Ekonomi Sumatera Utara.
Sitompul, Ade Florent S. 2011. Pengaruh Manajemen Konflik Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT PLN (Persero) Cabang Medan. Skripsi. Fakultas Ekonomi Sumatera Utara.
PENULISAN ONLINE:
(diakses tanggal 11 Mei 2013).
(diakses tanggal 11 Mei 2013). (diakses tanggal 11 Mei 2013).