BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Stres Kerja di Pabrik
Pengolahan Crude Palm Oil PT. Asianagro Agung Jaya Kota Tanjungbalai
Jumlah responden terbanyak berdasarkan tingkat stres kerja rendah adalah
pada stressor beban kerja berlebih kualitatif. Responden terbanyak berdasarkan tingkat stres kerja sedang adalah pada stressor tanggungjawab terhadap oranglain dan
responden terbanyak berdasarkan tingkat stres kerja tinggi adalah pada stressor beban kerja berlebih kuantitatif.
Stressor beban kerja berlebih kuantitatif memiliki responden terbanyak dalam tingkat stres kerja tinggi. Beban kerja berlebih kuantitatif memiliki hubungan
yang bermakna dengan stres kerja. Hal ini dikarenakan terbatasnya pekerja pabrik yang ada yaitu 59 orang tetapi pekerjaan yang ada membutuhkan kecepatan dan
kecekatan dalam bekerja. Beban kerja ini berhubungan dengan desakan waktu atau deadline. Berdasarkan kondisi ini orang harus berkejaran dengan waktu secara tepat
dan cermat. Namun para pekerja di pabrik tidak dapat mengikuti cara kerja tersebut dengan keterbatasan kemampuan dan keterampilan sehingga menimbulkan banyak
kesalahan dalam bekerja dan menyebabkan kondisi kesehatan pekerja menurun baik fisik maupun mental.
Keadaan diri pekerja juga tidak lepas dari kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi pekerja tersebut. Sebanyak 15 orang responden bekerja di bagian
Refinery dan 12 orang responden di bagian Fraksinasi berada pada kategori stres 64
Universita Sumatera Utara
tinggi. Faktor lingkungan yang ada di pabrik adalah faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi kesehatan pekerja seperti suhu, kebisingan, sanitasi dan shift
kerja. Suara atau bising di lokasi kerja yang berdasarkan penghayatan dari
responden mengganggu kenyamanan saat bekerja yaitu suara atau bising yang menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran yang merupakan
stressor kerja yang menyebabkan penurunan kewaspadaan. Hasil pemeriksaan tingkat kebisingan di lokasi pabrik dengan alat Digital Sound Level Meter dengan NAB 85
dBA di bagian Refinery atau Zona III dan Fraksinasi atau Zona I serta di bagian Boiler atau Zona II adalah 83 dBA. Tingkat kebisingan yang nyaman pada umumnya
diharapkan antara 40 – 60 dBA. Hal ini dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Pajanan terhadap bising dapat menimbulkan rasa lelah, sakit kepala, lekas
tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Akibat paparan tersebut dalam bentuk perilaku misalnya akan terjadi penurunan produktivitas kerja,
terjadinya kecelakaan kerja, penurunan perilaku membantu, bersikap lebih negatif terhadap oranglain, rasa bermusuhan yang lebih terbuka dan agresi.
Suhu udara di lokasi kerja yang berdasarkan penghayatan dari responden mengganggu kenyamanan saat bekerja yang diukur dengan menggunakan alat QUES
Temp 34 Thermal Environment Monitor dengan angka 35
o
C di bagian Refinery atau Zona III dan 34
o
C di bagian Fraksinasi atau Zona I serta 32
o
C di daerah Boiler atau Zona II. Fungsi mental dapat terganggu karena heat stress, yang ditandai dengan
gejala awal berupa perubahan pada tingkat aktivitas seseorang. Untuk Indonesia, suhu
Universita Sumatera Utara
nyaman adalah 24
o
C - 28
o
C. Perbedaan suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak lebih dari 5
o
C. Sehingga dapat diketahui bahwa suhu di luar ruangan sebaiknya tidak lebih dari 33
o
C. Dengan keadaan di pabrik yang bersuhu paling tinggi 35
o
Lingkungan yang tidak ergonomi dapat menimbulkan masalah seperti ketidaknyamanan, kelelahan dan meningkatkan stres kerja apabila tidak disesuaikan
dengan kondisi tuntutan pekerjaan. Keadaan lingkungan kerja di pabrik tersebut sering timbul bau yang tidak enak yang berasal dari toilet dan tumpahan minyak, dan
keadaan yang tidak ergonomi seperti ruang istirahat yang kotor, sempit, gelap dan licin, berdasarkan penghayatan dari responden mengganggu kenyamanan saat
bekerja. C di
bagian Refinery atau Zona III sudah dikategorikan tidak nyaman dan menimbulkan heat stress.
Menurut Cooper dalam Munandar, 2001 shift kerja merupakan tuntutan tugas yang dapat menyebabkan stres kerja. Shift kerja yang tidak sesuai atau terlalu
lama seperti dari pagi hingga malam secara terus menerus dapat menimbulkan kelelahan pada pekerja. Dalam keadaan yang demikian, pekerja mengalami beban
kerja berlebih yang dapat menimbulkan terjadinya stres kerja. Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber yang berpotensi untuk terjadinya
stres kerja bagi pekerja di pabrik Monk Tepas, 2001.
Ditambah lagi terkadang pekerja tidak mempunyai waktu libur dikarenakan deadline kerja yang harus pekerja terima yang menimbulkan kelelahan dan stres pada
Universita Sumatera Utara
pekerja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wijono 2006 yang menyatakan bahwa pekerja yang mengalami stres rendah mempunyai jumlah jam kerjaminggu antara 37
hingga 40 jam, sedangkan pekerja yang mengalami stres kerja sedang mempunyai jumlah jam kerjaminggu antara 61 hingga 71 jam. Sebaliknya, pekerja yang
mengalami stres kerja tinggi mempunyai jumlah jam kerjaminggu antara 41 hingga 60 jam.
5.2. Hubungan Antara Stressor Kerja dengan Gangguan Mental Emosional