pengoksidasi yang kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap dalam suasana asam dengan katalis peraksulfat.
Menurut Kristanto 2004, bakteri dapat mengoksidasi zat organik menjadi CO
2
dan H
2
O, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi dari BOD untuk air yang sama. Di samping itu bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Connell dan Miller 1995 menyatakan bahwa pengukuran COD tidak
mencerminkan jumlah oksigen yang digunakan secara alamiah karena uji COD lebih cepat dari uji BOD. Saeni 1989 menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara BOD dan COD, hal ini didasarkan karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan dengan
oksidasi secara biologis. Selain itu Kristanto 2004 menyatakan bahwa 96 hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit, kira-kira akan setara dengan
hasil uji BOD selama lima hari.
2.7.3. Parameter Biologi Perairan 2.7.3.1. Mikroorganisme Perairan
Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah bakteri Escherichia coli E. coli. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri
yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan. Oleh karena itu bakteri ini disebut juga koliform fecal Saeni,
1989. Menurut Fardiaz 1992, keberadaan E. coli merupakan indikator yang
menunjukkan bahwa suatu perairan telah tercemar oleh kotoran manusia dan hewan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 41MenKesPerIX1990,
kandungan E. coli untuk air yang akan digunakan sebagai air minum harus sama dengan nol.
2.7.3.2. Makrozoobenthos
Hewan makrozoobenthos merupakan salah satu kelompok biota yang hidup di dalam ekosistem sungai, terutama di dasar perairan yang mengalir
Odum, 1993. Berdasarkan ukurannya hewan bentos dibagi ke dalam tiga
kelompok yaitu : a mikrobentos atau mikrofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm, contohnya protozoa; b
meiobentos atau meiofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran antara 0,1 sampai 1,0 mm, contohnya protozoa yang berukuran besar, cacing-
cacingan, Chidaria dan sebagainya; c makrobentos atau makrofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih dari 1 mm, contohnya
Echinodermata, Crustacea, Annelida dan sebagainya. Hewan bentos relatif
tidak bergerak, seperti cacing, lintah, moluska dan kelompok Arthopoda yang bergerak perlahan pada daerah yang terbatas untuk mencari makan Barnes,
1978. Golongan utama yang biasanya dianggap sebagai makrozoobenthos
adalah Insecta, Mollusca, Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata, Ephemeraptera, Hemiptera, Megaloptera,
Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera Goldman dan Horne, 1983.
Peranan penting organisme bentik dalam komunitas aquatik adalah meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik, seperti limbah
rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu sebagai komponen
penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan komunitas aquatik, serta larva insecta merupakan makanan utama ikan kecil Lind,
1979. Wilhm 1975 menyatakan perubahan kualitas air sangat mempengaruhi
komposisi dan besarnya populasi makrozoobenthos. Beberapa jenis makrozoobenthos
seperti Tubifex sp, mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk, sehingga organisme tersebut dipakai
sebagai penentu kualitas air di suatu perairan. Makrozoobenthos dijadikan sebagai bioindikator perairan sungai karena
kehadiran atau perilakunya di alam berkorelasi dengan kondisi lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan Wiley,
1990. Daya tahan dan adaptasi masing-masing jenis hewan bentos berbeda antara jenis yang satu dengan jenis lainnya, ada yang tahan dan ada yang tidak
tahan terhadap kondisi perairan setempat. Hal ini menyebabkan adanya hewan
benthos tertentu dapat dijadikan petunjuk untuk menaksir atau menilai kualitas air perairan tersebut Hart dan Fuller, 1980. Dibandingkan dengan
organisme lainnya makrozoobenthos lebih efektif di dalam penentuan kualitas air. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain :
a. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak
mengalami perubahan. b.
Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat akuatik dalam spektrum luas, dengan berbagai kualitas air.
c. Mempunyai masa hidup yang relatif lama beberapa bulan hingga 2 tahun
sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya.
d. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap
kualitas air. e.
Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis indikator lainnya.
f. Mudah dalam pengumpulannya.
Sebagai bioindikator, hewan ini dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas air yang hakiki, yaitu :
a. Dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air.
b. Dapat mengukur efektivitas tindakan penanggulangan pencemaran.
c. Dapat menunjukkan kecenderungan untuk memprediksi perubahan-
perubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang. Berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar, Wilhm 1975
mengklasifikasikan hewan makrozoobenthos menjadi tiga kriteria seperti pada Tabel 5.
Jenis hewan hidrobiota yang mempunyai daya toleransi tinggi terhadap perubahan-perubahan faktor lingkungan akan mempunyai penyebaran yang
relatif luas, sebaliknya jenis hidrobiota yang mempunyai daya toleransi sempit, sehingga hanya pada suatu lokasi tertentu di sepanjang sungai. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi dan keanekaragaman hidrobiota dalam suatu perairan Oey et al, 1978. Perairan yang berkualitas
baik, biasanya mempunyai nilai keanekaragaman jenis yang tinggi dengan kelimpahan individu tiap jenis yang rendah dan keadaan sebaliknya terjadi di
perairan yang berkualitas buruk Zajic, 1971. Tabel 5. Klasifikasi Hewan Makrozoobenthos Berdasarkan Ketahanannya
Terhadap Bahan Pencemar.
No. Kelompok
Jenis Hewan Makrozoobenthos
1.
2.
3. Sangat tahan terhadap
pencemaran toleran
Ketahanan sedang dan lebih menyenangi air jernih
Tidak tahan terhadap pencemar dan hanya
menyenangi air bersih. Cacing, Tubifisida, Chironomus
riparium sejenis nyamuk,
Limnodrilus sp .
Gastropoda , Serangga, Odonata
dan Crustaceae Siput dari famili Viviparidae,
Amnicolidae , Serangga, Nimfa dan
Ordo Ephemeroptera , Ordonata
Hemiptera dan Neuroptera.
Sumber : Wilhm 1975 2.8. Penilaian Status Pencemaran
Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu
dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan. Di Indonesia baku mutu air untuk berbagai kebutuhan telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 82 tahun 2001 Lampiran 4, yaitu : a.
Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut. b.
Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasaranasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut. d.
Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut. Penentuan status mutu air dilakukan dengan menggunakan metode
STORET. Dengan metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air.
2.9.
Keterkaitan Aspek Perekonomian dengan Aspek Lingkungan
Usaha meningkatkan perekonomian sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki resources based approach merupakan bagian mendasar berbagai teori
pembangunan. Teori pembangunan sendiri pertama kali muncul pada abad ke 18 dari mahzab klasik dengan pelopornya Adam Smith, David Ricardo dan Thomas
Malthus. Dengan berjalannya waktu, konsep pembangunan tersebut berubah sesuai dengan kepentingan yang melatarbelakanginya Sukirno, 1985;
Djojohadikusumo, 1991 dalam Sihombing, 2004. Sebelum dekade 1960-an, pembangunan diidentikkan dengan
pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi diartikan sebagai kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan efisien.
Indeks yang umum digunakan sebagai indikator kemajuan ekonomi suatu negara adalah GNP per kapita. Kesejahteraan masyarakat diasumsikan akan meningkat
bersamaan dengan pertumbuhan GNP. Validitas GNP sebagai ukuran pembangunan ekonomi mulai
dipertanyakan. Pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas penurunan sumberdaya resources depletion sungguh berbeda dengan pertumbuhan
berdasarkan peningkatan output. Dalam penghitungan GNP terdapat bias yang prinsipal dimana depresiasi dari output buatan manusia diperhitungkan sedangkan
penurunan sumberdaya tidak diperhitungkan.
Sejak awal 1960-an, pola pikir tentang pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan mulai bergeser. Hal ini didukung oleh pernyataan
bahwa banyak negara yang mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi tetapi taraf hidup masyarakatnya tidak berubah. Kuznets 1960 mulai mempersoalkan
pemikiran pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi tetapi lupa meluaskan kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran Chenery
et.al ., 1975; Todaro, 1985. Bruntland 1988 menggarisbawahi tingkat penurunan
sumberdaya yang terjadi di negara berkembang. Kondisi ini adalah kombinasi dari pencemaran akibat kemakmuran dan pencemaran akibat kemiskinan. Peningkatan
demand yang pesat menyebabkan industrialisasi semakin marak yang berarti semakin besar pencemaran yang dihasilkan. Sementara di sisi lain, ketiadaan
alternatif lain untuk mendukung kebutuhan hidup minimal mendorong masyarakat miskin lebih intensif menggunakan sumberdaya.
Sebagai reaksi atas semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan di negara maju akibat revolusi industri, muncul kesadaran tentang masalah
lingkungan hidup. Pemikiran ini tercetus tahun 1972 dalam Konferensi Stockholm mengenai kebijakan lingkungan hidup international. Tahun 1978 dalam World
Conservation Strategy dipopulerkan istilah pembangunan berkelanjutan. Dalam
pembangunan ekonomi, pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi
kemampuan generasi berikutnya memenuhi kebutuhan mereka Bruntland, 1988. Kesadaran akan adanya interaksi antara aktivitas ekonomi dengan
lingkungan semakin mendapat perhatian. Meskipun demikian keberadaan hubungan ekonomi-ekologi tersebut masih belum terlalu menyakinkan Aziz,
1984. Upaya-upaya untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dalam kegiatan ekonomi sering menghadapi kendala antara lain Reksohadiprojo dan
Brojonegoro, 1997 : 1.
Adanya pendapat bahwa bertambahnya pencemaran terhadap lingkungan terjadi sedikit demi sedikit, dimana tambahan pencemaran tidak berpengaruh
dan manusia tetap dapat hidup. 2.
Adanya pihak-pihak yang menentang kebijakan yang memperhatikan aspek lingkungan karena merasa kegiatannya dibatasi.
3. Adanya pihak yang berpegang teguh pada hal-hal tradisional dan menentang
adanya perubahan. 4.
Adanya pihak-pihak yang menolak pembagian insentif ekonomi dengan maksud perlindungan lingkungan dan menganggap hal tersebut sebagai
sesuatu yang tidak bermanfaat. Kegiatan industrialisasi secara nyata membawa dampak negatif dan positif
terhadap pembangunan. Di Indonesia seyogyanyalah kita memberikan perhatian yang berimbang pada dampak negatif dan dampak positif. Keharusan merinci
dampak sebagai dampak positif atau negatif tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982, yaitu dalam penjelasan pasal 1 ayat 9. Namun tidak selalu mudah
untuk menentukan apakah suatu dampak itu positif atau negatif Soemarwoto, 2007.
Gambar 3 menunjukkan kaitan kegiatan perekonomian dengan usaha pengelolaan lingkungan Dixon dan Hufschmidt, 1986.
Sumber : Dixon dan Hufschmidt, 1986
Gambar 3. Kegiatan Ekonomi dan Dampak Lingkungan Dalam mengambil keputusan terhadap penanganan suatu kegiatan industri
yang menimbulkan pencemaran, maka perlu dikaji dampaknya terhadap sektor ekonomi di suatu wilayah tertentu, akan lebih efektif dan efisien jika didasari oleh
pertimbangan mengenai hubungan atau keterkaitan seluruh sektor ekonomi dalam menggerakkan perekonomian secara menyeluruh. Sehingga dengan demikian kita
bisa melihat bagaimana multiplier effect yang dihasilkan oleh suatu sektor
Kegiatan manusia
Sisa dan dampak
lingkungan Dampak
pada system alami dan
kualitas lingkunga
Dampak pada
penerima : manusia,
hewan Penilaian
ekonomi terhadap
dampak
Penilaian ekonomi
bagi usaha pengelolaan
kualitas lingkungan
USAHA PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN
Mengurangi Dampak
terhadap sektor lainnya. Untuk menganalisa pergerakkan tersebut dapat dilakukan dengan bantuan tabel Input – Output IO dari setiap daerah Kajian Ekonomi
Regional NTT, 2008. Pengembangan sektor pertanian sebagian sektor primer dan sektor yang
melakukan penyerapan tenaga kerja paling dominan pada dasarnya memang perlu. Namun, melihat tingkat keterkaitan antar sektor yang lebih didominasi oleh sektor
industri dan jasa. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri agroindustri. Pengembangan agro industri akan memacu sektor
pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian maupun industri yang notabene
memiliki kapasitas relatif tinggi untuk menyerap. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat
ke depan akan cenderung lebih baik Kajian Ekonomi Regional NTT, 2008. Industri crumb rubber merupakan industri yang ditopang oleh sektor pertanian
dalam hal ini petani karet.
2.10. Strategi Pengelolaan Perairan Sungai
Analisis SWOT merupakan salah satu cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan.
Rangkuti 2008 menggambarkan analisis SWOT sebagai analisis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan strength dan
peluang opportunity, namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan weakness dan ancaman threath. Faktor internal dalam analisis SWOT adalah
kekuatan strength dan kelemahan weakness, sedangkan faktor eksternal yang dihadapi adalah peluang opportunity dan ancaman threath. Dengan
menganalisis potensi dan permasalahan pengelolaan perairan sungai, maka dapat diidentifikasi variable-variabel SWOT yang dapat digunakan untuk menentukan
strategi pengelolaan perairan di masa yang akan datang. Setelah melakukan pengamatan terhadap lingkungan internal dan
eksternal serta mengidentifikasi faktor-faktor strategi dalam mengevaluasi pengelolaan perairan langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT yang
terdiri atas matriks IFE Internal Factor Evaluation dan matriks EFE External