Status Kualitas Air Sungai Batanghari

proses produksi industri crumb rubber ini juga menimbulkan permasalahan karena sebagian besar industri masih membuang dan menumpukannya dipinggir badan sungai atau di pemukiman penduduk. Sehingga memperparah kondisi Sungai Batanghari, karena berpotensi meningkatkan proses sedimentasi dan mencemari perairan.

5.3. Status Kualitas Air Sungai Batanghari

Secara spasial, suhu perairan Sungai Batanghari tidak berbeda nyata antar stasiun, namun ada perbedaan yang nyata antar bulan pengamatan Gambar 7. Kondisi ini dipengaruhi oleh musim, di mana pengamatan pertama Agustus dilakukan pada musim kemarau, pengamatan kedua September merupakan peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan. Sedangkan pengamatan ketiga Oktober hujan sudah mulai sering terjadi bahkan pada saat pengambilan contoh dalam keadaan hujan gerimis. Kisaran air seperti ini masih optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan Effendi, 2003. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 juga kisaran suhu di perairan ini masih memenuhi baku mutu. Di mana suhu berkisar antara 27,4 – 30,4 C Lampiran 1. Suhu Perairan Sungai Batanghari 25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 7. Suhu di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun Selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Kisaran suhu yang cukup tinggi terjadi pada bulan pengamatan pertama Agustus, di mana pada saat itu merupakan puncaknya musim kemarau. Kondisi suhu udara yang meningkat pada musim kemarau dipengaruhi oleh debit aliran yang rendah, sebagai gambaran rendahnya pergantian air, memungkinkan suhu air dapat meningkat pesat Lukman et. al , 2007. Menurut Fardiaz 1992, kenaikan suhu akan menimbulkan beberapa akibat, seperti 1 penurunan konsentrasi oksigen terlarut, 2 meningkatnya kecepatan reaksi kimia, 3 mengganggu kehidupan organisme akuatik, 4 menyebabkan kematian pada organisme akuatik. Konsentarsi padatan tersuspensi TSS pada semua stasiun pengamatan masih berada di bawah baku mutu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Padatan tersuspensi total TSS merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang dan komponen tersuspensi koloid Carter dan Hill, 1979. Selain itu juga padatan tersuspensi terdiri dari bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik seperti liat dan butiran pasir, sedangkan bahan organik diantaranya sisa-sisa tanaman dan padatan biologi seperti alga, bakteri dan sebagainya. Air buangan industri yang mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya Saeni, 1989. Hasil pengukuran yang dilakukan nilai TSS berkisar antara 14 – 49 mgl Lampiran 1 dan Gambar 8. Pengukuran TSS tertinggi terjadi pada bulan Oktober, di mana waktu pengambilan contoh dalam keadaan musim hujan yang mempengaruhi terjadi erosi di bagian hulu Sungai Batanghari, sehingga tingkat kekeruhan juga meningkat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Di mana padatan tersuspensi memiliki korelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga tinggi. Akan tetapi tingginya padatan tersuspensi tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Nilai TSS Perairan Sungai Batanghari 10 20 30 40 50 60 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 8. TSS di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 TSS dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman, dan hewan serta limbah industri. Erosi tanah akibat hujan lebat dapat mengakibatkan naiknya nilai TSS secara mendadak. TSS dapat memberikan pengaruh yang luas dalam ekosistem perairan. Banyak makhluk hidup memperlihatkan toleransi yang cukup tinggi terhadap kepekatan TSS, namun TSS dapat menyebabkan penurunan populasi tumbuhan dalam air, hal ini disebabkan oleh turunnya penetrasi cahaya ke dalam air dan akhirnya berpengaruh terhadap fotosintesis di dalam air Connell dan Miller, 1995. Menurut Saeni 1989, kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan- bahan tersuspensi yang bervariasi dari koloid sampai dispersi kasar. Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi kekeruhan berkisar antara 4 – 57 NTU pada masing-masing stasiun dari 3 bulan pengamatan Lampiran 1 dan Gambar 9. Berdasarkan hasil uji statistik padatan tersuspensi dan kekeruhan tidak berbeda nyata pada masing-masing stasiun pengamatan. Namun pada bulan Oktober terjadi perbedaan yang nyata dengan bulan Agustus maupun September pada tingkat kepercayaan 0,05. BM PP 822001 Nilai Kekeruhan Perairan Sungai Batanghari 10 20 30 40 50 60 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 9. Kekeruhan di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Konsentrasi padatan terlarut TDS pada bulan Agustus musim kemarau 29,8 – 35,8 mgl dan pada bulan Oktober mulai musim hujan berkisar antara 23,5 – 23,9 mgl Lampiran 1. Konsentrasi TDS tertinggi terdapat pada stasiun 1 Tanggo Rajo pada saat debit sungai rendah di bulan Agustus musim kemarau. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, kandungan padatan terlarut maksimum yang diperbolehkan untuk kriteria peruntukan air kelas satu adalah 1000 mgl. Dalam hal ini berarti bahwa konsentrasi TDS masih di bawah baku mutu yang diperbolehkan untuk peruntukannya. Nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah dan pengaruh antropogenik berupa limbah domestik dan industri. Bahan-bahan terlarut tidak bersifat toksik Efendi, 2003. Nilai TDS Perairan Sungai Batanghari 5 10 15 20 25 30 35 40 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 10. TDS di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Kenaikan padatan terlarut akan mempengaruhi kenaikan DHL di dalam suatu perairan Saeni, 1989. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai DHL tertinggi terjadi pada bulan pengamatan pertama Agustus pada saat puncaknya musim kemarau dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 Tanggo Rajo Lampiran 1. Tingginya nilai TDS dan DHL pada stasiun ini disebabkan karena banyaknya aktivitas manusia yang dijumpai di sekitar daerah tersebut. Aktivitas yang dijumpai antara lain: darmaga penyeberangan sungai, pasar, mall dan pemukiman. Semua kegiatan tersebut menghasilkan limbah yang akan terbawa oleh aliran sungai yang akan meningkatkan DHL dan TSS. Uji statistik yang dilakukan terhadap parameter TDS dan DHL menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar stasiun, akan tetapi berbeda nyata untuk bulan pengamatan pertama Agustus dengan bulan pengamatan kedua September dan ketiga Oktober. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada saat pengamatan yaitu musim kemarau dan musim hujan sehingga mempengaruhi debit air Sungai Batanghari Gambar 11 dan 10. Nilai DHL Perairan Sungai Batanghari 10 20 30 40 50 60 70 80 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 11. DHL di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Nilai pH sungai mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air yang merupakan pengukuran konsentrasi ion hydrogen dalam larutan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktifitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktifitas biologi dihasilkan gas CO 2 yang merupakan respirasi, gas CO 2 inilah yang membentuk ion buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil. Berdasarkan hasil pengukuran insitu terhadap parameter pH di perairan Sungai Batanghari, nilai pH pada saat musim kemarau Agustus berkisar antara 6,6 – 7,1 dan pada saat musim hujan Oktober berkisar antara 5,47 – 6,06 Lampiran 1. Bila hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, ternyata kisaran pH pada bulan September dan Oktober untuk beberapa stasiun berada di bawah baku mutu untuk peruntukkan kelas satu 6 – 9. Menurut Boyd 1982, batasan pH yang baik bagi pertumbuhan dan reproduksi perikanan berkisar antara 6,5 – 9,0. Merujuk pada pendapat tersebut, maka perairan Sungai Batanghari kurang baik digunakan untuk produksi perikanan, karena rendahnya nilai pH. Rendahnya pH tersebut disebabkan karena tingginya konsentrasi bahan organik pada perairan tersebut. Menurut Triyanto dan Crismadha 2007 penurunan nilai pH pada saat air tinggi September – Oktober diduga dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi, karena air hujan biasanya memiliki pH yang lebih rendah dari pada air di perairan. Secara parsial untuk parameter pH ada perbedaan yang nyata antar stasiun maupun bulan pengamatan. Di mana perbedaan terjadi pada stasiun 1 dan 2 nilai pH-nya berbeda nyata dengan stasiun 3 dan 4, begitu juga dengan stasiun 5 dan 6. Pada bulan pengamatan perbedaan nyata terlihat antara bulan pertama Agustus dengan bulan kedua September dan ketiga Oktober Gambar 12. Nilai pH yang rendah akan meningkatan keasaman suatu perairan, karena terjadinya reaksi pelepasan CO 2 hasil penguraian bahan organik. Proses penguraian bahan organik ini membutuhkan oksigen yang cukup banyak, sehingga dapat menyebabkan konsentrasi oksigen di perairan tersebut menjadi rendah. Kondisi ini merupakan indikasi kuat telah terjadinya pencemaran. Semakin tinggi tingkat pencemaran air, makin berkurang kadar oksigen terlarut dalam air. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota tidak boleh kurang dari 6 ppm Fardiaz, 1992. Nilai pH Peraiaran Sungai Batanghari 1 2 3 4 5 6 7 8 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 12. pH di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 BM PP 822001 Pengukuran secara insitu terhadap parameter oksigen terlarut DO menunjukkan bahwa perairan Sungai Batanghari telah tercemar oleh limbah organik, baik dari limbah domestik maupun limbah industri khususnya industri karet remah. Di mana dari 3 bulan pengamatan nilai oksigen terlarut dari beberapa stasiun berkisar antara 3,02 – 5,34 mgl Lampiran 1 dan Gambar 13. Bila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 maka konsentrasi oksigen terlarut di perairan Sungai Batanghari telah melampaui baku mutu untuk kelas satu yaitu 6 mgl. Nilai oksigen terlarut yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober pada saat turun hujan. Welcome 1979 dalam Triyanto dan Crismadha 2007 menjelaskan bahwa saat banjir menginvasi wilayah paparan banjir, suatu permulaan peningkatan kadar oksigen akan terjadi, tetapi sejalan dengan proses pembusukan pada vegetasi-vegetasi tenggelam akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen, dan selanjutnya kadar oksigen akan meningkat kembali sampai level tertentu pada periode musim banjiran. Nilai DO Perairan Sungai Batanghari 1 2 3 4 5 6 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agustus September Oktober Gambar 13. DO di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 BM PP 822001 Secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata antar stasiun pengamatan untuk parameter oksigen terlarut. Perbedaan nyata terlihat pada bulan pengamatan, di mana nilai oksigen terlarut pada bulan Agustus dan September berbeda nyata dengan bulan Oktober. Kondisi musim hujan akan mempengaruhi jumlah bahan organik yang masuk ke perairan Sungai Batanghari dan cenderung meningkatkan proses penguraian bahan organik sehingga kebutuhan oksigen terlarut tinggi yang akan mengakibatkan penurunan jumlahnya di dalam perairan. Di sisi lain kondisi oksigen terlarut pada saat itu dipnegaruhi juga oleh air hujan yang memiliki pH rendah atau bersifat asam. Parameter Biochemical Oxygen Demand BOD 5 menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan untuk menguraikan bahan organik yang ada di dalam suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD 5 memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang akan terdekomposisi yang dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan berbau sebagai efek samping proses dekomposisi, seperti ammonia dan hidrogen sulfida. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut dalam air yang dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme suatu biota perairan. Sebaran BOD 5 pada masing-masing bulan pengamatan dapat di lihat pada Gambar 14. Nilai BOD5 Perairan Sungai Batanghari 2 4 6 8 10 12 14 16 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 14. BOD 5 di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 BM PP 822001 Dilihat dari hasil pengukuran selama 3 bulan pengamatan pada masing-masing stasiun rata-rata nilai BOD 5 berada di atas ambang baku mutu yang ditetap untuk peruntukan sungai kelas satu yaitu 2 mgl berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Kecuali pada stasiun 2 yang masih memenuhi baku mutu. Kisaran BOD 5 pada masing-masing stasiun dan bulan pengamatan yaitu 2 – 14 mgl Lampiran 1. Kondisi nilai BOD 5 yang memenuhi baku mutu terjadi pada bulan Oktober. Hal ini diduga karena adanya pengaruh musim hujan sehingga terjadi pengenceran di perairan Sungai Batanghari dan adanya kecepatan arus yang relatif tinggi membantu limbah organik keluar dengan cepat dari stasiun-stasiun pengamatan. Hal yang sama juga terjadi pada stasiun 2 yang memiliki nilai rata-rata 2 mgl atau memenuhi baku mutu. Faktor kecepatan arus juga berperan dalam menghanyutkan bahan-bahan organik. Di mana berdasarkan pengamatan laju arus di sisi utara lokasi stasiun 2 Sungai Batanghari lebih cepat dibandingkan di sisi selatannya. Kondisi ini ditandai dengan adanya abrasi yang cukup tinggi pada bantaran Sungai Batanghari di sisi utara. Dan kecepatan arus semakin menurun pada daerah hilirnya, karena sudah mulai dipengaruhi oleh ekosistem muara. Uji statistik pada parameter BOD 5 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar stasiun maupun bulan pengamatan terhadap nilai BOD 5 hasil pengukuran. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran BOD 5 adalah sama untuk semua stasiun. Chemical Oxygen Demand COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis biodegradable maupun yang sukar didegradasi secara biologis non degradable menjadi CO 2 dan H 2 O. Pengukuran COD ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat kalium dikromatK 2 Cr 2 O 7 dalam suasana asam. Berdasarkan hasil pengukuran nilai COD pada masing-masing stasiun, rata-rata masih berada di bawah baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu 10 mgl. Kecuali di stasiun 1 dan stasiun 3 yang berada di atas baku mutu. Hal ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang cukup tinggi pada kedua stasiun ini, sehingga memberikan tekanan pada sungai untuk memurnikan diri purification. Sungai dipaksa untuk menyediakan oksigen yang banyak untuk menguraikan limbah secara kimia. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya kenaikan nilai COD di perairan sungai tersebut. Nilai COD Perairan Sungai Batanghari 10 20 30 40 50 60 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 15. COD di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara masing-masing stasiun maupun bulan pengamatan. Di mana selama 3 bulan pengamatan kisaran nilai COD untuk masing-masing stasiun berada pada 5 – 48 mgl. Dan dari 3 bulan tersebut hanya stasiun- stasiun tertentu saja yang nilai COD-nya berada di atas baku mutu, yaitu stasiun 1, stasiun 3 pada pangamatan bulan pertama Agustus dan stasiun 6 pada pengamatan bulan kedua September dan bulan ketiga Oktober Lampiran 1 dan Gambar 15. Keadaan yang berbeda ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang banyak pada masing-masing stasiun dan juga faktor tinggi-rendah air Sungai Batanghari serta kecepatan arus sungai yang membawa limbah organik terkumpul di stasiun 6. BM PP 822001 Nitrat merupakan salah satu bentuk senyawa nitrogen yang terdapat dalam perairan dalam bentuk terlarut atau tersuspensi. Limbah- limbah yang mengandung senyawa bernitrogen seperti protein akan terurai secara alami menjadi amonia. Amonia dapat juga terbentuk dari proses reduksi nitrit dan nitrat baik secara biologi maupun kimia. Saeni 1989 mengemukakan bahwa zat-zat organik yang bernitrogen secara berangsur-angsur akan terurai menjadi amonia dan selanjutnya menjadi nitrit dan nitrat. Jadi nitrat merupakan hasil akhir dari penguraian senyawa organik bernitrogen. Nilai Nitrat Perairan Sungai Batanghari 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agust us Sept ember Okt ober Gambar 16. Nitrat di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Nilai Nitrat berdasarkan hasil pengukuran berkisar antara 0,431 – 1,07 mgl Lampiran 1 dan Gambar 16. Di mana kisaran nilai ini masih berada dalam baku mutu yang ditetap guna peruntukkan air kelas satu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu 10 mgl. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara nyata untuk pengukuran di masing-masing stasiun. Namun ada perbedaan nyata untuk pengukuran berdasarkan bulan pengamatan. Perbedaan hasil pengukuran terlihat pada bulan ketiga pengamatan Oktober. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi musim. Di mana pada bulan ketiga Oktober sudah memasuki musim hujan sehingga limbah bahan organik yang terkumpul selama musim kemarau naik kepermukaan mengikuti aliran air sungai yang meningkatkan terjadinya biodegradable limbah-limbah organik termasuk limbah organik yang mengandung senyawa-senyawa nitrogen. Rendahnya nilai nitrat pada bulan ini dibandingkan pada musim kemarau bulan pengamatan pertama diduga karena volume tinggi rendahnya air Sungai Batanghari mempengaruhi kondisi tersebut. Fosfat merupakan salah satu bentuk unsur posfor di dalam ekosistem perairan. Seperti hal nitrogen, posfor memasuki air melalui berbagai jalan: kotoran, limbah, sisa pertanian, kotoran hewan, dan sisa tumbuhan dan hewan yang mati. Fosfat biasa juga terdapat dalam deterjen dan limbah industri Kristianto, 2004. Berdasarkan hasil pengukuran fosfat berkisar antara 0.06 – 0.51 mgl. Nilai fosfat berasal dari pengukuran pada bulan kedua pengamatan September pada stasiun 4. Sedangkan nilai fosfat terendah berasal dari hasil pengukuran pada bulan yang sama, hanya terdapat pada stasiun 1 Lampiran 1 dan Gambar 17. Hal ini diduga disebabkan karena kurang adanya pengolahan limbah yang baik dari industri karet remah yang ada pada stasiun 4 ditambah dengan buangan penduduk yang bermukim disekitarnya, sedangkan pada stasiun 1 tekanan dari aktivitas industri tidak ada, hanya comersial area dan pemukiman. Nilai Fosfat Perairan Sungai Batanghari 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun Agustus September Oktober Gambar 17. Fosfat Perairan di Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 BM PP 822001 Hasil pengukuran terhadap fosfat rata-rata berada di atas baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 yaitu, 0.2 mgl. Keadaan ini diduga karena adanya tekanan yang tinggi dari aktivitas-aktivitas yang terdapat di lokasi penelitian yang menghasilkan limbah. Menurut Saeni 1989, kenaikan konsentrasi fosfat menyatakan adanya zat pencemar. Minyak dan lemak yang mencemari air sering dimasukkan ke dalam kelompok padatan, yaitu padatan yang mengapung di atas permukaan air. Minyak yang terdapat di dalam air dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari pembersihan dan pencucian kapal-kapal di laut, pengeboran minyak di dekat atau di tengah laut, terjadi kebocoran kapal pengangkut minyak, dan sumber-sumber lainnya seperti buangan pabrik Kristianto, 2004. Pencemaran perairan oleh minyak sangat merugikan, karena dapat menimbulkan : 1 berkurangnya penetrasi sinar matahari, 2 menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, karena terhalangnya penyerapan oksigen di udara, 3 mengganggu kehidupan organisme akuatik dan burung. Beberapa komponen yang menyusun minyak diketahui bersifat racun terhadap berbagai hewan dan manusia. Nilai Minyak Lemak Perairan Sungai Batanghari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 STS1 STS2 STS3 STS4 STS5 STS6 S t a s iun K o n sen tr asi Mi n yak L em ak m g l Agustus September Oktober Gambar 18. Minyak dan Lemak di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap- tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Di lihat dari hasil pengukuran terhadap konsentrasi minyak dan lemak yang ada di lokasi penelitian masih berada di bawah baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu 1000 mgl. Di mana kisaran nilai minyak dan lemak yang diukur selama bulan pengamatan berada pada 0,4 – 9,2 mgl Lampiran 1 dan Gambar 18. Hal ini disebabkan aktivitas-sktivitas yang ada di lokasi penelitian belum memberikan tekanan yang cukup besar untuk menghasilkan limbah minyak dan lemak, walaupun ada kegiatan dermaga kapal di sekitarnya. Pengukuran terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari dilakukan melalui metode STORET Storage and Retrieval sebagai mana yang tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003. Dengan metode ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi ataupun melampaui baku mutu air. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara dua kualitas air dengan baku mutu air yang sesuai dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Pencemaran kimia dan mikroorganisme yang membahayakan dan beresiko merusak kondisi estetika lingkungan yang baik merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas air Asano dan Cotruvo, 2004. Hasil pengukuran terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran pada tingkat tercemar berat untuk peruntukan kelas I dengan parameter yang melebihi baku mutu yaitu pH, DO, BOD 5 , COD, Fosfat dan E. Coli. Untuk peruntukan kelas II, sungai Batanghari termasuk dalam kategori tercemar sedang, kecuali stasiun 3 dan 5. Parameter yang melebihi baku untuk peruntukan ini adalah pH, DO, BOD 5 , COD, Fosfat dan E. Coli. Bila di lihat dari peruntukkan kelas III, masing-masing stasiun berada dalam kategori tercemar ringan, kecuali stasiun 3 yang tercemar sedang. Parameter yang melebihi baku mutu untuk peruntukkan ini adalah pH, BOD 5 , COD dan E. Coli . Dilihat dari masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam tingkat pencemarannya. Di mana hanya stasiun 2 yang memenuhi baku mutu kelas IV sedangkan stasiun lainnya untuk kelas yang sama sudah tercemar ringan dan parameter yang melebihi baku mutunya yaitu BOD 5, COD dan E. Coli Tabel 22 dan Lampiran 2. Bila dilihat dari bulan dilakukannya pengamatan menunjukkan bahwa tingkat pencemarannya juga berada dalam kategori tercemar berat Tabel 23 untuk peruntukan kelas I. Untuk peruntukan kelas II, pada bulan Agustus termasuk dalam kategori tercemar ringan, bulan September tercemar berat dan bulan Oktober tercemar sedang. Dilihat dari peruntukan kelas III, bulan September yang termasuk dalam kategori tercemar sedang, bulan Agustus dan Oktober termasuk dalam kategori tercemar ringan. Hanya pada bulan Oktober yang memenuhi baku mutu kelas IV. Sedangkan bulan Agustus untuk kelas IV tercemar ringan dan bulan September tercemar sedang. Pengukuran ini dilakukan terhadap 13 parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Di mana parameter yang mempengaruhi hasil pengukuran indeks STORET yaitu pH, DO, BOD 5 , COD, Fosfat dan E. Coli yang berada di atas baku mutu peruntukan air kelas I, II dan III. Sedangkan parameter yang berada di atas baku mutu kelas IV yaitu BOD 5 dan E. Coli Lampiran 2 Tabel 22. Indeks STORET Berdasarkan Stasiun Pengamatan Stasiun Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Stasiun 1 Tanggo Rajo Stasiun 2 Angkasa Raya Stasiun 3 Hok Tong Stasiun 4 Batanghari Tembesi Stasiun 5 Remco Stasiun 6 Djambi Waras -46 -34 -50 -42 -42 -42 -20 -17 -30 -26 -34 -26 -10 -2 -12 -5 -5 -3 -2 -10 -3 -3 -3 Tabel 23. Indeks STORET Berdasarkan Bulan Pengamatan Agustus – Oktober 2008 Bulan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Agustus September Oktober -38 -48 -30 -10 -32 -18 -8 -20 -10 -2 -12 Berdasarkan hasil pengukuran ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi penurunan kelas peruntukkan air. Di mana Sungai Batanghari tidak dapat lagi digolongkan dalam peruntukkan air kelas I sebagai sumber air bersih, tetapi telah berada pada peruntukkan kelas IV yang hanya bisa digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaannya tersebut. Di mana, aktivitas manusia seperti pertanian, pembukaan hutan dan limbah industri dan domestik yang mengakibatkan penurunan kualitas air oleh perubahan karakteristik limpasan, peningkatan larutan tersuspensi dan unsur hara pada air permukaan Soldner et. al, 2004. Merujuk pada kegunaan Sungai Batanghari sebagai sumber air bersih utama masyarakat Kota Jambi, maka untuk mengembalikannya kepada peruntukkan kelas satu perlu dilakukan pengelolaan. Sehingga fungsi air secara ekologi, ekomoni dan sosial tetap dapat dipertahankan. Untuk itu, pengelolaan air perlu dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral dengan mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan rencana pembangunan sektoral.

5.4. Komunitas Biota Perairan