Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi

(1)

ESTI SUSILAWATI S

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009


(3)

ESTI SUSILAWATI S. Formulation Management Strategy of Batanghari River in the City of Jambi. Under supervision of SUPRIHATIN and NASTITI SISWI INDRASTI

The objectives of this research were to identify the water quality of the Batanghari River dues to the activity of crumb rubber industry and to formulate the water management strategy that is environmentally sound. This research was conducted in August, September and October 2008 in 6 observation stations along the Batanghari River that may be effected the activities of crumb rubber industry. The measured parameters includ: temperature, conductivity, turbidity, total suspended solids, total dissolved solids, dissolved oxygen, BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), nitrate, phosphate, weak oil, E. coli, benthos, community social economic condition and the regional economy. Analysis using STORET method shows that Batanghari River, in each observation stations and months has been polluted heavily with STORET value ranged from -34 to -50. This condition indicates that the crumb rubber industry is not the main cause of the decrease of water quality in the Batanghari River. This is also caused by the Batanghari downstream sub-watershed that also has been damaged and people activities that are less environmentally friendly. The existence of the crumb rubber industry itself is still expected by the people in the surrounding areas as a labor intensive economic sector. Based on SWOT Analysis water management strategies of Batanghari River that should be done are: 1) The city government should improve the implementation of the management and regulation of Batanghari River resources with the support from the high quality human resources so that the water utilization of Batanghari River considers the sustainability of its environmental ecosystem with funding support from the central government; 2) The city government should improve the coordination between sector and region (BP DAS Batanghari) in efforts to strengthen the institution and regulation for water management so that it is more easier to implement monitoring and policy determination on the water condition of Batanghari River that has been decreased in its water quality caused by the occurred pollution; 3) The city government should make the Batanghari River as a water tourism area by restructuring the flood-plains area through the people empowerment and participation in efforts to encourage the people welfare and high-quality human resource support with the application of “water front city” so that it will be no more development that violates the land use; 4) The improvement of human resource quality and elimination of inter-sectoral ego between agencies/institutions in efforts to prevent the waste pollution in the Batanghari River.

Keywords: Batanghari River, water quality, water management strategy, crumb rubber industry.


(4)

ESTI SUSILAWATI S. Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi. Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan NASTITI SISWI INDRASTI.

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan). Sungai Batanghari merupakan sungai utama dan sumber air bersih bagi masyarakat di Kota Jambi. Pencemaran yang terjadi di perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah telah meresahkan masyarakat Kota Jambi akan kondisi kualitas perairannya. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan perairan Sungai Batanghari yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkunganya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (a) Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah (crumb rubber); (b) Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas biologi perairannya; (c) Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari; (d) Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan. Manfaat penelitian ini adalah : (1) Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (crumb rubber) terhadap ekosistem Sungai Batanghari; (2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (crumb rubber) dan masyarakat guna penataan pengelolaan lingkungan hidup.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus hingga Oktober 2008, dengan melakukan dua objek pengamatan. Pengamatan pertama, dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas air dari sampel air di sepanjang Sungai Batanghari. Pengamatan kedua, dilakukan terhadap masyarakat yang menggunakan air sungai untuk keperluan rumah tangganya disepanjang daerah aliran Sungai Batanghari. Kualitas perairan yang diamati adalah parameter fisik-kimia, bakteriologi dan biologi yang perubahan parameternya menjadi indikator terjadinya pencemaran atau tidak bila dibandingkan dengan baku mutu yang ada sesuai dengan peruntukannya (Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001).


(5)

E. Coli, bentos, sosial ekonomi masyarakat dan perekonomian daerah. Untuk memperoleh informasi tentang keadaan sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat di lokasi penelitian, maka dikumpulkan data primer dan sekunder. Status kualitas air Sungai Batanghari ditetapkan dengan menggunakan metode STORET. Atribut biologi (metrik) yang digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata yang disebabkan oleh kontaminasi zat pencemar diprediksi dengan tiga macam metrik yaitu: Dominansi 3 (Bode et al. 1996), indek diversitas Shannon-Wiener (Krebs 1989), dan kekayaan taxa (Bode et al., 1996). Analisis Catch Per Unit Effort (CPUE) digunakan untuk menduga populasi ikan konsumsi yang dihasilkan selama waktu tertentu. Dalam penelitian ini satuan unit hasil tangkapan yang digunakan yaitu tangkapan selama beberapa tahun terakhir yang diperoleh dari Subdinas Perikanan Kota Jambi. Persepsi dan kesehatan masyarakat disekitar lokasi industri crumb rubber dianalisis secara deskriptif berdasarkan informasi dan wawancara. Dampak keberadaan industri crumb rubber terhadap perekonomian dianalisis dengan menggunakan Tabel Input – Output (IO) Kota Jambi Tahun 2007. Untuk analisis strategi pengelolaan perairan digunakan analisis SWOT [Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), Treaths (ancaman)].

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perairan Sungai Batanghari pada masing-masing stasiun dan bulan pengamatan telah menunjukkan terjadinya pencemaran berat dengan nilai STORET yang berkisar antara -34 sampai dengan -50 pada peruntukan kelas I. Pada peruntukan kelas II nilai STORET berkisar antara -10 sampai dengan -34 yang menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran berat hingga ringan. Guna peruntukan kelas III, kategori pencemaran berada pada tingkat pencemaran sedang hingga ringan dengan nilai STORET -2 sampai dengan -20. Peruntukan kelas IV menunjukkan pencemaran yang terjadi sedang hingga memenuhi baku mutu dengan nilai STORET 0 sampai dengan -12. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Batanghari berada pada kelas peruntukan IV berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Penurunan kualitas air Sungai Batanghari juga dapat di lihat dari kondisi makrozoobenthosnya yang memiliki indeks keanekaragaman (H) yang berkisar antara 0,37 – 1,521, keseragaman (E) yang berkisar antara 0,111 – 0,454 dan dominasi (D) yang berkisar antara 0,914 – 0,455 mengindikasikan bahwa perairan Sungai Batanghari berada pada tingkat pencemaran sedang hingga berat. Industri karet remah bukan penyebab utama turunnya kualitas perairan Sungai Batanghari. Hal ini disebabkan juga oleh kondisi Sub DAS Batanghari hilir yang juga telah mengalami kerusakan dan aktivitas masyarakat yang kurang ramah lingkungan. Keberadaan industri karet remah itu sendiri masih diharapkan oleh masyarakat sekitarnya dan perekonomian daerah sebagai sektor yang padat tenaga kerja.


(6)

dan penataan sumber daya Sungai Batanghari agar pemanfaatan perairan sungai Batanghari memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkungannya; 2) Meningkatkan koordinasi antara sektor dan wilayah (BP DAS Batanghari) dalam upaya penguatan kelembagaan dan hukum guna pengelolaan perairan sehingga lebih mudah dalam melaksanakan monitoring dan penentuan kebijakan terhadap kondisi perairan Sungai Batanghari yang mengalami penurunan kualitas airnya akibat pencemaran yang terjadi; 3) Pemerintah kota menjadikan Sungai Batanghari sebagai kawasan wisata perairan dengan menata kembali kawasan bantaran sungai melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat serta dukungan SDM yang berkualitas dengan penerapan “water front city” untuk mengurangi kebiasaan masyarakat yang membuang sampah/limbah ke sungai; 4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan koordinasi antar dinas/instansi dalam upaya pencegahan pencemaran limbah di perairan Sungai Batanghari.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya


(8)

ESTI SUSILAWATI S

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(9)

Nama : Esti Susilawati S

NRP : P051060111

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Ing Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

 

 

DAFTAR

 

ISI

 

DLL

 

Tidak

 

ada

 


(11)

(12)

rahmat dan karunianya, sehingga penulisan tesis dengan judul “Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada kesempatan ini terima kasih tak terhingga pertama-tama penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Ing dan Ibu Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Kedua, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai tim penguji dari luar Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina sebagai wakil Program Studi yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan seluruh dosen yang telah memberikan materi kuliah.

Studi ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada rekan-rekan kerja penulis di Badan Lingkungan Hidup Kota Jambi atas bantuannya dalam mengumpulkan data-data guna kelengkapan penelitian ini. Terima kasih pula penulis sampakan kepada rekan-rekan di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang telah banyak memberikan bantuan berupa saran dan dukungannya selama ini serta semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada teman-teman penulis Ibu Rita Hayati dan Dumasari Siregar yang dengan ikhlas mau menjadi pendengar di saat-saat penulis menghadapi permasalahan dalam penelitian ini. Adik-adik di Pondok Ratna yang telah banyak membantu memberikan semangat selama proses penulisan hasil studi ini.

Terakhir, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada orang tua penulis Ibu Saadah dan kakak- kakak (Mas Untung, Mas Anto dan Mas Fitri) serta adik-adik (Titiek dan Eka) yang telah memberikan dukungan dan do’anya selama penulis melaksanakan studi. Dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis yang telah memberikan dorongan semangat dalam penyelesaian studi ini

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009


(13)

Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 28 Agustus 1971 dari ayah M. Solemi (Alm) dan ibu Saadah. Penulis merupakan putri keempat dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SD Negeri 58/IV Jambi pada tahun 1985 dan menengah dari SMP Negeri 1 Jambi pada tahun 1988. Menamatkan pendidikan menengah atas dari SMA Negeri 1 Jambi tahun 1991.

Melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) penulis diterima di Universitas Jambi pada tahun 1992. Tahun 1997 penulis menyelesaikan Sarjana Ekonomi di Jurusan Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Sejak tahun 1998 penulis mulai mengabdikan diri kepada negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintahan Kota Jambi. Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana untuk Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor.


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Wilayah Indonesia berdasarkan data LIPI memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan demikian, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak (Walhi, 2004).

Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan).

Air adalah sumber kehidupan dan sekiranya sumber ini dicemari hingga ke tahap yang tidak dapat lagi digunakan oleh manusia; ini secara tidak langsung telah mengurangi sumber kehidupan manusia sendiri. Jika keadaan pencemaran sungai ini bertambah buruk, maka manusia secara sadar atau tidak telah meracuni diri mereka sendiri (Abdul, 2007)

Dampak negatif dari pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomi, disamping nilai ekologi dan sosial budaya. Upaya pemulihan


(15)

kondisi air yang tercemar akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari keberadaan kegiatan yang menimbulkan pencemaran itu sendiri. Demikian pula bila air yang tercemar tersebut tidak dikelola (tanpa ada upaya pemulihan) akan menimbulkan biaya untuk menangulangi akibat atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang tercemar.

Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitas buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas akan menurunkan daya guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion)

Oleh sebab itu, penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman baik kuantitas maupun kualitasnya.

1.2.Kerangka Pemikiran

Sungai adalah elemen alam yang penting bagi manusia. Sejak dahulu, manusia mempunyai hubungan yang erat dengan sungai karena sungai berfungsi sebagai alat pengangkutan dan perhubungan, sumber baku air untuk domestik dan pertanian selain sumber protein bagi manusia. Dengan berkembangnya pembangunan dan kegiatan perindustrian serta perdagangan, kualitas sungai mulai mengalami penurunan akibat masalah erosi, pengendapan dan pencemaran (Abdul, 2007).

Fungsi sungai untuk berbagai hal dalam kehidupan manusia telah menjadikan sungai sebagai aset yang sangat penting. Fungsi sungai yang paling utama kepada manusia adalah sebagai sumber baku air dan untuk kegunaan domestik atau komersil. Kegunaan domestik utama sungai adalah sebagai sumber air bersih untuk minuman, mencuci dan mandi. Fungsi


(16)

komersil sungai adalah seperti kegunaan dalam industri, pertanian dan akuakultur.

Sungai juga digunakan untuk tujuan rekreasi seperti berenang, berperahu, dan memancing. Sepadan sungai dapat pula digunakan untuk rekreasi pasif seperti beristirahat dan mendapatkan ketenangan serta menikmati pemandangan disekitar sungai. Sungai juga digunakan sebagai sarana pengangkutan, mendapatkan sumber protein seperti ikan serta kegiatan ekonomi seperti menangkap ikan dan menjual pasir sungai.

Sungai memiliki peran yang besar dalam kehidupan, baik sebagai sarana transportasi, kebutuhan air rumah tangga, industri, pertanian, perikanan dan sebagainya. Pemanfaatan DAS untuk industri di samping memberikan dampak positif, juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yaitu menghasilkan limbah atau residual dalam bentuk padat, cair, maupun gas yang dibuang ke lingkungan perairan sungai baik dengan pengolahan maupun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Akibat pembuangan limbah tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air sungai, baik dilihat dari komponen fisik, kimia, maupun biologis yang tentunya membawa perubahan terhadap nilai parameter kualitas air.

Pembuangan limbah industri ke badan perairan, berpeluang meningkatkan pencemaran organik, bahan kimia, dan dapat menekan dan mempengaruhi komunitas biota pada perairan sungai. Untuk menentukan dampak yang ditimbulkan oleh limbah industri ada delapan parameter kunci penentu kualitas perairan yaitu : (1) diversitas makrozoobentos, (2) diversitas ikan, (3) dominasi jenis ikan predator, (4) kekeruhan air, (5) sinositas, (6) bahan-bahan terlarut, (7) kimiawi air dan (8) rata-rata lebar badan air terendah (Purwanto (2000) dalam Purwani, 2001).

Penggunaan kriteria dan parameter kualitas perairan sungai dapat menentukan tingkat kualitas air yang dilihat dari tingkat pencemaran air sungai berdasarkan baku mutu air yang telah ditetapkan sesuai dengan peruntukan dan pemanfaatnya.


(17)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

KEBUTUHAN MASYARAKAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SUNGAI

SUMBER AIR MINUM

SUNGAI

TERJADI PENURUNAN KUALITAS AIR

ANALISIS DAMPAK THP KOMUNITAS BIOLOGI

ANALISIS DAMPAK THP KESEHATAN MASY.

KUALITAS PERAIRAN

ANALISIS DAMPAK TERHADAP SOSEK

PERIKANAN PETERNAKAN PERTANIAN INDUSTRI

MANDI / CUCI

INDUSTRI

CRUMB RUBBER

LIMBAH CAIR

FORMULASI

PENGELOLAAN PERAIRAN

DAMPAK POSITIF : KONTRIBUSI TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH


(18)

1.3.

Perumusan Masalah

Salah satu industri besar yang ada di Kota Jambi adalah Industri

Crumb

Rubber

(Karet Remah) dengan jumlah 5 (lima) perusahaan yang sebagian besar

berlokasi di sepanjang sungai Batanghari. Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan air

dalam proses industri ini sangat besar, untuk pembersihan dan penggilingan bahan

baku. Komoditi karet olahan itu sendiri merupakan salah satu komoditi andalan

Provinsi Jambi. Menurut BPS Provinsi Jambi, minyak dan gas bumi (Migas) serta karet

olahan merupakan komoditi utama ekspor dan penyumbang terbesar bagi pendapatan

Propinsi Jambi. Untuk ekspor migas Jambi tercatat 387,2 juta US dolar sedangkan karet

olahan mencapai 412,2 juta US dolar pada tahun 2007.

Industri karet remah (

crumb rubber

) yang pada mulanya berada di pinggiran

kota, karena adanya ekspansi penduduk, pabrik menjadi berada di tengah lokasi

pemukiman. Untuk itu limbah cair industri perlu diperhatikan karena dampaknya akan

terasa langsung oleh penduduk. Dampak negatif juga timbul jika air limbah langsung

dibuang ke sungai atau perairan umum.

Berdasarkan hasil evaluasi profil penaatan dan kontribusi pencemaran air dari

industri karet secara keseluruhan baru sekitar 2,5% (1 dari 39 perusahaan) yang secara

rutin melakukan pemantauan air limbah dan selalu memenuhi baku mutu konsentarasi

yang ditetapkan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006). Keadaan ini

menunjukkan masih jumlah air limbah industri karet yang dibuang ke perairan sungai,

sehingga akan menurunkan kualitas perairan dan selanjutnya akan berdampak pada

terganggunya ekosistem perairan sungai.

Limbah industri pengolahan karet memiliki karakteristik spesifik, antara lain

kandungan bahan organik dan hara yang relatif tinggi dibandingkan industri lain.

Keadaan tersebut lebih nyata pada limbah cair atau lateks skim hasil pengolahan lateks

pekat, karena sebagian besar bahan non-karet baik organik maupun anorganik akan

terbawa bersama lateks skim tersebut. Bahan-bahan non-karet, terutama protein dapat

menyebabkan pembusukan limbah dan menimbulkan bau, serta menyebabkan limbah

memiliki nilai BOD yang tinggi. Kandungan bahan organik dan hara yang tinggi


(19)

menyebabkan terjadinya eutrofikasi, penurunan kadar oksigen terlarut, masalah estetika

dan kesehatan (Jenie & Rahayu (1998) dalam Nurfianti, 2003).

Menurut Nazaruddin dan Paimin (1998) dalam Wayan (2001), limbah cair

hasil pengolahan karet memiliki sifat pencemaran yang tinggi. Kadar pencemaran

limbah cair pengolahan tergantung pada kualitas limbah cair yang dihasilkan dan

kualitas air tempat pembuangan. Limbah cair produksi karet memiliki nilai BOD yang

tinggi serta bau yang tidak sedap.

Keluhan masyarakat akibat penurunan kualitas air sungai Batanghari yang

merupakan sarana penyediaan air bersih untuk mereka guna mandi dan cuci selama ini

belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah terhadap pengelolaannya.

Masuknya berbagai pencemar ke dalam badan air sungai membutuhkan penelitian

tersendiri agar bisa menentukan dari mana asal atau sumber pencemaran yang terjadi.

Untuk itu perlu dikaji sejauh mana peranan industri karet remah (

crumb

rubber

) terhadap pencemaran yang telah terjadi di Sungai Batanghari selama ini agar

dapat ditetapkan suatu pedoman dalam perbaikan kondisi yang telah tercemar sehingga

masing-masing stake holder bisa bersama-sama melaksanakan remediasi lingkungan

yang telah tercemar.

Berdasarkan uraian di atas yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

1.

Bagaimana kualitas perairan Sungai Batanghari akibat pembuangan limbah karet

remah (

crumb rubber

)?

2.

Apakah perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari diikuti dengan perubahan

komunitas biologi perairan?

3.

Apakah kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah menpengaruhi

kualitas perairan Sungai Batanghari?

4.

Bagaimana strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan?

1.4.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1.

Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet

remah (

crumb rubber

).


(20)

2.

Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas

biologi perairannya.

3.

Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap

kualitas perairan Sungai Batanghari.

4.

Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan.

1.5.

Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

1.

Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (

crumb rubber

)

terhadap ekosistem Sungai Batanghari.

2.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi

Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (

crumb rubber

) dan masyarakat

guna penataan pengelolaan lingkungan hidup.

1.6.

Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi dalam upaya pengendalian pencemaran limbah cair industri karet

remah (crumb rubber) yang merupakan salah satu industri yang cukup besar di Kota

Jambi dan yang paling banyak mengkonsumsi air Sungai Batanghari untuk aktivitas

produksinya serta letaknya yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Di samping

itu dalam pembuangan limbah cairnya, industri karet remah (

crumb rubber

) selama ini

masih belum memenuhi baku mutu yang ada.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Perairan

Perairan sungai adalah suatu perairan yang didalamnya dicirikan dengan adanya aliran air yang cukup kuat sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik) (Goldman dan Horne, 1983). Dalam perairan ini yang memegang peranan penting dan menjadi ciri khasnya adalah aliran air yang menuju satu jurusan dan penambahan air baru dari suatu jurusan yang lebih tinggi tempatnya. Kecepatan arus merupakan faktor yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan organisme yang ada serta daya pulih diri (self purification) dari sungai tersebut (Koessoebiono, 1979).

Menurut Mason (1981), berdasarkan kecepatan arusnya, sungai dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berarus sangat cepat (> 100 cm/detik) 2. Berarus cepat (50 – 100 cm/detik) 3. Berarus sedang (25 – 50 cm/detik) 4. Berarus lambat (10 – 25 cm/detik) 5. Berarus sangat lambat (< 10 cm/detik)

Klasifikasi sungai yang lebih mengarah pada masalah lingkungan menurut Suwigyo (1993) adalah klasifikasi yang didasarkan pada topografi dan aktivitas usaha yang ada di daerah aliran sungainya. Dengan topografi diartikan adanya perbedaan elevasi (dataran tinggi dan dataran rendah), sedangkan dengan aktivitas usaha diartikan adanya kegiatan perhutanan, perkebunan, pertanian, pemukiman, perindustrian, dan sebagainya. Dengan penggabungan pengertian kedua faktor lingkungan tersebut, maka klasifikasi sungai sebagai daerah hulu dan hilir sungai akan terpadukan dengan kualitas air perairannya sesuai dengan beban masukkannya. Sungai bagian hulu adalah bagian sungai yang terletak di dataran tinggi dan merupakan daerah terjadinya erosi. Sedangkan sungai bagian hilir adalah bagian sungai yang terletak di dataran rendah dan merupakan daerah terjadinya pengendapan. Daerah yang terletak diantara bagian hulu dan hilir sungai disebut sebagai bagian tengah


(22)

sungai, karena tidak ada batas yang jelas antara kedua bagian tersebut. Sehubungan dengan sifat perairan sungai yang merupakan sistem terbuka, maka peristiwa lingkungan di sekitarnya akan mempengaruhi keadaan perairannya.

2.2. Pencemaran

Pencemaran atau polusi terjadi bila dalam lingkungan hidup manusia (baik fisik, biologis maupun sosial) terdapat suatu bahan pencemar (polutan), yang ditimbulkan oleh proses aktivitas manusia yang berakibat merugikan terhadap kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung (Sutrisno et al. 1991). Sedangkan menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa adanya penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam kingkungan yang biasanya dapat memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungannya.

Pencemaran juga terjadi apabila ada gangguan terhadap daur suatu zat, yaitu laju produksi suatu zat melebihi laju penggunaan zat, sehingga terjadi pembuangan (Soemarwoto, 1992). Odum (1971) mendefinisikan pencemaran apabila terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki terhadap air, tanah dan udara. Dengan demikian apabila dilihat dari media yang dicemari, maka pencemaran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: pencemaran air, tanah dan udara (Darmono, 2001; Kristanto, 2004).

2.3. Pencemaran Air

2.3.1. Definisi Pencemaran Air

Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia. Air banyak digunakan oleh manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan mudah dapat tercemar. Menurut tujuan penggunaannya, kriterianya berbeda-beda. Air yang sangat kotor utnuk diminum mungkin cukup bersih untuk mencuci, untuk pembangkit tenaga listrik, untuk pendingin mesin dan


(23)

sebagainya. Air yang terlalu kotor untuk berenang ternyata cukup baik untuk bersampan maupun memancing ikan dan sebagainya. Pencemaran air dapat merupakan masalah regional maupun lingkungan global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan tanah atau daratan. Pada saat udara yang tercemar jatuh ke bumi bersama air hujan, maka air tersebut sudah tercemar (Darmono, 2001).

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya (Anonimous, 2001). Berdasarkan pengertian ini, masalah pencemaran air terkait dengan tiga hal penting, yaitu: (1) unsur yang masuk atau dimasukkan ke dalam air, (2) kualitas dan penurunan kualitas air, serta (3) peruntukkan air.

Sedangkan menurut Kristanto (2004), pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Harsanto (1995), mengatakan bahwa air dikatakan tercemar jika mengalami hal-hal berikut :

a. Air mengandung zat, energi dan atau komonen lain yang dapat merubah fungsi air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran. b. Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas

toleransi tertentu atau disebut baku mutu hingga menimbulkan gangguan terhadap pemanfaatannya. Dengan kata lain air tidak sesuai dengan peruntukkannya.

2.3.2. Pencemaran Air Sungai

Hampir setiap hari sungai di seluruh dunia menerima sejumlah besar aliran sediment baik secara alamiah, buangan industri, buangan limbah rumah tangga, aliran air permukaan, daerah urban dan pertanian. Terkadang sebuah sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang sangat besar (Darmono, 2001; Mahida, 1986). Perairan sungai


(24)

apabila menerima bahan-bahan asing dari luar dapat menyebabkan berubahnya kualitas air, sehingga hidrobiota yang hidup didalamnya mengalami gangguan, maka sungai tersebut dikatakan tercemar.

Tiga penyebab utama tercemarnya suatu badan air (Environmental Agency, 1962), yaitu:

a. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, dengan konsekuensi meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa atau materi tertentu.

b. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan peningkatan buangan yang tertampung di perairan sehingga daya pemulihan diri perairan itu terlampaui. Akibatnya perairan menjadi tercemar dengan tingkat yang semakin berat.

c. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial ekonomi budaya untuk memperbaiki lingkungan, seperti investasi untuk system sanitasi dan perlakuan lainnya.

Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil bahan pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut yang diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat diperbarui. Tetapi, proses pengenceran, degradasi dan nondegradasi pada arus sungai yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses penjernihan alamiah. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Proses biodegradari tidak efektif untuk mengurangi degradasi polutan atau nonbiodegradasi polutan dari beberapa bahan kimia (DDT, PCB, beberapa bahan isotop radioaktif, dan komponen merkuri), akibatnya kandungan bahan polutan menjadi berlipat ganda dalam jaringan biologi (magnifikasi biologi) jika bahan tersebut memasuki rantai makan (Darmono, 2001).

Menurut Manan (1997), masalah kualitas air sungai terutama disebabkan oleh kandungan sedimen dalam air sungai akibat terjadinya erosi pada bagian DAS, terutama dibagian hulu. Di Indonesia banyak sungai yang telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai


(25)

yang alirannya melalui daerah perkotaan (daerah padat penduduk) dan wilayah perindustrian (Saeni, 1989). Penurunan kualitas air terutama disebabkan oleh limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertambangan dan limbah pertanian.

2.4. Indikator Pencemaran Air

Sungai dinyatakan tercemar apabila sifat fisik, kimia dan biologinya mengalami perubahan. Menurut Wardhana (2001), indikator atau tanda bahwa air telah tercemar adalah: (1) perubahan suhu air; (2) perubahan pH atau konsentrasi ion hydrogen, (3) perubahan warna, bau dan rasa air; (4) timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut; (5) adanya mikroorganisme; (6) meningkatnya radioktivitas air.

2.4.1. Perubahan Suhu Air

Kegiatan industri adalah proses disertai dengan timbulnya panas reaksi atau panas dari suatu gerakan mesin. Agar proses industri dan mesin-mesin yang menunjang kegiatan tersebut dapat berjalan baik maka panas yang terjadi harus dihilangkan dengan proses pendinginan air. Apabila air yang panas hasil proses pendinginan dibuang ke sungai maka air sungai akan menjadi panas. Hal ini akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme air lainnya, karena kadar oksigen yang terlarut dalam air akan turun bersamaan dengan kenaikan suhu. Kenaikan suhu air menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam air.

2.4.2. Perubahan pH atau Konsentrasi Ion Hidrogen

Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH kisaran antara 6,5 – 7,5. Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air limbah dan bahan buangan kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air yang akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air.


(26)

2.4.3. Perubahan Warna, Bau dan Rasa Air

Bahan buangan dan air limbah dari kegiatan industri mengandung bahan organik dan anorganik yang dapat larut dalam air, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan warna pada air.

Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari bahan buangan atau air limbah dari kegiatan industri, atau dapat pula berasal dari hasil degradasi bahan buangan oleh mikroba yang hidup di dalam air. Bahan buangan industri yang bersifat organik dan air limbah dari kegiatan industri pengolahan bahan makanan seringkali menimbulkan bau yang sangat menyengat hidung. Mikroba di dalam air akan mengubah bahan buangan organik terutama gugus protein, secara degradasi menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau. Timbulnya bau akibat proses penguraian bahan organik yang dilakukan oleh mikroba. Bau pada air dapat dipakai sebagai salah satu indikator terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi.

Apabila air mempunyai rasa (kecuali air laut) maka hal itu berarti telah terjadi pelarutan sejenis garam-garaman. Air yang mempunyai rasa biasanya berasal dari garam-garam yang terlarut. Bila hal ini terjadi maka berarti juga telah ada pelarutan ion-ion logam yang dapat mengubah konsentrasi ion hidrogen dalam air.

2.4.4. Timbulnya Endapan, Koloid dan Bahan Terlarut.

Endapan dan koloid serta bahan terlarut berasal dari adanya bahan buangan industri yang berbentuk padat. Bahan buangan industri yang berbentuk padat kalau tidak dapat larut sempurna akan mengendap di dasar sungai dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloid. Endapan sebelum sampai ke dasar sungai akan melayang di dalam air bersama-sama dengan koloid. Endapan dan koloid yang melayang di dalam air akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam lapisan air. Padahal sinar matahari sangat diperlukan oleh mikroorganisme untuk melakukan proses fotosintesis, akibatnya kehidupan mikroorganisme jadi terganggu.


(27)

2.4.5. Mikroorganisme

Mikroorganisme sangat berperan dalam proses degradasi bahan buangan yang berasal dari kegiatan industri yang dibuang ke perairan, baik sungai, danau maupun laut. Bila bahan-bahan pencemar berada dalam jumlah yang banyak berarti mikroorganisme akan ikut berkembang biak. Pada perkembangbiakan mikroorganisme tidak tertutup kemungkinan bahwa mikroba patogen ikut berkembang pula. Pada umumnya industri pengolahan bahan makanan berpotensi untuk menyebabkan berkembangbiaknya mikroorganisme, termasuk mikroba patogen.

Parameter mikrobiologi, seperti bakteri Eschericia coli (E.coli), termasuk parameter baku mutu air. Keberadaan E.coli dalam perairan menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran akibat tinja manusia. Sebagai salah satu species bakteri Eschericiae, E. coli tergolong enterobacteriaceae, berbentuk batang dengan diameter 0,5 μ dan panjang 1 – 3 μ, serta tumbuh optimal dalam suasana aerob dan anaerob pada suhu 37 oC atau 15 oC – 45 oC dengan pH 7. Dalam saluran pencernaan, E. coli berkembang biak dan mengalami proses alamiah seperti mutasi dari tidak patogen menjadi patogen atau sebaliknya. Salah satu faktor virulensi penting E. coli, berupa

Enterotoxigenic E. coli (ETEC) adalah kemampuan merangsang sel-sel mukosa usus untuk mengekskresikan air dan garam-garam elektrolit secara berlebihan sehingga menyebabkan diare dan dehidrasi (Hasutji, 1995).

2.4.6. Meningkatnya Radioaktivitas Air

Aplikasi teknologi nuklir antara lain dapat dijumpai pada bidang kedokteran, farmasi, biologi, pertanian, hidrologi, pertambangan, industri dan lain-lain. Mengingat bahwa zat radiokatif dapat menyebabkan berbagai macam kerusakan biologis apabila tidak ditangani dengan benar, baik melalui efek langsung maupun efek tertunda, maka tidak dibenarkan dan sangat tidak etis bila ada yang membuang bahan sisa (limbah) radioaktif, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah RI nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 416/Per/MENKES/IX/1990 tentang Pengawasan dan Persyaratan Kualitas Air Bersih.


(28)

2.5. Sumber dan Komposisi Air Limbah 2.5.1. Sumber Air Limbah

Pengertian air limbah (wastewater) menurut Salvato dalam Sugiarto (1987) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya. Air limbah berdasarkan sumbernya dapat berasal dari rumah tangga dan industri (Metcalf dan Eddy, 1979).

2.5.1.1. Air Limbah Rumah Tangga

Air limbah rumah tangga adalah air yang telah dipergunakan, berasal dari rumah tangga atau pemukiman termasuk didalamnya adalah yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, WC serta tempat memasak dan lain-lain, yang mungkin mengandung mikroorganisme pathogen dalam jumlah kecil serta dapat membahayakan kesehatan manusia (Kusnoputranto, 1997). Sedangkan menurut Sugiharto (1987) air limbah rumah tangga berasal dari perumahan, perdagangan, perkantoran, serta daerah fasilitas rekreasi.

Hasil penelitian Feachem (1981) dalam Kusnoputranto (1997), tentang kandungan bakteri menunjukkan bahwa air limbah rumah tangga terkontaminasi oleh tinja manusia. Disebutkan bahwa 38% dari streptococcus fecal yang diisolasi adalah enterococcus (Streptococcus faecalis, S.faecium

dan S.durans). Sebagian besar enterococcus pada air mandi adalah S. faecalis var liquifaciens. Streptococcus bovis merupakan hasil isolasi 22% dari seluruh streptococcus.

Komposisi air limbah rumah tangga yang berasal dari pemukiman terdiri dari tinja, air kemih, dan buangan air limbah lain seperti kamar mandi, dapur, cucian yang kurang lebih mengandung 99,9% air dan 0,1% zat padat.

2.5.1.2. Air Limbah Industri (Pabrik)

Limbah air bersumber dari industri (pabrik) yang biasanya banyak menggunakan air dalam proses produksinya. Di samping itu ada pula bahan baku yang mengandung air, sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut harus dibuang. Air ikutan dalam proses pengolahan kemudian dibuang,


(29)

misalnya ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut, pada air tersebut ditambahkan bahan kimia tertentu, kemudian diproses dan setelah itu dibuang. Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan adanya air buangan. Pada beberapa jenis industri tertentu, misalnya industri pengolahan kawat seng, besi-baja, sebagian besar air digunakan untuk pendinginan mesin ataupun dapur pengecoran. Air dipompa dari sumbernya, kemudian dilewatkan pada bagian-bagian yang membutuhkan pendinginan, untuk selanjutnya dibuang. Oleh karena itu pada saluran pembuangan pabrik tersebut terlihat air mengalir dalam volume yang cukup besar.

Air limbah dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik yang larut maupun yang mengendap. Bahan ini ada yang kasar dan ada yang halus. Kerapkali air buangan pabrik berwarna keruh dan bersuhu tinggi. Air limbah yang telah tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasikan secara visual dari kekeruhan, warna, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lainnya. Sedangkan identifikasi secara laboratorium ditandai dengan perubahan sifat kimia air (Kristanto, 2004). Jenis industri yang menghasilkan limbah cair di antaranya adalah industri tapioka, pupl dan rayon, pengolahan crumb rubber, besi dan baja, kertas, minyak goreng, tekstil, elektroplating, plywood, monosodium diutamat dan lain-lain.

2.5.2. Komposisi Air Limbah

Menurut Kodrat (1982), bahan pencemar yang terkandung dalam air limbah sangat dipengaruhi oleh sifat dan jenis sumber penghasil limbah, yang dibedakan menjadi tiga yaitu sifat fisik, kimia dan biologi. Bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah dapat berupa bahan terapung, padatan tersuspensi atau padatan terlarut. Selain itu air limbah juga dapat mengandung mikroorganisme seperti virus, bakteri, protozoa dan lain-lain. Komposisi air limbah sangat bervariasi tergantung pada tempat, sumber dan waktu, secara garis besar, zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti pada Gambar 2.


(30)

Gambar 2. Komposisi Air Limbah (Tebbutt, 1977)

2.6. Limbah Organik

Beribu-ribu bahan organik, baik bahan alami maupun sintetis, masuk ke dalam badan air sebagai hasil dari aktivitas manusia. Penyusun utama bahan organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein), lemak (fats), dan asam nukleat (nukleid acid) (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Setiap bahan organik memiliki karakteristik fisik, kimia, dan toksisitas yang berbeda. Namun, pemantauan setiap jenis bahan organik merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Salah satu contoh komposisi dan persentase komponen penyusun limbah bahan organik ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Limbah Organik

Jenis Bahan Organik Persentase (%)

1. Lemak 2. Protein 3. Abu

4. Asam Amino, kanji (starch) 5. Lignin

6. Selulosa 7. Hemiselulosa 8. Alkohol

30 25 21 8 6 4 3 3 Sumber : Higgins dan Burns, 1975 dalam Abel 1989.

Air Limbah

Anorganik (30%) Organik

(70%) Air

(99,9%)

Bahan Padatan (0,1%)

Protein (65%) Karbohidrat (25%) Lemak (10%)

Butiran Garam Metal


(31)

Secara normal bahan organik tersusun oleh unsur C, H, O, dan dalam beberapa hal mengandung N, S, P, dan Fe. Struktur dan sifat-sifat senyawa organik memiliki kisaran yang sangat luas. Masalah pencemaran bahan organik naik pesat sejak berkembangnya metode sintesis zat-zat organik dan dengan dipergunakannya berbagai zat organik untuk industri, obat-obatan, pertanian, makanan dan lain-lain (Saeni, 1989).

Senyawa-senyawa organik umumnya tidak stabil dan mudah dioksidasi secara biologis atau kimia menjadi senyawa stabil, antara lain CO2, NO2, H2O.

Untuk menyatakan kandungan zat-zat organik dilakukan dengan pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menstabilkan.

2.7. Kualitas Perairan

Kualitas perairan secara luas dapat diartikan sebagai faktor fisik, kimia dan biologi yang mempengaruhi kehidupan ikan dan organisme perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menjaga kualitas perairan perlu penetapan baku mutu pada perairan tersebut. Baku mutu air adalah keadaan ideal yang ingin dicapai atau keadaan maksimum yang boleh ditoleransi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Sugiharto (1995), parameter kimia baku mutu air dikategorikan dalam pengaruh senyawa kimia terlarut terhadap :

a. Sifat fisik air, seperti DHL (Daya Hantar Listrik), TSS (Total Suspended Solids), dan TDS (Total Dissolved Solids);

b. Karakter perairan, seperti pH, DO (Oxigen Demand), BOD (Biological Oxigen Demand), dan COD (Chemical Oxigen Demand)

c. Ion-ion logam, seperti Ba, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, Cd, dan Hg. d. Ion-ion bukan logam, seperti F-, S2-, SO42-, Cl-, NO3 dan N02.

e. Senyawa-senyawa organik, seperti fenol, minyak, karbon kloroform, PCB (Polychlorinated Biphenyls), dan detergen.

f. Pestisida, DDT (Dichlorodiphenyltrichloroetane), Eldrin, Aldrin, Lindan, dan Heptaklor.

g. Parameter bakteriologi , seperti bakteri Eschericia coli atau E. coli, termasuk parameter baku mutu air.


(32)

Menurut Wardoyo (1991), perairan yang ideal adalah perairan yang memiliki keseimbangan fisik, kimia dan biologi yang diperlukan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya dalam rangka menyelesaikan daur hidupnya.

2.7.1. Parameter Fisik – Kimia Perairan 2.7.1.1. Suhu Air

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan yang vital yaitu proses metabolisme bagi organisme di perairan. Suhu air suatu perairan sungai berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, komposisi substrat, luas permukaan perairan yang langsung mendapat sinar matahari, kekeruhan dan kecepatan reaksi kimia. Selain itu juga suhu air suatu perairan dipengaruhi oleh komposisi substrat, kekeruhan, suhu air tanah dan air hujan, pertukaran panas antara udara dan air permukaan serta suhu air limpahan (Perkins, 1974).

Suhu air di perairan yang mengalir lebih cepat berubah dibandingkan dengan suhu air pada air yang tergenang. Musim juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya suhu perairan. Pada musim hujan, suhu di bagian hulu cukup dingin sedangkan suhu di bagian hilir agak hangat (Putri, 2001).

Naiknya suhu perairan sungai menurut Kristanto (2004) dapat menyebabkan :

a. Menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air. b. Meningkatnya kecepatan reaksi kimia.

c. Mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya.

d. Kematian pada ikan dan hewan air dapat terjadi jika batas suhu yang mematikan terlampaui.

2.7.1.2. Kekeruhan

Menurut Sugiharto (1987) kekeruhan merupakan ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar pengukuran keadaan air sungai. Kekeruhan menunjukkan sifat optis air, yang mengakibatkan pembiasan cahaya ke dalam air, sehingga membatasi masuknya cahaya ke dalam air


(33)

(Kristanto, 2004), akibatnya akan dapat menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan bentik (Putri, 2001). Penurunan fotosintesis fitoplankton dan bentik akan menyebabkan penurunan produktivitas perairan.

Kekeruhan ini terjadi karena adanya bahan yang terapung, dan terurainya zat tertentu, seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah liat dan benda lain yang melayang atau terapung dan sangat halus sekali. Semakin keruh air, semakin tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula padatannya (Kristanto, 2004).

Pada waktu banjir, sejumlah besar tanah lapisan atas mengalir ke dalam sungai. Kebanyakan bahan ini berupa zat-zat organik dan anorganik. Pada daerah pemukiman, kekeruhan disebabkan pula oleh buangan penduduk dan industri, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah (Sawyer, 1964). Kekeruhan meningkat sesuai dengan peningkatan aliran sungai yakni pada musim hujan, serta menurun ke arah dasar perairan.

2.7.1.3. Padatan Terlarut dan Padatan Tersuspensi

Menurut Kristanto (2004), padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan sebagainya. Sedangkan padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan padatan-padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air, meneral dan garam-garamnya. Misalnya, air limbah pabrik gula biasanya mengandung berbagai jenis gula yang larut, sedangkan air limbah industri kimia sering mengandung mineral seperti Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), Nikel (Ni), serta garam Magnesium (Mg) dan Kalsium (Ca) yang mengandung kesadahan air. Selain itu, air limbah juga sering mengandung sabun, detergen yang larut dalam air, misalnya pada limbah rumah tangga dan industri pencucian.

Padatan tersuspensi dan padatan terlarut dibedakan dengan penyaring berpori 0,45 mikron. Partikel yang lolos pada saringan ukuran tersebut dikenal


(34)

sebagai partikel terlarut, sedangkan partikel yang tidak lolos pada saringan tersebut dikenal sebagai partikel tersuspensi (Putri, 2001). Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis, selain itu padatan tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air.

Selain mengandung padatan tersuspensi, air limbah juga mengandung koloid, misalnya protein. Air limbah industri mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung pada jenis industrinya. Air limbah industri makanan, terutama industri fermentasi, dan industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi. Jumlah padatan tersuspensi dalam air dapat diukur dengan Turbidimeter. Padatan tersuspensi suatu sampel air adalah jumlah bobot bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu, biasanya dinyatakan dalam miligram per liter atau ppm.

Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan air buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Pescod (1973) menyatakan agar kandungan padatan tersuspensi tidak lebih dari 1000 mg/l.

2.7.1.4. Derajat Kemasaman (pH)

Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam meneral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. Perairan yang bersifat asam lebih banyak dibandingkan dengan perairan alkalis. Mahida (1981) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi nilai pH antara lain buangan industri dan rumah tangga.

Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis susunan lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya zat-zat hara dan toksisitas dari unsur-unsur renik (McNeely et al, 1979). Rahayu (1991), menyatakan bahwa suatu perairan


(35)

yang produktif dan ideal untuk usaha perikanan adalah perairan yang pH-nya berkisar antara 6,5 – 8,5.

Air limbah industri bahan anorganik pada umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi atau pH-nya rendah. Adanya komponen besi sulfur (FeS2) dalam jumlah tinggi di dalam air

akan juga akan meningkatkan keasamannya, karena FeS2 dengan udara dan air

akan membentuk H2SO4 dan besi (Fe) yang larut. Perubahan keasaman pada

air limbah, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun), akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air. Selain itu, air limbah yang mempunyai pH rendah bersifat sangat korosif terhadap baja dan sering mengakibatkan pipa besi menjadi berkarat. Nilai pH yang baik untuk air minum dan air limbah adalah netral (pH 7), air limbah yang memiliki pH yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihan (Sugiharto, 1987).

Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka penentuan nilai pH harus dilakukan seketika setelah contoh diambil dan tidak dapat diawetkan. Dengan demikian nilai pH yang diperoleh di suatu perairan itu adalah nilai yang tepat dan dapat dipercaya.

2.7.1.5. Oksigen Terlarut (DO)

Gurnham (1965) menyatakan bahwa oksigen terlarut adalah banyaknya oksigen yang terkandung di dalam air dan diukur dalam satuan miligram per liter. Oksigen terlarut dipergunakan sebagai indikator pencemaran limbah organik dalam perairan, semakin besar oksigen terlarut menunjukkan tingkat pencemaran relatif kecil. Menurut Fardiaz (1992), suatu perairan dikatakan telah tercemar, bila konsentrasi oksigen terlarutnya telah menurun sampai dibawah batas yang dibutuhkan untuk kehidupan biota.

Oksigen terlarut dalam perairan sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme perairan dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Menurut Mason (1981), oksigen dipakai oleh organisme pengurai (bakteri dan


(36)

jamur) dalam proses penguraian bahan organik. Selain itu oksigen terlarut penting untuk respirasi organisme air (Goldman dan Horne, 1983).

Golman dan Horne (1983) menyatakan bahwa, oksigen terlarut di dalam perairan bersumber dari difusi langsung melalui lapisan permukaan dan proses fotosintesis organisme nabati. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air dan tekanan parsial oksigen di atmosfir. Penyebab utama berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut di dalam air adalah adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari berbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat pencemar yang memerlukan oksigen terlarut adalah senyawa organik.

Kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan sangat menentukan penyebaran hewan-hewan yang hidup di dalamnya. Menurut Warren (1971) kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah akan mengurangi jumlah jenis invetebrata yang berukuran besar, sedangkan cacing Tubefex sp, larva nyamuk dan cacing-cacing lainnya didapatkan berlimpah.

Tingginya kandungan oksigen terlarut di sungai dapat disebabkan karena sungai relatif dangkal dan adanya turbelensi gerakan air (Odum, 1971). Lee et al. (1978) membedakan kualitas air sungai yang terpengaruh oleh zat pencemar berdasarkan kandungan oksigen terlarut dalam air tersebut, seperti terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Kualitas Air Sungai berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut

No. Kriteria KualitasAir

Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l)

1. Tidak tercemar dan tercemar sangat ringan > 6,5 2. Tercemar ringan 4,5 – 6,4 3. Tercemar sedang 2,0 – 4,4 4. Tercemar berat < 2.0 Sumber : Lee et al. (1978)


(37)

2.7.2. Parameter Biokimia Perairan

Konsepsi untuk mengukur potensi pencemaran dari suatu perairan yang mengandung sumber karbon organik yang tersedia bagi mikroba adalah dengan cara mengukur banyaknya oksigen yang digunakan selama pertumbuhan organisme pada contoh perairan. Ini berarti inti masalah pencemaran bahan organik berhubungan dengan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk reaksi metabolisme mikroba yang terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik ke dalam badan air.

Pengukuran potensi pencemaran dari suatu limbah cair sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis dan masuk akal. Dalam skala luas merupakan suatu pendekatan untuk menduga kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972). Oleh sebab itu, kandungan oksigen yang digunakan secara biokimia dapat digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalam suatu perairan melalui pengukuran BOD dan COD.

2.7.2.1. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)

Menurut Wardhana (2001), Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis, adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di dalam perairan. Proses penguraian bahan organik oleh bakteri memerlukan waktu 100 hari pada suhu 20oC, akan tetapi di laboratorium dipergunakan waktu 5 hari sehingga dikenal dengan BOD5.

Peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

Pada umumnya air lingkungan atau air alam mengandung mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, mendegradasi bahan buangan organik. Jumlah mikroorganisme di dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih (jernih) biasanya mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah tercemar oleh bahan buangan. Air lingkungan yang telah tercemar oleh bahan


(38)

buangan yang bersifat antiseptik atau bersifat racun, seperti phenol, kreolin, deterjen, asam sianida, insektisida dan sebagainya, jumlah mikroorganismenya juga relatif sedikit. Mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk memecahkan bahan buangan organik sering disebut dengan bakteri aerobik, sedangkan mikroorganisme yang tidak memerlukan oksigen disebut dengan bakteri anaerobik (Wardhana, 2001).

Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme atau oleh bakteri aerobik adalah sebagai berikut :

CnHaObNc + (n + a/4 – b/2 -3c14)O2 n CO2 + (a/2 – 3c/2) + H2O + c NH3

Seperti tampak pada reaksi diatas, bahan buangan organik dipecah dan diuraikan menjadi gas CO2, air dan NH3. Timbulnya senyawa NH3

menyebabkan bau busuk pada perairan yang telah tercemar oleh bahan buangan organik. Reaksi tersebut di atas memerlukan waktu yang cukup lama, kira-kira 10 hari. Dalam waktu 2 hari mungkin reaksi telah mencapai 50% dan dalam waktu 5 hari mencapai sekitar 75%.

Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada titik nol, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan yang mengakibatkan pencemaran. Tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5

(Tabel 3 dan Tabel 4)

Tabel 3. Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Nilai BOD5 No. Kriteria Kualitas Air Kandungan BOD5 (mg/l)

1. Tidak tercemar ≤ 2,9 2. Tercemar ringan 3,0 -5,0 3. Tercemar sedang 5,1 – 14,9 4. Tercemar berat ≥ 15,0 Sumber : Lee et al. (1978).

Bakteri aerobik


(39)

Tabel 4. Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Nilai BOD5 No. Kelas Pencemaran Kandungan BOD5 (mg/l)

1. Nihil/ringan 0,36 – 5,7 2. Sedang 5,8 – 7,7 3. Kritis 7,8 – 9,5

4. Parah 9,6 -15

5. Sangat Parah > 15 Sumber : Schmitz (1970)

BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah digunakan oleh aktivitas mikroba selama kurun waktu yang ditentukan. Analisis BOD adalah suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia atau mikrobiologis yang benar-benar terjadi di alam atau perairan, sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologis yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan secara alami. Analisis BOD bertujuan untuk menduga berapa banyak oksigen yang digunakan dalam kondisi encer seperti yang terjadi dalam air sungai, bila limbah tersebut dibuang ke badan perairan. Semakin besar nilai BOD, semakin besar tingkat pencemaran air oleh bahan organik (Jaya, 1994). Nilai BOD5 hampir tidak pernah sama dengan COD, kecuali jika mikroba mampu

mendorong rantai makanan untuk mendekati kesempurnaan. Pada kondisi ekologis yang terbaik, BOD dapat mendekati nilai COD (Gaudy dan Gaudy, 1980).

2.7.2.2. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)

Oleh karena pengukuran BOD mempunyai beberapa kekurangan yang berhubungan dengan ketelitian dan lamanya waktu pengukuran, maka pengukuran lain telah dikembangkan untuk mengukur kebutuhan oksigen, yaitu kebutuhan oksigen kimia atau COD. Kebutuhan oksigen kimia adalah ukuran banyaknya oksigen total dalam satuan miligram per liter yang diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Bahan oksidasi yang digunakan adalah kalium dikromat dan merupakan zat


(40)

pengoksidasi yang kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap dalam suasana asam dengan katalis peraksulfat.

Menurut Kristanto (2004), bakteri dapat mengoksidasi zat organik menjadi CO2 dan H2O, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi

dari BOD untuk air yang sama. Di samping itu bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Connell dan Miller (1995) menyatakan bahwa pengukuran COD tidak mencerminkan jumlah oksigen yang digunakan secara alamiah karena uji COD lebih cepat dari uji BOD. Saeni (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara BOD dan COD, hal ini didasarkan karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan dengan oksidasi secara biologis. Selain itu Kristanto (2004) menyatakan bahwa 96% hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit, kira-kira akan setara dengan hasil uji BOD selama lima hari.

2.7.3. Parameter Biologi Perairan 2.7.3.1. Mikroorganisme Perairan

Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah bakteri Escherichia coli (E. coli). Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan. Oleh karena itu bakteri ini disebut juga koliform fecal (Saeni, 1989).

Menurut Fardiaz (1992), keberadaan E. coli merupakan indikator yang menunjukkan bahwa suatu perairan telah tercemar oleh kotoran manusia dan hewan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 41/MenKes/Per/IX/1990, kandungan E. coli untuk air yang akan digunakan sebagai air minum harus sama dengan nol.

2.7.3.2. Makrozoobenthos

Hewan makrozoobenthos merupakan salah satu kelompok biota yang hidup di dalam ekosistem sungai, terutama di dasar perairan yang mengalir (Odum, 1993). Berdasarkan ukurannya hewan bentos dibagi ke dalam tiga


(41)

kelompok yaitu : (a) mikrobentos atau mikrofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm, contohnya protozoa; (b) meiobentos atau meiofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran antara 0,1 sampai 1,0 mm, contohnya protozoa yang berukuran besar, cacing-cacingan, Chidaria dan sebagainya; (c) makrobentos atau makrofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih dari 1 mm, contohnya

Echinodermata, Crustacea, Annelida dan sebagainya. Hewan bentos relatif tidak bergerak, seperti cacing, lintah, moluska dan kelompok Arthopoda yang bergerak perlahan pada daerah yang terbatas untuk mencari makan (Barnes, 1978).

Golongan utama yang biasanya dianggap sebagai makrozoobenthos

adalah Insecta, Mollusca, Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata, Ephemeraptera, Hemiptera, Megaloptera, Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera (Goldman dan Horne, 1983).

Peranan penting organisme bentik dalam komunitas aquatik adalah meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik, seperti limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu sebagai komponen penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan komunitas aquatik, serta larva insecta merupakan makanan utama ikan kecil (Lind, 1979).

Wilhm (1975) menyatakan perubahan kualitas air sangat mempengaruhi komposisi dan besarnya populasi makrozoobenthos. Beberapa jenis

makrozoobenthos seperti Tubifex sp, mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk, sehingga organisme tersebut dipakai sebagai penentu kualitas air di suatu perairan.

Makrozoobenthos dijadikan sebagai bioindikator perairan sungai karena kehadiran atau perilakunya di alam berkorelasi dengan kondisi lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan (Wiley, 1990). Daya tahan dan adaptasi masing-masing jenis hewan bentos berbeda antara jenis yang satu dengan jenis lainnya, ada yang tahan dan ada yang tidak tahan terhadap kondisi perairan setempat. Hal ini menyebabkan adanya hewan


(42)

benthos tertentu dapat dijadikan petunjuk untuk menaksir atau menilai kualitas air perairan tersebut (Hart dan Fuller, 1980). Dibandingkan dengan organisme lainnya makrozoobenthos lebih efektif di dalam penentuan kualitas air. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain :

a. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak mengalami perubahan.

b. Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat akuatik dalam spektrum luas, dengan berbagai kualitas air.

c. Mempunyai masa hidup yang relatif lama (beberapa bulan hingga 2 tahun) sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya.

d. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap kualitas air.

e. Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis indikator lainnya.

f. Mudah dalam pengumpulannya.

Sebagai bioindikator, hewan ini dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas air yang hakiki, yaitu :

a. Dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air. b. Dapat mengukur efektivitas tindakan penanggulangan pencemaran. c. Dapat menunjukkan kecenderungan untuk memprediksi

perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang.

Berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar, Wilhm (1975) mengklasifikasikan hewan makrozoobenthos menjadi tiga kriteria seperti pada Tabel 5.

Jenis hewan hidrobiota yang mempunyai daya toleransi tinggi terhadap perubahan-perubahan faktor lingkungan akan mempunyai penyebaran yang relatif luas, sebaliknya jenis hidrobiota yang mempunyai daya toleransi sempit, sehingga hanya pada suatu lokasi tertentu di sepanjang sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi dan keanekaragaman hidrobiota dalam suatu perairan (Oey et al, 1978). Perairan yang berkualitas


(43)

baik, biasanya mempunyai nilai keanekaragaman jenis yang tinggi dengan kelimpahan individu tiap jenis yang rendah dan keadaan sebaliknya terjadi di perairan yang berkualitas buruk (Zajic, 1971).

Tabel 5. Klasifikasi Hewan Makrozoobenthos Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Bahan Pencemar.

No. Kelompok Jenis Hewan Makrozoobenthos

1.

2.

3.

Sangat tahan terhadap pencemaran (toleran)

Ketahanan sedang dan lebih menyenangi air jernih

Tidak tahan terhadap pencemar dan hanya menyenangi air bersih.

Cacing, Tubifisida, Chironomus riparium (sejenis nyamuk),

Limnodrilus sp.

Gastropoda, Serangga, Odonata

dan Crustaceae

Siput dari famili Viviparidae,

Amnicolidae, Serangga, Nimfa dan

Ordo Ephemeroptera, Ordonata Hemiptera dan Neuroptera.

Sumber : Wilhm (1975)

2.8. Penilaian Status Pencemaran

Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan. Di Indonesia baku mutu air untuk berbagai kebutuhan telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 (Lampiran 4), yaitu :

a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.


(44)

c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Penentuan status mutu air dilakukan dengan menggunakan metode STORET. Dengan metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air.

2.9. Keterkaitan Aspek Perekonomian dengan Aspek Lingkungan

Usaha meningkatkan perekonomian sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki (resources based approach) merupakan bagian mendasar berbagai teori pembangunan. Teori pembangunan sendiri pertama kali muncul pada abad ke 18 dari mahzab klasik dengan pelopornya Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Malthus. Dengan berjalannya waktu, konsep pembangunan tersebut berubah sesuai dengan kepentingan yang melatarbelakanginya (Sukirno, 1985; Djojohadikusumo, 1991 dalam Sihombing, 2004).

Sebelum dekade 1960-an, pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi diartikan sebagai kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan efisien. Indeks yang umum digunakan sebagai indikator kemajuan ekonomi suatu negara adalah GNP per kapita. Kesejahteraan masyarakat diasumsikan akan meningkat bersamaan dengan pertumbuhan GNP.

Validitas GNP sebagai ukuran pembangunan ekonomi mulai dipertanyakan. Pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas penurunan sumberdaya (resources depletion) sungguh berbeda dengan pertumbuhan berdasarkan peningkatan output. Dalam penghitungan GNP terdapat bias yang prinsipal dimana depresiasi dari output buatan manusia diperhitungkan sedangkan penurunan sumberdaya tidak diperhitungkan.


(45)

Sejak awal 1960-an, pola pikir tentang pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan mulai bergeser. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa banyak negara yang mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi tetapi taraf hidup masyarakatnya tidak berubah. Kuznets (1960) mulai mempersoalkan pemikiran pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi tetapi lupa meluaskan kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran (Chenery

et.al., 1975; Todaro, 1985). Bruntland (1988) menggarisbawahi tingkat penurunan sumberdaya yang terjadi di negara berkembang. Kondisi ini adalah kombinasi dari pencemaran akibat kemakmuran dan pencemaran akibat kemiskinan. Peningkatan demand yang pesat menyebabkan industrialisasi semakin marak yang berarti semakin besar pencemaran yang dihasilkan. Sementara di sisi lain, ketiadaan alternatif lain untuk mendukung kebutuhan hidup minimal mendorong masyarakat miskin lebih intensif menggunakan sumberdaya.

Sebagai reaksi atas semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan di negara maju akibat revolusi industri, muncul kesadaran tentang masalah lingkungan hidup. Pemikiran ini tercetus tahun 1972 dalam Konferensi Stockholm mengenai kebijakan lingkungan hidup international. Tahun 1978 dalam World Conservation Strategy dipopulerkan istilah pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya memenuhi kebutuhan mereka (Bruntland, 1988).

Kesadaran akan adanya interaksi antara aktivitas ekonomi dengan lingkungan semakin mendapat perhatian. Meskipun demikian keberadaan hubungan ekonomi-ekologi tersebut masih belum terlalu menyakinkan (Aziz, 1984). Upaya-upaya untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dalam kegiatan ekonomi sering menghadapi kendala antara lain (Reksohadiprojo dan Brojonegoro, 1997) :

1. Adanya pendapat bahwa bertambahnya pencemaran terhadap lingkungan terjadi sedikit demi sedikit, dimana tambahan pencemaran tidak berpengaruh dan manusia tetap dapat hidup.

2. Adanya pihak-pihak yang menentang kebijakan yang memperhatikan aspek lingkungan karena merasa kegiatannya dibatasi.


(46)

3. Adanya pihak yang berpegang teguh pada hal-hal tradisional dan menentang adanya perubahan.

4. Adanya pihak-pihak yang menolak pembagian insentif ekonomi dengan maksud perlindungan lingkungan dan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat.

Kegiatan industrialisasi secara nyata membawa dampak negatif dan positif terhadap pembangunan. Di Indonesia seyogyanyalah kita memberikan perhatian yang berimbang pada dampak negatif dan dampak positif. Keharusan merinci dampak sebagai dampak positif atau negatif tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982, yaitu dalam penjelasan pasal 1 ayat 9. Namun tidak selalu mudah untuk menentukan apakah suatu dampak itu positif atau negatif (Soemarwoto, 2007).

Gambar 3 menunjukkan kaitan kegiatan perekonomian dengan usaha pengelolaan lingkungan (Dixon dan Hufschmidt, 1986).

Sumber : Dixon dan Hufschmidt, 1986

Gambar 3. Kegiatan Ekonomi dan Dampak Lingkungan

Dalam mengambil keputusan terhadap penanganan suatu kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran, maka perlu dikaji dampaknya terhadap sektor ekonomi di suatu wilayah tertentu, akan lebih efektif dan efisien jika didasari oleh pertimbangan mengenai hubungan atau keterkaitan seluruh sektor ekonomi dalam menggerakkan perekonomian secara menyeluruh. Sehingga dengan demikian kita bisa melihat bagaimana multiplier effect yang dihasilkan oleh suatu sektor

Kegiatan manusia

Sisa dan dampak lingkungan

Dampak pada system

alami dan kualitas lingkunga

Dampak pada penerima :

manusia, hewan &

Penilaian ekonomi terhadap dampak

Penilaian ekonomi bagi usaha pengelolaan

kualitas lingkungan USAHA PENGELOLAAN KUALITAS

LINGKUNGAN (Mengurangi Dampak)


(47)

terhadap sektor lainnya. Untuk menganalisa pergerakkan tersebut dapat dilakukan dengan bantuan tabel Input – Output (IO) dari setiap daerah (Kajian Ekonomi Regional NTT, 2008).

Pengembangan sektor pertanian sebagian sektor primer dan sektor yang melakukan penyerapan tenaga kerja paling dominan pada dasarnya memang perlu. Namun, melihat tingkat keterkaitan antar sektor yang lebih didominasi oleh sektor industri dan jasa. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri (agroindustri). Pengembangan agro industri akan memacu sektor pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian maupun industri yang notabene memiliki kapasitas relatif tinggi untuk menyerap. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat ke depan akan cenderung lebih baik (Kajian Ekonomi Regional NTT, 2008). Industri crumb rubber merupakan industri yang ditopang oleh sektor pertanian dalam hal ini petani karet.

2.10. Strategi Pengelolaan Perairan Sungai

Analisis SWOT merupakan salah satu cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan. Rangkuti (2008) menggambarkan analisis SWOT sebagai analisis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threath). Faktor internal dalam analisis SWOT adalah kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), sedangkan faktor eksternal yang dihadapi adalah peluang (opportunity) dan ancaman (threath). Dengan menganalisis potensi dan permasalahan pengelolaan perairan sungai, maka dapat diidentifikasi variable-variabel SWOT yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan perairan di masa yang akan datang.

Setelah melakukan pengamatan terhadap lingkungan internal dan eksternal serta mengidentifikasi faktor-faktor strategi dalam mengevaluasi pengelolaan perairan langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT yang terdiri atas matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan matriks EFE (External


(1)

153 Lampiran 10 (lanjutan)

Responden 3 (Ketua Puslit DAS Universitas Jambi)

No. Faktor Penentu Strategi Eksternal O1 O2 T1 T2 T3 Total Bobot Peluang (Opportunities)

1. Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat (O1) 1 1 1 1 4 0,154

2. Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan (O2)

1 2 2 1 6 0,231

Ancaman (Threats)

3. Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari (T1)

1 2 1 1 5 0,192 4. Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan

mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai (T2)

1 2 1 2 6 0,231

5. Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari (T3)

1 1 1 2 5 0,192


(2)

154 Lampiran 10 (lanjutan)

Rekapitulasi Penentuan Robot Faktor Strategi Eksternal

No. Faktor Penentu Strategi Eksternal Responden Total Bobot 1 2 3

Peluang (Opportunities)

1. Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat (O1) 0,167 0,167 0,154 0,488 0,163

2. Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan (O2)

0,208 0,233 0,231 0,672 0,224

Ancaman (Threats)

3. Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari (T1)

0,208 0,200 0,192 0,600 0,200 4. Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan

mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai (T2)

0,208 0,167 0,231 0,606 0,202

5. Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari (T3)


(3)

155

Lampiran 11. Penentuan Rating Faktor Internal

Faktor-Faktor Strategi Internal (IFAS) Responden Jumlah Rating 1 2 3

Kekuatan (Strenght) :

S1 Komitmen pemerintah daerah terhadap

lingkungan hidup.

S2 Ada tim koordinasi pengelolaan sungai

tingkat provinsi (BP DAS Batanghari).

S3 Ada program monitoring kualitas air

sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan.

4 4 3 4 3 3 4 4 4 12 11 10 4 4 3

Kelemahan (Weakness) :

W1 Belum kuatnya penegakan hukum

terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan.

W2 Kurangnya koordinasi antar

dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran.

W3 Keterbatasan anggaran dalam

pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya

sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan. 1 2 1 1 2 1 2 1 2 4 5 4 1 2 1


(4)

156

Lampiran 12. Penentuan Rating Faktor Eksternal

Faktor-Faktor Strategi Eksternal (EFAS)

Responden Jumlah Rating 1 2 3

Peluang (Opportunities) :

O1 Ada dana pengelolaan lingkungan dari

pemerintah pusat.

O2 Sungai Batanghari memiliki nilai

ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan..

3 4

4 4

3 4

10 12

3 4

Ancaman (Threat) :

T1 Penurunan kualitas Sungai Batanghari

mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari.

T2 Kebiasaan masyarakat yang kurang

ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai.

T3 Timbul konflik akibat kerusakan

sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari.

1

2

1 1

1

2 1

2

2

3

5

5

1

2


(5)

ABSTRACT

ESTI SUSILAWATI S. Formulation Management Strategy of Batanghari River in the City of Jambi. Under supervision of SUPRIHATIN and NASTITI SISWI INDRASTI

The objectives of this research were to identify the water quality of the Batanghari River dues to the activity of crumb rubber industry and to formulate the water management strategy that is environmentally sound. This research was conducted in August, September and October 2008 in 6 observation stations along the Batanghari River that may be effected the activities of crumb rubber industry. The measured parameters includ: temperature, conductivity, turbidity, total suspended solids, total dissolved solids, dissolved oxygen, BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), nitrate, phosphate, weak oil,

E. coli, benthos, community social economic condition and the regional economy. Analysis using STORET method shows that Batanghari River, in each observation stations and months has been polluted heavily with STORET value ranged from -34 to -50. This condition indicates that the crumb rubber industry is not the main cause of the decrease of water quality in the Batanghari River. This is also caused by the Batanghari downstream sub-watershed that also has been damaged and people activities that are less environmentally friendly. The existence of the crumb rubber industry itself is still expected by the people in the surrounding areas as a labor intensive economic sector. Based on SWOT Analysis water management strategies of Batanghari River that should be done are: 1) The city government should improve the implementation of the management and regulation of Batanghari River resources with the support from the high quality human resources so that the water utilization of Batanghari River considers the sustainability of its environmental ecosystem with funding support from the central government; 2) The city government should improve the coordination between sector and region (BP DAS Batanghari) in efforts to strengthen the institution and regulation for water management so that it is more easier to implement monitoring and policy determination on the water condition of Batanghari River that has been decreased in its water quality caused by the occurred pollution; 3) The city government should make the Batanghari River as a water tourism area by restructuring the flood-plains area through the people empowerment and participation in efforts to encourage the people welfare and high-quality human resource support with the application of “water front city” so that it will be no more development that violates the land use; 4) The improvement of human resource quality and elimination of inter-sectoral ego between agencies/institutions in efforts to prevent the waste pollution in the Batanghari River.

Keywords: Batanghari River, water quality, water management strategy, crumb rubber industry.


(6)

RINGKASAN

ESTI SUSILAWATI S. Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi. Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan NASTITI SISWI INDRASTI.

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan). Sungai Batanghari merupakan sungai utama dan sumber air bersih bagi masyarakat di Kota Jambi. Pencemaran yang terjadi di perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah telah meresahkan masyarakat Kota Jambi akan kondisi kualitas perairannya. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan perairan Sungai Batanghari yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkunganya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (a) Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah (crumb rubber); (b) Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas biologi perairannya; (c) Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari; (d) Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan. Manfaat penelitian ini adalah : (1) Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (crumb rubber) terhadap ekosistem Sungai Batanghari; (2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (crumb rubber) dan masyarakat guna penataan pengelolaan lingkungan hidup.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus hingga Oktober 2008, dengan melakukan dua objek pengamatan. Pengamatan pertama, dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas air dari sampel air di sepanjang Sungai Batanghari. Pengamatan kedua, dilakukan terhadap masyarakat yang menggunakan air sungai untuk keperluan rumah tangganya disepanjang daerah aliran Sungai Batanghari. Kualitas perairan yang diamati adalah parameter fisik-kimia, bakteriologi dan biologi yang perubahan parameternya menjadi indikator terjadinya pencemaran atau tidak bila dibandingkan dengan baku mutu yang ada sesuai dengan peruntukannya (Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001).