sopan santun dinilai berdasarkan interaksi siswa dengan masyarakat yang ada di lokasi pelaksanaan field trip.
Penilaian sikap sopan santun didasarkan pada sikap hormat terhadap orang yang lebih tua, bersikap 3S salam, senyum, sapa saat berpapasan dengan warga, serta
tidak berkata-kata kasar selama kegiatan field trip. Nilai sopan santun cenderung rendah karena sebagian besar siswa tidak
menunjukkan sikap tersebut saat pelaksanaan field trip. Hal tersebut karena sikap sopan santun pada diri siswa tidak akan muncul tanpa pembiasaan. Seperti yang
diungkapkan Ujiningsih 2010 terlaksananya proses pembudayaan sikap sopan santun hanya dapat dilakukan melalui proses pembiasaan. Proses pembiasaan ini
akan berhasil secara efektif jika dilakukan kejasama sinergis antara peran orangtua dan peran sekolah.
Kegiatan field trip menjadikan siswa lebih dekat dengan lingkungan yang akan memunculkan rasa ingin tahu. Suasana pembelajaran pada kegiatan field trip
yang menyenangkan juga dapat memunculkan rasa ingin tahu siswa. Setyarsono 2012 dan Santiningtyas 2012 mengungkapkan bahwa suasana pembelajaran
yang menyenangkan pada kegiatan field trip dapat menjadikan siswa yang pasif menjadi aktif dan dengan keaktifan siswa yang tinggi dapat membangkitkan rasa
ingin tahu siswa dalam belajar. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil tanggapan siswa yang menunjukkan bahwa siswa antusias untuk mengikuti pembelajaran
dan menyukai suasana pembelajaran.
4.2.3 Hasil Belajar Psikomotorik
Analisis hasil belajar psikomotorik secara keseluruhan diperoleh bahwa semua kelas mencapai indikator. Persentase siswa yang tuntas mencapai indikator
efektivitas yaitu ≥ 75 siswa mendapat nilai ≥ 75. Peresentase jumlah siswa yang mendapat nilai lebih dari 75 pada kelas VIIF sebesar 100, kelas VIIG sebesar
78,1 dan kelas VIIH sebesar 87,2. Ketercapaian indikator hasil belajar psikomotorik terjadi pada semua kelas.
Menurut Zulhelmi 2009, ketercapaian indikator pada tiap aspek terjadi karena siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan sikap dan ketrampilan mereka
selama pembelajaran. Hal tersebut juga didukung oleh Purwoko 2007, Ratnasari 2014, dan Sartika 2015, bahwa ketrampilan siswa pada kegiatan field trip
sangat baik karena pembelajaran dilakukan di luar kelas melalui pengamatan langsung dan semua siswa terlibat aktif dalam kelompoknya. Masing-masing
siswa memiliki tanggungjawab melakukan pengamatan, mengelompokkan dan mengukur apa yang mereka amati di lokasi yang mereka kunjungi untuk belajar
dan ketika mereka masuk kembali ke dalam kelas siswa juga aktif melanjutkan tugas mereka.
Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang belajar melalui metode field trip lebih aktif dan terampil saat proses pembelajaran berlangsung. Hal ini
didukung oleh Purwoko 2007, yang menyatakan bahwa melalui kegiatan pengamatan secara langsung, memberikan siswa pengalaman dalam melakukan
pengamatan menggunakan lembar pengamatan yang akan melatih ketrampilan siswa dalam menyiapkan alat dan bahan, melakukan tahapan pengamatan,
menulis hasil pengamatan dan membereskan kembali alat yang digunakan.
Analisis pada masing-masing aspek hasil belajar psikomotorik menunjukkan bahwa nilai tertinggi ditemukan pada aspek menulis hasil pengamatan. Menurut
Setyarsono 2012, hal tersebut karena suasana pembelajaran baru sehingga siswa begitu antusias untuk mengikuti pembelajaran. Sedangkan nilai terendah
ditemukan pada aspek menjawab pertanyaan. Hal tersebut terjadi karena siswa kurang mempersiapkan diri untuk melakukan presentasi sehingga jawaban yang
diberikan kurang maksimal. Seperti yang diungkapkan Darso 2011, dan Rizki 2013, bahwa kesiapan sangat penting untuk memulai suatu pekerjaan apapun.
Selain itu, pembagian kelompok dilakukan secara acak sehingga kemampuan tiap kelompok tidak merata. Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan kelompok
dalam menjawab pertanyaan saat presentasi.
4.2.4 Hasil Belajar Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik