bukan karena ditanam. Mereka tidak pernah menjual buah yang mereka ambil dari dalam hutan, semuanya untuk konsumsi sendiri.
Kegiatan memanen madu, pada umumnya dilakukan secara berkelompok. Jumlah anggota dalam setiap kelompok itupun bervariasi, mulai dari tiga orang sampai dengan 20
orang. Madu yang diperoleh dari hasil panen itu akan dibagi rata kepada tiap anggota kelompok, tanpa memandang usia dan aktif atau tidaknya mereka dalam kegiatan memanen
madu. Orang tua, remaja, ataupun anak-anak akan memperoleh bagian yang sama bila mereka ikut hadir pada saat panen madu dilakukan. Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung,
karena kondisi hutan yang berada di sekitar desa mereka masih cukup bagus, masih terdapat cukup banyak pohon madu sehingga hampir tiap tahun mereka dapat memanen madu. Hasil
dari panen madu ini selain untuk konsumsi sendiri sering juga mereka jual dengan harga yang cukup menguntungkan. Harga satu liter madunya berkisar antara Rp. 30.000,- hingga
Rp. 50.000,-. Sedangkan di Desa Blimbing, meskipun masih terdapat beberapa pohon madu di
desa mereka, namun lebah madunya tidak pernah membuat sarang di pohon-pohon tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi hutan di desa mereka yang telah rusak sehingga lebah-
lebah sulit untuk memperoleh makanan yang bisa diolah menjadi madu. Mereka baru bisa mendapatkan madu bila mendapatkan undangan dari kerabat mereka di Desa Pinang Jatus
yang memiliki pohon madu. Namun menurut pengakuan beberapa informan, sudah hampir lima tahun belakangan ini mereka tidak pernah memanen madu lagi.
V.2.4 Pemanfaatan Lahan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, masyarakat suku pasar membagai lahan desa mereka menjadi beberapa peruntukan. Jenis lahan yang umum ada di tiap desa
adalah ladangumo, Stratkampong, Kebun, lati pengramu, alas, sunge, sipung bua. Penjelasan mengenai peruntukan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Tipe Lahan dan Hutan Desa Menurut Masyarakat Suku Paser
Jenis Lahan Kepemilikan
Keterangan
LadangUmo Individu
Tempat penduduk menanam padi, digunakan hingga 2-3 tahun
StratKampong Individu
Lahan yang digunakan penduduk untuk membangun rumah, pemukiman
Kebun Individu
Bekas umo yang ditanami karet, kopi atau rotan Lati pengramu
Kolektif Bekas umo yang dibiarkan begitu saja agar kelak
menjadi hutan sekunder yang bisa dimanfaatkan lagi untuk berladang
Alas Kolektif
Hutan primer, bisa dimanfaatkan kayunya namun harus seizin masyarakat
Sunge Kolektif
Tempat MCK, , air minum, sarana transportasi, sumber ikan
Sipung bua Individu
Bekas umo yang ditanami dengan buah-buahan dan rotan
Sipung bua meskipun dimiliki secara individu namun hasil buah yang terdapat di lahan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Berbeda dengan kebun yang
ditanami karet, kopi atau rotan. Karena kebun relatif lebih ada perlakuan perawatan oleh individu yang memilikinya, maka hasil dari kebun hanya boleh dinikmati oleh pemilik
kebun tersebut. Sedangkan lati pengramu, karena dibiarkan begitu saja, bekas ladang tersebut dimiliki kembali oleh desa dan setiap penduduk berhak untuk mengolahnya
kemudian, namun hak untuk mengolahnya kembali menjadi ladang tetap dimiliki oleh keturunan yang telah membuka ladang ditempat itu sebelumnya.
Seseorang yang membuka ladang di atas sebidang lahan diakui haknya untuk memiliki lahan tersebut selama dia menginginkannya. Ketua adat sangat memegang peranan
mengenai hak kepemilikan lahan ini. Lahan bekas ladang pada umumnya akan dialihfungsikan menjadi kebun, sipung bua, atau dibiarkan begitu saja menjadi lati pengramu
bila lahan tersebut kemampuan memproduksi padinya semakin menurun. Tidak ada ketentuan adat yang mengatur mengenai luas maksimal lahan yang boleh dikelola oleh
masyarakat. Masyarakat boleh membuka ladang seluas -luasnya sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengolahnya. Jumlah anggota keluarga sangat berperan dalam luas lahan
yang dikelola oleh masyarakat. Semakin banyak anggota keluarga maka luas ladang yang dikelola juga bisa semakin luas. Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
mengelola ladang tersedia dan ladang yang luas juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tiap anggota keluarga tersebut. Pada umumnya luas ladang dan kebun atau sipung bua
berkisar antara 1,5 ha hingga 5 ha. Bekas ladang yang telah berubah menjadi lati pengramu sewaktu-waktu dapat
difungsikan lagi menjadi ladang bila telah melewati masa waktu tertentu, 5-10 tahun, dengan asumsi unsur haranya telah kembali normal sehingga bisa memproduksi padi secara normal
kembali. Umumnya lati pengramu akan diolah kembali menjadi ladang oleh keturunan orang yang membuka lahan tersebut. Jumlah kebun atau sipung bua yang dimiliki oleh setiap
keluarga, biasanya, sangat bergantung pada jumlah anggota keluarga. Setiap orang tua berusaha untuk mewariskan sebidang kebun untuk setiap anaknya.
Lahan yang ditanami dengan pohon buah sipung bua sulit untuk diubah menjadi ladang karena adanya peraturan adat yang melarang untuk menebang pohon buah. Hal inilah
yang menjadi salah satu penyebab masyarakat di Dusun Muluy tidak menanami bekas ladang mereka dengan pohon buah yang diberikan oleh Dinas Kehutanan.
Pendatang berhak memiliki lahan bila mereka menikah dengan penduduk asli desa setempat. Namun lahan yang berhak mereka kelola adalah kebun yang merupakan hak dari
pasangan mereka. Pendatang yang tidak memiliki ikatan pernikahan atau persaudaraan dengan penduduk setempat memperoleh hak untuk mengelola lahan bila telah memperoleh
izin dari masyarakat desa setempat. Warga transmigran di Desa Blimbing diberi hak untuk mengelola lahan seluas 2 hektar oleh penduduk asli Blimbing. Namun mereka kesulitan untuk
memperoleh hak untuk membuka ladang. Mereka hanya bisa membantu di ladang milik
penduduk asli. Tidak mengherankan ketika perkebunan pisang di Desa Blimbing terserang virus dan tidak mampu berproduksi lagi, banyak warga transmigran yang pergi meninggalkan
desa ini karena tidak mampu menghidupi keluarga mereka dari lahan yang mereka miliki. Kondisi lahan hutan di wilayah Desa Rantau Layung dan wilayah adat Dusun
Muluy masih cukup baik. Lahan hutan di Desa Blimbing hampir seluruhnya telah diubah menjadi ladang dan perkebunan. Hutan adat alas milik desa bisa dikatakan telah
hilang, hanya pada puncak-puncak bukit yang memang sulit untuk ditanami saja kondisi hutannya relatif masih cukup baik.
Hutan reboisasi yang ditetapkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sebenarnya merupakan hutan yang kondisinya masih cukup baik. Menurut penuturan
beberapa orang warga di hutan reboisasi tersebut terdapat banyak pohon ulin yang besar-besar. Entah dengan alasan apa maka Dinas Kehutanan menetapkan hutan yang
ditumbuhi dengan pohon-pohon besar menjadi hutan reboisasi. Lahan pemukiman, ladang, dan kebun Desa Rantau Layung dan Desa Blimbing
terletak di luar kawasan HLGL. Wilayah Desa Blimbing bahkan terletak jauh di luar kawasan, walaupun dalam perencanaan ke depannya, wilayah desa ini diharapkan
menjadi buffer zone bagi kawasan HLGL. Pemukiman Desa Rantau Layung terletak 5 km di sebelah timur dari HLGL, namun kebun masyarakat lati pengramu dan kebun
berbatasan langsung dengan HLGL. Alas nareng hutan adat milik Desa Rantau Layung termasuk ke dalam wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut. Dusun Muluy sendiri wilayah
pemukiman, ladang dan kebun masyarakatnya berada di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut.
Saat ini, beberapa orang warga Desa Rantau Layung dan Desa Blimbing sudah ada yang berinisiatif untuk membuat akte tanah atas kebun dan ladang mereka. Namun
dengan adanya pajak tanah mereka tidak mengaktekan semua kebun yang mereka miliki. Hanya kebun yang benar-benar menghasilkan saja yang mereka buat aktenya.
Sisa kebun lainnya mereka tetap miliki dengan pengakuan dari masyarakat desa seperti kebudayaan mereka yang dahulu.
Dengan sistem kepewarisan lahan dan tidak adanya batasan mengenai luas lahan yang berhak untuk dikelola oleh setiap anggota masyarakat, beberapa pihak
mengkhawatirkan bahwa suatu saat lahan yang termasuk dalam kawasan HLGL bisa berubah fungsi menjadi ladang atau kebun penduduk. Kekhawatiran ini dapat
diminimalkan bila pendidikan masyarakat desa di sekitar kawasan lebih ditingkatkan. Beperapa orang anak penduduk desa yang sempat merasakan pendidikan hinggja
jenjang SMA memilih untuk bekerja di kota. Dengan berkurangnya pemuda di desa kebutuhan lahan untuk berladang pun semakin berkurang, sehingga tekanan terhadap
hutan lindung dapat diminimalisir. Akses jalan darat yang baik juga merupakan alternatif agar penduduk mengurangi aktifitasnya di kawasan hutan lindung. Dengan terbukanya
akses jalan, hasil pertanian karet, rotan dan sawit dapat mereka jual ke luar desa. Lapangan pekerjaanpun semakin banyak.
.
V.3 Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut