Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut

penutupan, kepingan-kepingan informasi yang telah diseleksi tersebut disusun menjadi satu kesatuan pengetahuan yang akan mempengaruhi sikap individu. Ketika penilaian informasi tersebut telah dilakukan pada fase interpretasi maka akan terbentuklah persepsi yang baru mengenai suatu hal, dalam hal ini kegiatan pengelolaan hutan lindung. Penilaian informasi pada fase interpretasi sangat bergantung pada pengalaman masa lalu dan faktor sosial-budaya setempat.

V.4.1 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut

Kawasan hutan sekitar Gunung Lumut telah ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1983. Namun masyarakat desa yang terdapat di sekitar kawasan hutan lindung sangat sedikit yang mengetahui mengenai status tersebut. Pada Tabel 7, dapat dilihat pengetahuan masyarakat umum mengenai keberadaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Tabel 7 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Keberadaan HLGL No. DesaDusun Status GL sebagai HL Batas HLGL Ikut Kegiatan Tata Batas Penyuluhan Tentang HLGL Fungsi Hutan Lindung Tahu Tdk Tahu Tdk Ya Tdk Pernah Tdk Tahu Tdk 1. Rantau Layung 18 2 7 13 1 19 8 12 11 9 2. Muluy 10 10 10 9 1 10 3. Blimbing 10 10 20 20 9 11 9 11 Jumlah 38 12 17 33 1 49 26 24 30 20 Warga Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung, sebagian besar mengetahui mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut melalui para peneliti yang sering melakukan kegiatan di desa mereka. Selain itu faktor dekatnya batas kawasan dengan pemukiman mereka menyebabkan mereka cukup berminat untuk tahu lebih banyak lagi mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Penduduk Blimbing, dari 20 orang yang berhasil diwawancarai, hanya setengahnya yang mengetahui mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut, 6 orang diantaranya merupakan aparat desa dan perangkat adat. Jauhnya jarak batas kawasan dengan pemukiman penduduk menyebabkan penduduk umum kurang mengetahui mengenai keberadaan HLGL. Mengenai batas Hutan Lindung Gunung Lumut, dari 50 orang penduduk yang diwawancarai di tiga desa, hanya 17 orang yang mengatakan tahu batas hutan lindung, itupun hanya pada titik tertentu saja. Warga Rantau Layung, dari 20 orang yang diwawancara, hanya 7 orang yang tahu batas hutan lindung. Selain ketua adat dan kepala desa, sisanya adalah orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penelitian dan inventarisasi yang sering dilakukan di desa mereka. Batas yang mereka ketahui hanya pada pertemuan Sungai Seranum dan Sungai Prayan. Sedangkan warga Muluy, hampir semuanya mengetahui mengenai batas hutan lindung karena letak pemukiman mereka yang berada di sebelah dalam dari batas kawasan hutan lindung. Batas yang mereka ketahui hanya yang berada dekat dari pemukiman mereka. Tidak semua batas hutan lindung yang berada dalam wilayah adat kampung mereka ketahui. Penduduk Blimbing yang diwawancarai semuanya mengatakan tidak tahu mengenai batas hutan lindung. Dari 50 orang penduduk dari tiga desa tersebut hanya satu orang penduduk Rantau Layung yang mengikuti kegiatan tata batas pada tahun 1986, yang pada waktu itu dia masih bermukim di luar wilayah desa. Pengetahuan masyarakat mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut sebagian besar mereka peroleh dari para peneliti yang melakukan aktivitas penelitian di desa mereka. Selain dari kegiatan penelitian, penyuluhan juga terkadang dilakukan oleh Dinas Kehutanan. Penduduk Rantau Layung, hanya 8 dari 20 orang yang diwawancarai yang mengatakan pernah mengikuti kegiatan penyuluhan mengenai hutan lindung. Kegiatan penyuluhan yang mereka maksudkan pun terkadang rancu dengan kegiatan penelitian, sebab di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy setiap kegiatan penelitian yang dilakukan di desa mereka pada umumnya diawali dengan perkenalan kepada seluruh kampung. Acara perkenalan ini seringkali menyinggung mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Penduduk Dusun Muluy hanya satu orang yang mengatakan tidak pernah ada kegiatan penyuluhan. Keberadaan Dusun Muluy yang berada dalam kawasan hutan lindung menyebabkan kampung ini cukup sering menjadi sasaran penyuluhan oleh Dinas Kehutanan. Sedangkan Penduduk Desa Blimbing, 9 orang dari 20 orang penduduk yang diwawancara mengatakan bahwa penyuluhan mengenai hutan lindung cukup sering dilakukan terutama sejak adanya kegiatan reboisasi di wilayah desa mereka. Kegiatan reboisasi dilakukan di lahan desa seluas 500 ha. Namun kegiatan reboisasi ini menimbulkan kontroversi karena dilakukan di lahan berhutan yang kondisinya masih baik. Penduduk Blimbing sering rancu dalam memahami hutan lindung gunung lumut. Mereka sering berorientasi pada wilayah hutan yang dijadikan lahan reboisasi bila berbicara mengenai hutan lindung. Tabel 8 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Fungsi Hutan Lindung Gunung Lumut Fungsi Hutan Lindung Rantau Layung Muluy Blimbing Pengatur tata air, pencegah erosi 6 4 5 Pelindung hewan dan tumbuhan supaya lestari 10 4 12 Untuk diwariskan kepada anak cucu 4 2 3 Dari para informan yang di wawancarai di dusun tersebut, hanya informan kunci dan beberapa informan yang cukup dekat dengan informan kunci saja yang mengetahui mengenai fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air. Sedangkan warga umum lebih beranggapan bahwa fungsi hutan lindung adalah sebagai tempat untuk melindungi tumbuhan dan hewan hutan yang tidak boleh dimanfaatkan untuk dijual oleh masyarakat. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa hutan lindung ditetapkan agar hutan tetap ada untuk diwariskan kepada anak cucu untuk bekal hidup mereka. Pengetahuan masyarakat, yang diwakili oleh para informan dan resopnden, mengenai fungsi hutan lindung dapat dilihat pada Tabel 8. Pada umumnya masyarakat desa telah mengetahui mengenai kegiatan yang boleh dan dilarang dalam kawasan hutan lindung. Mereka mengatakan bahwa kegiatan penebangan pohon di dalam wilayah hutan lindung tidak dibenarkan. Kegiatan penebangan pohon diizinkan bila kayu hasil tebangannya dipergunakan untuk kebutuhan masyarakat desa setempat dan telah diizinkan dalam musyawarah masyarakat desa. Kegiatan penjualan kayu dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan. Meskipun demikian, kegiatan penebangan kayu masih sering dilakukan oleh penduduk desa sekitar kawasan. V.4.2 Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Persepsi seseorang akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pengertian atau pemahaman mereka terhadap suatu hal. Faktor-faktor eksternal, seperti pengalaman masa lalu dan latar belakang sosial-budaya juga merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan persepsi seseorang terhadap pengelolaan hutan lindung. Sikap dan perilaku masyarakat dapat mencerminkan persepsi mereka mengenai kegiatan pengelolaan hutan lindung yang telah dilakukan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut yang telah dilakukan antara lain berupa pemancangan dan pemeliharaan batas, perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, dan rehabilitasi lahan yang rusak serta pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Pengalaman masa lalu dan latar belakang sosial budaya yang berbeda menyebabkan persepsi antara satu desa dengan desa yang lainnya mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut bisa berbeda, seperti yang kami perlihatkan pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9 Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut DesaDusun Persepsi Kebudayaan Pengalaman Penataan Batas Hutan Lindung Gunung Lumut HLGL Rantau Layung - Batas yang ada saat ini tidak sah - Batas hutan lindung terdapat pada pertemuan Sungai Sranum dan Sungai Praian - Batas hutan adat desa adalah batas hutan lindung - Sistem perladangan bergulir yang menjadikan lahan bekas ladang sebagai kebun, sipung bua, atau lati pangeramu - Lati pangeramu diwariskan kepada keturunan, dan pada kurun waktu tertentu 5- 10 thn dpt dijadikan ladang kembali - Peruntukan lahan secara adat telah dipetakan secara partisipatif dengan bantuan CIFOR - Pembelian kayu hasil tebangan masyarakat oleh HPH PT. Telaga Mas - Pemberian fee untuk kayu-kayu yang ditebang oleh PT. Telaga Mas yang berada di wilayah Desa Rantau Layung Muluy - Batas hutan lindung tidak berarti - Batas hutan adalah batas antara hutan adat antar desa - Wilayah hutan Gunung Lumut merupakan tanah ulayat Suku Pasir Muluy - Peruntukan lahan secara adat telah dipetakan secara partisipatif dengan bantuan Yayasan PADI Indonesia - Telah menetap di wilayah kaki Gunung Lumut secara turun temurun - Pembangunan pemukiman yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir Blimbing - HLGL tidak berbatasan dengan wilayah Desa Blimbing - Batas hutan lindung diberi papan pengumuman - Lahan desa kebanyakan telah berubah menjadi kebun masyarakat - Peruntukan lahan secara adat kurang detail - Kegiatan berkebun pisang memberikan kesejahteraan ekonomi yang cukup lumayan - Kegiatan reboisasi GNRHL di area Gunung Kondis seluas 500 ha. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Rantau Layung - Pelanggaran dalam wilayah hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa diselesaikan secara adat - Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak luar bila tidak bisa dilakukan oleh aparat desa dilaporkan kepada pihak yang berwenang - Wilayah hutan adat hanya boleh dipergunakan untuk kebutuhan masyarakat desa dan harus seizin ketua adat dalam musyawarah desa - Ikatan kekeluargaan dalam masyarakat masih sangat kuat - Kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh pendatang - Vakumnya lembaga adat desa selama 20 tahun Penangkapan salah satu anggota masyarakat dalam operasi hutan lestari pada tahun 2005 Muluy - Perlindungan dan pengamanan kawasan hutan lindung yang masuk ke dalam wilayah adat Kampung Muluy merupakan tanggung jawab warga Muluy - Sanksi atau denda bagi siapa saja yang melakukan aktivitas dalam wilayah hutan adat tanpa seizin ketua adat - Masyarakat masih sangat memegang teguh adat dan kebudayaan mereka - Hanya menjadi penonton selama HPH PT. Telaga Mas beroperasi di wilayah Gn. Lumut - Pendampingan intensif oleh Yayasan PADI Indonesia dan PeMA Paser mengenai hak adat Blimbing - Batas kawasan yang jelas merupakan salah satu jaminan keamanan kawasan - Lembaga pemerintahan desa lebih memiliki pengaruh kepada masyarakat dibandingkan - Lahan reboisasi di Gunung Kondis yang dinyatakan oleh pemerintah desa sebagai - Keberadaan petugas khusus membantu melindungi dan mengamankan kawasan lembaga adat hutan lindung DesaDusun Persepsi Kebudayaan Pengalaman Inventarisasi Potensi Kawasan Rantau Layung - Membantu memahami manfaat tumbuh- tumbuhan yang ada di lingkungan mereka - Membantu kaum muda untuk lebih memahami adat dan kebudayaan mereka - Membantu memahami fungsi hutan lindung dan kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan - Penggunaan tanaman untuk pengobatan secara tradisional sangat jarang digunakan oleh penduduk - Tidak memiliki lembaga adat selama 20 tahun - Obat-obatan medis lebih mudah diperoleh - Kegiatan penelitian mengenai potensi masyarakat cukup sering dilaksanakan Muluy - Mencurigai sebagai upaya pihak luar untuk mengambil alih pemanfaatan kekayaan bumi wilayah adat Muluy - Warga sangat patuh kepada ketua adat - Hutan merupakan warisan untuk anak cucu - Dibabatnya kebun rotan milik kampung untuk lahan HTI tanaman sengon - Penilitian mengenai kandungan tambang perut bumi untuk kepentingan pertambangan - Pendampingan intensif oleh Yayasan PADI Indonesia mengenai kelestarian hutan Blimbing - Kegiatan yang diperlukan untuk menyampaikan kebutuhan masyarakat desa kepada pemerintah - - Kegiatan penelitian masih sangat jarang dilakukan di Desa Blimbing - Penyuluhan oleh dinas -dinas pemerintahan Kabupaten Pasir cukup sering dilakukan Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat Rantau Layung - Kegiatan pemberdayaan masyarakat belum terlalu menunjukkan hasil - Penanaman karet di ladang, merupakan salah satu upaya masyarakat untuk merehabilitasi lahan - Larangan menebang pohon buah dan pohon tempat lebah membuat sarang - Bantuan bibit Jati, Kemiri, Mahoni dan Karet oleh CIFOR pada tahun 2002 - Pembangunan jalan rintis menuju Rantau Buta oleh PT Telaga Mas Muluy - Mencurigai adanya kepentingan terselubung dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi lahan - Larangan menebang pohon buah dan pohon tempat lebah membuat sarang - Pemberian bantuan bibit tanaman buah- buahan untuk ditanam di bekas ladang - Pembangunan perumahan penduduk oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir - Pembayaran fee oleh PT. Rizki Kacida Reana Blimbing - Pemberian bantuan bibit dan rehabilitasi lahan merupakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat - Wilayah desa sebagian besar telah diperuntukkan sebagai kebun masyarakat - Keberhasilan perkebunan pisang menopang ekonomi penduduk desa hingga tahun 2002 -Penerimaan transmigran pada tahun 1997 V.4.2.a Persepsi Masyarakat Desa Rantau Layung Masyarakat Desa Rantau Layung baru menyadari bahwa sebagian wilayah desa mereka masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut ketika pada tahun 2003 ketika Badan Planologi Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur melakukan orientasi batas, yang merupakan kegiatan penataan batas yang ketiga setelah sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 1986 dan 1990. Jalan rintis dan penandaan batas dengan cat merah pada pohon yang dilakukan dalam kegiatan orientasi batas itu masuk ke dalam kebun rotan milik warga Rantau Layung. Menurut keterangan dari ketua adat Desa Rantau Layung, perwakilan masyarakat desa menghadap Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan menyatakan penolakan mereka terhadap batas kawasan hasil orientasi batas tersebut. Dalam musyawarah yang dilakukan antara Kepala Dinas Kehutanan dan masyarakat Desa Rantau Layung akhirnya disepakati bahwa kegiatan penataan batas akan ditinjau kembali dan permintaan masyarakat agar batas hutan lindung digeser sejauh lima kilometer dari pemukiman desa disetujui oleh pihak Dinas Kehutanan. Mengenai batas kawasan sebagian besar penduduk yang berhasil diwawancara mengatakan tidak tahu secara pasti. Ketua adat dan kepala desa mendapatkan informasi mengenai batas hutan lindung yang pasti dari para peneliti yang melakukan kegiatan penelitian di desa tersebut. Salah seorang penduduk Responden FRL mengatakan pernah mengikuti kegiatan tata batas pada tahun 1986. Namun ketika itu dia belum menjadi penduduk desa. Menurut penuturan salah satu informan Informan E-RL, yang pernah menjabat sebagai sekertaris desa, pemberitahuan mengenai keberadaan hutan lindung dalam wilayah desa mereka telah pernah diberitahukan oleh pemerintah kabupaten pada tahun 1980-an, namun karena tidak memahami mengenai makna hutan lindung, maka informasi tersebut tidak disebarkan kepada masyarakat desa. Warga Rantau Layung meminta agar batas kawasan Hutan Lindung sejauh 5 km ke arah barat pemukiman mereka karena di sanalah batas terjauh antara lati pangeramu bekas ladang yang sudah tidak digunakan lagi dengan hutan adat mereka. Dan bila melihat peta peruntukan lahan milik desa, yang dibuat bekerjasama dengan CIFOR, hampir seluruh hutan adat milik Desa Rantau Layung terletak dalam kawasan Hutan Lindung. Ketua adat Rantau Layung dan wakil ketua adat Muluy menyatakan bahwa hutan adat bagi Suku Pasir merupakan cadangan lahan untuk anak cucu mereka. Kegiatan pemungutan hasil hutan pun dibatasi hanya untuk hasil hutan non-kayu untuk wilayah hutan adat alas. Wilayah di luar hutan adat merupakan lahan yang dapat mereka olah untuk kehidupan sehari-hari mereka. Ketika lahan kebun mereka diambil sebagai kawasan hutan lindung mereka menolak karena beranggapan bahwa mereka telah menyediakan lahan dengan fungsi yang sama dengan hutan lindung tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan beberapa orang penduduk, mereka mengatakan bahwa aktivitas HPH PT. Telaga Mas, yang beroperasi di wilayah desa mereka dengan melakukan kegiatan penebangan dan membeli kayu hasil tebangan juga memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam memandang pengelolaan hutan lindung. Pada tahun 2002-2004 dengan mengantongi izin IPK PT. Telaga Mas melakukan aktivitas penebangan di wilayah Desa Rantau Layung. Lokasi penebangannya menurut Kepala Desa berada di luar wilayah hutan lindung. Setiap kubik kayu yang mereka panen disertai dengan pembayaran fee kepada desa. Selain itu mereka juga membeli kayu hasil tebangan masyarakat dengan syarat kayu tersebut diletakkan di pinggir jalan. Asal kayu tidak mereka permasalahkan. Akibatnya masyarakat yang membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka melakukan kegiatan penebangan di hampir seluruh wilayah desa. Penebangan dalam wilayah hutan adat pun dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat. Kegiatan illegal logging cukup marak dilakukan di Desa Rantau Layung. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang penduduk desa dan informan, pada tahun 1999 kegiatan pembalakan liar banyak dilakukan oleh orang-orang dari luar desa mereka, terutama dari Banjar. Konflik antar penduduk dengan pendatang pun sempat terjadi, yang berakhir dengan diusirnya para pendatang. Namun beberapa orang pendatang memilih untuk menetap karena menikah dengan penduduk asli. Karena tidak memiliki modal untuk membiayai hidup keluarga, maka para pendatang itu menjual kayu yang ditebang dari kebun milik istri mereka. Hal ini diikuti oleh penduduk asli, dan puncaknya ketika HPH PT. Telaga Mas beroperasi di desa ini. Tahun 2004, kontrak PT. Telaga Mas berakhir. Kegiatan pembalakan liar masih dilakukan oleh beberapa orang oknum masyarakat karena masih terdapat cukong- cukong di daerah Rantau Buta yang bersedia membeli kayu dari mereka. Ketidak setujuan ketua adat terhadap kegiatan ini sempat menimbulkan konflik antara penduduk yang pro dan kontra terhadap kegiatan pembalakan liar. Penduduk yang melakukan kegiatan illegal logging mengatakan bahwa jumlah yang mereka tebang sangat sedikit, hanya satu pohon selama 2-3 bulan, dan pada saat itu harga-harga barang kebutuhan pokok meningkat pesat, sedangkan harga hasil kebun mereka, seperti rotan dan kopi justru menurun. Selain itu, lembaga adat di Desa Rantau Layung sempat vakum selama 20 tahun setelah meninggalnya ketua adat yang dulu. Baru pada tahun 1999 Desa Rantau Layung memiliki ketua adat yang baru dalam suatu musyawarah desa yang diprakarsai oleh PeMA Pasir. Akibat dari ketiadaan lembaga adat selama 20 tahun, banyak pemuda-pemuda desa yang tidak mengetahui mengenai adat dan kebudayaan desa mereka. Beberapa orang beranggapan bahwa peraturan adat yang saat ini hanya buatan saja, bukan budaya atau warisan dari nenek moyang mereka. Sedangkan yang menolak kegiatan illegal logging beranggapan bahwa kegiatan penebangan di wilayah hutan adat tidak dibenarkan secara adat karena lahan tersebut diperuntukkan sebagai “tabungan” masyarakat pada saat musim paceklik, ketika ladang benar-benar sudah tidak menghasilkan lagi. Kepala Desa Rantau Layung mengakui bahwa dia dulu juga sempat ikut dalam kegiatan illegal logging tersebut. Bahkan kepala desa sebelumnya diberhentikan karena terkait kasus illegal logging, walaupun akhirnya tidak dapat dibuktikan dalam persidangan. Namun salah seorang penduduk Rantau Layung tertangkap dalam Operasi Hutan Lestari yang dilakukan pada awal tahun 2005 di wilayah hutan adat Rantau Layung yang masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Akibat penangkapan tersebut kegiatan penebangan di wilayah hutan adat relatif berkurang. Sikap ketua adat pun menjadi lebih lunak terhadap para pelaku penebang liar, karena tidak menginginkan ada warganya yang dijebloskan lagi ke dalam penjara. Pada saat kami melakukan penelitian, meskipun mengetahui mengenai kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh beberapa orang oknum masyarakat di wilayah hutan adat yang berada dalam kawasan hutan lindung, ketua adat membiarkannya dengan alasan bahwa kegiatan itu dilakukan oleh para pemuda yang baru berkeluarga yang membutuhkan modal untuk membangun keluarganya. Kepala desa sendiri tidak berani untuk melaporkan penduduknya yang melakukan illegal logging karena khawatir kesalahannya yang dulu diungkit kembali. Penangkapan salah seorang anggota masyarakat memberikan dampak yang cukup nyata dalam perubahan pandangan penduduk Rantau Layung dalam hal perlindungan dan pengamanan kawasan. Pihak yang sebelumnya menghendaki agar para pelaku illegal logging dihukum secara tegas, memilih agar hukumannya disesuaikan dengan hukum adat desa yang berlaku berupa pembayaran denda. Para pelaku dan mantan pelaku, termasuk kepala desa, juga memilih penyelesaian secara adat dari pada menempuh jalur hukum. Sebagian besar penduduk Rantau Layung yang diwawancarai mengatakan fungsi hutan lindung adalah sebagai tempat untuk melindungi hewan dan tumbuhan supaya lestari sehingga dapat diwariskan kepada anak cucu mereka. Hal ini serupa dengan pandangan mereka mengenai fungsi hutan adat alas. Namun dengan seringnya kegiatan inventarisasi potensi kawasan, terutama potensi masyarakat sekitar kawasan, yang dilakukan di desa mereka, beberapa orang penduduk mulai memahami bahwa fungsi utama hutan lindung adalah untuk mencegah banjir dan erosi, sehingga aliran air sungai yang mereka butuhkan untuk minum, mandi, cuci dan masak dapat terjamin. Pemikiran mereka yang semula mengatakan bahwa setiap pemungutan hasil hutan tidak diperbolehkan dalam wilayah hutan lindung, mulai terbuka. Mereka mulai memahami bahwa yang tidak diperbolehkan adalah kegiatan penebangan kayu untuk kepentingan komersil. Kebutuhan kayu untuk kepentingan pembangunan rumah penduduk dalam jumlah yang kecil diizinkan dengan sepengetahuan kepala desa dan ketua adat sehingga dapat dipertanggung jawabkan bila ada investigasi oleh pihak aparat penegak hukum. Ketiadaan lembaga adat selama 20 tahun menyebabkan sebagian pemuda Rantau Layung tidak memahami kebudayaan mereka, dengan adanya penggalian potensi masyarakat, para pemuda yang semula tidak tahu akhirnya menjadi tahu mengenai kebudayaan mereka karena dipaksa untuk mencari tahu mengenai kebudayaan mereka. Pengetahuan tradisional mengenai manfaat tumbuh-tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari banyak tidak diketahui, seperti contohnya obat-obatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan. Kemudahan memperoleh obat medis yang mudah diperoleh di warung-warung menyebabkan obat dari tumbuhan mulai terlupakan. Dengan adanya kegiatan penelitian, tumbuhan yang semula mulai dilupakan manfaatnya mulai diperhatikan kembali, walaupun sebagian besar mengatakan lebih senang menggunakan obat-obatan produksi pabrik karena lebih efisien. Hampir semua penduduk mengatakan bahwa kegiatan inventarisasi potensi kawasan berperan penting dalam mengingatkan mereka kembali mengenai adat dan kebudayaan yang dulu mereka miliki, walaupun beberapa orang penduduk beranggapan bahwa kegiatan inventarisasi potensi kawasanlah yang menciptakan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Desa Rantau Layung pernah dilakukan oleh CIFOR dan PT. Telaga Mas. Bantuan bibit jati, kemiri, mahoni, dan karet pada tahun 2002 yang dilakukan oleh CIFOR selain bermaksud untuk merehabilitasi lahan yang dibuka untuk berladang oleh penduduk juga bermaksud untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan mengajarkan penduduk untuk berkebun. Pelatihan budidaya rotan juga pernah dilakukan oleh CIFOR di desa ini. Menurut penduduk kegiatan ini terhenti ketika bibit yang mereka tanam berhasil tumbuh dengan baik. Semua penduduk mengatakan tidak mengetahui mengenai keuntungan dari kegiatan mereka menanam jati dan mahoni. Mereka mengaku tidak mengetahui bagaimana memanfaatkan tanaman jati dan mahoni tersebut. Sedangkan tanaman kemiri menurut mereka cukup membantu kehidupan ekonomi karena dapat dijual buahnya, walaupun keuntungannya sedikit. Karet dan rotan merupakan tanaman yang saat ini mulai dilirik penduduk untuk dijadikan penopang ekonomi mereka. Rotan sejak dulu merupakan komoditi utama masyarakat yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Namun saat ini harga rotan semakin menurun, bahkan harga satu ikat rotan 25 batang yang dibagi empat lebih murah daripada harga satu kilogram gula pasir, Rp. 5.000ikat. Tanaman karet baru mulai diminati oleh penduduk dalam dua tahun belakangan ini, mereka masih harus menunggu empat atau lima tahun lagi untuk mendapatkan hasilnya. PT. Telaga Mas ketika beroperasi di wilayah Desa Rantau Layung pada tahun 2002-2004 memberikan bantuan berupa pembuatan jalan rintisan menuju Desa Rantau Buta di hilir Sungai Kesungai. Dengan pembukaan jalan menuju Rantau Buta diharapkan perekonomian Desa Rantau Layung dapat meningkat. Namun ketika masa kontrak PT. Telaga Mas telah berakhir, jalan ini belum sempat diperkeras, sehingga saat ini jalan tersebut telah tertutup kembali dengan semak-semak. Selain itu pembangunan rumah dinas untuk ketua adat juga didanai oleh PT. Telaga Mas. Meskipun telah cukup banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Desa Rantau Layung, penduduk merasakan tidak banyak kemajuan yang mereka alami dalam hal kesejahteraan. Ketua adat, dan beberapa penduduk yang kami wawancara justru mengatakan bahwa saat ini mereka semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tokoh-tokoh desa sependapat bahwa kesejahteraan masyarakat dapat meningkat bila akses transportasi darat menuju Desa Rantau Layung dibenahi. Perlu menjadi perhatian pemerintah kabupaten, khususnya dinas kehutanan, bila bermaksud untuk memperbaiki akses transportasi darat menuju Desa Rantau Layung adalah fakta bahwa penduduk Desa Rantau Layung memiliki pengalaman menjual hasil hutan kayu. Sehingga ada kekhawatiran bila akses transportasi lancar, tekanan terhadap kawasan hutan lindung yang berada pada wilayah Desa Rantau Layung dapat meningkat. Untuk mencegah hal itu, teknik budidaya perkebunan, karet ataupun sawit, perlu dilakukan secara intensif. Selain itu ketersediaan pasar untuk hasil perkebunan masyarakat perlu dicari, sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam menjual hasil perkebunan mereka. Kerjasama antar dinas pemerintahan kabupaten perlu ditingkatkan, misalnya dengan dinas perdagangan, dinas perkebunan, dan dinas sosial. Perubahan peruntukan lahan yang semula untuk ladang umo menjadi kebun, akan menyebabkan peruntukan lahan lainnya juga akan berubah. Kebudayaan masyarakat melakukan kegiatan ladang bergulir akan menyebabkan lahan lati pangeramu akan semakin cepat berubah peruntukannya untuk menjadi ladang kembali. Oleh sebab itu perlu dibuat peraturan tegas mengenai jumlah luas lahan kebun atau sipung bua yang berhak dimiliki oleh keluarga. Hal ini untuk menghindari terjadinya perubahan peruntukan lahan dari alas menjadi ladang, kebun ataupun sipung bua. V.4.2.b Persepsi Masyarakat Dusun Muluy Lokasi perumahan untuk warga Dusun Muluy di bekas tempat penimbunan kayu milik HPH PT. Telaga Mas pada tahun 2001 dipilih oleh warga dusun sendiri dan telah disetujui oleh Bupati Pasir. Pembangunan perumahan ini sendiri merupakan Program Komunitas Adat Terpencil yang dijalankan oleh Dinas Sosial. Kurangnya koordinasi antar dinas pemerintahan kabupaten menyebabkan letak lokasi pemukiman berada dalam kawasan hutan lindung. Menurut penuturan wakil ketua adat Muluy, masyarakat Dusun Muluy tidak terlalu peduli dengan kegiatan orientasi batas tahun 2003 yang melalui lahan kebun dan ladang mereka. Menurut mereka pemukiman mereka sah keberadaannya karena dibangun oleh pihak pemerintah kabupaten sendiri. Selain itu kenyataan bahwa mereka telah bermukim di wilayah kaki Gunung Lumut sejak zaman nenek moyang mereka, menyebabkan mereka merasa memiliki hak ulayat terhadap wilayah di sekitar Gunung Lumut. Meskipun kurang menaruh perhatian terhadap tata batas hutan lindung, masyarakat Muluy memiliki pandangan mengenai kegiatan penataan batas yang perlu dilakukan. Menurut mereka batas wilayah adat antara satu desa dengan desa yang lainnya perlu diperjelas sehingga masyarakat desa yang satu tidak memiliki dalih bahwa mereka tidak mengetahui batas wilayah adat mereka dalam melakukan aktivitas. Selain itu dengan adanya batas wilayah adat antar desa ini diharapkan agar setiap penduduk desa menjaga kelestarian hutan di wilayah adat mereka masing-masing. Kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan pun dapat diserahkan kepada masyarakat desa yang wilayah adatnya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, sehingga tanggungjawab mengenai kelestarian hutan pun dapat dikenakan kepada masyarakat desa yang bersangkutan. Alasan utama mereka menghendaki agar perlindungan dan pengamanan hutan lindung yang berada dalam wilayah adat Kampung Muluy diserahkan kepada masyarakat Muluy sendiri adalah adanya kekhawatiran bahwa bila perlindungan dan pengamanan diserahkan kepada pihak luar maka masyarakat Muluy tidak dapat lagi memungut hasil hutan yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu pengalaman masa lalu mereka ketika PT. Telaga Mas melakukan penebangan pohon di wilayah adat mereka, sedangkan mereka hanya bisa menjadi penonton menyebabkan mereka tidak percaya lagi kepada pihak luar yang bermaksud mengelola hutan adat mereka. Mereka memiliki kecurigaan, bahwa ketika pihak luar orang-orang selain penduduk Muluy diserahkan tugas untuk mengamankan wilayah hutan mereka, justru kayu-kayu dari wilayah hutan mereka akan diangkut keluar Dusun Muluy dengan alasan pengelolaan yang tidak mereka pahami. Menurut penuturan wakil ketua adat dan beberapa orang penduduk Muluy, alasan lain yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa penataan batas antar wilayah adat desa penting adalah karena adanya kejadian penebangan liar yang dilakukan oleh penduduk Rantau Layung dalam wilayah hutan adat Muluy. Hutan adat Desa Rantau Layung dan hutan adat Dusun Muluy berbatasan. Saat itu penduduk Rantau Layung tersebut beralasan bahwa dia tidak mengetahui batas pasti hutan adat tersebut. Penduduk Muluy khawatir kejadian tersebut berulang, dan kerusakan hutan yang terjadi di wilayah mereka menyebabkan pihak luar beranggapan penduduk Muluy lah yang menyebabkan kerusakan itu. Dengan adanya batas yang jelas antar desa, penduduk Muluy merasa memiliki alasan yang lebih kuat untuk menuntut para pelanggar batas. Masyarakat Muluy masih sangat memegang teguh adat dan kebudayaan mereka. Bimbingan yang intensif dari Yayasan PADI Indonesia dan PeMA Paser menyebabkan warga Muluy semakin memahami dan berani untuk menuntut hak adat mereka. Ketua adat memegang peranan penting dalam menentukan sikap masyarakat mengenai suatu kegiatan yang dilakukan di wilayah desa mereka. Penolakan dari ketua adat berarti penolakan dari seluruh penduduk Muluy. Pihak-pihak yang bermaksud melaksanakan kegiatan dalam wilayah Dusun Muluy harus mendapat persetujuan ketua adat. Mereka tidak segan untuk mengusir dan memungut denda dari pihak-pihak yang mereka rasa bisa merusak lingkungan mereka. Kegiatan pertambangan, walaupun baru berupa penelitian, merupakan aktivitas yang ditolak oleh penduduk Muluy untuk dilakukan dalam wilayah dusun mereka. Menurut penuturan wakil ketua adat, mereka selalu mencurigai setiap orang yang berkunjung ke dusun mereka. Setiap orang yang bermaksud melakukan kegiatan di wilayah dusun akan ditanyai secara mendetail mengenai maksud dan tujuannya. Kegiatan inventarisasi potensi kawasan sering mereka curigai sebagai upaya awal pihak luar untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang terdapat di wilayah kampung mereka. Oleh sebab itu, sangat sulit untuk mendapatkan bantuan masyarakat Muluy mengenai potensi desa mereka. Diakui olehnya, meskipun mereka menerima para peneliti namun informasi yang dia berikan pun seringkali sangat minim, karena adanya kekhawatiran itu. Penduduk Muluy beranggapan bahwa lingkungan desa, baik itu sungai, kebun, ladang, hutan dan segenap kekayaan di dalamnya, merupakan satu-satunya harta yang mereka miliki yang dapat mereka wariskan kepada anak-cucu mereka. Ketika potensi desa mereka diketahui oleh pihak luar, mereka khawatir akan terjadi eksploitasi terhadap lingkungan mereka seperti yang terjadi sebelumnya. Kebun rotan yang dulunya ditanam oleh nenek moyang mereka dibabat habis ketika pemerintah bermaksud membuat HTI Sengon. Masyarakat Muluy tidak mendapatkan pengganti rugian sedikit pun. Selain itu kegiatan penelitian pertambangan juga merusak wilayah hutan mereka karena menebang pohon dan menggali tanah. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir yang bermaksud melakukan kegiatan rehabilitasi lahan pada bekas-bekas ladang penduduk Muluy juga menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya. Bantuan bibit pohon durian, mangga dan rambutan yang jumlahnya mencapai ratusan telah diserahkan kepada penduduk. Janji pemberian biaya perawatan juga telah diberikan. Namun penduduk Muluy kurang mendukung kegiatan ini. Sebagian besar bibit dibiarkan berada di halaman depan rumah mereka. Satu atau dua bibit mereka tanam dekat rumah mereka. Ada juga beberapa orang yang menanam di bekas ladang mereka, namun jumlahnya sangat sedikit dan tidak mereka rawat. Sebagian besar bibit yang ditanam mati karena kalah bersaing dengan belukar. Penduduk Muluy bukannya tidak mau menjaga lingkungan mereka. Menurut mereka, bekas ladang mereka dalam beberapa tahun akan ditumbuhi pohon dengan sendirinya, tanpa harus ditanami pohon oleh mereka. Hal ini telah berlangsung bertahun- tahun. Selain itu adanya peraturan adat yang akan memberikan sanksidenda bagi para penebang pohon buah menyebabkan masyarakat enggan menanam pohon buah di bekas ladang mereka. Mereka khawatir ketika mereka harus membuka ladang lagi di lahan tersebut mereka akan dikenai sanksi karena menebang pohon buah yang mereka tanam sendiri. Selain itu ada kekhawatiran bahwa bantuan bibit yang diberikan itu tidak menjadi miliki penduduk Muluy, sehingga ketika pohon-pohon tersebut telah besar justru pihak luar yang akan memanfaatkannya dengan alasan merekalah yang memberikan bibit tersebut. Ada beberapa karakter masyarakat Muluy, yang mungkin sulit untuk dipahami oleh pihak luar. Menurut penuturan wakil ketua adat, dan diakui oleh beberapa orang penduduk Muluy, masyarakat Muluy telah terbiasa hidup sederhana. Mereka tidak segan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti makan, minum dan tempat untuk bernaung. Mereka tidak segan untuk bekerja seharian di ladang, masuk hutan beberapa hari untuk berburu, atau bekerja bergotong royong untuk membangun rumah. Namun pada dasarnya, masyarakat Muluy lebih senang untuk hidup santai. Ketika kebutuhan mereka untuk makanan telah terpenuhi, mereka lebih senang untuk tidur, berbincang-bincang sesama penduduk kampung, atau bermain-main di sungai atau di hutan. Diakui oleh masyarakat Muluy, mereka memiliki penyakit malas untuk melakukan kegiatan yang tidak menarik menurut mereka, meskipun kegiatan tersebut dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Kegiatan pemberdayaan masyarakat, bila menurut mereka memang diperlukan akan dengan antusias mereka ikuti. Bila menurut mereka tidak memberikan keuntungan, mereka akan menolak atau melaksanakannya dengan senang hati. Ketika kegiatan Kejar Paket C dilaksanakan, sebagian besar penduduk mengikuti kegiatan ini karena merasa perlu karena pada waktu itu mereka telah sering berinteraksi dengan pihak luar. Bantuan perumahan yang diberikan oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir, pembangunannya juga dibantu oleh penduduk Muluy karena mereka beranggapan rumah sangat penting dalam kehidupan mereka. Namun ketika kegiatan pelatihan budidaya rotan diadakan di desa mereka, sebagian besar penduduk melaksanakannya dengan setengah hati, hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa rotan, tanpa perlu ditanam, banyak tumbuh dalam hutan di sektiar desa mereka.Pelatihan budidaya rotan ini memang memberikan hasil berupa kebun rotan untuk penduduk, namun karena jarak tanam yang sangat rapat, sehingga mereka kesulitan untuk memanennya. Pemberian bantuan bibit durian, rambutan dan mangga yang menurut pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dapat membantu perekonomian penduduk Muluy dilaksanakan dengan setengah hati oleh penduduk Muluy. Hal ini dikarenakan menurut mereka buah-buahan yang berasal dari hutan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka juga kesulitan dalam menjual hasil buah tersebut. Penduduk Muluy cukup merasa nyaman dengan kehidupan mereka saat ini. Pemukiman Dusun Muluy yang berada dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan pengelolaannya. Relokasi pemukiman dan penduduk merupakan alternatif dalam kegiatan pengelolaan yang akan sulit untuk dilakukan. Relokasi pemukiman dengan meletakkannya diluar kawasan hutan lindung tidak akan menyebabkan interaksi masyarakat Muluy dengan hutan Gunung Lumut akan terhenti. Hal ini dikarenakan budaya mereka dibangun di sekitar kaki Gunung Lumut tersebut. Meskipun pemukiman mereka berada di luar kawasan, namun aktivitas sehari-hari mereka seperti berladang dan berkebun serta berburu masih akan dilakukan di dalam kawasan. Perlu kebijakan khusus dan penyuluhan yang lebih intensif dalam mengelola kawasan hutan lindung di wilayah Dusun Muluy ini. Pemberian satus enclave dengan perjanjian pembatasan jumlah penduduk merupakan pilihan yang cukup bijaksana dalam kegiatan pengelolaan. Peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan-pelatihan tertentu untuk para pemuda dapat mendorong penduduk Muluy untuk mencari lapangan pekerjaan di luar desa mereka. Pemuda-pemuda Dusun Muluy memiliki potensi untuk bekerja di luar dusun mereka, namun karena kurangnya keahlian yang mereka miliki sehingga mereka tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja luar. Diharapkan dengan pelatihan-pelatihan, misalnya kursus mengenai mesin, atau keahlian lainnya diharapkan para pemuda Muluy dapat memiliki modal dalam bersaing dengan tenaga kerja di luar daerah mereka. V.4.2.c Persepsi Masyarakat Desa Blimbing Berbeda dengan dua desa tempat penelitian lainnya, penduduk Blimbing kurang menaruh perhatian terhadap pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Jarak pemukiman mereka yang relatif jauh dari Gunung Lumut menyebabkan mereka kurang menaruh perhatian terhadap keberadaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Interaksi warga Blimbing dengan kawasan hutan lindung pun sangat jarang. Hanya para warga transmigran yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap burung di kaki Gunung Lumut, yang termasuk dalam wilayah Desa Pinang Jatus. Meskipun dari segi kebudayaan, masyarakat Desa Blimbing dengan masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung tidak jauh berbeda, namun masyarakat Desa Blimbing sudah tidak terlalu menggantungkan hidup mereka dari kegiatan memungut hasil hutan. Kegiatan ladang bergulir masih tetap dilakukan oleh penduduk Blimbing, namun mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan berkebun daripada memungut hasil hutan. Lahan di wilayah Desa Blimbing sebagian besar diperuntukkan untuk kebun masyarakat. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 masyarakat Belimbing telah berhasil mengembangkan budidaya pisang yang hasilnya bisa mereka ekspor sampai ke Pulau Jawa dan Bali. Hasil dari perkebunan pisang ini sangat membantu meningkatkan perekonomian Desa Blimbing. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada waktu itu sebagian besar lahan masyarakat desa diperuntukan sebagai kebun pisang. Para aparat desa dan pengurus adat mengatakan bahwa wilayah desa tidak termasuk ataupun berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Sebagian besar penduduk bahkan baru mengetahui mengenai status Gunung Lumut sebagai hutan lindung ketika kami menanyakannya. Diakui oleh Kepala Desa Blimbing, bahwa Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir pernah menyinggung mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut. Namun sepanjang ingatannya, kawasan hutan lindung tidak disebutkan berada dalam wilayah Desa Blimbing. Semua penduduk Blimbing yang kami tanyai menyatakan bahwa sebagian wilayah Desa Pinang Jatus-lah yang berbatasan dan masuk dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini dikarenakan, kaki Gunung Lumut yang berada di sebelah timur merupakan wilayah adat Desa Pinang Jatus. Dari kaki Gunung Lumut hingga pemukiman Desa Pinang Jatus berjarak kira-kira 25 km. Sedangkan pemukiman Desa Blimbing berjarak 5 km dari pemukiman Desa Pinang Jatus. Dengan jauhnya jarak antara Desa Blimbing dengan Gunung Lumut, penduduk Desa Blimbing meyakini bahwa wilayah desa mereka tidak termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Dinas Kehutan Kabupaten Pasir memiliki proyek rehabilitasi lahan kritis seluas 500 ha di Desa Blimbing. Letak lahan yang direhabilitasi tersebut berada di daerah Gunung Kondis. Meskipun dikatakan rehabilitasi lahan kritis, namun kenyataannya lahan di Gunung Kondis tersebut masih ditumbuhi dengan pepohonan yang besar-besar. Di bawah naungan pohon-pohon besar itulah ditanami dengan tanaman mahoni, kemiri, durian dan rambutan. Lahan yang dijadikan lahan rehabilitasi ini oleh penduduk Blimbing disebut sebagai kawasan hutan lindung milik desa. Di sekeliling lahan rehabilitasi ini dipasangi dengan papan pengumuman yang berisi jenis-jenis tanaman yang ditanam di lahan tersebut dan tahun penanamannya. Papan pengumuman ini berfungsi juga sebagai batas lahan rehabilitasi tersebut. Pandangan penduduk Blimbing yang beranggapan bahwa lahan rehabilitasi tersebut adalah hutan lindung, maka penduduk Blimbing beranggapan bila memang wilayah desa mereka berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut maka seharusnya ada papan pengumuman yang menerangkan mengenai batas tersebut. Namun karena selama ini mereka tidak menemukan adanya papan pengumuman yang menjelaskan mengenai batas tersebut maka mereka beranggapan bahwa desa mereka tidak berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut. Mengenai kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengamanan kawasan, hampir semua penduduk Blimbing mengambil sikap tidak peduli. Letak Hutan Lindung Gunung Lumut yang berada di luar batas wilayah desa mereka menyebabkan mereka tidak merasa perlu bertanggung jawab mengenai keamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut. Ketidakpedulian ini terutama ditunjukkan oleh warga asli Desa Blimbing. Penduduk transmigran justru lebih peduli dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut. Ketidak pedulian warga asli Blimbing dalam hal perlindungan dan pengamanan Hutan Lindung Gunung Lumut dikarenakan mereka beranggapan bahwa daripada memusingkan keamanan wilayah desa lain, lebih baik mereka mengurus kebun-kebun sawit mereka yang baru mereka tanam untuk menggantikan tanaman pisang yang terserang oleh virus. Karena akibat serangan virus maka perekonomian Desa Blimbing menjadi lesu. Dengan adanya bantuan kredit bibit sawit dari Dinas Perkebunan, penduduk mulai aktif lagi melakukan kegiatan di kebun-kebun mereka, dan perekonomian Desa Blimbing secara perlahan-lahan mulai bergerak lagi. Sedangkan penduduk transmigran di desa Blimbing lebih peduli terhadap pengamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut karena beberapa dari mereka menggantungkan perekonomian keluarga mereka dari kegiatan menangkap burung di sekitar kaki Gunung Lumut. Mereka khawatir bila kondisi hutan Gunung Lumut menjadi rusak maka burung-burung menjadi enggan untuk hidup di wilayah tersebut, sebagaimana yang terjadi di Desa Blimbing yang sebagian besar hutannya telah diubah menjadi kebun oleh masyarakatnya. Penduduk transmigran di Desa Blimbing mendapat jatah tanah seluas 2 ha untuk mereka olah. Namun tanah seluas 2 ha tersebut, menurut pengakuan para transmigran, tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Menurut penduduk Blimbing, perlindungan dan pengamanan hutan lindung baru dapat terjamin bila ada petugas khusus yang melaksanakan kegiatan pengamanan tersebut. Selain itu batas kawasan yang jelas juga dapat mengurangi kemungkinan perusakan oleh masyarakat. Sebab dengan batas yang jelas, masyarakat tidak bisa lagi berdalih bahwa mereka tidak mengetahui mengenai status kawasan tersebut. Persepsi mereka mengenai kegiatan pengamanan kawasan ini didasarkan pada pengalaman desa mereka dalam melindungi dan mengamankan lahan rehabilitasi di desa mereka. Aparat desa secar rutin memeriksa kondisi lahan rehabilitasi tersebut, sehingga masyarakat tidak berani melakukan kegiatan yang merusak di lahan rehabilitasi tersebut karena takut di denda atau di hukum. Kegiatan inventarisasi potensi kawasan sangat jarang dilakukan di Desa Blimbing. Menurut kepala desa, kegiatan penelitian yang dilakukan di Desa mereka baru dilakukan sebanyak tiga kali, termasuk dengan kegiatan yang kami lakukan. Semua penduduk Blimbing yang kami wawancara mempunyai persepsi bahwa kegiatan inventarisasi potensi desa, baik itu potensi lingkungan ataupun masyarakatnya, memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan kebutuhan masyarakat desa kepada para pengambil kebijakan, baik itu di tingkat kabupaten, propinsi ataupun dari pusat. Oleh sebab itu, ketika kami mewawancarai mereka, sebagian besar dari mereka mengeluarkan keluhan-keluhan mereka mengenai kondisi ekonomi desa yang memburuk sejak kebun pisang mereka terkena virus. Kegiatan penyuluhan, diakui oleh masyarakat Blimbing, cukup sering dilakukan. Namun menurut mereka, selama kondisi jalan menuju desa mereka tidak mengalami perbaikan maka kesejahteraan masyarakat akan sulit untuk ditingkatkan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

- Jarak pemukiman penduduk dengan Hutan Lindung Gunung Lumut sangat mempengaruhi interaksi dan persepsi masyarakat. Semakin dekat pemukiman dengan hutan lindung maka intensitas interaksi akan semakin tinggi dan kepedulian masyarakat akan semakin meningkat. - Penduduk Muluy yang perkampungannya berada dalam kawasan berinteraksi dengan hutan lindung dengan cara memanfaatkan lahan dalam kawasan untuk pemukiman, ladang dan kebun. Kayu, daging hewan buruan, madu dan buah dipungut dari dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi. Sebagian besar keluarga di Desa Rantau Layung masih memanfaatkan kayu untuk dijual untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kayu, hewan buruan dan madu yang dijual untuk meringankan beban ekonomi penduduk selain diperoleh dari kebun yang berbatasan dengan hutan lindung juga diperoleh dari dalam hutan lindung itu sendiri. Interaksi penduduk Blimbing sangat minim. Hanya dilakukan oleh warga transmigran, yaitu menangkap burung Kucica hutan Copsychus malabaricus. - Pada umumnya, keluarga muda di Desa Rantau Layung masih menggantungkan kebutuhan ekonominya dari penjualan hasil hutan seperti kayu, daging hewan dan madu. Beberapa keluarga mulai mencoba berdagang dan menanam pohon karet dan kelapa sawit di kebunnya. Penduduk Muluy masih sangat menggantungkan hidupnya dari hasil ladang dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan di Desa Blimbing, penduduk sudah sangat jarang berinteraksi dengan hutan karena mereka lebih mengutamakan hasil perkebunan mereka untuk menunjang kebutuhan hidup. - Masyarakat antara satu desa dengan desa yang lain di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini disebabkan latar belakang budaya dan pengalaman masalalu yang berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. - Masyarakat Rantau Layung yang pernah mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan kayu dan kelembagaan adatnya pernah vakum selama 20 tahun, menginginkan agar masyarakat masih diizinkan memanfaatkan kayu dari dalam kawasan hutan adat selama hal itu untuk kebutuhan masyarakat dan telah disetujui oleh musyawarah desa, tetapi menyangkut keamanan dan perlindungan hutan lindung mereka beranggapan diperlukan petugas khusus. - Masyarakat Muluy yang masih sangat memegang teguh adat dan kebudayaan mereka mempersepsikan kegiatan pengelolaan hutan lindung sebagai upaya-upaya pihak luar untuk mengambil alih wilayah adat mereka. Mereka menginginkan agar