Desa Blimbing .a Sejarah
Penduduk Muluy hampir semuanya tidak mengikuti pendidikan formal. Pendidikan Kejar Paket C pernah diadakan di dusun Muluy, namun tidak semua
penduduk mengikutinya.
V.1.3 Desa Blimbing V.1.3.a Sejarah
Suku Paser mulai mendiami wilayah Desa Blimbing sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1965, ketika pemberontakan PKI berkobar, oleh pihak militer desa ini
sempat dikosongkan untuk mempermudah pemerintah dalam menumpas pemberontakan tersebut. Hampir semua masyarakat Desa Blimbing mengungsi ke Kecamatan Long Ikis.
Ketika pemberontakan telah berhasil diberantas, pada tahun 1970 penduduk mulai kembali ke desa mereka. Penduduk desa ini pada awalnya merupakan keturunan Suku Paser dari desa
Pinang Jatus dan hidup menyebar sepanjang Sungai Blimbing. Namun dengan terbukanya akses jalan banyak Suku Paser dari desa-desa lain mulai mencari peruntungan mereka di
desa ini. Pada tahun 1997, karena sedikitnya jumlah penduduk, pemerintah Kabupaten Pasir
memberikan opsi kepada Desa Blimbing untuk bersatu dengan Desa Tiwei atau menerima program transmigrasi. Saat itu syarat untuk membentuk suatu desa adalah memiliki minimal
50 kk. Masyarakat Desa Blimbing memilih untuk menerima program transmigrasi dan menyediakan lahan khusus di Dusun Masempa untuk pemukiman transmigran. Pada tahun itu
transmigran yang datang berjumlah 125 KK. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah dusun di desa ini bertambah menjadi tiga dusun. Ketiga dusun tersebut adalah Dusun Kondis,
Dusun Lumbang dan Dusun Marosempa. Yang disebut terakhir adalah dusun yang diperuntukkan khusus untuk transmigran.
V.1.3.b Letak dan Luas
Desa Blimbing secara administratif terletak dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Long Ikis. Di sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, sebelah utara
dengan Desa Muara Pias, sebelah selatan dengan Desa Tiwei, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Munggu.
Pada tahun 2003, hutan desa yang berada di Bukit Kondis seluas 500 ha dijadikan sebagai hutan reboisasi oleh Dinas Kehutanan. Oleh masyarakat Desa Blimbing hutan
reboisasi ini dianggap sebagai hutan lindung.
Gambar 8 Kondisi Jalan Menuju Desa Blimbing
V.1.3.c Aksesibilitas
Desa Blimbing dilalui oleh jalan lintas propinsi yang menghubungkan simpang pait di kecamatan Long Ikis dengan Desa Kepala Telake.Jarak dari Simpang Pait hingga ke desa
Blimbinh lebih kurang 23 km. Kondisi jalan yang ada saat ini rusak parah. Pada saat musim hujan turun, jalan berubah menjadi lumpur yang sering menyebabkan kendaraan sulit untuk
melaluinya, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8. Kendaraan roda empat dengan fasilitas double gardan dapat melalui jalan ini dengan waktu tempuh satu setengah hingga
dua jam. Dalam kondisi kering waktu tempuh dari Simpang Pait hingga desa ini sekitar satu jam.
V.1.3.d Kependudukan
Berbeda dengan Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy yang wilayah pemukiman penduduknya relatif terkumpul dalam satu area, pemukiman di Desa Blimbing tersebar dalam
tiga dusun. Wilayah pemukiman di setiap dusun juga tidak terkumpul dalam satu area, melainkan tersebar hampir di seluruh wilayah dusun tersebut. Hanya Dusun Marosempa yang
wilayah pemukimannya relatif terkumpul dalam satu area karena merupakan Dusun Transmigrasi yang telah ditata oleh Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan data pada tahun 2002, jumlah penduduk Blimbing pada tahun itu mencapai 1881 jiwa dengan 495 KK Anonim, 2002 dalam Wahyuni et al., 2004. Namun
menurut data yang dimiliki oleh kepala desa Blimbing, saat ini jumlah penduduknya menurun drastis karena sejumlah transmigran telah pindah dari Desa Blimbing. Pindahnya transmigran
ini disebabkan karena lahan jatah untuk para transmigran seluas dua hektar dirasakan tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Selain itu, sejak kebun pisang milik penduduk
diserang virus pada tahun 2002-2003, perekonomian masyarakat Blimbing menjadi terpuruk. Masyarakat transmigran yang tadinya bisa bekerja sebagai distributor hasil pisang tidak
memiliki pekerjaan lagi. Meskipun Desa Blimbing merupakan desa transmigrasi, namun karena
transmigrasinya berupa transmigrasi lokal kabupaten, maka penduduk Desa Blimbing masih
didominasi oleh Suku Paser. Beberapa orang penduduk transmigran berasal dari Jawa dan
Banjar. V.1.3.e Ekonomi
Sebelum tahun 2002, perekonomian Blimbing sangat didukung dari hasil perkebunan pisang masyarakat. Selain bertani ladang, yang sepertinya sudah
merupakan kebudayaan masyarakat desa Suku Paser, penduduk Blimbing memiliki kebun-kebun pisang yang sangat subur. Pisang-pisang dari kebun masyarakat ini dijual
ke desa-desa tetangga. Bahkan sejak tahun 1997, pisang-pisang dari Desa Blimbing mulai diekspor ke Pulau Jawa dan Bali. Perekonomian Desa Blimbing pada waktu itu
tergolong baik. Dalam waktu sebulan hasil panen pisang mereka bisa memberikan keuntungan Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Karena telah terbiasa mendapatkan penghasilan dari hasil kebun pisang mereka, maka penduduk Desa Blimbing pada umumnya tidak mencari penghasilan dari usaha
yang lain. Namun sejak virus menyerang kebun pisang mereka, perekonomian penduduk Blimbing menjadi lesu. Karena sebagian besar kebun mereka ditanami pisang, mereka
tidak memperoleh penghasilan lagi. Mereka hanya bisa menjual hasil ladang mereka seperti cabe, atau buah-buahan. Penduduk transmigran yang masih bertahan saat ini
menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap burung di hutan di sekitar kaki Gunung Lumut. Madu dan hewan buruan sulit untuk diperoleh di Desa Blimbing karena
kondisi hutannya yang sudah rusak. Masyarakat asli Blimbing tidak ada yang melakukan kegiatan berburu di daerah Gunung Lumut karena daerah tersebut masuk ke dalam
wilayah Desa Pinang Jatus. Saat ini penduduk Blimbing mulai menanam sawit di bekas kebun pisang
mereka. Mereka mengharapkan perkebunan sawit dapat menggantikan kebun pisang mereka yang sudah tidak menghasilkan sama sekali. Rata-rata penduduk Blimbing
membuka kebun sawit seluas dua hingga enam hektar.
V.1.3.f Fasilitas umum
Fasilitas umum yang dimiliki oleh desa ini antara lain dua unit gedung SD dan rumah dinas guru, balai desa, mushalla dan sarana telepon satelit umum. Terdapat juga
satu unit bangunan puskesmas pembantu yang baru didirikan pada tahun 2004. Namun tenaga kesehatannya jarang berada di lokasi. Fasilitas WC umum tersedia di belakang
balai desa, tapi lebih sering hanya dimanfaatkan untuk tamu-tamu yang berkunjung ke Desa Blimbing. Penduduk Blimbing sendiri memanfaatkan Sungai Blimbing untuk mandi
dan buang hajat. Untuk minum dan masak sebagian besar penduduk Blimbing memanfaatkan sumur aliran air yang dibendung.
Terdapat satu unit gedung kantor desa. Namun karena letaknya yang rendah berada di pinggir sungai sehingga pada saat musim hujan, kantor desa ini sering
terendam. Untuk itu, maka saat ini mereka sedang membangun kantor desa baru yang letaknya berada di tengah desa. Penggilingan padi merupakan fasilitas umum yang
dioperasikan pada hari rabu dan kamis, atau bila cukup banyak masyarakat yang ingin menggiling padi. Biaya operasi dipungut dari tiap orang yang menggunakannya.
Terdapat satu unit genset pembangkit listrik, namun saat ini sudah tidak digunakan lagi. Hal ini dikarenakan pemukiman penduduk yang menyebar luas sehingga
sulit untuk menyalurkan listrik dari generator tersebut. Untuk memperoleh penerangan sebagian penduduk memanfaatkan pembangkit listrik tenaga matahari yang merupakan
bantuan dari pemerintah. Namun tidak setiap penduduk memiliki fasilitas ini. Saat ini baru 40 rumah yang dapat menikmati fasilitas tersebut dan dari 40 rumah yang memiliki
pembangkit listrik tenaga matahari, saat ini tidak lebih dari 10 rumah yang masih berfungsi alatnya. Selebihnya masih memanfaatkan lampu minyak tanah atau
menggunakan generator pribadi.
V.1.3.g Pendidikan
Data mengenai tingkat pendidikan masyarakat di desa Blimbing tidak dapat penulis peroleh karena tidak tersedia di kantor desa. Namun secara umum, tingkat
pendidikan masyarakat di Desa Blimbing jauh lebih maju bila dibandingkan di dua desa lokasi penelitian lainnya. Karena letaknya yang relatif lebih dekat ke kota kecamatan
sehingga cukup banyak penduduk Blimbing yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMU.
Untuk fasilitas pendidikan pun Desa Blimbing lebih maju. Terdapat 2 unit gedung SD dan terdapat enam orang tenaga pengajar yang kesemuanya telah diangkat menjadi
pegawai negeri. Jumlah muridnya mencapai 80 orang. V.1.4 Sosial-Budaya Masyarakat Desa Sekitar Kawasan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kawasan hutan Gunung Lumut telah didiami oleh 13 generasi Suku Paser yang tersebar di tiga belas desa di sekitar kawasan.
Meskipun saat ini mulai banyak penduduk pendatang yang bermukim di desa-desa sekitar kawasan tersebut, namun kebudayaan dan adat Suku Paser masih
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Di setiap desa, selain kepala desa dan pengurus desa lainnya, terdapat juga lembaga adat yang mengatur kehidupan sehari-hari
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa sekitar kawasan peran ketua adat dirasakan lebih berpengaruh bila dibandingkan peran kepala desa. Kepala desa dan
perangkat desanya hanya berperan sebagai penghubung masyarakat dengan pemerintah kabupaten dan kecamatan, seperti pengurusan kartu identitas atau
penerimaan subsidi dari pemerintah. Penyelesaian sengketa atau setiap masalah yang dihadapi masyarakat, seperti rebutan tanah, perusakan pohon buah atau penentuan
lokasi ladang, lebih dipercayakan kepada ketua adat. Lembaga adat di suatu desa pada umumnya terdiri dari seorang ketua adat dan
wakilnya, sebagaimana yang ditemui di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy. Lembaga adat yang berada di Desa Blimbing sudah jauh lebih lengkap dengan adanya
sekertaris dan bendahara adat, selain wakil ketua adat, untuk meringankan pekerjaan
ketua adat. Hal ini dikarenakan letak Desa Blimbing yang lebih mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor sehingga interaksi mereka dengan lembaga adat, seperti Persatuan
Masyarakat Adat Paser PeMA Paser lebih intensif, sehingga lembaga adat mereka lebih berkembang bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya.
Pengangkatan dan pemberhentian ketua adat ditentukan oleh masyarakat. Pengetahuan mengenai sejarah desa serta hukum-hukum adat sangat berperan dalam
pemilihan ketua adat. Pada umumnya ketua adat yang dipilih adalah kerabat dekat dari ketua adat sebelumnya, baik itu anak laki-laki, adik atau keponakan dari ketua adat
sebelumnya. Menurut keterangan warga Rantau Layung, lembaga adat di desa tersebut sempat vakum selama dua puluh tahun setelah meninggalnya ketua adat yang terdahulu.
Baru pada tahun 1999, ketika PeMA Paser mulai aktif melakukan kegiatan di Desa Rantau Layung, lembaga adat di desa tersebut juga mulai aktif lagi. Pada waktu itu yang
dipilih menjadi ketua adat adalah adik dari ketua adat yang sebelumnya, karena dianggap paling mengetahui mengenai sejarah desa dan aturan adat yang berlaku.
Karena tidak berfungsinya lembaga adat tersebut selama beberapa tahun, maka banyak generasi muda di desa ini yang tidak mengetahui mengenai peraturan adat mereka
secara mendalam. Mereka hanya mengetahui mengenai peraturan adat yang umum, seperti tidak boleh merusak atau menebang pohon buah dan madu dan batas-batas
kebun milik masyarakat. Peranan ketua adat sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muluy.
Sikap ketua adat menentukan sikap masyarakat Muluy ketika menghadapi suatu permasalahan. Ketika ketua adat mereka menolak suatu hal maka masyarakat Muluy
juga akan menolak hal tersebut. Hal ini terjadi karena Dusun Muluy merupakan suatu Dusun yang hanya dihuni oleh masyarakat Suku Paser. Meskipun mereka secara
administrasi pemerintahan berada di dalam wilayah Desa Swanslutung, namun sejak awal mereka telah menolak untuk bersatu dengan warga pendatang dari suku lain yang
berada di desa tersebut. Ketua adat di Desa Blimbing baru menjabat selama setahun setelah ayahnya,
ketua adat sebelumnya meninggal dunia. Usianya masih tergolong muda, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat dia banyak berkonsultasi dengan wakilnya
yang jauh lebih tua dan para sesepuh desa yang lebih berpengalaman. Berbeda dengan di dua lokasi penelitian lainnya, ketentuan adat yang berlaku di desa ini telah
terdokumentasikan dengan baik, sehingga mempermudah penyelesaian permasalahan. Meskipun di desa ini terdapat warga transmigran, ketentuan adat Paser diberlakukan
juga kepada warga transmigran tersebut meskipun mereka bukan dari Suku Paser. Namun karena keberadaan warga transmigran itu pula, peranan kepala desa di desa ini
lebih terasa bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya. Kebudayaan dan adat yang masih dipertahankan diantaranya adalah
pelaksanaan syukuran sebelum membuka ladang dan setelah pelaksanaan panen. Ada
juga acara bayar hajat untuk penyembuhan orang sakit. Peraturan mengenai lingkungan terdapat juga dalam aturan adat mereka. Di antaranya larangan untuk menebang pohon
buah dan pohon tempat lebah membuat sarang, serta larangan untuk memburu binatang yang masih muda atau induk binatang yang sedang bunting. Hukuman untuk pelanggar
peraturan ini bisa berupa denda uang atau barang yang ditentukan oleh ketua adat dalam suatu acara semacam rembuk desa.
Seperti pada umumnya masyarakat desa di Indonesia, masyarakat desa di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut juga bermata pencaharian utama sebagai
petani. Pada umumnya mereka membuka lahan hutan untuk dijadikan ladang. Sistem pengelolaannya dilakukan secara tradisional dengan sistem perladangan berpindah.
Lahan yang mereka gunakan sebagai ladang akan digunakan selama 2 atau 3 tahun, untuk kemudian mereka akan membuka lahan baru untuk ladang mereka. Hal ini
dikarenakan pada tahun ke dua atau ke tiga hasil pertanian dari lahan tersebut akan menurun kuantitasnya karena penurunan kesuburan tanah di lahan ladang tersebut.
Kegiatan berladang dilakukan secara gotong royong oleh semua warga desa yang tidak memiliki kesibukan lain. Mereka menyebut gotong royong dengan istilah
sempolo. Kegiatan berladang dimulai dengan membuka lahan dengan menebang pohon- pohon di lokasi ladang. Ladang dipilih sendiri oleh warga yang hendak mengolah ladang
dengan persetujuan ketua adat, untuk menghindari agar ladang yang dibuka tidak overlap dengan ladang miliki kebun atau ladang warga yang lain. Pembukaan lahan ini
mereka sebut nebas. Setelah 2-3 minggu, ladang yang telah ditebas lalu dibakar. Sebelum dibakar, mereka membersihkan sekeliling lahan sekitar 1-2 meter dari kayu
kering atau bahan yang mudah terbakar, untuk menghindari agar api tidak menjalar ke lahan lain.
Setelah kegiatan pembakaran lahan telah berlalu seminggu, kegiatan selanjutnya membersihkan lahan dari kayu-kayu besar yang tidak habis terbakar. Mereka
menyebutnya dengan manduk untuk kegiatan ini. Setelah manduk selesai barulah mereka menanaminya dengan padi menugal. Kegiatan berladang ini mulai dari
membuka lahan hingga panen memakan waktu 8-10 bulan. Setiap kegiatan berladang ini selalu dilakukan secara gotong royong, mulai dari anak kecil hingga orang tua.
Sejak dahulu masyarakat Suku Paser telah membagi wilayah desa mereka menjadi beberapa peruntukan lahan. Peruntukan lahan yang umum berada dalam setiap
desa adalah Stratkampong pemukiman, umo ladang, kebun, lati pengramu, alas, sunge sungai dan sipung bua. Karena banyaknya interaksi dengan dunia luar dan
semakin jarangnya penggunaan istilah-istilah tradisional dalam kehidupan sehari-hari, saat ini penduduk desa, terutama generasi mudanya, mulai melupakan istilah-istilah dan
pengertian dari peruntukan lahan tersebut.