1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arah kebijakan pembangunan perekonomian pemerintah sekarang ini salah satu ditekankan pada pembangunan perekonomian nasional,
dilaksanakan sebagai upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin lama semakin
maju dalam segala bidang, maka tidak menutup kemungkinan akan majunya perkembangan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan perekonomian dan kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang lingkup dan gerak transaksi persaingan
usaha barang dan jasa. Pada era perdagangan bebas membuat persaingan usaha menjadi semakin ketat. Ketatnya persaingan usaha ini menumbuhkan
kreasi-kreasi untuk menciptakan produk-produk baik jasa maupun barang perdagangan. Produk di bidang jasa yang berkembang sangat pesat sampai
saat ini adalah bidang pembiayaan, karena perluasan usaha dan pemenuhan peralatan modal membutuhkan pembiayaan.
Permasalahan yang sering timbul berkaitan kegiatan dunia usaha seperti perdagangan baik jasa dan atau barang senantiasa menarik untuk
lebih diperhatikan, dicermati dan diteliti. Hal ini disebabkan karena perdagangan akan selalu berkaitan dengan apa yang disebut dengan
konsumen dan produsen. Kondisi tersebut pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen, karena kebutuhannya akan barang dan jasa
semakin besar seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan jaman. Demikian pula dengan semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka
jenis kualitas barang danatau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing.Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut
commit to user
2 dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang
merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.
Persaingan yang sehat antar pelaku usaha sesungguhnya tidak salah, asalkan dengan diimbangi peningkatan kualitas dan mutu barang dan atau
jasa serta didukung pelayanan yang jujur, baik serta pemberian informasi yang benar dari pelaku usaha kepada konsumen tentu akan sangat bermanfaat
dan menguntungkan konsumen. Berbeda jika persaingan usaha hanya didasarkan pada pencarian keuntungan belaka dari pelaku usaha dengan cara
yang tidak sehat, maka sudah tentu dapat berakibat buruk bagi konsumen. Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara
konsumen dengan
pelaku usaha.
Untuk dapat
menjamin suatu
penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum, yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang untuk selanjutnya disebut dengan UUPK. Menurut G.
Deepa dan Dr. K. Vijayarani “an act to provide for better protection of the
interests of consumers and for that purpose to make provision for the establishment of consumer councils and other authorities for the settlement of
consumers’ disputes and for matters connected therewith”.
1
Artinya, tindakan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik dari kepentingan konsumen
dan untuk tujuan itu untuk membuat ketentuan pembentukan dewan konsumen dan otoritas lainnya untuk penyelesaian sengketa konsumen dan
untuk hal-hal yang berhubungan dengannya. Maksudnya bahwa memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan dibentuknya peraturan perlindungan
konsumen sangat penting, mengingat banyaknya sengketa konsumen yang timbul dan pada akhirnya dalam hal ini konsumenlah yang banyak dirugikan.
1
G. Deepa dan Dr. K. Vijayarani, “Performance of Consumer Disputes Redressal Agencies in TN”, International Journal of Management and Commerce Innovations ISSN 2348-7585 Online
Vol. 2, Issue 2, 2015, hlm. 21.
commit to user
3 Lahirnya UUPK yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20
April 1999, dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 2000 mengatur antara lain keberadaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
yang disebut dengan BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, sebagai pelaksanaannya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pembentukan BPSK ini dilatarbelakangi adanya globalisasi dan
perdagangan bebas, yang didukung kemajuan teknologi dan informatika dan dapat memperluas ruang gerak transportasi barang dan atau jasa melintasi
batas-batas wilyah suatu Negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPK
2
menjamin adanya kepastian hukum terhadap konsumen.Kepastian hukum itu meliputi segala
upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang danatau jasa kebutuhannya serta mempertahankan
atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
3
Sedangkan dalamPasal 3 ayat 1 dan 2 UUPK
4
lebih menyoroti kepada tujuan dari dibentuknya UUPK yang akan penulis bahas dalam penelitian hukum ini lebih lanjut. Sesuai penjelasan
dalam ayat 2 UUPK, konsumen mendapatkan porsi perlindungan yang lebih diperhatikan atas barangjasa yang dipakainya.
Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan
beraneka barang danatau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan
2
Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
3
AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003,
hlm. 6-7.
4
Pasal 3 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa tujuan dibentuknya UUPK adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
sedangkan dalam ayat 2 bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang danatau jasa.
commit to user
4 masyarakat banyak.
5
Pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha dan konsumen untuk
mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan
akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki
kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum yang melindungi belum memadai. Amanat
UUPK memerintahkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui 2 dua cara. Cara penyelesaian sengketa pertama melalui proses
litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama kooperatif di luar pengadilan non litigasi.
Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara
pihak yang bersengketa.
6
Penyelesaian dengan jalan litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 48 UUPK
7
. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 47 UUPK
8
. Sesuai Pasal
5
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,hlm. 98.
6
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,hlm. 3.
7
Pasal 48 UUPK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 45.
8
Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa penyelesain sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.
commit to user
5 45 ayat1 UUPK
9
. Sedangkan dalam Pasal 45 ayat2 UUPK
10
. Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya yang paling diinginkan,
diusahakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah dan relatif lebih cepat. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya
diserahkan kepada pilihan para pihak, antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase
atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara
yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib
mengikutinya. Namun seiring berjalannya waktu banyak sekali masalah yang timbul
diantara para konsumen dengan penyedia barang dan jasa. Hal tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
BPSK sebagai badan yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah dalam rangka membantu masyarakat untuk penyelesaian persoalan-persoalan
tentang sengketa konsumen harus lebih diketahui oleh masyarakat secara luas, agar masyarakat memiliki gambaran bagaimana menyelesaikan
persoalan jika mereka selaku konsumen menghadapi kekecewaan atau ketidakpuasan atau bahkan penipuan dari pelaku usaha atas barang dan atau
jasa yang telah konsumen beli dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu sehingga tidak mengalami banyak kerugian. Dalam hal ini tidak
hanya membantu masyarakat saja, melainkan juga BPSK juga berperan untuk membantu lembaga pembiayaan yang sedang bermasalah dengan konsumen
yang diakibatkan karena kesalahan yang dilakukam oleh pihak konsumen, yang antara lain ketidakmauan konsumen untuk melakukan kewajibannya
9
Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.
10
Pasal 45 ayat2 UUPK
10
menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut cara kekeluargaan.
commit to user
6 membayar dalam rangka pengadaan barang dan jaa yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Dengan hadirnya BPSK sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK
yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan yang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi, sehingga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kekuatan mengikat putusan arbitrase BPSK tersebut. Ketentuan
Pasal 54 ayat 3 UUPK
11
, menyebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir.Sedangkan kata mengikat
mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.Prinsip res judicata pro veritate habetur,
menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum
pasti. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat 2 dan Pasal 58 ayat 2 UUPK, menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang
menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan
Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan
mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.
Maraknya praktek-praktek usaha dibidang pembiayaan dengan sistem perjanjian fidusia yang dilakukan pelaku usaha baik bank maupun non bank
termasuk lembaga pembiyaan finance menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat, khususnya di Kota Surakarta menjadi meningkat terutama
konsumsi dibidang otomotif baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Namun ternyata masalah mulai muncul ketika banyak debitur yang tidak bisa
commit to user
7 menepati perjanjian yang telah mereka buat dengan pengusaha, seperti kasus
debitur yang tidak bisa melunasi angsuran. Seperti dalam kasus yang penulis bahas, konsumen dan lembaga
pembiayaan yang telah sepakat mengadakan perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang yang dilakukan oleh PT. Andalan Finance
dengan Nomor 4095J95110783. Diawali ketika konsumen tidak lagi melakukan pelaksanaan pembayaran angsuran sesuai dengan jatuh tempo
sebagaimana ketentuan perjanjian yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Pada akhirnya kasus ini dilaporkan ke BPSK sebagai lembaga
yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen, dan terus berlajut sampai ke Pengadilan Negeri.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah penelitian ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul:
“Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan Negeri Sragen
”.
B. Rumusan Masalah