89 Hal yang sama juga dikatakan oleh Bp. Ginting Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta, mengatakan bahwa: “model penyelesaian sengketa yang dilakukan di Pengadilan Negeri
menggunakan hukum acara pada umumnya, tentang tata cara, tata acara penyusunan putusan, adalah sama yaitu menggunakan hukum acara yang
terdapat di peradilan umum”
2. Hambatandan Solusi Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di BPSK dan Pengadilan Negeri
Hambatan merupakan
kendala atau
sesuatu hal
yang menghalangi, menjadi penghalang terhadap seseorang maupun beberapa
orang yang hendak mencapai tujuan tertentu. Adanya suatu hambatan mengakibatkan tujuan tidak dapat tercapai.Menurut Agung Nugroho,
Wakil Ketua BPSK Surakarta, berdasarkan hasil wawancara, mengatakan bahwa secara umum hambatan BPSK dalam memutus sengketa antara lain
adalah :
91
1. Perbedaan latar belakang pendidikan masing-masing anggota BPSK,
yang menyebabkan munculnya persepsi yang tidak sama antar anggota BPSK terhadap aspek-aspek perlindungan konsumen dan penafsiran
hukum sehingga memperlambat proses penyelesaian sengketa. 2.
Permasalahan sarana dan prasarana yang kurang memadai yang mana sampai saat ini BPSK Kota Surakarta belum mempunyai gedung
sendiri, sehingga menghambat proses penyelesaian sengketa konsumen. 3.
Regulasi peraturan yang tidak lengkap dan membingungkan, yaitu kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang UU BPSK, yang bisa dilihat adanya beberapa pengaturan dalam Pasal yang mengatur tentang BPSK banyak yang kontradiktif tidak
konsisten.
91
Wawancara kepada Bapak Agung Nugroho, selaku hakim Pengadilan Negeri Sragen dilakukan langsung pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 13.30 WIB di kantor Pengadilan Negeri Sragen.
commit to user
90 4.
Sulitnya dalam pemanggilan para pihak yang bersengketa, khususnya pelaku
usaha yang
biasanya hanya
diwakilkan kuasa
hukumnya,sehingga akan sulit tercapai kata perdamaian antara pihak yang bersengketa. Dan juga pelaku usaha jarang sekali mau mematuhi
putusan BPSK. Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai
kekuatan eksekusi, maka putusan BPSK harus dimintakan penetapan fiat eksekusi ke pengadilan. Dalam praktek, tidak mungkin memintakan
penetapan eksekusi karena sama sekali tidak diatur.Pelaksanaan putusan BPSK menemui hambatan yang berpengaruh terhadap efektivitas
pelaksanaan putusannya.Putusan arbitrase BPSK, terdapat 2 dua kemungkinan yang terjadi, yakni putusan dilaksanakan secara sukarela
atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi ke pengadilan. Pasal 42 Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 menyebutkan bahwa putusan
BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Ketentuan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum acara pada umumnya yang mengatur bahwa pihak yang dimenangkan dalam putusan
hakim, yang memohon kepada pengadilan negeri untuk dilakukan eksekusi baik secara tertulis atau secara lisan.
92
Meskipun tujuan utama didirikannya BPSK adalah untuk memberikan suatu perlindungan hukum bagi konsumen, akan tetapi hal ini
tidak berarti pula bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK juga yang harus mengajukan permohonan eksekusinya ke pengadilan.
Sebab ganti kerugian diberikan adalah untuk kepentingan konsumen itu sendiri, dengan demikian yang seharusnya mengajukan eksekusi terhadap
putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK. Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti
yang ditentukan
dalam Pasal
42 Kepmenperindag
No. 350MPPKep122001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral
92
Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hal. 264.
commit to user
91 dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu apabila BPSK melakukan
pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik
hendaknya BPSK tidak dikenakan kewajiban mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.
93
Apabila dikaitkan dengan Pasal 52 UUPK, maka sudah seharusnya kewajiban untuk mengajukan permohonan eksekusi ke
pengadilan tidak menjadi tugas dan wewenang dari BPSK karena UUPK sendiri tidak mengatur demikian.
BPSK tidak mempunyai lembaga juru sita sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan negeri sehingga putusan BPSK harus
ditindaklanjuti oleh BPSK untuk dilaksanakan eksekusinya oleh pengadilan negeri.
94
Hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri
melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha harus dimintakan
penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri. Disamping hal-hal yang menjadi penghambat BPSK pada
umumnya seperti yang tersebut diatas, hambatan yang dihadapi oleh BPSK kota Surakarta dalam menangani perkara dalam kasus yang penulis
teliti diantaranya juga sulitnya untuk menghadirkan para pihak yang bersengketa, khususnya dari pelaku usaha yaitu PT. Andalan Finance,
yang mana biasannya dari pihak pengusaha selalu diwakilkan oleh Kuasa Hukumnya, sehingga akan sulit terjadi kesepakatan damai antara kedua
belah pihak yang bersengketa. Disisi lain, BPSK sendiripun tidak memiliki kekuatan upaya paksa untuk menghadirkanpelaku usaha yang tidak
bersedia hadir di BPSK.Meskipun dalam UUPK menyebutkan bahwa BPSK dapat meminta bantuan dari Penyidik Umum Polisi namun dalam
prakteknya sulit untuk dilaksanakan.Sebab penyidik umum kurang menanggapi permintaan bantuan dari BPSK.
93
Ibid.,hal. 348.
94
Wawancarakepada bapak Bambang Ari selaku wakil ketua BPSK dilakukan langsung pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 09.40 WIB di kantor BPSK Surakarta.
commit to user
92 Hambatan yang dihadapi oleh BPSK kota Surakarta juga mengenai
hal yang diatur dalam Pasal 56 Ayat 2 UUPK yang memberi peluang kepada para pihak yang tidak setuju dengan putusan BPSK, untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK dikatakan bahwa
“keputusan BPSK bersifat final dan mengikat
”, berarti putusantersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final, maka dengan
sendirinya sengketa yang diperiksa telah berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang sudah final
tersebut. Pada penjelasan Pasal 54 ayat 3 UUPK ditegaskan bahwa kata besifat final diartikan tidak terdapat upaya banding dan kasasi. Akan
tetapi, putusan BPSK tidak memiliki kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan negeri yang berkekuatan eksekutorial.Eksekutorial disini
artinya bahwa putusan tersebut dapat dipaksakan jika salah satu pihak tidak melaksanakan putusan. Upaya paksa pelaksanaan putusan BPSK
dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri, yaitu dengan mengajukan eksekusi ke pengadilan negeri.
Apabila dikaitkan dengan salah satu ketentuan dalam UUPK tersebu
t adalah Pasal 54 ayat 3 UUPK mengatakan bahwa “keputusan BPSK bersifat final dan mengikat
”. Ketentuan ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat 2 sangat kontradiktif, karena Pasal 56 ayat 2
menyatakan bahwa “Terhadap putusan BPSK dapat diajukan keberatan ke pengadilan”. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian dalam hukum.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk selanjutnya disebut dengan Perma No. 1 tahun
2006. Maka apabila dilihat dari ketentuan kedua peraturan Perundang- undangan tersebut diatas, perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dalam
membuat Perarturan Perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapan hukum, sehingga adanya kepastian dan
commit to user
93 perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat bisa terlaksana
sesuai dengan ketentuan Undang-undang, khususnya kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat tingkat bawah yang dalam hal ini
adalah konsumen yang kebanyakan belum mengerti tentang hukum. Alat bukti, juga merupakan hambatan bagi majelis BPSK kota
Surakarta didalam memutus sengketa konsumen dalam kasus yang penulis teliti. Alat bukti yang diajukan masih kurang untuk dapat dijadikan dasar
dalam memutus sengketa para pihak. Kemudian kronologis yang tidak jelas dari para pihak, membuat majelis BPSK kota Surakarta sulit untuk
bisa menyimpulkan dan memutus sengketa tersebut. Kurangnya alat bukti dan kronologis yang tidak jelas juga menjadi penghambat bagi majelis
hakim Pengadilan Negeri Sragen dalam memutus sengketa. Alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat
membantu dalam hal member keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah
perkara untuk
membantu penilaian
hakim didalam
pengadilan.Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka
kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu saja.
95
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam Pasal 1866
KUHPerdata yang terdiri dari : 1.
Bukti Tulisan 2.
Bukti dengan saksi-saksi 3.
Persangkaan-persangkaan 4.
Pengakuan 5.
Sumpah Tugas hakim adalah menyelidiki adanya suatu hubungan hukum
yang menjadi dasar gugatan, sehingga hubungan hukum itu harus dapat dibuktikan jika salah satu pihak khususnya penggugat menginginkan
kemenangan.Tidak semua dalil dapat dibuktikan atau perlu dibuktikan, misalnya hal-hal yang diakui atau tidak disangkal oleh tergugat, tidak
95
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cet. 10, Jakrta, 2010,hlm. 554.
commit to user
94 perlu lagi dibuktikan, atau hal-hal yang sudah diketahui secara
umum.Kebenaran atas suatu fakta adalah hal yang harus dibuktikan oleh hakim.Para pihak yang berperkara diwajibkan untuk membuktikan tentang
duduk perkara.Oleh karenanya mereka harus mengajukan alat-alat bukti dan sekaligus membuktikan kebenaran alat bukti yang kemudian oleh
hakim dicari kebenarannya dan dikonstantir peristiwa tersebut. Upaya hakim untuk memeriksa kebenaran dari bukti-bukti tersebut,
hakim berkonsultasi kepada ahli-ahli hukum tertentu untuk menambah wacana keilmuan dan pemahaman tentang hukum. Hakim terikat oleh alat
bukti dalam suatu proses pembuktian, namun demikian hakim juga diberi kebebassan untuk menilai alat bukti dan pembuktian tersebut. Hakim
melakukan penilaian terhadap bukti, dan dapat dikatakan pembuktian merupakan penilaian terhadap kenyataan yang ada judex factie.Suatu
bukti dikatakan sempurna jika bukti yang diajukan tersebut dinilai hakim telah memadai untuk memberikan kepastian tentang peristiwa yang
disengketakan. Kurangnya alat bukti yang diajukan dalam sidang perkara dalam
kasus yang penulis teliti, menyebabkan persidangan menjadi lebih lama, sebab penundaan sidang dilakukan sampai waktu tertentu untuk
memberikan kesempatan bagi para pihak agar dapat mengumpulkan alat bukti yang cukup. sehingga majelis hakim dapat segera menilai alat bukti
dan putusan baru bisa dijatuhkan. Sedangkan kronologis yang tidak jelas, menyebabkan majelis hakim menjadi kurang bisa menilai perkara tersebut,
dan para pihak harus menata kembali dengan jelas kronologis yang sebenarnya. Agar pada sidang berikutnya dapat berjalan dengan baik dan
majelis hakim segera dapat membantu menyelesaikan perkara yang diajukan kepada pengadilan.
Disamping hal tersebut diatas, hambatan juga berupa tidak adanya kemauan dari para pihak untuk datang dalam proses persidangan karena
adanya salah satu pihak yang tidak mempunyai kuasa hukum, sehingga memperlambat proses penyelesaian sengketa konsumen. Selain itu,
commit to user
95 kemampuan para hakim pengadilan yang masih secara umum, belum
adanya hakim khusus yang menangani perkara konsumen.Sehingga dalam memutus dimungkinkan dapat menimbulkan suatu ketidakadilan bagi
salah satu pihak yang bersengketa. Terhadap kendala-kendala tersebut diatas, baik yang dihadapi oleh
BPSK kota Surakarta maupun Pengadilan Negeri Sragen, maka perlu adanya suatu solusi agar proses penyelesaian sengketa konsumen dapat
terlaksana dengan baik dan lancar. Solusi merupakan cara yang digunakan untuk menyelesiakan suatu permasalahan atau suatu sengketa tertentu.
Dalam hal hambatan-hambatan yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu solusi diantaranya yaitu dengan meningkatkan kerjasama
yang lebih baik antara BPSK dengan pihak kepolisian untuk memanggil paksa pelaku usaha jika pelaku usaha tidak memenuhi panggilan 3 tiga
kali secara berturut-turut karena tidak adanya kuasa hukum yang mendampingi pelaku usaha.
Kemudian solusi pemecahan masalah pelaksanaan operasional BPSK antara lain perlu diatur dalam UUPK kewenangan BPSK untuk
dapat memaksa para pelaku usaha dalam usaha penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga mediasi dan terhadap setiap perjanjian hukum
yang dibuat tertulis antara pelaku usaha dan konsumen perlu mencantumkan salah satu klausul mengenai penyelesaian sengketa yang
disepakati para pihak di BPSK. Selain itu, juga perlu adanya peningkatan Sumber Daya Manusia SDM, khususnya bagi hakim arbiter agar supaya
lebih menguasai tentang hukum, mengingat tidak semua hakim arbiter mempunyai latar belakang dibidang hukum. Kemudian, perlu adanya
peran serta pemerintah kota setempat, dalam hal ini khususnya pemerintah kota Surakarta, supaya lebih meningkatkan sarana dan prasarana di BPSK
kota Surakarta agar dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa konsumen.
Disamping solusi tersebut diatas, juga perlu adanya regulasi undang-undang yang jelas mengenai kewenangan BPSK agar supaya
commit to user
96 tidak ada inkonsistensi hukum dan agar para pihak bisa mendapatkan
kepastian hukum yang jelas atas putusan BPSK yang telah dijatuhkan. Solusi menurut Bambang Ari selaku wakil ketua BPSK kota Surakarta,
bahwa BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusannya, oleh karena itu seharusnya BPSK diberikan amunisi tambahan
untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan
eksekusinya ke pengadilan negeri.
96
Kemudian solusi yang dapat penulis sampaikan bagi Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri
Sragen, mengenai hambatan-hambatan yang muncul dalam proses persidangan, antara lain diantaranya adalah perlu adanya ketegasan dari
para pihak yang bersengketa untuk hadir dalam proses persidangan. Agar supaya proses penyelesaian sengketa dapat berjalan dan selesai dengan
cepat. Selain itu juga perlu adanya pendidikan khusus bagi para hakim yang khusus menangani sengketa konsumen agar supaya bisa memberikan
suatu putusan yang mencerminkan rasa keadilan khussnya bagi para pencari keadilan khususnya dalam sengketa konsumen.
96
Wawancarakepada bapak Bambang Ari.Op. Cit.
commit to user
97
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Model Penyelesaian Sengketa Konsumen Di BPSK Surakarta dan