hipotesis berdasarkan data yang dikumpulkan melalui verifikasi dan akhirnya menarik kesimpulan.
E. Implikatur
Daya pragmatik diperikan melalui seperangkat implikatur Leech, 1993: 45. Gazdar merumuskan implikatur sebagai “a proposition that is implied by the
utterance of sentence in a context even though that proposition is not a part of nor an entailment of what was actually said” ‘suatu proposisi konfigurasi pikiran
yang terdiri dari pokok dan sebutan yang terimplikasikan ke dalam tuturan wujud lahir sebuah kalimat di dalam sebuah konteks pertuturan sekalipun
proposisi yang tersirat itu tidak menjadi bagian dari proposisi yang dituturkan dalam Edi Subroto, 2004: 6.
Jadi di dalam tuturan termuat dua sisi, yakni eksplikatur dan implikatur. Eksplikatur adalah wujud lahir bahasa yang diungkapkan. Implikatur adalah yang
terimplikasikan di balik tuturan. Eksplikatur dikaji oleh bidang semantik sedangkan implikatur dikaji oleh pragmatik.
F. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang secara khusus membahas pêpindhan dan sanépa sebagai gaya bahasa memang belum dijumpai. Penelitian tentang pêpindhan dan sanépa
yang telah dilakukan terbatas pada deskripsi gaya bahasa tersebut dalam suatu karya sastra tertentu, ataupun meninjau pêpindhan dan sanépa sebagai suatu
bentuk idiom. Beberapa hasil penelitian yang telah meneliti pêpindhan dan sanépa antara lain adalah sebagai berikut.
1. Sundari. 2002. “Kajian Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1960-an”.
Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Dalam penelitiannya ini Sundari mengkaji simile sebagai salah satu bentuk
kajian Stilistika. Oleh karena penelitian ini mengkaji semua gaya bahasa yang terdapat dalam novel Jawa tahun 1960-an, maka analisis tentang simile hanya
terbatas pada deskripsi simile yang ditemukan dalam objek penelitian. Analisisnya terbatas pada pendeskripsian pembanding yang dipergunakan
dalam simile dengan disertai contoh. Sundari 2002: 115-137 mengatakan dalam novel-novel tersebut pembanding dalam simile berupa: barang,
binatang, air, wayang, petir, sifat, orang, keadaan, angin, dan api. 2.
Sutarjo. 2002. “Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta Suatu Kajian Stilistika”. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Sutarjo dalam penelitian ini sedikit sekali membicarakan simile. Pembicaraannya hanya terbatas pada produktivitas penggunaan simile dan
hal-hal yang dipersamakandibandingkan. Menurut Sutarjo 2002: 258-263 penggunaan simile termasuk produktif dan merata digunakan di dalam
wacana janturan, pocapan, dan ginêm. Perumpamaan dalam simile biasanya membandingkan sesuatu yang biasa dibandingkan dengan sesuatu yang
memiliki kelebihan, misalnya manusia biasa dibandingkan dengan kekuatan dewa, binatang, anasir bumi, dan sebagainya.
3. Prasetya Adi Wisnu Wibowo. 2003. “Kajian Stilistika Tembang-tembang
Macapat Karya Ranggawarsita”. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Dalam penelitian ini Prasetya menyimpulkan bahwa simile merupakan bahasa figuratif yang paling sederhana dan mudah dicari artinya. Puisi
Ranggawarsita banyak mempergunakan gaya bahasa simile yang sering ditandai dengan penggunaan kata kaya ‘seperti’, kadya ‘seperti’, lir ‘seperti’,
umpama ‘umpama’, dan sasat ‘seperti’. 4.
Sujono. 2003. “Idiom Bahasa Jawa”. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Sujono di dalam penelitiannya ini meneliti idiom bahasa Jawa berdasarkan bentuk, tipe, makna, dan fungsinya. Yang dimaksud dengan idiom bahasa
Jawa meliputi éntar ‘kias’, sanépa ‘perumpamaan’, panyandra ‘penggambaran tubuh manusia’, bêbasan ‘pepatah’, paribasan ‘peribahasa’,
dan saloka ‘seloka’. Idiom bahasa Jawa memiliki bentuk yang bervariasi, yakni 1 bentuk kata majemuk, 2 bentuk frasa, 3 bentuk klausa, dan 4
bentuk kalimat. Tipe idiom bahasa Jawa dapat dipisahkan berdasarkan makhluk atau benda yang diumpamakan dan berdasarkan relasi makna
antarunsurnya. Berdasarkan makhluk atau benda yang diumpamakan, terdapat idiom dengan perumpamaan 1 binatang, 2 tanam-tanaman, 3 manusia,
4 anggota kerabat, 5 fungsi anggota tubuh, 6 benda-benda alam, 7 alat- alat pertanianrumah tangga, dan 8 alat-alat kesenian tradisional.
Berdasarkan relasi makna antarunsurnya terdapat idiom 1 objektif, 2
komparatif, 3 kontrastif, 4 aditif, dan 5 kausalitas. Makna idiom bahasa Jawa dapat ditentukan berdasarkan referen, relasi makna antarunsur idiom,
dan keeratan hubungan makna antarunsurnya. Hubungan makna antarunsur idiom itu padu dan membentuk makna baru. Keterpaduan makna itu terbentuk
karena adanya relasi antonimi, komparatif, kontradiktif, aditif, kausalitas, dan repetisi. Fungsi pokok tuturan idiom bahasa Jawa adalah direktif, ilokusinya
berupa ajaranpetunjuk, melarang, memintamemohon, nasihat, dan ekspresif yang ilokusinya berupa memuji dan mengecam, sedang fungsi tambahannya
adalah sebagai pewujud kesantunan dan keindahan. 5.
Edi Subroto, dkk. 2003. “Kajian Etnolinguistik terhadap Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan, dan Sanepa”. Laporan Penelitian. Surakarta: Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Di dalam penelitian ini Edi Subroto dkk. mendudukkan paribasan,
bêbasan, saloka, pêpindhan, dan sanépa sebagai peribahasa Jawa. Peribahasa tersebut dikaji dari segi kebahasaan, baik dari segi struktur bahasanya,
semantik, serta dari segi daya pragmatik, yaitu maksud diciptakannya peribahasa tersebut secara pragmatis yang terkait dengan kajian
etnolinguistik. Kesimpulan yang ditarik melalui penelitian ini adalah 1 ternyata terdapat kesamaan umum tuturan tradisional Jawa antara paribasan,
bêbasan, saloka, pêpindhan, sanépa, yaitu semuanya termasuk tuturan tradisional yang berstruktur beku. Artinya, urutan konstituennya tidak dapat
dipermutasikan, konstituen pengisinya tidak dapat disubstitusikan dengan konstituen lain atau padanan katanya, dan hubungan antarkonstituennya
sangat erat sehingga antara konstituen yang satu dengan yang lain tidak dapat disela atau disisipi oleh unsur lainnya. Peribahasa yang berstruktur kata
jumlahnya sangat terbatas; selebihnya ada yang berstruktur frasa, klausa, dan kalimat. Peribahasa yang berstruktur kalimat ada yang berbentuk kalimat
tunggal dan kalimat majemuk, baik koordinatif maupun subordinatif. Terdapat pula jenis peribahasa yang berkonstruksi kalimat imperatif, baik
imperatif positif dengan N-D-ana, dengan sing, maupun imperatif negatif dengan aja. 2 Kelima peribahasa tersebut bermakna kias atau non-literal
atau idiomatik, sehingga makna peribahasa itu bukan merupakan penjumlahan atau penggabungan dari makna unsur-unsur leksikalnya.
Berdasarkan sifat-sifat kebermaknaannya, tuturan itu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu yang termasuk tuturan figuratif adalah
paribasan, bêbasan, dan sanépa; dan yang termasuk simile yaitu pêpindhan dan saloka. Perbedaannya ditengarai oleh hadirnya kata-kata pengungkap
perbandingannya lir, kaya, kadya yang berarti ‘seperti, bagai, bagaikan’, sedangkan saloka tidak. 3. Tuturan tradisional yang berupa peribahasa Jawa
mengandung nilai-nilai budaya Jawa yang diungkapkan secara tidak langsung, terselubung, bersifat tidak eksplisit, dan simbolik. Nilai-nilai
budaya Jawa yang berdaya pragmatik dapat dikategorikan menjadi lima macam, yaitu a kritik atau kontrol sosial, b nilai asertif kritik individual
atau kelompok atau panyaruwé, c nilai moral bernada menasihati, d nilai ajaran yang bersifat normatif, dan e nilai komisif, yaitu berjanji untuk tidak
berbuat sesuatu.
Tiga penelitian yang pertama tersebut meneliti pêpindhan sebagai bagian dari keseluruhan gaya bahasa dengan pendekatan stilistika saja sehingga hasil
analisisnya relatif kurang mendalam. Penelitian Sujono tidak secara langsung meneliti pêpindhan. Penelitian itu berpusat pada idiom bahasa Jawa yang meliputi
éntar ‘kias’, sanépa ‘perumpamaan’, panyandra ‘penggambaran tubuh manusia’, bébasan ‘pepatah’, paribasan ‘peribahasa’, dan saloka ‘seloka’. Oleh karena
penelitian itu berpusat pada idiom maka analisisnya berdasarkan satu aspek dari pêpindhan, yakni wahananya saja. Demikian juga dengan penelitian Edi Subroto
dkk. yang juga memandang pêpindhan dan sanépa sebagai bentuk idiomatik yang berstruktur beku. Di dalam analisisnya penelitian Edi Subroto dkk. juga
berdasarkan data yang berupa aspek wahana dari bentuk pêpindhan dan sanépa, tanpa mempertimbangkan tenor.
Penelitian ini meneliti pêpindhan dan sanépa bukan sebagai idiom atau pun peribahasa, akan tetapi sebagai gaya bahasa. Sebagai gaya bahasa
perbandingan, pêpindhan dan sanépa menampilkan tenor dan wahana secara bersama-sama. Oleh karena itulah penelitian ini selain akan mengkaji unsur-unsur
pembentuk tenor dan wahana sebagai unsur pembangun pépindhan dan sanépa, juga meneliti makna dan hubungan makna yang terjalin antara tenor dan wahana,
serta daya pragmatik dari tuturan yang berbentuk pêpindhan dan sanépa. Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Diharapkan penelitian dapat melengkapi penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan terdahulu.
G. Kerangka Berpikir