tetapi dengan kata bentukan yang bermakna ‘seperti’. Padmosoekotjo, 1953:
110. Adapun sanépa adalah kalimat pêpindhan yang disusun dari kata sifat atau
keadaan diikuti nomina Padmosoekotjo, 1953: 48. Dalam bahasa Jawa makna ‘persamaan’ seperti yang termuat dalam
pêpindhan dapat muncul dalam beberapa bentuk, misalnya di dalam bêbasan, saloka, candra, sanépa, dan isbat.
Bêbasan adalah “unèn-unèn sing ajêg panganggoné, ngêmu surasa pêpindhan, lan sing dipêpindhakaké iku kaanané wong utawa tindak-tanduké”
‘ungkapan tetap yang mengandung makna persamaan tentang orang atau tindak- tanduknya’ Padmosoekotjo, 1953: 39. Contoh: Wastra bêdhah, kayu pokah
‘pakaiankain sobek, kayu patah’. Tuturan ini membandingkan kulit manusia dengan wastra ‘pakaian’ dan tulang dengan kayu ‘kayu’. Makna tuturan ini adalah
orang yang terluka parah hingga ke tulang-tulangnya. Saloka adalah “unèn-unèn kang ajêg panganggoné, ngêmu surasa
pêpindhan, lan kang dipêpindhakaké iku wongé mêsthi baé gêgandhèngan karo wêwatêkané utawa kaanané” ‘ungkapan tetap yang mengandung persamaan
tentang orang dengan watak atau keadaannya’ Padmosoekotjo, 1953: 45. Contoh: Asu bêlang kalung wang ‘anjing belang berkalung uang’. Tuturan ini
menyamakan orang yang rendah derajatnya dengan asu bêlang ‘anjing belang’, dan keadaan berlimpah harta dengan kalung wang ‘berkalung uang’. Makna
tuturan ini adalah orang yang rendah derajatnya tetapi kaya raya. Candra adalah gambaran keindahan atau keadaan dengan menggunakan
sarana pêpindhan Padmosoekotjo, 1953: 113. Contoh: Lambéné nggula
sathêmlik ‘bibirnya seperti sepotong gula’. Tuturan ini membandingkan bentuk bibir dengan potongan kecil gula merahJawa. Maknanya adalah bibir seseorang
gadis yang bentuknya kecil dan merah sehingga terlihat manis.
Sanêpa adalah kalimat pêpindhan yang disusun dari kata sifat atau
keadaan diikuti nomina Padmosoekotjo, 1953: 48. Contoh: Utangé arang wulu kucing ‘hutangnya sejarang bulu kucing’. Tuturan ini membandingkan jumlah
hutang seseorang dengan jumlah bulu kucing. Maknanya adalah seseorang yang memiliki hutang sangat banyak.
Isbat adalah kalimat persamaan yang mengandung makna ajaran ilmu gaib atau ilmu kesempurnaan Padmosoekotjo, 1953: 79. Contoh: Kodhok
ngêmuli lèngé ‘katak menyelimuti liangnya’. Tuturan ini membandingkan jiwa manusia dengan katak, menguasaimenjaga dengan ngêmuli ‘menyelimuti’, dan
raga manusia dengan lèng ‘liang’. Makna ungkapan ini adalah ‘jiwa manusia hendaknya menguasai raganya agar dapat mencapai kesempurnaan hidup’.
Berbeda dengan bêbasan, saloka, dan isbat, pêpindhan menampilkan makna ‘persamaan’ secara eksplisit. Oleh karena itu, konstruksi kalimatnya
ditandai dengan kata-kata kaya, lir, péndah, pindha yang semuanya bermakna ‘seperti’ atau sinonim dari kata-kata tersebut. Kadang-kadang tidak
mempergunakan kata-kata itu tetapi dengan kata bentukan yang bermakna ‘seperti’, yakni dengan prefiks N-, aN-, dan infiks –um-.
Sifat eksplisit pêpindhan selain tampak dalam penggunaan kata atau kata bentukan yang bermakna ‘seperti’ juga terletak pada tampilnya secara bersama-
sama tenor dan wahana vehicle. Meminjam istilah dalam metafora, di dalam
pepindhan terdapat “the thing we are talking about” yang oleh Richards disebut tenor, dan “that to which we are comparing it” yang disebut vehicle dalam
Ullmann, 1972: 213. Vehicle dapat juga disebut “wahana” Edi Subroto, 1991: 16.
Perbedaan sifat eksplisit pada bentuk tersebutlah yang membatasi penelitian ini hanya meneliti pêpindhan, yang di dalamnya tercakup candra, dan
sanépa. Dengan kata lain penelitian ini meneliti makna ‘perbandinganpersamaan’ yang 1 ditampilkan secara eksplisit di dalam tuturan, baik melalui penggunaan
kata atau kata bentukan yang bermakna ‘seperti’ danatau 2 menampilkan tenor dan wahana secara bersama-sama. Di dalam contoh di atas tampak, bahwa
bêbasan, saloka, dan isbat hanya menampilkan wahana saja, oleh karenanya ketiganya tidak diteliti di sini. Candra jika ditinjau dari struktur kalimatnya dan
makna yang diungkapkannya tergolong di dalam pêpindhan. Untuk sementara candra dianggap sebagai bagian dari pêpindhan, oleh karena itu merupakan
bagian dari penelitian ini juga. Di dalam sanépa meskipun tidak menampilkan kata yang bermakna ‘seperti’ akan tetapi menampilkan tenor dan wahana secara
bersama-sama. Oleh karena itu sanépa turut serta diteliti dalam penelitian ini. Dipilihnya pêpindhan dan sanépa sebagai objek penelitian ini berdasarkan
alasan bahwa 1 pêpindhan memiliki bentuk, makna, dan perilaku yang bervariasi, 2 sanépa menampilkan bentuk khas dari pêpindhan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dapat ditambahkannya kata kaya ‘seperti’ sebagai penanda persamaan pada bentuk sanépa. Contohnya adalah sebagai berikut. Tuturan yang
berbentuk sanépa “Awaké kuru sêmangka” ‘Orang yang sangat gemuk’ memiliki
makna yang sama dengan tuturan “Awaké kaya kuruné sêmangka”. Sanépa selalu berbentuk kalimat dengan struktur SP. S selalu diisi oleh kata berkategori nomina,
sedangkan P diisi oleh frasa nominal. S selalu berbentuk nomina yang bersifat tertentu dengan ditandai oleh sufiks {–é}. P yang berupa frasa nominal diisi oleh
adjektiva sebagai atribut dan nomina sebagai inti. Adjektiva yang terletak di depan memberi spesifikasi tertentu pada nomina yang terletak di belakang.
Demikian juga P memberi spesifikasi tentang S. Lebih dari itu sanépa adalah tuturan yang khas Jawa, tidak ada bahasa lain yang memiliki tuturan persamaan
seperti sanépa. Variasi bentuk pada pêpindhan dapat dijelaskan melalui contoh berikut.
1 Nikèn Gandhini bungah, nanging kêtêging jantungé kaya titir.
‘Niken Gandhini gembira, tetapi denyut jantungnya seperti bunyi kentongan cepat dan tanpa henti.’
‘Niken Gandhini gembira tetapi jantungnya berdebar kencang.’ 2
Kaya jambé sinigar. ‘Bagaikan pinang dibelah dua’
‘Dua orang yang memiliki wajah yang sangat mirip’
Kutipan 1 menampilkan persamaan secara lengkap, artinya di dalam tuturan itu sekaligus ditampilkan tenor dan wahana bersama-sama. Tenor dalam
tuturan itu adalah kêtêging jantungé ‘debar jantungnya’, sedangkan wahananya adalah titir ‘bunyi kentongan yang cepat dan tanpa henti.’ Berbeda dengan
kutipan 1 di atas, kutipan 2 hanya menampilkan wahana saja. Tenor pada kutipan 2 tersebut telah mengalami pelesapan. Secara lengkap tuturan 2 adalah
sebagai berikut. 2a Rupané kaya jambé sinigar.
‘Wajahnya bagaikan pinang dibelah dua.’ ‘Wajahnya sangat mirip’.
Meskipun tuturan 2 dapat dikatakan tidak lengkap akan tetapi mitra tutur
sudah dapat mengetahui makna tuturan tersebut. Hal itu disebabkan karena tenor pada tuturan tersebut sudah diketahui oleh umum atau sudah termuat di dalam
konteksnya. Pêpindhan yang menampilkan wahana saja seperti tuturan 2 inilah yang bersifat idiomatis.
Jika tuturan 2 tidak menampilkan tenor, kutipan 1 justru tidak berterima jika tenornya dilesapkan. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
1a Nikèn Gandhini bungah, nanging ø kaya titir. ‘Niken Gandhini gembira, tetapi ø seperti bunyi kentongan cepat dan
tanpa henti.’ Tenor pada tuturan 1 tidak dapat dilesapkan karena belum diketahui oleh
mitra tutur. Selain itu tuturan tersebut bukan milik umum melainkan milik penutur secara khas. Dengan kata lain, tuturan 1 merupakan gaya yang menjadi ciri khas
penutur tertentu penutur tuturan tersebut. Oleh karena tuturan 1 merupakan tuturan yang khas, maka tidak memiliki sifat idiomatis.
Dalam hal hubungan makna sesuatu yang diperbandingkan, pêpindhan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yakni yang menampilkan hubungan
makna secara eksplisit dan yang menampilkan hubungan makna secara implisit. Contoh keduanya adalah sebagai berikut.
3 Cahyané nglêntrih kaya rêmbulan karainan.
‘Raut mukanya pucat seperti bulan kesiangan.’ ‘Raut mukanya pucat pasi.’
4 Nétrané kadya mong.
‘Matanya seperti harimau.’ ‘Sorot matanya tajam.’
Pada tuturan 3 sifat persamaan antara tenor, yakni cahyané ‘raut mukanya’, dan wahana, rêmbulan karainan ‘bulan kesiangan’, dieksplisitkan
melalui kata nglêntrih ‘pucat’. Berbeda dengan tuturan 3, tuturan 4 hubungan makna persamaannya tidak eksplisit. Persamaan antara tenor: nétrané ‘matanya’
dan wahana: mong ‘harimau’ bersifat umum. Mitra tutur masih dapat bertanya: aspek apa dari nétrané ‘matanya’ yang sama dengan mata harimau, apakah
bentuknya, sorotnya, ataukah ketajamannya? Dalam hal ini maka perlu adanya analisis medan makna.
Pêpindhan juga memiliki “perilaku” yang bervariasi. Terdapat pêpindhan yang unsur-unsurnya dapat dipermutasikan dengan tanpa mengubah makna, akan
tetapi terdapat juga pêpindhan yang unsur-unsurnya tidak dapat dipermutasikan. Contohnya adalah sebagai berikut.
5 Abangé kaya godhong katirah. ‘Merahnya seperti daun katirah.’
6 Abang angatirah. ‘Merah seperti daun katirah.’
7 Kuning nêmu giring.
‘Kuning seperti temu giring’ Contoh 5 dan 6 sepintas menampakkan makna yang sama, akan tetapi ternyata
memiliki “perilaku” yang berbeda. Jika contoh 5 susunannya dapat dibalik menjadi 5.a, contoh 6 dan 7 tidak dapat dibalik menjadi 6a dan 7a.
5a Kaya godhong katirah abangé. ‘Seperti daun katirah merahnya.’
6a Angatirah abang. 7a Nêmu giring kuning.
Jika contoh 6 dan 7 dibalik urutannya, maka harus dalam bentuk 6b dan 7b berikut.
6b Angatirah abangé. 7b Nêmu giring kuningé.
Contoh-contoh 5, 6, 7 dengan transformasinya juga menunjukkan keharusan letak tenor dan wahana. Contoh 6 yang meletakkan tenor abang di depan dan
wahana angatirah di belakang, wahana tidak dapat langsung dipindah ke bagian depan seperti pada 6a tetapi harus dengan persyaratan, seperti 6b.
Pertanyaannya adalah mengapa bentuk 5 dapat langsung dibalik menjadi 5a tetapi 6 tidak bisa menjadi 6a. Persyaratan apa yang harus dipenuhi agar
6 dapat dibalik menjadi 6b? Gejala yang demikian tentu perlu dideskripsikan kaidahnya melalui penelitian. Hal-hal itulah yang menjadi alasan mengapa
penelitian ini memilih pêpindhan dan sanépa sebagai objek kajian. Pêpindhan banyak dijumpai dalam bahasa Jawa, terutama di dalam karya
sastra Jawa karena gaya persamaan ini biasanya dipahami sebagai unsur yang memudahkan orang memahami sesuatu Umar Junus, 1989: 85. Lebih dari itu,
sanépa adalah tuturan yang khas Jawa, tidak ada bahasa lain yang memiliki tuturan persamaan seperti sanépa.
Jika gaya bahasa berkaitan dengan retorika, maka harus dibedakan antara tata bahasa dan retorika, antara makna dan daya Leech, 1993: 365. Jika orang
mengatakan “Ayuné kaya Dèwi Wara Sumbadra” ‘Cantiknya seperti Dewi Wara Sumbadra’ jelas melukiskan suatu keindahan, kecantikan seorang gadis. Jadi ini
merupakan suatu pujian. Tidak demikian halnya dengan “Cêthilé kaya Cina craki”
‘Pelitnya seperti Cina penjual ramuan jamu’ yang bermakna cemoohan. Oleh karena itulah harus pula diteliti bagaimana daya pragmatik dari pêpindhan.
Penelitian ini akan mengkaji pêpindhan dan sanépa sebagai gaya bahasa secara khusus, dari segi struktur, semantik, dan daya pragmatiknya. Penelitian
yang terdahulu kebanyakan meneliti pêpindhan secara umum dalam kaitannya dengan gaya bahasa yang lain atau sebagai idiom dan peribahasa sehingga kurang
lengkap dan menyeluruh. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilaksanakan agar gaya bahasa tersebut dapat diungkapkan seluk-beluknya secara
komprehensif.
B. Rumusan Masalah