1. Teknik Kerja sama dengan informan
Teknik ini agak mirip dengan teknik wawancara tetapi memperlihatkan perbedaan-perbedaan tertentu. Seperti halnya teknik wawancara, teknik ini juga
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kebahasaan tertentu yang dapat dijawab oleh informan. Akan tetapi, berbeda dengan teknik wawancara, teknik ini bersifat
eksperimental. Kepada seorang informan sebagai pembicara asli dimintakan tanggapannya terhadap kalimat-kalimat yang berisi data tertentu yang mungkin
terdapat. Apakah kalimat berisi data tertentu yang diduga ada itu merupakan kalimat yang wajar, jelas maksudnya, dan terasa lumrah, atau janggal, tidak jelas,
atau barangkali ragu-ragu Edi Subroto, 1979: 37.
2. Teknik Pustaka atau Analisis Isi
Yang dimaksud dengan teknik pustaka adalah mempergunakan sumber- sumber tertulis untuk memperoleh data Edi Subroto, 1992: 42. Teknik pustaka
ini dapat juga disebut teknik mengkaji dokumen, yang oleh Yin disebut sebagai content analysis dalam Sutopo, 2002: 69-70. Yang dimaksud adalah peneliti
bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat.
D. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis struktur data digunakan metode agih dengan teknik dasar Teknik Bagi Unsur Langsung BUL disertai teknik lanjutan berupa teknik
balik, dan teknik perluas Sudaryanto, 2001: 31-40, 72-82, 55-63. Metode agih disebut juga sebagai metode distribusional. Metode distribusional ini menganalisis
sistem bahasa atau keseluruhan kaidah yang bersifat mengatur di dalam bahasa berdasarkan perilaku atau ciri-ciri khas kebahasaan satuan-satuan lingual tertentu
Edi Subroto, 1992: 64. Teknik Bagi Unsur Langsung BUL oleh Edi Subroto 1992: 67-70
disebut sebagai teknik UraiPilah Unsur Langsung. Yang dimaksud dengan teknik uraipilah unsur langsung ialah teknik memilah atau mengurai suatu konstruksi
tertentu atas unsur-unsur langsungnya. Unsur langsung ialah unsur yang secara langsung membentuk konstruksi yang lebih besar atau konstruksi yang dianalisis.
Penerapan teknik ini tampak misalnya dalam analisis struktur pêpindhan “ngêndika kados bèthèt séwu” dalam kalimat “Eyang Bêgawan Maruta, nadyan
paduka ngêndika kados bèthèt séwu saupaminipun, nanging pangwasaning nêgari Ngalêngka punika kula” dan “lakuné lir thathit” dalam kalimat “Lakuné
kang ngayahi dhawuh lir thathit” sebagai berikut. 21
Ngêndika kados bèthèt séwu
P Ket
Tenor penanda wahana
Morfem morfem
frasa Verba
preposisi frase nominal
22 Lakuné lir
thathit S
P Tenor
penanda wahana
Morfem morfem morfem
Nomina preposisi nomina
Analisis dengan teknik ini menunjukkan struktur pêpindhan ternyata menunjukkan berbagai variasi.
Teknik balik disebut juga teknik pembalikan urutan atau permutasi. Teknik permutasi ialah kemungkinannya unsur-unsur langsung dari sebuah satuan atau
konstruksi dibalikkan urutannya. Teknik itu bertujuan menguji tingkat keketatan relasi antarunsur langsung suatu konstruksi atau satuan lingual tertentu.
Barangkali suatu konstruksi tertentu memperlihatkan urutan antara unsur-unsur langsungnya secara tidak tertentu atau tidak dapat dibalikkan. Teknik ini penting
dalam rangka mengetahui apakah urutan merupakan kaidah yang bersifat wajib dalam suatu bahasa atau tidak Edi Subroto, 1992: 80-81. Contoh penerapan
teknik ini adalah sebagai berikut. Pêpindhan dalam kutipan 21 di atas tidak dapat dibalik menjadi 21a, sedangkan 22 dapat dibalik menjadi 22a.
21a Kados bèthèt séwu ngêndika 22a Lir thathit lakuné
Pêpindhan 22 dapat dipermutasikan menjadi 22a karena konstruksinya menunjukkan bahwa hubungan antara tenor dan wahana adalah hubungan S-P
sehingga permutasinya merupakan peristiwa inversi. Kutipan 21 tidak dapat dipermutasikan menjadi 21a karena konstruksi itu tidak menunjukkan hubungan
S-P melainkan P-Ket. Teknik perluas atau ekspansi ialah teknik memperluas satuan lingual
tertentu yang dikaji atau yang dibahas dengan “unsur” atau satuan lingual tertentu baik perluasan ke kiri atau ke kanan. Teknik ini memiliki beberapa
manfaat, yakni a sebagai teknik untuk mengetahui identitas satuan lingual tertentu, b untuk mengetahui seberapa jauh satuan lingual yang dikaji itu dapat
diperluas baik ke kiri maupun ke kanan, c untuk mengetahui unsur pemerluas yang bersifat mengakhiri atau menutup Edi Subroto, 1992: 76. Contoh
penerapannya seperti tampak dalam analisis terhadap pêpindhan “Kulité nêmu
giring”, ”polatanira surêm pindha rêmbulan kalingan méga” dalam kalimat “Apa ta sêbabé déné polatanira surêm pindha rêmbulan kalingan méga?”, dan sanépa
“dêdêgé dhuwur kêncur” berikut. 23
Kulité nêmu giring Pêpindhan ini hanya dapat diperluas pada bagian tenor. Perluasan pada
tenor tersebut ditentukan oleh fitur makna yang ada pada wahana yakni fitur warna dari têmu giring ‘tanaman dengan umbi akar berwarna kuning’. Oleh
karena itu 23 hanya dapat diperluas menjadi 23a bukan 23b, 23c, 23d atau pun 23e berikut ini.
23a Kulité kuning nêmu giring 23b Kulité abang nêmu giring
23c Kulité kasar nêmu giring 23d Kulité rada kuning nêmu giring
23e Kulité kuning bangêt nêmu giring Wahana pêpindhan ini tidak dapat diperluas karena hubungan antara tenor dan
wahana dapat disebut sebagai hubungan inti dan modifikator. Dalam hal ini tenor sebagai inti memiliki sifat yang umum dan wahana sebagai modifikator memiliki
sifat khusus. Oleh karena sifatnya yang khusus itulah maka wahana tidak dapat diperluas, maka 23f, 23g, dan 23h tidak berterima.
23f Kulité nêmu giring bosok 23g Kulité rada nêmu giring
23h Kulité nêmu giring bangêt 24
Polatanira surêm pindha rêmbulan kalingan méga
dapat diperluas baik pada bagian tenor maupun pada wahana. Tenor yang berbentuk klausa dapat diperluas dengan disisipi satuan lingual 24a maupun
dengan perluasan ke kanan 24b. Satuan lingual yang disisipkan hanya memberi keterangan pada unsur polatanira, unsur perluasan di sebelah kanan klausa hanya
dalam bentuk superlatif dan tidak bisa dalam bentuk 24c. 24a Polatanira sing ayu surêm pindha rêmbulan kalingan méga
24b Polatanira surêm bangêt pindha rêmbulan kalingan méga 24c Polatanira rada surêm pindha rêmbulan kalingan méga
Wahana hanya dapat diperluas dengan penanda penegas seperti pada 24d dan 24e berikut.
24d Polatanira surêm pindha rêmbulan kang kalingan méga 24e Polatanira surêm pindha rêmbulan kang lagya kalingan méga
25 Dêdêgé dhuwur kêncur Sanépa 25 ini hanya dapat diperluas pada bagian tenor dengan atribut yang
bermakna khusus dan berfungsi sebagai modifikator 25a dan 25b, tidak dapat dengan atribut yang bermakna umum 25c. Wahananya tidak dapat diperluas
karena sudah bermakna khusus, sehingga 25d dan 26e tidak berterima. 25a Dêdêgé Adi dhuwur kêncur
25b Dêdêgé bocah kuwi dhuwur kêncur 25c Dêdêgé bocah-bocah dhuwur kêncur
25d Dêdêgé rada dhuwur kêncur 25e Dêdêgé dhuwur kêncur bangêt
Untuk menganalisis daya pragmatik digunakan pendekatan kontekstual, khususnya berpijak pada konsep komponen tutur yang dikembangkan oleh
Poedjosoedarmo Kunjana Rahardi, 2001: 35-50. Pendekatan kontekstual dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan
bahasa, atau kajian bahasa dalam perspektif fungsional. Artinya kajian pragmatik mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-
pengaruh dan sebab-sebab non linguistik. Daya pragmatik berkaitan dengan retorika, oleh karena itu juga berkaitan
dengan warna emosi penutur, pilihan kata, nada suasana bicara, dan konteks tuturan untuk menyampaikan maksud penutur. Pêpindhan “nêgar kaya dioyak
sétan” dalam konteks kalimat “Bus sing ditumpaki têrus nêgar kaya dioyak sétan” menampilkan nada negatif sehingga daya pragmatiknya merupakan
kritikan atau cemoohan. Berbeda dengan itu, pêpindhan “kusêm kaya kêmbang kang lagi alum” dalam konteks kalimat “Dhuh adhiku dhi wong ayu, yagéné
sariramu malih kuru aking, pasuryanmu kusêm kaya kêmbang kang lagi alum?” bukanlah cemoohan, akan tetapi mengasihi. Jadi daya pragmatik yang akan
diungkapkan adalah maksud penutur didasarkan atas daya isi dan konteks tuturannya.
E. Kodifikasi Data