BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keanekaragaman jenis pohon yang tinggi. Hasil hutan berupa kayu merupakan
komoditas utama yang dihasilkan dari hutan, akibatnya penebangan hutan secara liar terjadi di berbagai tempat dengan tidak memperhatikan kerugian dan
kerusakan yang ditimbulkan, terutama merosotnya kualitas lingkungan. Selain kayu, hutan juga menghasilkan komoditas hasil hutan bukan kayu HHBK yang
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Salah satunya adalah tanaman penghasil gaharu yang banyak dihasilkan dari genus Aquilaria. Gaharu bernilai ekonomi
tinggi karena digunakan sebagai bahan baku minyak wangi, parfum, kosmetik, obat-obatan, dupa dan sebagai pencegah dan penghilang stress. Pohon penghasil
gaharu adalah salah satu jenis tanaman berkayu yang memiliki kandungan damar wangi yang berasal dari infeksi mikroorganisme terjadi secara alami maupun
buatan sering ditemukan di bagian dalam batang utama pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria.
Di Indonesia telah diketahui ada 16 jenis pohon penghasil gaharu yang berasal dari 3 famili yaitu Thymeleaceae, Leguminoceae dan Euphorbiaceae,
dengan 8 genus yaitu Aquilaria sp.,Grynops sp., Excocaria sp., Gonistylus sp., Aetoxylon
sp., Enkleia sp., Wiekstromia sp. danDalbergia sp. Pohon dari marga Aquilaria
menghasilkan gaharu yang memiliki mutu sangatbaik dan lebih tinggi nilai perdagangannya daripada gaharu yang dihasilkan oleh pohon darimarga
lainnya. Meningkatnya kebetuhan gaharu dari tahun ke tahun dan tingginya harga
jual, menyebabkan intensitas pemungutan liar yang berasal dari hutan alam semakin tinggi dan tidak terkendali, khususnya terhadap jenis gaharu berkualitas
tinggi. Menurut Sumarna 2002, tanaman gaharu A. malaccensis yang ada di Indonesia termasuk spesies tanaman yang mulai langka, hal ini terjadi akibat
perburuan liar yang tidak terkendali dan tidak mengindahkan faktor-faktor kelestariannya. Kurangnya pengetahuan dalam membedakan pohon berisi dan
tidak berisi gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon secara spekulatif. Apabila pada akhirnya pohon tersebut tidak mengandung gaharu
setelah dikupas dan dicacah, maka pohon tersebut ditinggalkan begitu saja. Cara perburuan tersebut terus berlangsung sehingga populasi tumbuhan A. malaccensis
berada di ambang kelangkaan. Sehingga pada tahun 1994 organisasi dunia CITES Convention on International Trade in EndangeredSpecies of Wild Fauna and
Flora IX di Florida, mencantumkan tanaman gaharu A. malaccensisdalam
Appendix II karena berstatus sebagai plasma nutfah yang terancam punah Barden
et al., 2000. Menindaklanjuti hal tersebut, Departemen Kehutanan melalui Balai
Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA membatasi penjualan gaharu alam bukan budidaya di dalam maupun luar negeri.
Perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari kepunahan di alam, yaitu dengan melakukan teknik budidaya baik secara generatif maupun vegetatif
sebagai salahsatu upaya konservasi eksitu. Salah satu teknik budidaya vegetatif yaitu dengan menggunakanteknik kultur jaringan, sehingga dengan teknik ini
dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yangbanyak dan waktu yang relatif singkat untuk mendukung kegiatan konservasi pohon penghasil gaharu.
Beberapa spesies asli telah berhasil dikoleksi, top soil telah diselamatkan berikutnya adalah perbanyakan spesies. Upaya yang telah dilakukan berupa
pembuatan nursery skala besar dan perbanyakan secara in vitro dalam laboratorium. Perbanyakan secara in vitro tepat diterapkan karena memiliki
beberapa keunggulan, yaitu tanaman yang dihasilkan seragam, tidak membutuhkan ruangan luas, produksi cepat dan tanaman bebas penyakit.
Daun sebagai bagian terbanyak dari suatu tanaman masih jarang digunakan dalam perbanyakan secara in vitro. Proses induksi jika menggunakan daun kurang
populer dibandingkan induksi menggunakan bagian tanaman seperti tunas karena panjangnya proses yang harus sebelum tahap aklimatisasi. Daun dalam kultur
jaringan arah penggunaannya untuk menghasilkan kalus dan embriosomatik. Kalus dan embrisomatik arah pengembangan berikutnya masih sangat luas.
Beberapa tujuan yang bisa dicapai menurut Santoso dan Nursandi 2001, antara lain dapat menjamin kesinambungan kerja kultur, dapat menjadi sarana bank
plasma nutfah yang efisien dan dapat digunakan untuk tujuan memproduksi senyawa metabolit sekunder.
1.2 Tujuan