plasma nutfah yang efisien dan dapat digunakan untuk tujuan memproduksi senyawa metabolit sekunder.
1.2 Tujuan
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperbanyak ketersedian kalus gaharu dengan sifat genetik yang sama dengan induknya dalam jumlah
banyak dan waktu yang relatif singkat. Sedangakan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan dan konsentrasi ZPT BAP
dan TDZ yang optimum dalam multiplikasi kalus daun tanaman penghasil gaharu dari A. malaccensis dalam media semi padat Murashige dan Skoog MS.
1.3 Hipotesa
Hipotesa dalam penelitian ini adalah penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin BAP, TDZ dan kombinasinya dengan tingkat konsentrasi yang berbeda,
berpengaruh terhadap pertumbuhan eksplan daun A. malaccensis.
1.4 Manfaat
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efisiensi dan efektifitas penggunaan ZPT dalam praktik komersial kultur jaringan
khususnya kultur jaringan tanaman penghasil gaharu A. malaccensisdengan asal eksplan daun.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Penghasil Gaharu - Aquilaria malaccensis Lamk.
A. malaccensis
adalah salah satu dari 15 sub-spesies di marga Aquilaria, famili Thymelaeaceae. Pohon yang hijau sepanjang tahun yang dapat tumbuh
hingga 40 m dengan diameter 1,5 – 2,5 m, sering ditemukan di habitat hutan campuran antara ketinggian tempat 0 – 1.000 meter di atas permukaan laut mdpl.
Spesies ini memiliki sebaran luas, ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura dan Thailand.
Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai
reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen, melalui pelukaan batang, cabang atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan
keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman,
bagian ini menjadi berat dan berbau wangi Hou, 1960 dalam Azwin, 2007. Patogen yang biasa dijumpai menginfeksi pohon gaharu adalah jenis
mikroorganisme seperti cendawan yang telah diketahui sebagai pembentuk gaharu ialah Fusarium sp., Phytium sp., Lasiodiplodia sp., Libertela sp., Trichoderma sp.,
Syctalidium sp. dan Thielaviopsos sp. Sumarna, 2002.
2.1.1 Sejarah kehidupan dan bioekologi
SpesiesAquilaria telah beradaptasi untuk bertahan hidup di berbagai tipe habitat, seperti habitat berbatu, berpasir atau berkapur, lereng, punggung bukit dan
dekat rawa. Tumbuh pada ketinggian tempat 0 – 850 mdpl, dan dapat juga tumbuh pada ketinggian tempat 1.000 mdpl dengan suhu rata-rata harian 20 - 22˚C Ding
Hou, 1960; Afifi, 1995; Keller dan Sidiyasa, 1994; Wiridinata, 1995. Menurut Sumarna 2002 umumnya gaharu berkualitas baik tumbuh pada daerah yang
beriklim panas dengan suhu 28-34˚C, kelembaban 60-80 dan curah hujan 1.000- 2.000 mmtahun.
A. malacccensis mulai berbunga dan memproduksi buah pada umur 7 -9
tahun di barat laut India, dan pohon berukuran sedang pernah dilaporkan memproduksi buah berkisar 1,5 kg selama musim berbuah. Merupakan spesies
toleran ketika muda dan mungkin akan beregenerasi pohon induk Beniwal, 1960. Riap rata-rata di hutan alami di Malaysia cukup rendah, yaitu berkisar 0,33
cmtahun, tapi spesimen cepat tumbuh pernah dilaporkan tumbuh hingga 0,8-1 cmtahun. La Frankie, 1994 dalam Barden et al., 2000. Viabilitas benih berkisar
1 minggu dan germinasi terjadi antara 16 hingga 63 hari Ng, 1992
2.1.2 Taksonomi
Dalam klasifikasi tumbuhan, gaharu A. malaccensis termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo Thymelaeles,
famili Thymeliaceae, genus Aquilaria dan spesies A. malaccensis Lamk. Ponirin, 1997. Menurut Sumarna, 2002 di Indonesia ada 8 genus dan 16 spesies tanaman
penghasil gaharu antara lain adalah genus Aquilaria sp, Aetoxylon, Enkleia
,Gonystylus sp, Wikstroemia sp, Grynops, Dalbergia dan Excocaria. Genus Aquilaria memiliki 6 spesies A. beccariana, A. cumingiana, A. filaria, A.
hirta, A. malaccensis dan A. microcarpa Soehartono, 1997 dalam Barden et
al., 2000. Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama yang
berbeda-beda seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng dan terentak. Dalam perdagangan dunia gaharu ini dikenal dengan nama aqarwood, aloewood
dan eaglewood Sumarna, 2002 dalam Azwin, 2007.
2.1.3 Morfologi
Ding Hou 1960 mencatat bahwa pohon A. malaccensis
tumbuh hingga tingginya mencapai 40 m dengan diameter batang utama 60 cm.
Kulit batang licin, berwarna putih atau keputih- putihan, kadang-kadang beralur. Bentuk
daunnya lonjong agak memanjang, dengan ukuran 5-8 cm, lebar 3-4 cm, berujung runcing
dan berwarna hijau mengkilap Sumarna, 2002. Menurut Ponirin 1997, daun yang kering
biasanya berwarna abu-abu kehijauan, tepi daun Gambar 1. Aquilaria malaccensis.
agak bergelombang, melengkung dan kedua permukaannya licin serta mengkilap, tulang daun sekunder 12-16 pasang. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak
atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar sekitar 3 cm, biji bulat atau
bulat telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna kemerahan Sumarna, 2002.
2.1.4 Distribusi dan status konservasi
A. malaccensis tersebar luas di Asia Selatan dan Tenggara. Oldfield et al.
1998 dalam Barden et al. 2000 menyebutkan spesies ini ditemukan di 10 negara, antara lain Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Iran, Malaysia,
Myanmar, Philippines, Singapore dan Thailand. Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di kawasan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Papua, Nusa Tenggara dan Jawa. Azwin, 2007 A. malaccensis
termasuk dalam The World List of Threatened Tress Oldfield et al., 1998. IUCN Red List tahun 2002 mengelompokan spesies ini ke
dalam kelompok vulnerable rawanVU A1cd berdasarkan laju pengurangan populasi kurang dari 20 selama lebih dari tiga generasi disebabkan oleh
eksploitasi aktual atau potensial, seiring dengan penurunan di lokasi asalnya. Tingkat keberadaan danatau kualitas habitat Hilton-Taylor, 2002. Klasifikasi ini
berdasarkan pendekatan yang dirumuskan pada 1994. Tekanan akibat pemanenan besar-besaran terjadi di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand
sehingga spesies dimasukkan dalam Appendix II pada tahun 1994.
2.1.5 Manfaat gubal gaharu dan kandungan
Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk bahan baku yaitu kayu bulatan, cacahan, bubuk atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang
dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai masyarakat Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea dan Jepang. Menurut
Chakrabarty et al. 1994 dalam Barden et al. 2000 gubal gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian, penghilang rasa sakit, asma, reumatik, tonik saat hamil
setelah melahirkan. Menurut Barden et al. 2000, gubal gaharu juga dimanfaatkan sebagai pelengkap dalam acara ritual keagamaan pada masyarakat
khususnya di kawasan Asia dan Timur Tengah dalam bentuk dupa, hio atau kemenyan.
Wangi dari gubal gaharu terjadi karena terdapat senyawa kimia aromatik dan minyak atsiri. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa
sequiterpenoida, eudesmana dan valencana. Hasil analisis kimia memberikan
informasi gaharu memiliki 6 komponen utama berupa furanoid sesquiterpene diantaranya a-agarofuran, b-agarofuran dan agarospirol. A. malaccensis asal
Kalimantan ditemukan komponen pokok minyak gaharu berupa chromone yang menyebabkan bau harum bila dibakar Sumarna, 2002.
2.2 Kultur In Vitro
2.2.1 Teknik kultur in vitro
Kultur in vitro
merupakan suatu metode untuk mengisolasi mengambil bagian tanman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, dan
menumbuhkannya secara aseptis bebas kontaminasi menjadi tanaman yang utuh plantet Gamborg 1982; Nugroho dan Sugito 2002. Teknik kultur in vitro sering
disebut teknik kultur jaringan. Sandra dan Karyaningsih 2000 menambahkan bahwa dasar pengembangan kultur in vitro berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Schleiden dan Schwan yaitu sel tumbuhan yang mempunyai kemampuan otonom totipotensi, yang merupakan potensi suatu sel untuk dapat tumbuh
menjadi tanaman lengkap dan dewasa karena tiap sel mengandung rangkaian gen yang lengkap.
Gunawan 1995 menyatakan bahwa teknik kultur in vitro memiliki beberapa tahapan yaitu : persiapan media, isolasi bahan tanaman eksplan,
sterilisasi eksplan, inokulasi, pertumbuhan, aklimatisasi dan usaha memindahkan tanaman hasil kultur lapangan. Teknologi ini menuntut syarat tertentu yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan kultur jaringan adalah tersedianya fasilitas laboratorium yang menyediakan alat-alat kerja dan sarana
produksi hingga terciptanya kondisi aseptik yang terkendali serta diperlukan pula keterampilan dan latar belakang keilmuan bagi pelaksanaannya.
Gunawan 1995 menyatakan, suatu metode regenerasi belum tentu dapat diterapkan pada semua jenis tanaman terutama jenis-jenis tanaman tropika. Oleh
karena itu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah percobaan regenerasi tanaman. Untuk memperolah hasil perlu dilakukan adalah percobaan regenerasi
tanaman. Untuk memperoleh hasil perlu dilakukan percobaan pendahuluan. Percobaan pendahuluan menjadi latar belakang pendekatan yang sistematis
terhadap permasalahan yang timbul.
2.2.2 Manfaat kultur in vitro
Kegunaan utama dari kultur in vitro adalah untuk mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak, dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat
fisiologi dan morfologi yang sama dengan induknya. Teknik tersebut juga mampu menghasilkan tanaman baru yang bersifat unggul Hendaryono Wijayani 1994
Budiatmoko 1998, juga menyatakan bahwa kelebihan penggunaan teknik kultur in vitro untuk pembudidayaan tanaman yaitu: 1 membantu usaha
pemuliaan pohon, 2 menghasilkan tanaman bebas penyakit, 3 tidak tergantung iklim dan musim serta tidak membutuhkan lahan yang luas karena dilakukan di
laboratorium, 4 mempunyai tingkat laju perbanyakan yang tinggi dalam waktu yang singkat, 5 menghemat bahan baku karena hanya bagian kecil tanaman yang
digunakan dan 6 merupakan sarana untuk mendapatkan produk sekunder tanaman misalnya metabolit sekunder dengan cepat dalam jumlah yang cukup
besar.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kultur in vitro
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan teknik kultur in vitro antara lain : eksplan, media kultur jaringan, zat pengatur tumbuh yang
digunakan dan lingkungan tumbuh.
A. Eksplan
Eksplan merupakan potongan yang diisolasi dari tanaman yang dipergunakan untuk inisisasi suatu kultur in vitro. Eksplan yang baik memiliki
syarat daya regenerasi yang tinggi, lebih baik merupakan bahan tanaman yang tertutup seperti pucuk dan meristem, sehat dan tidak mengandung bibit penyakit
Sandra Karyaningsih 2000. Menurut Gamborg dan Shyluk 1981 hampir semua bagian jaringan tanaman dapat dijadikan sebagai eksplan. Organ yang biasa
digunakan sebagai eksplan antara lain tunas pucuk, tunas ketiak aksilar, akar, mata tunas, daun dan embrio. Tingkat keberhasilan dari jenis organ yang
digunakan tidak akan sama untuk setiap jenis tanaman.
B. Media kultur
in vitro
Gunawan 1995 mengatakan faktor penentu di dalam media tumbuh adalah komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh dan bentuk fisik media.
Komposisi garam anorganik telah dikembangkan oleh beberapa ahli. Ada yang tinggi konsentrasinya garamnya, ada yang sedang dan ada yang rendah.
Komposisi media tersebut pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara lain : medium dasar Murashige dan Skoog MS, medium
dasar Knop, medium dasar Nitsch dan Nitsch, medium dasar B5 atau Gamborg, medium dasar White, medium dasar Vacin Went VW, medium dasar N6,
medium dasar Heller, medium dasar Woody Plant Medium WPM, medium dasar Knudson C, medium dasar Schenk dan Hildebrant, medium dasar Gresshof
dan Day dan medium dasar Anderson. Komposisi garam dalam medium dasar Murashige dan Skoog MS
merupakan media yang paling umum digunakan khususnya untuk morfogenesis, kultur meristem, dan regenerasi tanaman Gamborg dan Shyluk 1981. Medium
ini digunakan untuk hampir semua macam tanaman. Media ini punya konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO
3 -
dan NH
4 +
. medium dasar Woody Plant Medium WPM dan Anderson digunakan untuk
menanam tanaman dari eksplan yang keras, umumnya digunakan untuk tanaman berkayu Hendaryono dan Wijayani, 1994.
C. Zat Pengatur Tumbuh ZPT
Zat pengatur tumbuh tanaman mencakup zat-zat endogen maupun zat-zat eksogen sintetik yang dapat mengubah pertumbuhan tanaman. Zat pengatur
tumbuh tanaman yang dihasilkan oleh tanaman zat endogen disebut fitohormon, sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh Wattimena, 1988.
Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi,
urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu Gunawan, 1995. Pertumbuhan dan morfologis tanaman secara in vitro juga dikendalikan
oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan fitohormon.
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang biasanya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit dan dapat merangsang, menghambat atau mengubah
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ Gunawan,
1987
D. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur in vitro antara lain derajat keasaman pH, kelembaban, cahaya dan temperatur
Gunawan 1995. Faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan differensiasi.
Kelembaban relatif RH lingkungan yang dibutuhkan biasanya mendekati 100. RH di sekitar kultur akan mempengaruhi pola perkembangan Gunawan,
1995. Bila kelembaban ruangan rendah, penguapan air dari media kultur akan terlalu besar. Dalam hal ini kelembaban perlu dinaikkkan. Sebaliknya apabila
kelembaban udara kultur tinggi, akan menyebabkan pertumbuhan mikroba di luar wadah kultur Wetherell, 1982.
2.3 Karakteristik BAPdan TDZ
BAP dan TDZ merupakan zat pengatur tumbuh yang masuk dalam katagori sitokinin, dengan tujuan pemakaian untuk memacu pertumbuhan tunas dan kalus.
BAP dan TDZ adalah senyawa kimia dengan ikatan kompleks.
2.3.1 BAP Benzylaminopurin
BAP Benzylaminopurin merupakan zat pengatur tumbuh yang tergolong
kedalam sitokinin sintetik yang penggunaannya dipengaruhi oleh ZPT
lainnya. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam tanaman. Aktivitas utama sitokinin adalah sitokinesis
atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat pengatur tumbuh ke dalam sitokinin Wattimena 1988.
Gambar 2 Struktur kimia BAP.
Berbeda dengan auksin dan giberelin, sitokinin hanya sedikit yang di translokasikan melalui jaringan hidup tanaman. Sitokinin dibawa secara pasif
sepanjang aliran transpirasi pada xilem dari akar yang merupakan sumber utama menuju bagian-bagian lain dari tanaman Krishnamoorty 1981 dalam Hartini
1996. Salah satu jenis hormon dari kelompok sitokinin yang paling banyak
digunakan adalah BAP. Hal ini karena BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin. BAP biasanya digunakan untuk induksi kalus
tapi yang terpenting adalah BAP dapat menginduksi pembentukan tunas, pucuk atau kecambah Bonga dan Durzan, 1982.
Kockankov et al
. 1989 dalam Hartini 1996 menyatakan BAP dapat menginduksi terjadinya transisi tunas generatif pada tanaman Rudbeckia bicolor.
Selain itu, BAP juga efisien dalam mendorong inisiasi tunas bunga tapi tidak mempengaruhi perkembangan tanaman selanjutnya. Total kandungan sitokinin
meningkat pada lapisan xilem pada 30 hari sebelum pembentukan bungan mencapai maksimum selama pembentukan tunas bunga dan mencapai maksimum
selama pembentukan tunas bunga serta saat mekar penuh. Penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan waktu yang lama seringkali
menyebabkan regenerant sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Hal ini jelas terlihat pada kultur pucuk Asparagus officinalis
Wattimena 1998.
2.3.2 TDZ Thidiazuron
Thidiazuron juga masuk dalam kelompok ZPT sitokinin sintetik sama seperti BAP. Menurut
Tefera dan Wannakrairoj 1897 dalam Kusmianto 2008, TDZ dapat berperan dalam menstimulasi
produksi sitokinin endogen. Kende dan Zaavaart 1997 dalam Kusmianto 2008 lebih lanjut
menjelaskan bahwa TDZ juga memiliki peran sebagai inhibitor sitokinin oksidase yang merupakan enzim menghilangkan keaktifan sitokinin tipe adenin bebas.
Gambar 3 Struktur kimia TDZ.
Oleh karena itu TDZ dapat meningkatkan kerja sitokinin lain, baik sitokinin eksogen ataupun sitokinin endogen.
Thidiazuron merupakan salah satu sitokinin tipe phenylurea sintetik yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menginduksi tunas, di antara sitokinin lain
seperti zeatin, benzylaminopurin dan kinetin Mok dan Mok 2001; Kou et al. dalam
Kusmianto, 2008.
2.4 Fungsi Unsur dalam Media Tanam
Menurut Sutarno Maeso 1989 dalam Hendaryono dan Wijayani 1994, kegunaan setiap unsur-unsur yang akan digunakan dalam medium kultur in vitro
adalah sebagai berikut :
Unsur Nitrogen N , kegunaan N bagi tanaman adalah untuk menyuburkan
tanaman sebab unsur N dapat membentuk protein, lemak dan berbagai senyawa organik yang lain. Unsur N dipergunakan terutama untuk
pertumbuhan vegetatif tanaman. Selain itu unsur ini juga berperan dalam pembentukan hijau daun yang berguna untuk melaksanakan proses
fotosintesis yang selanjutnya akan menghasilkan karbohidrat.
Unsur Fosfor P
, unsur ini terutama dibutuhkan untuk pembentukan karbohidrat. Unsur ini dibutuhkan besar-besaran pada waktu pertumbuhan benih,
pembuangan, pemasakan biji.
Unsur Kalium K , berfungsi untuk memperkuat tubuh tanaman karena unsur ini
dapat menguatkan serabut-serabut akar sehingga daun, bunga dan buah tidak mudah gugur. Selain itu juga berfungsi memperlancar metabolisme dan
mempengaruhi penyerapan makanan.
Unsur KalsiumCa , unsur ini terdapat pada batang dan daun tanaman. Unsur ini
juga bertugas merangsang pembentukan bulu-bulu akar, merangsang batang dan merangsang biji karena unsur Ca bersama dengan Mg akan
memproduksi cadangan makanan.
Unsur MagnesiumMg , penambahan unsur ini maka kandungan fosfat dalam
tanaman dapat meningkat. Kegunaan dari fosfat sendiri adalah sebagai bahan mentah untuk pembentukan sejumlah protein. Terbentuknya sejumlah
protein menyebabkan pertumbuhan daun menjadi hijau sempurna dan terbentuk karbohidrat, lemak serta minyak-minyak.
Unsur Besi Fe
, unsur Fe dibutuhkan sedikit lebih banyak daripada unsur mikro lainnya. Pemberian unsur Fe berfungsi sebagai penyangga chelatin agent
yang sangat penting untuk menyangga kestabilan pH media selama digunakan untuk menumbuhkan jaringan tanaman. Pada tanaman unsur Fe
berfungsi untuk pernafasan dan pembentukan hijau daun.
Unsur Sukrosa, Glukosa dan Fruktosa , Sukrosa dalam medium kultur in vitro
berfungsi sebagai sumber energi yang diperlukan untuk induksi kalus. Sukrosa 2-5 merupakan sumber karbon. Unsur glukosa dan fruktosa dapat
digunakan untuk mengganti sukrosa karena dapat merangsang pertumbuhan beberapa jaringan. Pemilihan gula dan konsentrasi yang akan digunakan
tergantung dari jaringan tumbuhan yang akan dikulturkan dan tujuan yang ingin dicapai.
Unsur Mio-inositol , penambahan mio-inositol pada medium bertujuan untuk
membantu differensiasi dan pertumbuhan sejumlah jaringan. Bila mio- inositol diberikan bersama denga auksin, kinetin dan vitamin maka dapat
mendorong pertumbuhan jaringan kalus.
Unsur Vitamin , vitamin-vitamin yang sering digunakan dalam media kultur in
vitro antara lain adalah Thiamin vit. B1, Pirodiksin vit. B6 dan asam nikotinat. Vitamin-vitamin ini umumnya terdapat dalam tanaman. Thiamin
adalah vitamin yang esensial untuk semua kultur in vitro tumbuhan. Fungsinya adalah untuk mempercepat pembelahan sel pada meristem akar
juga berperan sebagai koenzim dalam reaksi yang menghasilkan energi dari karbohidrat dan memindahkan energi. Asam nikotinat juga penting dalam
reaksi-reaksi enzimatik selain sebagai penggerak dari beberapa alkaloid.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan