Cocodiesel dari Bondowoso Prosiding konferensi nasional inovasi dan technopreneurship
Bogor, 18-19 Februari 2013
ISSN 2337-4969 359
SUBTEMA 1 PENDIDIKAN TECHNOPRENEURSHIP: INTEGRASI DALAM MATA KULIAH
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini setiap orang dan bangsa dituntut untuk mempertajam keunggulannya secara inovatif dan
proaktif guna meningkatkan kemandirian dan daya saing. Hal ini melatarbelakangi kebijakan pendidikan tinggi yang mengharuskan
perguruan tinggi untuk selalu berupaya meningkatkan kemandirian dan dayasaing bangsa. Berbagai perguruan tinggi berupaya
mengarahkan sistem pendidikannya menjadi lebih berorientasi kepada
technopreneurship, yaitu
entrepreneurship yang
memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan knowledge. Dengan demikian ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan dan
dikembangkan di Perguruan Tinggi lebih bersifat inovatif dan kreatif, aplikatif dan memiliki keunggulan kompetitif.
Meskipun masih terdapat variasi dalam definisi, tetapi terdapat beberapa kesamaan ciri dalam merumuskan tujuan pendidikan
technopreneurship, yaitu bahwa sarjana technopreneur yang dihasilkan diharapkan mampu menjalankan dan sekaligus memiliki
usaha di bidang yang dikuasai knowledge-base atau technology-based entrepeneurship, atau sebagai staf profesional yang berproduktivitas
tinggi. Disamping untuk menguasi bidang ilmunya hard skill sebagai dasar entrepreneurship, lulusan diharapkan memiliki berbagai
karakter baik technopreneur soft skill, seperti memiliki moral, etika dan profesionalisme yang tinggi; tanggung jawab sosial dan kesadaran
lingkungan; serta memilik sikap mental entrepreneur seperti kreatif, inovatif, inisiatif, motivasi tinggi, disiplin, komitmen, orientasi
manfaat, dan peka terhadap peluang bisnis. Karakter dan sikap tersebut perlu terus dikembangkan dalam rangka mendidik dan
menciptakan inovator dan technopreneur dari perguruan tinggi. Untuk mengembangkan karakter tersebut dapat diupayakan melalui
kegiatan perkuliahan, training, stadium generale atau magang industri yang dirancancang secara khusus untuk mengembangkan karakter
tersebut.
Berbagai hasil kajian, konsep, desain dan studi kasus penerapan pendidikan technopreneurship dipresentasikan dan didiskusikan
dalam konferensi ini. Berbagai bidang telah dicoba dijadikan basis technopreneurship, seperti teknologi tepat guna, teknologi
agroindustri, industri kreatif, educational games, kearifan lokal, dan sebagainya. Konsep pengembangan pendidikan technopreneurship
telah dirancang melalui berbagai pendekatan, misalnya melalui modifikasi
kurikulum, pengembangan
metode pembelajaran
misalnya student
centered learningSCL,
Problem based
learningPBL, pembelajaran berbasis sumberdayaPBA, design
360 ISSN 2337-4969
thinking, educational games, maupun kegiatan-kegiatan ko- dan ekstra kurikuler yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan
kemampuan technopreneurship mahasiswa. Bahkan ada pemikiran untuk mendirikan sekolah khusus program vokasi untuk pendidikan
teknopreneurship secara khusus. Sebagian dari implementasi tersebut telah menunjukkan hasil positif, sebagian lagi masih belum
menunjukkan hasil, dan masih memerlukan pengembangan lebih lanjut.
Kendala-kendala yang sering ditemui dalam implementasi pendidikan technopreneurship antara lain terkait dengan dosen kuantitas,
kualifikasi, motivasi, mahasiswa latar belakang, kemampuan, minat, bakat, fasilitasalat kelengkapan, kebanyakan skala lab. Mindset
atau orientasi sebagian mahasiswa masih pada IPK tinnggi, lulus tepat waktu, dan kalau lulus nanti cenderung sebagai job seeker bekerja
sebagai karyawanprofesional. Dalam penyelenggaraan perkuliahan selama ini, sistem penilaian assessment belum mempu memberi
umpan balik feed back untuk perbaikan bagi mahasiswa. Penguasaan basis teknologi dan knowledge yang merupkan komponen
hard skill dalam technopreneurship masih perlu ditingkatkan. Faktor- faktor berikut ini juga belum sepenuhnya mendukung pengembangan
pendidikan teknopereneurship: dukungan riset masih lemah, fokus pada produk atau teknologi masih kurang, dan dukungan pemerintah
masih bersifat tidak terintegrasi dan berkesinambungan.
Beberapa strategi pengembangan pendidikan technopreneurship disarankan, mencakup dukungan lebih besar dan sistematik dari
pemerintah dan dunia usaha misalnya asosiasi pengusaha, BUMN dalam pengembangan technopreneurship, penguatan sistem
pendidikan technopreneurship, penyediaan infrastruktur dan fasilitas misalnya pendirian atau penguatan pusat-pusat inovasi dan
technopark di Perguruan Tinggi. Kegiatan yang sifatnya fasilitasi technopreneurship mahasiswa perlu dirancang secara khusus,
misalnya mentoring bisnis, inkubasi, pembiayaan dan kapital ventura, dan pemasaran produk. Motivasi yang diberikan kepada mahasiswa
calon technopreneur hendaknya tidak hanya fokus pada keuntungan finansial keuntungan berupa uang, tetapi perlu lebih pada manfaat
perankontribusi nyata pada masyarakat society, nilai value atau manfaat benefits lain sosial, lingkungan dengan parameter-
parameter yang jelas dan terukur. Keuntungan finansial uang merupakan konsekuensi.
Berbagai program pendidikan technopreneurship telah atau sedang diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi. Monitoring dan
evaluasi internal perlu dilakukan dengan indikator-indikator keberhasilan proses pendidikan technopreneruship, mencakup
indikator input, proses, output dan outcomes. Indikator keberhasilan tersebut antara lain adalah jumlah teknologi dan produk inovatif yang
dikembangkan dan diimplementasikan dalam bisnisindustri, dan jumlah lulusan yang bekerja sebagai job creator. Hasil evaluasi