Warga belajar juga berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara SUKMA, sebagai bukti bahwa mereka telah melek aksara.
Laporan akhir penyusunan data buta aksara oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Kemeneg PP tahun 2005 menyatakan, terdapat beberapa
kendala yang mempengaruhi penerimaan warga belajar terhadap ketiga pelaksanaan tersebut. Kendala penerimaan warga belajar atas program lanjutan KF antara lain
rendahnya motivasi masyarakat, kesibukan pada pekerjaan domestik atau publik, dan masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan dikriminasi
perempuan dalam pendidikan Meneg PP 2005.
2.1.3.1 Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan Program KF
Selama ini, pemerintah melakukan evaluasi terhadap program KF dan menyebutkan bahwa program KF dinilai berhasil dalam mengurangi jumlah buta huruf
perempuan sesuai dengan tujuan program. Hal ini terlihat dari data BPS mengenai angka buta aksara yang tiap tahunnya menurun, namun data tersebut tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan. Strategi dan metode pembelajaran yang dipakai dalam program KF tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga hasilnya bersifat
sementara dan kurang memberdayakan warga belajar. Program KF yang tidak berhasil mengentaskan buta aksara dan bersifat
sementara, seperti halnya penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Sukadamai dan kampung Cibago. Penelitian di Kelurahan Sukadamai menyatakan keberhasilan
program KF berdasarkan hasil tes kemampuan keaksaraan pada warga belajar KF gagal dalam mempertahankan kelanggengan kemampuan warga belajar, karena hanya
terdapat 17,1 persen warga yang kemampuan keaksaraan tinggi atau hanya enam orang yang mampu membaca dan menulis. Kebanyakan responden telah kembali buta aksara
atau sudah lupa pada pelajarannya, selain itu mereka memang belum sepenuhnya melek aksara Sulton 2008. Begitu pula yang terjadi di Kampung Cibago, orang yang pernah
mengikuti program keaksaraan dasar, setelah beberapa waktu, kembali menjadi orang yang buta aksara Kusmiadi 2007. Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal
PNFI Kemdiknas 2010 mengakui angka buta aksara kembali warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui program pendidikan keaksaraan dasar masih cukup besar.
Kegagalan yang dialami, dikarenakan waktu belajar yang hanya sebentar dan tidak adanya evaluasi ataupun monitoring setelah kegiatan KF selesai, sehingga warga belajar
tidak memanfaatkan pengetahuan keaksaraannya dalam jangka panjang dan terjadi buta aksara kembali.
Program KF lainnya yang dinilai tidak berhasil yaitu dalam pemberian keterampilan dengan memanfaatkan keahlian keaksaraan yang telah didapatkan warga
belajar guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menghindari terjadinya buta aksara kembali. Dalam beberapa kasus yang ditunjukkan pada hasil penelitian di Desa
Bades dan Desa Kedungjati warga belajar telah berhasil melek aksara dan memiliki keterampilan yang memadai, namun keterampilan yang diberikan selama program
berlangsung, pada akhirnya sama sekali tidak terpakai. Hal ini dikarenakan adanya kendala modal untuk memulai keterampilan tersebut Wahyuni T. et al. 2010 ; Aziz
2008. Dihawatirkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung tidak dimanfaatkan dalam jangka panjang bisa menimbulkan buta aksara kembali. Program KF tersebut
dianggap gagal karena dengan tidak terpakainya keterampilan yang telah diberikan, yang berarti tujuan untuk meningkatkan ekonomi dan kemandirian warga belajar pun
tidak akan tercapai. Kegagalan terjadi pula dalam penelitian di Desa Gadingkulon. Hambatan di
dalam pelaksanaan program pendidikan Keaksaraan Fungsional adalah dalam proses pembelajaran membaca dan menulis, di mana masyarakat sebagai warga belajar
kebanyakan kesulitan mengatakan dan menulis dengan bahasa Indonesia, karena bahasa komunikasi sehari-hari dengan bahasa Jawa Irwan 2007. Sebaiknya program KF
dilakukan dengan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa terlebih dahulu agar lebih dipahami oleh warga belajar.
Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan KF yang menjadi penghambat keberhasilan KF, antara lain: penelitian di Depok, Bengkulu, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, dan NTT menunjukkan beberapa hambatan tersebut yaitu minimnya anggaran yang tersedia dalam setiap melaksanakan program-program yang
telah direncanakan yang menyebabkan kinerja tenaga di lapangan kurang aktif, keterbatasan tenaga lapangan, sehingga tidak bisa intens dalam pendampingan
selanjutnya, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak lainnya Rizky 2008 ; Wahyuni ES. et al. 2005.
2.2 Kerangka Pemikiran