1.3 Tujuan penelitian
1. Menganalisis pengaruh program KF dalam memelihara atau mempertahankan
kemampuan aksara warga belajar. 2.
Mengevaluasi pengaruh kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dalam meningkatkan ekonomi warga belajar.
1.4 Kegunaan Penelitian
Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah, masyarakat awam dan
akademisi. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Kegunaan penelitian bagi pemerintah Penelitian ini dapat digunakan sebagai media evaluasi pemerintah dan
dapat memberikan sumbangsih dalam menyusun program KF, sehingga materi yang diberikan dapat tepat guna dan mampu mengentaskan buta aksara secara
jangka panjang. b.
Kegunaan penelitian bagi masyarakat awam Bagi masyarakat awam, penelitian ini dapat menambah wawasan
masyarakat mengenai peran program KF dalam mempertahankan kemelekan aksara.
c. Kegunaan penelitian bagi akademisi
Bagi akademisi, khususnya yang mendalami bidang ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran, serta dapat dijadikan landasan bagi
penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
2 PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat
Kata “empower” mengandung dua arti. Pertama adalah memberi kekuasaan dan
kedua memberikan kemampuan. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain.
Pengertian kedua diartikan upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan Oxford English Dictionary dikutip Priyono dan Pranarko 1996. Pemberdayaan
masyarakat diartikan sebagai upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan,
kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan Sumodiningrat 1999. Ife 1995 mengungkapkan pemberdayaan bertujuan untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Payne dalam Nasdian 2007 menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk
membantu klien memperoleh daya kuasa untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk
mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan
daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Memberdayakan warga komunitas merupakan masalah tersendiri yang berkaitan dengan
hakikat dari power, serta hubungan antar individu atau lapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki daya, akan tetapi kadar daya itu akan
berbeda antara satu dengan lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain: pengetahuan, kemampuan, status, dan gender.
Pengukuran keberhasilan dari suatu pemberdayaan dapat dilakukan dengan melihat dari adanya indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat.
Terdapat lima indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1 berkurangnya jumlah penduduk miskin. 2 berkembangnya usaha peningkatan
pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. 3 meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan
kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya. 4 meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan
kelompok lain di dalam masyarakat. 5 serta meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin
yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya Sumodiningrat 1999.
2.1.2 Perempuan dan Pendidikan
Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan merupakan sarana untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, baik dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi tantangan multidimensional, dengan adanya sumber daya manusia yang bermutu maka dengan sendirinya akan mampu
bersaing dengan sumber daya manusia negara lain, mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi handal yang sangat diperlukan untuk membangun masa
depannya, serta mampu berpartisipasi bersama masyarakat membangun bangsa dan negara melalui berbagai ilmu, budaya seni, dan teknologi untuk mengatasi segala
kendala dan masalah yang ada Inayah 2007. Merujuk pada penjelasan di atas, sangat jelas terlihat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
meningkatkan pembangunan di suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan pembangunan dan sumber daya manusia yang baik juga.
Banyak kasus ditemukan pada beberapa negara, anak perempuan menerima pendidikan yang jauh lebih sedikit dari pada anak laki-laki. Hal tersebut ditunjukkan
oleh UNESCO yang menyatakan hampir dua pertiga dari seluruh jumlah penduduk, perempuan di dunia masih buta huruf. Keluarga yang mempunyai anak perempuan
kebanyakan hanya akan menyekolahkan anak laki-lakinya terlebih dahulu, bahkan ditemui perempuan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan karena adat istiadat
atau tradisi mereka tidak menginginkan anak perempuan bersekolah Empowering Women 2005. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai masalah
tersebut. Pendidikan di Indonesia masih menjadi sesuatu yang mahal bagi perempuan. Kesenjangan pendidikan antar gender diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik dan
Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009 tercatat dari sekitar 8,7 juta penyandang buta aksara, 64 persen adalah perempuan berusia diatas 15 tahun. Meskipun dari
berbagai hasil penelitian menunjukkan setiap tahunnya terjadi penurunan buta aksara, namun hingga saat ini penyandang buta aksara pada perempuan tetap lebih tinggi dari
pada laki-laki. Pernyataan ini dipertegas Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional Kemendiknas yang menyatakan, dilihat
dari perspektif gender, disparitas buta aksara antara laki-laki dan perempuan masih relatif besar dan kelompok perempuan miskin yang buta aksara lebih besar daripada
penduduk laki-laki. Banyaknya perempuan yang buta huruf membuat mereka memiliki akses yang
minim untuk berinteraksi sosial dan mendapatkan pekerjaan, mereka hanya mampu bekerja dalam sektor pertanian, pembantu rumah tangga, maupun pedagang yang tidak
memerlukan tingkat pendidikan tertentu. Hal tersebut berakibat pada penghasilan yang sedikit, sehingga menyebabkan mereka masuk dalam kemiskinan. Dari laporan
UNESCO tentang pendidikan dunia, bahwa di kawasan-kawasan termiskin dunia, kaum wanita terkunci dalam suatu lingkaran dengan ibu-ibu yang buta huruf, mengasuh dan
membesarkan anak-anak perempuan yang buta huruf yang dikawinkan terlalu muda, lalu memasuki deretan lain yaitu kemiskinan, kebutahurufan, kesuburan yang tinggi dan
kematian dini Inayah 2007. UNESCO menunjukkan bahwa kemiskinan di dunia ini bercirikan perempuan, hal tersebut terbukti dari 1,3 milyar orang yang hidup miskin di
dunia ini, 70 persennya adalah perempuan. Disini terlihat bahwa kemiskinan dan pendidikan saling mempengaruhi dan mayoritas penyandang buta aksara adalah
perempuan. Hal ini menjadi permasalahan besar, karena indikator untuk mencapai keberhasilan pembangunan yaitu harus adanya pemerataan dari berbagai sektor tanpa
membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Keaksaraan adalah hak dan kunci menuju hak yang lain, serta memberikan bukti
tentang multipersonal, manfaat sosial dan ekonomi UNESCO 2007. Melek huruf literacy dapat diinterpretasikan juga sebagai sumber pemberdayaan perempuan. Melek
huruf memberikan akses terhadap pengetahuan tertulis yang dapat dianggap sebagai suatu kekuatan Priyono dan Pranarko 1996. Lebih lanjut Atmaja 2007
mengungkapkan, memelekhurufkan dan melek budaya, ditujukan agar perempuan memiliki kemampuan dalam membantu dirinya sendiri keluar dari buta aksara, serta
memiliki kemampuan mengembangkan kemandirian dalam melakukan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Memberdayakan perempuan melalui pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif dan merupakan investasi asset bangsa. World Resources 1994 sebagaimana
dikutip oleh Todaro 2006, mengungkapkan berbagai penelitian di negara berkembang secara konsisten memperlihatkan bahwa ekspansi dalam pendidikan perempuan
memberikan tingkat pengembalian yang paling tinggi di antara semua jenis investasi. World Bank 1998 sebagaimana dikutip oleh Todaro 2006, mempersempit
kesenjangan gender dalam pendidikan dengan memperluas kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan sangat menguntungkan secara ekonomis karena empat alasan, antara
lain: 1 tingkat pengembalian rate of return dari pendidikan kaum perempuan lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pendidikan pria di kebanyakan negara
berkembang. 2 peningkatan pendidikan kaum wanita tidak hanya menaikkan produktivitas di lahan pertanian dan di pabrik, tetapi juga meningkatkan pertisipasi
tenaga kerja, pernikahan yang lebih lambat, fertilitas yang lebih rendah, dan perbaikan kesehatan serta gizi anak-anak. 3 kesehatan dan gizi anak-anak lebih baik serta ibu
yang lebih terdidik akan memberikan dampak pengganda multiplier effect terhadap kualitas anak bangsa selama beberapa generasi yang akan datang. 4 karena kaum
wanita memikul beban terbesar dari kemiskinan dan kelangkaan lahan garapan yang melingkupi masyarakat di negara berkembang, maka perbaikan yang signifikan dalam
peran dan status perempuan melalui pendidikan dapat mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan serta pendidikan yang tidak memadai.
2.1.3 Program Keaksaraan Fungsional KF
Direktorat Pendidikan Masyarakat Dikmas dan Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah Ditjen PLS mencetuskan Program Keaksaraan Fungsional KF. KF
merupakan bagian dari lingkup kegiatan Pendidikan Luar Sekolah PLS yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Kelompok Belajar Mengajar PKBM yang dipusatkan
pada suatu wilayah sehingga mudah diakses oleh masyarakat setempat Sihombing 1999. Program KF adalah sebuah pendekatan untuk mengembangkan kemampuan
seseorang dalam menguasai dan mengembangkan kemampuan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis persoalan yang berorientasi pada kehidupan
sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya Lutfi 2007. Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis, dan
menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar. Sasaran dari program KF
adalah warga belajar perempuan yang berusia 15-45 tahun dan berasal dari latar belakang ekonomi yaitu berasal dari penduduk miskin dan termajinalkan, sedangkan
jika dilihat dari sisi geografi mereka berasal dari daerah terpencil atau masyarakat pinggiran yang tidak berkesempatan memperoleh akses atau pelayanan pendidikan yang
memadai Aziz 2008. Menurut Depdiknas 2006 dalam Sulton 2008, untuk menyelenggarakan
program KF dibutuhkan delapan prinsip utama pemahaman penyelenggaraan program ini, yaitu:
1. Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu
pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitar.
2. Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor
dan warga belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan, dan potensi atau sumber-sumber setempat.
3. Proses partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
penyelenggaraan program KFl harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif. 4.
Fungsionalisasi hasil belajar, hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisasi dan memecahkan masalah
keaksaraan yang dihadapi warga belajar. 5.
Kesadaran, proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan
lingkungan untuk melakukan aktivitas kehidupannya. 6.
Fleksibilitas, program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta
kondisi lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu. 7.
Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar
warga belajar di setiap daerah yang berbeda-beda. 8.
Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat
dan kebutuhan belajar menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara turor dan warga belajar.
Kebutuhan belajar yang multilevel beragam kemampuan mengakibatkan program KF dikelompokkan dalam tiga tahap keaksaraan Aziz 2008, yaitu:
1. Pemberantasan basic literacy, terdapat beberapa metode dalam tahap ini,
antara lain: 1.
metode dasar. Metode pembelajaran bagi warga belajar buta aksara permulaan untuk meningkatkan kecakapan membaca dan menulis permulaan
terutama pada keterampilan pemenggalan kata, suku kata, dan huruf-demi huruf untuk disusun kembali menjadi kalimat bermakna.
2. Metode driil. Belajar dengan cara melakukan latihan berulang-ulang baik
membaca, menulis, dan berhitung. 3.
Metode kata kunci. Pembelajaran ini merupakan penerapan pendekatan tematik dimana kata-kata kunci yang dipelajari harus sesuai dengan tema
yang dikembangkan. Metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan warga belajar membuat kata baru dari suku kata yang telah
dikenal. 4.
Metode bahasa ibu. Ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa indonesia melalui bahasa ibu.
2. Pembinaan middle literacy. Tahap ini memiliki tiga bentuk model pembinaan,
antara lain: 1.
model belajar sambil bekerja 2.
model belajar sambil beraksi 3.
model kelompok belajar usaha 3.
Pelestarian self learning atau mandiri, atau telah berada pada tingkat mandiri. Terdapat bentuk model pembinaan pada tahapan ini, antara lain:
1. model taman bacaan masyarakat
2. model arisan bersama
3. model paguyuban
Ketiga tahapan di atas dilaksanakan secara berkelanjutan guna mencapai tujuan program KF yang optimal. Keberhasilan program KF menjadi cara terwujudnya
pemberdayaan khususnya bagi penduduk buta aksara. Hasil belajar program KF dilakukan melalui mekanisme yang disesuaikan dengan SKK Standar Kompetensi
Keaksaraan. Warga belajar yang diperbolehkan mengikuti penilaian hasil belajar adalah mereka yang aktif mengikuti proses pembelajaran secara sistematis dan kontinu.
Warga belajar juga berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara SUKMA, sebagai bukti bahwa mereka telah melek aksara.
Laporan akhir penyusunan data buta aksara oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Kemeneg PP tahun 2005 menyatakan, terdapat beberapa
kendala yang mempengaruhi penerimaan warga belajar terhadap ketiga pelaksanaan tersebut. Kendala penerimaan warga belajar atas program lanjutan KF antara lain
rendahnya motivasi masyarakat, kesibukan pada pekerjaan domestik atau publik, dan masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan dikriminasi
perempuan dalam pendidikan Meneg PP 2005.
2.1.3.1 Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan Program KF
Selama ini, pemerintah melakukan evaluasi terhadap program KF dan menyebutkan bahwa program KF dinilai berhasil dalam mengurangi jumlah buta huruf
perempuan sesuai dengan tujuan program. Hal ini terlihat dari data BPS mengenai angka buta aksara yang tiap tahunnya menurun, namun data tersebut tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan. Strategi dan metode pembelajaran yang dipakai dalam program KF tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga hasilnya bersifat
sementara dan kurang memberdayakan warga belajar. Program KF yang tidak berhasil mengentaskan buta aksara dan bersifat
sementara, seperti halnya penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Sukadamai dan kampung Cibago. Penelitian di Kelurahan Sukadamai menyatakan keberhasilan
program KF berdasarkan hasil tes kemampuan keaksaraan pada warga belajar KF gagal dalam mempertahankan kelanggengan kemampuan warga belajar, karena hanya
terdapat 17,1 persen warga yang kemampuan keaksaraan tinggi atau hanya enam orang yang mampu membaca dan menulis. Kebanyakan responden telah kembali buta aksara
atau sudah lupa pada pelajarannya, selain itu mereka memang belum sepenuhnya melek aksara Sulton 2008. Begitu pula yang terjadi di Kampung Cibago, orang yang pernah
mengikuti program keaksaraan dasar, setelah beberapa waktu, kembali menjadi orang yang buta aksara Kusmiadi 2007. Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal
PNFI Kemdiknas 2010 mengakui angka buta aksara kembali warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui program pendidikan keaksaraan dasar masih cukup besar.
Kegagalan yang dialami, dikarenakan waktu belajar yang hanya sebentar dan tidak adanya evaluasi ataupun monitoring setelah kegiatan KF selesai, sehingga warga belajar
tidak memanfaatkan pengetahuan keaksaraannya dalam jangka panjang dan terjadi buta aksara kembali.
Program KF lainnya yang dinilai tidak berhasil yaitu dalam pemberian keterampilan dengan memanfaatkan keahlian keaksaraan yang telah didapatkan warga
belajar guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menghindari terjadinya buta aksara kembali. Dalam beberapa kasus yang ditunjukkan pada hasil penelitian di Desa
Bades dan Desa Kedungjati warga belajar telah berhasil melek aksara dan memiliki keterampilan yang memadai, namun keterampilan yang diberikan selama program
berlangsung, pada akhirnya sama sekali tidak terpakai. Hal ini dikarenakan adanya kendala modal untuk memulai keterampilan tersebut Wahyuni T. et al. 2010 ; Aziz
2008. Dihawatirkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung tidak dimanfaatkan dalam jangka panjang bisa menimbulkan buta aksara kembali. Program KF tersebut
dianggap gagal karena dengan tidak terpakainya keterampilan yang telah diberikan, yang berarti tujuan untuk meningkatkan ekonomi dan kemandirian warga belajar pun
tidak akan tercapai. Kegagalan terjadi pula dalam penelitian di Desa Gadingkulon. Hambatan di
dalam pelaksanaan program pendidikan Keaksaraan Fungsional adalah dalam proses pembelajaran membaca dan menulis, di mana masyarakat sebagai warga belajar
kebanyakan kesulitan mengatakan dan menulis dengan bahasa Indonesia, karena bahasa komunikasi sehari-hari dengan bahasa Jawa Irwan 2007. Sebaiknya program KF
dilakukan dengan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa terlebih dahulu agar lebih dipahami oleh warga belajar.
Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan KF yang menjadi penghambat keberhasilan KF, antara lain: penelitian di Depok, Bengkulu, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, dan NTT menunjukkan beberapa hambatan tersebut yaitu minimnya anggaran yang tersedia dalam setiap melaksanakan program-program yang
telah direncanakan yang menyebabkan kinerja tenaga di lapangan kurang aktif, keterbatasan tenaga lapangan, sehingga tidak bisa intens dalam pendampingan
selanjutnya, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak lainnya Rizky 2008 ; Wahyuni ES. et al. 2005.
2.2 Kerangka Pemikiran
Pentingnya pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan meningkatkan pembangunan, maka dicetuskanlah Program Keaksaraan
Fungsional KF yang sasarannya adalah perempuan buta aksara umur 15-45 tahun. Tujuan dari program KF adalah penguasaan membaca, menulis dan berhitung menjadi
syarat mutlak untuk menguasai keterampilan dalam rangka peningkatan kualitas hidup. Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis, dan
menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar.
Tahapan program KF mencakup 1 pemberantasan yaitu pengentasan buta aksara, 2 pembinaan yaitu pemberian keterampilan untuk pemberdayaan ekonomi dan
kemandirian, 3 pelestarian yaitu pembinaan pasca program. Banyaknya program KF yang tidak melakukan tahapan ketiga, yaitu tahapan pelestarian. Hal itu dikarenakan
banyaknya hambatan-hambatan, seperti kurangnya dana untuk pelaksanaan tahap pelestarian, dan tidak tersedianya tutor untuk mengajar. Kemampuan warga belajar
dalam mempertahankan kemampuan aksara dipengaruhi oleh tahapan-tahapan di atas. Semakin lengkap tahapan yang dilakukan program KF, maka semakin tinggi
kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara. Pencapaian dan tidak tercapainya pemberdayaan perempuan dalam program KF
dipengaruhi oleh tahapan program KF, karakteristik warga belajar, dan dukungan dari lingkungan tempat tinggal. Karakteristik warga belajar yaitu usia warga belajar, umur
warga belajar, jumlah anak warga belajar, status perkawinan warga belajar, jenis pekerjaan warga belajar, dan motivasi warga belajar. Tahapan program KF dilihat dari
adanya tahapan pemberantasan, pembinaan dan pelestarian dari program KF. Program KF baru bisa dikatakan berhasil dalam memberdayakan perempuan di mana saat warga
belajar mampu mempertahankan kemampuan aksara mereka, dan mampu menerapkan kemampuan keaksaraan mereka untuk meningkatkan penghasilan warga belajar. Hal ini
dipertegas oleh Suyono 2006 mengungkapkan pendidikan hanya layak diklaim berhasil sejauh ia mampu menciptakan manusia-manusia mandiri dan bermartabat, yang
keberadaannya dapat memberikan manfaat terhadap keluarganya, orang lain dan lingkungannya.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Peran Program Keaksaraal Fungsional dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Keterangan
: Mempengaruhi. : Batasan penelitian penulis
Tahapan Program KF
1. Tahap pemberantasan 2. Tahap Pembinaan
3. Tahap Pelestarian
Karakteristik Individu
1. Umur 2. Status
pernikahan 3. Jumlah
anak 4. Pendidikan
5. Pekerjaan 6. Motivasi
warga
Pemberdayaan Perempuan
1. Mampu
mempertahankan kemampuan aksaraan
2. Meningkatnya ekonomi warga
belajar Program Keaksaraan Fungsional
KF
Output
Kemampuan Keaksaraan ‐ Membaca
‐ Menulis ‐ Berhitung
Dukungan dari lingkungan tempat tinggal
15
2.3 Hipotesis Penelitian