Kajian Paparan Bisphenol-A dari Botol Susu Polikarbonat dalam ASI dan Air pada Bayi

(1)

EXPOSURE STUDY ON BISPHENOL-A FROM POLYCARBONATE MILK

BOTTLE IN BREAST MILK AND WATER FOR BABY

Endang Warsiki 1)*, Hari Wijayanto 2), dan I.K. Marla Lusda 1) 1)

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia 2)

Department of Statistics, Faculty of mathematics and natural sciences, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus,

e-mail:

Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

ABSTRACT

Polycarbonate bottles milk is one of the packaging used to store breast milk. Polycarbonate is the result of polymerization of phosgene and bisphenol A (BPA) that can make plastic to be more transparent, stronger and moreimpact resistant. BPA is carcinogenic and then it can give bad damage for human health even if it is used in very small doses. The study was conducted to determine distribution of respondents who use polycarbonate bottles in Indonesia. It is also to find the effect of bottles pre-treatment before use, including method of sterilization, time and temperature to store the milk and method of milk preparing. Data of the average of baby food intake and baby drinking frequency was recorded and the value of the existing BPA exposure was estimated. From the calculated, it is known that the value of BPA exposure is about 0,00005 mg/kg body weight / day and 0,000002 mg/kg body weight / day for into breast milk water respectively. This value is still below standard tolerances established by the International European Food Safety Authority (EFSA) in 2006 amounted to 0,05 mg / kg body weight / day as Tolerable Daily Intake.

Keywords:Bisphenol-A, Polycarbonate, Breast Milk Dairy, Milk Bottles

ABSTRAK

Botol susu polikarbonat adalah salah satu kemasan yang digunakan untuk menyimpan ASI dan air. Polikarbonat merupakan hasil polimerisasi fosgen dan bisphenol A (BPA) yang dapat membuat plastik menjadi transparan, lebih kuat dan tahan terhadap benturan. BPA adalah zat karsinogenik dan menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia meskipun digunakan dalam dosis yang sangat kecil. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sebaran responden yang menggunakan botol susu polikarbonat di Indonesia. Dalam penelitian ini juga dikaji pengaruh perlakuan botol sebelum digunakan terhadap paparan BPA dari PC. Pra perlakuan tersebut meliputi cara sterilisasi, kondisi tempat penyimpanan dan lamanya penyimpanan botol, serta cara penyiapan. Rata-rata jumlah konsumsi pangan dan frekuensi minum bayi dicatat kemudian nilai paparan BPA diestimasi. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa nilai paparan BPA dari botol susu PC adalah sebesar 0.00005 mg/kg berat badan/hari dan pada air sebesar 0,000002 mg/kg berat badan/hari. Nilai tersebut masih di bawah standar toleransi BPA yang dibuat oleh Badan Internasional European Food Safety Authority

(EFSA) pada tahun 2006 sebesar 0,05 mg/kg berat badan/hari.


(2)

I.K. Marla Lusda. F34080035. Kajian Paparan Bisphenol-A dari Botol Susu Polikarbonat dalam ASI dan Air pada Bayi. Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Hari Wijayanto. 2012.

RINGKASAN

Salah satu kemasan yang digunakan untuk menyimpan ASI adalah botol polikarbonat (PC) yang merupakan hasil polimerisasi fosgen dan bisphenol A (BPA). BPA yang terkandung dalam PC dapat membuat plastik menjadi lebih transparan, lebih kuat dan tahan terhadap benturan sehingga digunakan dalam pembuatan botol susu. Kandungan BPA dalam dosis yang sangat kecil dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia. Hal ini perlu dipertimbangkan karena pengguna utama botol susu polikarbonat adalah bayi yang rentan terhadap residu. Hal inilah yang membuat beberapa negara mengambil kebijakan dengan melarang penggunaan produk yang mengandung BPA seperti eropa, amerika dan beberapa negara lain. Di Indonesia sendiri belum ada lembaga berwenang yang melakukan uji toksisitas terhadap BPA sehingga peredaran produk yang mengandung BPA tersebut belum dilarang. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 2012 ini BPOM RI melakukan kajian paparan bisphenol A untuk mengetahui nilai dan jumlah migrasi BPA dari polikarbonat khususnya dalam asi dan air.

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji besarnya paparan BPA pada air dan ASI dari botol susu polikarbonat dan mengkaji hubungan perilaku pengguna botol dan perlakuan yang diterima botol terhadap kadar migrasi BPA dalam ASI dan air. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei langsung terhadap pengguna botol. Kemudian dari data yang ada dilakukan perhitungan nilai estimasi paparan BPA.

Dari hasil survei diketahui gambaran sebaran responden. Responden yang paling banyak menyimpan air dan ASI dalam botol dilihat dari tingkat pendidikannya adalah S1. Jika dilihat dari pekerjaannya adalah ibu rumah tangga dan karyawan swasta. Botol susu yang paling banyak digunakan adalah brand A. Sebagian besar responden mensterilisasi botol dengan cara direbus selama 5 sampai 10 menit setelah air mendidih dan menyimpan botol di tempat tertutup. Berdasarkan cara penyiapan ASI, hampir seluruh responden menyiapkan ASI dengan cara merendamnya di air panas. Dilihat dari jenis kelamin, sebaran anak yang menggunakan botol susu polikarbonat adalah anak perempuan. Berdasarkan usianya, anak yang minum air menggunakan botol adalah anak usia 7 sampai 12 bulan, dan anak yang minum ASI berusia dibawah 6 bulan. Berdasarkan berat badan, anak yang minum air menggunakan botol adalah anak dengan berat 10 sampai 12 kg, dan anak yang minum ASI memiliki berat 7 sampai 9 kg. Berdasarkan frekuensi minumnya, anak minum menggunakan botol sebanyak 5 kali dalam sehari dengan menggunakan volume botol 60 ml untuk ASI dan 120 ml untuk air. Berdasarkan lama minum, anak menghabiskan ASI selama 5 menit dan air selama 6 sampai 15 menit. Perilaku anak terhadap penggunaan botol seperti jumlah porsi konsumsi, frekuensi, dan lama waktu minum anak mempengaruhi nilai kadar migrasi BPA dalam ASI dan air. Semakin besar porsi konsumsi dan semakin sering frekuensi anak minum akan mengakibatkan nilai paparan BPA yang semakin tinggi pula. Semakin lama waktu minum anak, juga menyebabkan semakin lama kontak terjadi sehingga semakin banyak BPA yang terpapar ke dalam pangan. Perlakuan pada botol seperti cara sterilisasi, kondisi tempat penyimpanan dan lamanya penyimpanan botol, serta cara penyiapan pangan mempengaruhi kadar migrasi BPA dalam ASI dan air. Cara sterilisasi yang lama dan dalam suhu yang tinggi akan menyebabkan lepasnya monomer BPA dari botol. Kondisi tempat penyimpanan yang terbuka dan mudah terpapar matahari juga memberi kemungkinan monomer BPA akan terlepas. Perlakuan penyiapan ASI setelah disimpan di kulkas dengan cara merendam botol di air panas juga dapat menyebabkan terlepasnya paparan BPA dari botol susu.


(3)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003, pemerintah menetapkan cuti melahirkan selama tiga bulan. Sedangkan cuti menyusui hanya dilakukan oleh sedikit instansi dan kebijakan mengenai dispensasi menyusui selama bekerja belum mendapatkan perhatian yang serius. Padahal agar bisa memberikan ASI secara eksklusif, sebaiknya perempuan pekerja diberikan cuti melahirkan selama 6 bulan (Bararah, 2012). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pemberian ASI eksklusif sangat penting dan mendasar bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kebutuhan gizi bayi. Hal ini dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan tetap dilanjutkan dengan ASI. Pemberian ASI eksklusif dengan cara menyusui tidak hanya memberikan berbagai nutrisi yang diperlukan oleh bayi, tapi juga dapat mempererat hubungan emosional (bonding) antara ibu dan bayi (Bararah, 2012). Sempitnya masa cuti menyebabkan kesempatan memberikan ASI eksklusif sangat terbatas. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan bayinya, perempuan pekerja memilih alternatif menyimpan ASI di dalam kemasan botol.

Salah satu kemasan yang digunakan untuk menyimpan ASI adalah botol polikarbonat (PC). Plastik polikarbonat adalah hasil polimerisasi fosgen dan bisphenol A (BPA) atau hasil pertukaran ester antara BPA dan difenil karbonat. BPA ini merupakan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengikat dari monomer-monomer karbonat. Plastik polikarbonat yang menggunakan BPA merupakan polimer yang sangat transparan dan memiliki beberapa keunggulan seperti lebih kuat dan tahan terhadap benturan, memiliki tingkat kecerahan plastik yang lebih baik, serta lebih mudah dibentuk pada suhu ruang. Keunggulan tersebut membuat plastik polikarbonat ini lebih disukai untuk digunakan pada kemasan makanan, botol susu, botol air, bahkan pipa-pipa saluran air. Penggunaan BPA sudah cukup luas, tidak hanya digunakan untuk kemasan pangan tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan penambal gigi, pembuatan kepingan CD atau DVD, dan kacamata (Aschberger, 2010; Bailey dan Hoekstra, 2010). Karena keunggulan tersebut, BPA sangat diminati sebagai bahan tambahan dalam pembuatan kemasan polikarbonat.

Penggunaan BPA sebagai bahan kemasan ternyata menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia meskipun digunakan dalam dosis yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan ikatan kimia yang terjadi diantara monomer BPA pada polimer plastik tidak stabil sehingga dapat menyebabkan migrasi apabila kemasan kontak dengan produk. Migrasi BPA dari kemasan polikarbonat tergantung dari waktu kontak, suhu, dan jenis makanan. Dari beberapa kutipan diketahui bahwa BPA dapat menyebabkan kanker prostat, kanker payudara, pubertas lebih awal, obesitas, diabetes, perubahan sistem imun, mengganggu hormon tiroid, dan lain sebagainya. Hal ini perlu dipertimbangkan karena pengguna utama botol susu polikarbonat adalah bayi yang tubuhnya baru berkembang dan sistem detoksifikasi pada hati belum sempurna. Berdasarkan European Food Safety Authority (EFSA) pada 2006, menetapkan bahwa asupan harian BPA yang dapat ditoleransi oleh tubuh manusia (Tolerable Daily Intake) sebesar 0,05 mg/kg berat badan/hari.

Apabila BPA masuk dan terakumulasi dalam tubuh akan membahayakan kesehatan. Hal inilah yang membuat beberapa negara mengambil kebijakan dengan melarang penggunaan atau peredaran produk-produk yang mengandung BPA. Komisi Eksekutif Uni Eropa telah melarang pembuatan botol susu polikarbonat yang mengandung senyawa BPA sejak Maret 2011. Pelarangan juga dilakukan di negara-negara seperti Denmark, Perancis dan Kanada. Sementara di Amerika dan Jepang hanya menghimbau agar industri secara sukarela menghentikan produksi botol susu yang menggunakan BPA


(4)

2

dan mengembangkan alternatif penggantinya. Di Indonesia sendiri belum ada lembaga berwenang yang melakukan uji toksisitas terhadap BPA sehingga peredaran produk yang mengandung BPA tersebut belum dilarang. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2012 ini Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia melalui Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya melakukan kajian paparan bisphenol A untuk mengetahui nilai dan jumlah migrasi bisphenol A dari polikarbonat.

I.2. Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji besarnya paparan bisphenol-A pada air dan ASI yang dikemas dengan botol susu polikarbonat. Sedangkan secara khusus, bertujuan untuk:

(i) Mengetahui sebaran responden botol susu polikarbonat dengan melakukan pengelompokan responden dari hasil survei tingkat pendidikan responden, pekerjaan responden, cara sterilisasi botol, brand botol, tempat penyimpanan botol, cara penyiapan ASI, jenis kelamin anak, usia anak, berat badan anak, frekuensi dan lama minum anak, serta volume botol yang digunakan. (ii) Mengestimasi paparan bisphenol-A dari botol susu polikarbonat ke dalam ASI dan air

berdasarkan porsi konsumsi dan frekuensi minum anak.

(iii) Mengetahui hubungan antara perlakuan pada botol polikarbonat terhadap paparan bisphenol-A

dalam ASI dan air.


(5)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Polikarbonat, BPA dan Migrasi BPA

Polikarbonat (PC) adalah suatu kelompo menggunakaeasily thermoformed). PC digunakan secara luas dalam memiliki ketahanan termal dibandingkan dengan plastik jenis lain. Keunggulan lain dari PC adalah sangat bening dan tahan terhadap benturan. Meski memiliki ketahanan yang tinggi terhadap benturan, namun PC cukup mudah tergores. PC terdiri dari dalam

dengan menggunaka2). Dalam struktur molekul PC,

terdapat dua gugus fenil dan dua gugus metil. Kehadiran gugus fenil dalam rantai molekul dan dua gugus metil ini berkontribusi terhadap kekekaran PC. Ketertarikan antar gugus fenil antara molekul yang satu dengan yang lain akan membuat kebebasan molekul individual berkurang, akibatnya PC memiliki ketahanan termal yang baik. Kebebasan molekul individual yang sedikit tersebut juga membuat PC menjadi tidak fleksibel serta mencegah PC menjadi struktur crystalline yang menjadikan PC bersifat transparan (Callister, 2007).

Gambar 2.1.Struktur polimer polikarbonat (Sun CL, 2003).

Plastik yang terbuat dari PC sangat ringan dan memiliki keseimbangan yang baik antara kekekaran, stabilitas dimensi, dan transparansi secara optikal. Plastik yang terbuat dari PC juga memiliki ketahanan terhadap panas sehingga banyak digunakan dalam berbagai macam produk seperti peralatan elektronik, bahan konstruksi, perlengkapan keselamatan olah raga, serta berbagai peralatan rumah dan dapur yang melibatkan kontak langsung dengan makanan dan minuman, contohnya wadah-wadah penampung makanan dan minuman seperti botol susu bayi, gelas anak balita, botol minuman, dan kaleng susu formula (Hadinata, 2010). Hadinata (2010) juga menjelaskan bahwa ikatan kimia antar BPA pada polimer plastik tidak stabil seiring dengan lamanya waktu penggunaan plastik. Penggunaan dan perawatan botol plastik PC yang kurang tepat dapat menyebabkan pelepasan ikatan BPA yang cukup signifikan. Misalnya dalam proses sterilisasi botol plastik PC dengan cara mendidihkan air selama 10 menit, kemudian dituang ke dalam botol plastik PC. Proses sterilisasi semacam ini akan melepaskan 6 mg/L BPA.

Dalam proses produksinya, plastik polikarbonat dihasilkan melalui proses kondensasi antara BPA dengan karbonil klorida (Gambar 2.2.) (Sun CL, 2003). BPA ini merupakan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengikat dari monomer-monomer karbonat. Aplikasi BPA dalam pembuatan resin epoksi banyak digunakan dalam bahan pelapis logam seperti kaleng makanan, botol air minum, kertas thermal, pelapis pelindung, alat kesehatan, laminasi listrik dan elektronik, dan saluran air (Aschberger, 2010; Bailey dan Hoekstra, 2010). Penggunaan BPA dalam pembuatan plastik polikarbonat cukup digemari oleh industri karena menjadikan botol tahan lama dan tampil lebih mengkilat. Bisphenol A (2,2-bis(4-hydroxyphenyl)propane) atau BPA merupakan bagian terpenting


(6)

4

dalam pembuatan plastik terutama dalam pembuatan plastik polikarbonat dan beberapa untuk pembuatan resin epoksi. Perbandingan produksi BPA untuk pembuatan resin epoksi dan polikarbonat masing-masing 21% dan 72% (Chapin et al, 2007). Selain digunakan untuk polikarbonat dan resin epoksi, BPA juga digunakan untuk flame retardants, resin poliester tak jenuh, resin polisulfon (PS) dan polyetherimides (PEI) (CEH, 2010). Lebih dari 95% konsumsi BPA dunia pada tahun 2009 digunakan untuk resin PC dan epoksi resin. Dengan demikian, penggunaan BPA memang lebih banyak diaplikasikan untuk resin PC dan epoksi resin daripada yang lain (Bailey dan Hoekstra, 2010).

Gambar 2.2. Proses pembentukan polikarbonat (Sun CL, 2003).

BPA memiliki persamaan dengan senyawa kimia diethyl sylbestrat (DES) dan hormon estrogen. DES ini ternyata merupakan senyawa yang kurang baik karena dapat menyebabkan kanker dan masalah yang berhubungan dengan reproduksi. Karena senyawa kimianya yang memiliki persamaan dengan hormon estrogen, BPA dapat digunakan sebagai hormon buatan yang bekerja seperti hormon estrogen untuk mengatai masalah kehamilan. Apabila digunakan dalam jumlah yang tidak teratur dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan. Sehingga beberapa tahun terakhir ini mulai berkembang isu bahaya penggunaan BPA pada berbagai kemasan.

Beberapa penelitian telah berhasil mengetahui bahaya BPA bagi kesehatan. Saat ini banyak badan-badan kesehatan negara yang melihat potensi resiko kesehatan yang disebabkan oleh BPA. Oleh karena itu, negara-negara yang telah membuktikan bahaya BPA mulai melarang penggunaan bahan tersebut pada berbagai bentuk kemasan. Pusat Riset Toksikologi Nasional FDA bekerja sama dengan National Toxicology Program (NTP) saat ini melakukan kajian yang mendalam untuk mengklarifikasi dugaan tersebut. Sementara itu, US-FDA mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi paparan BPA pada makanan, seperti mendorong industri untuk berhenti memproduksi botol bayi yang mengandung BPA dan peralatan makan bayi untuk pasar AS, memfasilitasi pengembangan alternatif untuk BPA, dan mendukung upaya untuk mengganti atau meminimalkan tingkat BPA dalam pelapis kaleng makanan (Lailya, 2010). Di lain sisi, Badan Kesehatan Kanada (The Health Canada) memilih kebijakan untuk mengambil tindakan pencegahan dan menyimpulkan bahwa BPA harus dianggap sebagai zat atau bahan yang dapat menimbulkan bahaya pada kehidupan atau kesehatan manusia. Sebagai langkah awal pemerintah Kanada berencana untuk membuat peraturan untuk melarang import, iklan, dan penjualan botol bayi berbahan polikarbonat. (Joaquim Maia et al, 2010; Joaquim Maia et al, 2009).

Selanjutnya, WHO melalui forum panel yang beranggotakan 30 pakar dari Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat pada 10 November 2010 di Ottawa, Kanada, menyampaikan bahwa kadar BPA yang terkandung dalam urin seseorang ternyata relatif sama dengan kadar BPA yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Hal ini berarti sebagian besar atau bahkan mungkin semua BPA dapat diekskresikan secara alamiah dari dalam tubuh. Selain itu, WHO juga menyatakan bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan membuktikan meskipun dalam kadar yang rendah, BPA tetap dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan (Anonim, 2010). Menurut Sun CL (2003), terdapat korelasi antara BPA dengan

Bisphenol A Carbonyl Chloride


(7)

5

masalah biologis pada laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, dapat terjadi penurunan produksi sperma, penambahan berat prostat, dan kanker testis. Sementara pada perempuan dapat menyebabkan perkembangan endometrium yang tidak normal sehingga dapat menimbulkan infertilitas dan meningkatkan risiko terkena kanker payudara. Sun juga memaparkan bahwa bayi dan anak-anak juga akan terkena dampak negatif dari BPA ini. Pada anak-anak, terutama pada bayi yang masih dalam kandungan maupun bayi yang baru lahir, dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang dapat berdampak selama periode emas pertumbuhan anak, meskipun akibatnya tidak langsung tampak.

Menurut Balai Besar Kimia dan Kemasan (2011), migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu migrasi global dan migrasi spesifik. Migrasi global atau migrasi total merupakan hasil perpindahan komponen dari kemasan, dimana komponen tersebut tidak dibedakan antara yang berbahaya (toksik) dengan yang tidak berbahaya (non-toksik) pada kesehatan. Migrasi global ini dinyatakan dalam satuan mg bahan yang berpindah per satuan luas (mg/dm2

Nasiri et al (2009) menyatakan bahwa jumlah migrasi akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu kontak, peningkatan waktu kontak, peningkatan kandungan bahan kimia dalam kemasan, peningkatan luas permukaan kontak, dan peningkatan agresifitas pangan yang dikemas. Suhu dan waktu kontak yang semakin meningkat akan mempercepat proses migrasi bahan kimia ke bahan makanan sehingga nilai migrasi yang dihasilkan akan lebih tinggi. Mudahnya terjadi migrasi BPA kepada makanan atau minuman dikarenakan ikatan kimia antar monomer BPA dalam polimer plastik sangat lemah dan tidak stabil. Ikatan yang tidak stabil ini dapat menyebabkan sejumlah kecil BPA terlepas ke dalam pangan yang menjadi isi suatu kemasan yang mengandung BPA. Dan pada akhirnya lepasan BPA ini kemudian dapat tertelan oleh manusia. Pelepasan BPA akan terjadi semakin banyak saat botol bayi atau botol air terkena panas seperti saat direbus atau disterilisasi (Barnes et al. 2007 dalam Retno, 2010). BPA ini dapat bekerja dalam konsentrasi yang sangat kecil baik dalam ppb (parts per billion) atau ppt (parts per trillion) sekalipun sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Umumnya paparan BPA pada tingkat yang rendah terjadi karena memakan makanan atau meminum air yang disimpan dalam wadah yang mengandung BPA. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (The Centers for Disease Control and Prevention) menyatakan bahwa anak kecil mungkin terpapar secara manual yaitu melalui tangan ke mulut atau dapat pula oral langsung (mulut) saat kontak dengan bahan yang mengandung BPA (CDC, 2010).

) atau mg/kg bahan kemasan. Sementara migrasi spesifik merupakan proses perpindahan komponen-komponen dalam kemasan yang telah diketahui dapat membahayakan kesehatan manusia.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengamati potensi migrasi BPA dari produk-produk PC ke dalam makanan dan minuman. Studi-studi ini telah secara konsisten menunjukkan bahwa potensi migrasi BPA ke dalam makanan dan minuman sangat kecil, rata-rata lebih rendah dari 5 ppb dalam kondisi ruang. Penelitian The Japanese National Institute of Health Sciences (Kawamura et al, 1998) melakukan studi sensitif terhadap botol-botol bayi. Karena senyawa yang digunakan dalam prosedur analitik adalah campuran 20%-etanol, 4%-asam asetat dan heptan, limit pendeteksian BPA ditetapkan 0,5 ppb. Uji dilakukan selama 30 menit pada temperatur 95o

Penelitian yang sama dilakukan oleh United Kingdom’s Department of Trade and Industry

(DTI) (Earls et al, 2000). Studi tersebut mengamati 21 botol bayi baru yang dibeli dari berbagai macam merk. Botol-botol tersebut dicuci dan disterilisasi, diisi dengan air mendidih atau 3% larutan asam asetat, kemudian dimasukkan ke dalam kulkas selama 24 jam pada temperatur 15

C dan dilanjutkan dengan 24 jam pada temperatur kamar. Hasil menunjukkan migrasi BPA lebih kecil dari 1 ppb dan tidak ada BPA yang terdeteksi pada limit deteksi 0,5 ppb. Pengecualian hanya terjadi pada botol baru yang belum dicuci. Jumlah BPA yang termigrasi 3,9 ppb. Setelah pencucian, migrasi BPA turun hingga limit deteksi.

o


(8)

6

botol-botol dihangatkan dan dianalisis menggunakan metode dengan limit deteksi 10 ppb dan tidak ada BPA yang terdeteksi pada 21 isi botol-botol tersebut. Dalam studi US FDA, air dari beberapa botol PC dianalisis dengan limit deteksi 0,05 ppb. Air tersebut disimpan selama 39 minggu. BPA hanya terdeteksi pada level yang sangat rendah, yaitu berkisar antara 0,1 sampai 4,7 ppb. Botol-botol tersebut dinyatakan aman karena migrasi BPA yang kecil. Jumlah BPA yang termigrasi mencapai 4,7 ppb dikarenakan waktu penyimpanan air-air tersebut sangat lama, yaitu 39 minggu. Dengan demikian, penggunaan botol plastik PC dalam jangka waktu yang tidak lama tidak berbahaya. NIHS Jepang juga telah melakukan studi evaluasi untuk beberapa mug dan mangkok. Sama seperti penelitian terhadap botol bayi, senyawa yang digunakan untuk menganalisis adalah air dan 20%-etanol dengan limit deteksi 0,5 ppb. Hasilnya adalah tidak ada BPA yang terdeteksi setelah 3 dari 5 produk dikontakkan dengan air selama 30 menit pada temperatur 95oC dan dengan 20%-etanol selama 30 menit pada temperatur 60o

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui migrasi senyawa kimia yang berasal dari plastik polikarbonat, yaitu senyawa Bisphenol A (BPA). Biedermann-Brem dan Grob (2009) mempelajari pengaruh suhu terhadap migrasi BPA dalam air ledeng, hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi BPA dalam air ledeng pada suhu 50°C sebesar <0.0001 mg/l meningkat menjadi 0.0006 mg/l ketika air mendidih. Kemudian konsentrasi BPA dalam air pada pH 9.5 (50

C. Migrasi BPA terdeteksi pada dua produk lainnya, tapi tetap pada jumlah di bawah 5 ppb (Earls et al, 2000).

o

Penelitian lain dilakukan oleh Sung-Hyun Nam et al. (2010) yang menghitung kadar migrasi BPA dari botol bayi baru berbahan PC. Pada penelitiannya botol akan diisi dengan air bersuhu 40

C) sebesar <0.002 mg/l meningkat menjadi 0.033 mg/l ketika air mendidih. Menurut Biles et al. (1997), konsentrasi terbesar migrasi BPA dari kemasan polikarbonat dalam air deionisasi dan air ledeng adalah sebesar 1 mg/l pada suhu 65°C selama 10 hari. BPA akan sangat mudah bermigrasi apabila suhunya dinaikkan atau dipanaskan. Sementara botol susu dalam penggunaannya selalu bersentuhan panas baik untuk sterilisasi dengan cara direbus, dipanaskan dengan microwave, hingga dituangi air mendidih atau air panas. Pemanasan botol, kondisi makanan yang panas dalam botol, atau keberadaan makanan/minuman asam, serta pencucian yang berulang pada botol PC dapat meningkatkan lepasnya monomer BPA dari botol.

o

C hingga 100oC dimana penggunaannya diulang hingga 100 kali penggunaan. Konsentrasi BPA diukur dengan menggunakan alat GC-MS yang dipadukan dengan Modus Pemantauan Ion. Konsentrasi migrasi BPA yang terukur pada air suhu 40°C dan 95°C masing-masing adalah 0,03 ppb dan 0,13 ppb. Kemudian masih menggunakan botol yang sama namun setelah digunakan selama 6 bulan menunjukan konsentrasi migrasi yang terukur pada suhu 40°C dan 95°C masing-masing adalah 0,18 ppb dan 18,47 ppb. Tingkat migrasi akan semakin meningkat ketika suhu air lebih dari 80o

Sun C.L juga melakukan penelitian mengenai migrasi BPA dalam botol susu bayi. Dalam penelitiannya digunakan simulan pangan berupa minyak dan etanol 10%. Inkubasi dilakukan pada suhu tinggi selama 8 jam, 72 jam, dan 240 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah migrasi BPA dalam minyak berkisar antara ND (not detected) hingga 0.37 mg/inch

C.

2

Penelitian Calafat (2008) menunjukan tingkatan BPA yang berbeda pada beberapa generasi, yaitu level rendah pada orang dewasa, level menengah pada remaja, dan level tinggi pada anak-anak. Jumlah paparan pada manusia sangat berbeda-beda tergantung kandungannya pada makanan yang dikonsumsinya. Dugaan terbesar terkait paparan BPA pada suatu populasi dicerminkan dalam berat , sedangkan jumlah migrasi BPA dalam etanol 10 % berkisar ND hingga 1.92 mg/inch2 (Sun CL, 2003). Kemudian, mendukung hasil penelitian Sun C.L, peneliti dari University of Cincinnati juga menemukan bahwa air mendidih menyebabkan pelepasan BPA lebih tinggi 55 kali daripada air dingin atau air temperatur normal.


(9)

7

badan bayi atau anak kecil melalui makanan yang kontak dengan botol bayi dari bahan PC. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan Eropa terhadap kandungan BPA, sekitar 0,2 µg/kg berat badan ditemukan pada bayi yang masih disusui, 2,3 µg/kg berat badan pada bayi yang diberi susu formula dalam botol non-PC, sedangkan pada bayi yang diberi susu formula dalam botol PC ditemukan sebesar 11 µg/kg dan pada orang dewasa hanya 1,5 µg/kg berat badan. Pengujian terhadap paparan BPA dilakukan melalui populasi umum dengan mengukur kandungan BPA dalam urin.

2.2.

ASI (Air Susu Ibu)

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mammae ibu, yang berguna bagi bayi. ASI merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu melalui proses menyusui. Menurut Yamina (2005), usia cukup bagi bayi manusia untuk mendapat makanan lain selain air susu ibu adalah setelah enam bulan karena usus bayi usia belum siap mencerna makanan selain air susu ibu. Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI murni tanpa tambahan lain seperti cairan air putih, teh, madu, buah-buahan, maupun makanan tambahan seperti bubur susu. Menurut hasil penelitian, pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi enam bulan membuat bayi mendapat nutrisi terbaiknya sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan kecerdasan bayi, serta dapat meningkatkan jalinan kasih (bonding) antara ibu dan bayi. ASI kaya akan sari makanan yang mempercepat proses pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem syaraf. Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang diberi ASI akan terhindar dari penyakit karena ASI mengandung zat-zat kekebalan tubuh. Meskipun kaya zat gizi, ASI sangat mudah dicerna oleh sistem pencernaan bayi yang masih rentan (Khamzah, 2012).

ASI merupakan makanan yang telah dirancang khusus untuk bayi. Bagaimanapun kondisi bayi ketika lahir, maka kandungan gizi ASI ibunya akan disesuaikan dengan kebutuhan bayi tersebut. Pada bayi yang lahir secara prematur, ASI ibunya akan mengandung lebih banyak lemak, protein, natrium, klorida, dan zat besi. Menurut hasil penelitian, bayi yang diberi ASI memiliki kemungkinan lebih kecil mengidap penyakit jantung karena ASI mengandung protein adinopectin yang tinggi. Kadar

adinopectin yang tinggi dalam darah dapat menurunkan resiko serangan jantung (Khamzah, 2012). ASI yang diproduksi ibu setelah persalinan, mengandung kolostrum. Kolostrum berbentuk cairan berwarna bening hingga jingga yang lengket dan kental. Kolostrum hanya keluar selama beberapa hari setelah persalinan. Hingga hari kelima setelah persalinan, kolostrum masih aman disimpan selama 12-24 jam setiap kali perah dalam suhu ruang kurang dari 25o

ASI perah adalah ASI yang diambil dengan cara diperas dari payudara untuk kemudian disimpan dan nantinya diberikan pada bayi. Menurut Roesli (2005), sampai waktu tertentu dan dengan penyimpanan yang benar, ASI tidak akan basi. ASI tahan disimpan dalam suhu ruang sampai enam jam. Jika disimpan di termos yang diberi es batu, bisa tahan hingga 24 jam. Bahkan, kalau disimpan di kulkas ketahanannya meningkat hingga dua minggu dengan suhu kulkas yang bervariasi. Jika disimpan di frezeer yang tidak terpisah dari kulkas, dan sering dibuka, ASI tahan 3-4 bulan. Sedangkan pada frezeer dengan pintu terpisah dari kulkas dan suhu bisa dijaga dengan konstan, maka ketahanan ASI dapat mencapai enam bulan.

C. Setelah lewat masa produksi kolostrum, ASI matang yang akan diproduksi. Kolostrum mengandung 15% protein yang terdiri dari laktalbumin, laktaglobulin, dan kasein yang semuanya bermanfaat untuk membantu percernaan bayi. Kolostrum juga mengandung berbagai zat antibodi yang memberikan kekebalan terhadap berbagai penyakit (Fazriyati, 2010).

Dalam menyimpan ASI perah, faktor perubahan suhu maupun tempat penyimpanan perlu diperhatikan. Hal ini menentukan batas waktu ASI yang masih layak dikonsumsi oleh bayi. Fazriyati


(10)

8

(2010) menjelaskan bahwa ASI beku yang sudah disimpan dalam jangka waktu tertentu di dalam

freezer sebaiknya dicairkan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Batas maksimal penyimpanan ASI beku dalam suhu ruangan adalah empat jam. ASI beku yang sudah dicairkan sebaiknya langsung diminum. Jika terdapat sisa ASI yang tidak habis dikonsumsi selama empat jam, jangan masukan kembali ASI tersebut ke dalam tempat penyimpanan karena nutrisi yang terkandung didalamnya telah rusak. Semakin lama disimpan di dalam suhu dingin, zat antibodi di dalam ASI akan mengalami kerusakan. ASI juga tidak bersifat homogen, sehingga apabila disimpan, ASI akan mengalami proses pemisahan dimana lemak yang terkandung dalam ASI akan naik ke atas dan membentuk lapisan krim. Oleh karena itu, sebaiknya ASI dikonsumsi sesuai dengan hari dan tanggal yang paling lama disimpan terlebih dahulu.

2.3.

Purposive

Sampling

Sampel merupakan bagian dari pengamatan. Terdapat dua cara pengambilan sampel, yaitu pengambilan sampel secarrandom) dan tidak acak (non-random). Pengambilan sampel secara acak (random sampling) artinya setiap anggota dari populasi memiliki pengambilan sampel secara tidak acak merupakan cara pengambilan sampel dimana masing-masing anggota tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai anggota sampel akibat adanya kriteria tertentu yang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penelitian (Neuman, 2006).

Neuman (2006) menjelaskan bahwa pengambilan sampel secara tidak acak (non-random sampling) terbagi menjadi empat, antara lain pengambilan sesaat (accidental/haphazard sampling), pengambilan menurut jumlah (quota sampling), pengambilan menurut tujuan (purposive sampling) dan pengambilan beruntun (snow-ball sampling). Pengambilan sampel sesaat merupakan pengambilan sampel yang dilakukan denga Kelebihan dari pengambilan sesaat ini adalah kepraktisan dalam pemillihan anggota sampel sedangkan kekurangannya adalah belum tentu responden memiliki karakteristik yang dicari oleh peneliti. Pengambilan sampel menurut jumlah (quota sampling) merupakan pengambilan anggota sampel berdasarka jumlah ini adalah praktis karena jumlah sudah ditentukan dari awal sedangkan, kekurangannya adalah

purposive

sampling) merupakan pemilihan anggota sampel yang didasarkan atas tujuan da tertentu dari peneliti. Kelebihan dari pengambilan menurut tujuan ini adalah tujuan dari peneliti dapat terpenuhi sedangkan kekurangannya adalah belum tentu mewakili keseluruhan variasi yang ada. Pengambilan sampel beruntun (snow-ball sampling) merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan sistem kemudian responden tersebut akan menunjukkan responden lain dan responden lain akan menunjukkan responden berikutnya. Hal ini dilakukan secara terus-menerus sampai dengan terpenuhinya jumlah anggota sampel yang diingini oleh peneliti. Kelebihan dari pengambilan sampel beruntun ini adalah bisa mendapatkan responden yang kekurangannya adalah memakan waktu yang cukup lama dan belum tentu mewakili keseluruhan variasi yang ada.

Purposive sampling merupakan pemilihan anggota sampel yang kriterianya didasarkan atas tujuan da memenuhi tujuan peneliti, dan keuntungan lain dari sisi ekonomi, yaitu tidak perlunya mengeluarkan


(11)

9

biaya yang besar untuk melakukan pengamatan terhadap seluruh populasi jika dengan mengamati sebagian kecil populasi saja telah diperoleh informasi yang mewakili. Gulo (2002) menyatakan bahwa

purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel non probability dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Penarikan sampel dengan non probability pada umumnya dilakukan untuk suatu penelitian yang populasinya tidak diketahui. Menurut Sugiyono (2010), purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu dimana sampel dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian sehingga dianggap cukup representatif. Sampel yang dipilih adalah individu yang menurut pertimbangan peneliti dapat didekati dan memenuhi kriteria.


(12)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Kajian awal paparan Bisphenol A dari botol susu polikarbonatdalam ASI dan air untuk bayi ini dilakukan mulai dari bulan Maret 2012 sampai Oktober 2012 di RSIA/RSAB, Rumah Sakit, Klinik dan Puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Bogor. Keenam wilayah ini dipilih karena termasuk kota-kota besar di Indonesia.

3.2. Metode Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari tiga tahapan. Kegiatan tersebut, antara lain pengumpulan data, pengolahan data dan estimasi nilai paparan. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut:

3.2.1. Pengumpulan Data

Data utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data konsumsi pangan yang diperoleh dengan melakukan survei berupa wawancara langsung terhadap responden. Metode wawancara yang dilakukan menggunakan kuisioner yang berfungsi sebagai pedoman dalam pengumpulan informasi dari responden. Kuisioner yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. Kuisioner digunakan untuk membantu mengarahkan responden agar informasi tidak melenceng dari yang diharapkan. Responden tidak diperkenankan mengisi kuisioner untuk menjaga keabsahan informasi yang diperoleh. Pencarian responden dilakukan dengan metode purposive sampling dimana karakterisasi responden telah ditetapkan sebelumnya denga dapat terpenuhi. Responden dalam kegiatan ini adalah ibu yang memiliki anak antara 0-3 tahun yang menggunakan botol susu polikarbonat sebagai wadah ASI dan air putih. Kegiatan survei ini dilakukan di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Bogor. Survei ini dilakukan di beberapa titik di setiap lokasi, antara lain RSIA/RSAB, Rumah Sakit, Puskesmas, dan klinik. Penentuan titik pengambilan sampel ini berdasarkan pendugaan bahwa pengguna botol polikarbonat lebih banyak berkumpul di titik-titik tersebut. Selain data konsumsi pangan, informasi terkait mengenai perlakuan pada botol polikarbonat juga dibutuhkan dalam perhitungan nilai paparan bisphenol-A.

3.2.2. Pengolahan Data

Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden kemudian diolah menjadi data. Pengolahan data-data yang ada dalam kuisioner akan dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan tingkat pendidikan responden, pekerjaan responden, cara sterilisasi botol, brand botol, tempat penyimpanan botol, cara penyiapan ASI, jenis kelamin anak, usia anak, berat badan anak, frekuensi dan lama minum anak, serta volume botol. Data-data ini kemudian digunakan untuk mengkaji besarnya paparan bisphenol-A pada air dan ASI yang dikemas dengan botol susu polikarbonat. Pengelompokan data bertujuan untuk memberi gambaran seberapa besar sebaran penggunaan botol susu polikarbonat dalam penyimpanan ASI dan air. Data ini digunakan sebagai dasar untuk mengestimasi paparan bisphenol-A dari polikarbonat terhadap ASI dan air. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dan dengan perhitungan statistika untuk mengetahui hubungan antara variabel yang ada.


(13)

11

3.2.3. Estimasi Nilai Paparan

Dalam pengolahan data juga dilakukan penghitungan konsumsi pangan harian yang digunakan sebagai dasar estimasi nilai paparan BPA. Estimasi nilai paparan BPA adalah perkiraan seberapa besar senyawa BPA yang masuk ke dalam tubuh akibat mengkonsumsi pangan dari botol susu polikarbonat yang mengandung BPA. Estimasi nilai paparan ini dihitung untuk memberikan informasi seberapa besar paparan bisphenol-A dari botol polikarbonat. Kajian paparan zat kimia toksik seperti bisphenol-A harus menggunakan asumsi-asumsi yang menghasilkan nilai estimasi paparan yang lebih tinggi dari sebenarnya atau merupakan kasus terburuk bagi kesehatan sehingga penghitungan estimasi nilai paparan ini menggunakan asumsi bahwa telah terjadi migrasi bisphenol-A 100%. Kadar zat yang digunakan dalam estimasi nilai paparan ini menggunakan literatur dari beberapa penelitian terdahulu. Nilai paparan bisphenol-A diperoleh dari hasil estimasi yaitu jumlah dari kadar residu bisphenol-A

yang bermigrasi dikalikan konsumsi pangan per hari kemudian dibagi berat badan anak. Hasil estimasi nilai paparan dalam penelitian ini kemudian dievaluasi terhadap nilai TDI (Tolerable Daily Intake) sehingga diperoleh gambaran konsumsi bisphenol-A dalam pangan melebihi nilai batas yang ditoleransi atau tidak. Persamaan umum untuk kajian paparan dapat dilihat berikut ini:


(14)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Survei Konsumsi Pangan

Hal yang diharapkan dari survei konsumsi pangan ini adalah data konsumsi pangan yang digunakan untuk menghitung estimasi besarnya paparan bisphenol-A (BPA) pada air dan ASI dalam botol susu polikarbonat yang menjadi tujuan utama dari penelitian ini. Survei konsumsi pangan ini juga memberi gambaran informasi sebaran responden yang menggunakan botol polikarbonat untuk menyimpan ASI dan air untuk bayi. Rekapan hasil survei untuk responden yang menyimpan ASI dan air dalam botol polikarbonat dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Informasi mengenai pengguna atau pengkonsumsi ASI dan air dalam botol susu polikarbonat dikelompokan berdasarkan tingkat pendidikan responden, pekerjaan responden, cara sterilisasi botol, brand botol, tempat penyimpanan botol, cara penyiapan ASI, jenis kelamin anak, usia anak, berat badan anak, frekuensi dan lama minum anak, serta volume botol yang digunakan. Pengelompokan ini dilakukan untuk mempermudah melihat sebaran pengguna botol susu polikarbonat. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam upaya antisipasi terjadinya migrasi BPA yang melebihi batas konsumsi tubuh anak.

4.1.1. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan

Hasil survei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa 91 responden menyimpan air di dalam botol susu polikarbonat. Dari 91 responden tersebut didapat beragam tingkat pendidikan, sehingga perlu dilakukan pengelompokan untuk memudahkan analisa tingkat pendidikan responden terhadap penggunaan botol susu polikarbonat. Dari hasil survei tersebut, didapat jumlah responden dengan tingkat pendidikan SD sebanyak satu orang, SMP sebanyak lima orang, SLTA sebanyak 28 orang, S0 (D1 dan D3) sebanyak 25 orang, S1 sebanyak 29 orang, dan S2 sebanyak tiga orang. Selanjutnya, di wilayah yang sama dilakukan juga survei terhadap responden yang menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat. Survei tersebut menghasilkan 72 responden dengan tingkat pendidikan SLTA, S0, S1, dan S2. Responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat dengan tingkat pendidikan SLTA sebanyak 19 orang, S0 sebanyak 13 orang, S1 sebanyak 36 orang, dan S2 sebanyak empat orang. Data sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Tingkat pendidikan responden

Pendidikan Responden

Pengguna botol PC untuk menyimpan air

(orang)

Persentase pengguna botol PC untuk menyimpan air (%)

Pengguna botol PC untuk menyimpan ASI

(orang)

Persentase pengguna botol PC

untuk menyimpan ASI (%)

SD 1 1 0 0

SMP 5 6 0 0

SLTA 28 31 19 26

S0 25 27 13 18

S1 29 32 36 50

S2 3 3 4 6


(15)

13

Dari data tersebut, dapat diketahui sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikannya. Persentase tingkat pendidikan responden yang menyimpan air antara lain, responden dengan tingkat pendidikan SD sebesar 1%, SMP sebesar 6% SLTA sebesar 31%, S0 sebesar 27%, S1 sebesar 32% dan S2 sebesar 3%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan air di dalam botol susu polikarbonat adalah responden dengan tingkat pendidikan S1. Pada survei terhadap responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat, didapat persentase tingkat pendidikan responden antara lain, responden dengan tingkat pendidikan SLTA sebesar 26%, S0 sebesar 18%, S1 sebesar 50% dan S2 sebesar 6%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat adalah responden dengan tingkat pendidikan S1, selanjutnya adalah responden dengan tingkat pendidikan SLTA dan S0. Sebaran tingkat pendidikan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Sebaran tingkat pendidikan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat

Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa yang paling banyak menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan air dan ASI adalah responden dengan tingkat pendidikan S1. Persentase sebesar 32% untuk responden S1 yang menyimpan air putih dalam botol susu polikarbonat dan sebesar 50% untuk responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak memberi jaminan untuk bebas dari resiko paparan zat berbahaya BPA yang terkandung dalam polikarbonat. Tingkat pendidikan yang tinggi seharusnya mempengaruhi pemahaman terkait penggunaan polikarbonat. Akan tetapi ketidakpedulian masyarakat terhadap isu BPA yang terkandung dalam botol dan juga terjangkaunya harga botol susu polikarbonat menyebabkan penggunaan botol susu polikarbonat masih sangat umum. Untuk itu diperlukan penyuluhan terhadap semua kalangan, baik kalangan berpendidikan maupun masyarakat luas mengenai bahaya paparan BPA yang terkandung dalam botol susu polikarbonat.

4.1.2. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan

Berdasarkan hasil survei, terdapat beragam jenis pekerjaan pengguna botol PC, antara lain ibu rumah tangga, karyawan, guru, perawat, dosen, pegawai bank, dan pedagang sehingga perlu dilakukan pengelompokan untuk memudahkan analisa jenis pekerjaan responden terhadap penggunaan botol


(16)

14

susu polikarbonat. Jenis pekerjaan responden kemudian dikelompok menjadi empat kelompok, yaitu ibu rumah tangga, karyawan swasta, PNS dan wiraswasta. Dari hasil survei terhadap 91 responden yang menyimpan air dalam botol susu polikarbonat, didapat jumlah responden dengan jenis pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 49 orang, karyawan swasta sebanyak 18 orang, PNS sebanyak 16 orang dan wiraswasta sebanyak delapan orang. Survei juga dilakukan terhadap responden yang menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat. 72 responden tersebut juga dikelompokkan menjadi empat kelompok pekerjaan, yaitu ibu rumah tangga, karyawan swasta, PNS dan wiraswasta. Dari hasil survei didapat jumlah responden ibu rumah tangga yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat sebanyak 20 orang, karyawan swasta sebanyak 25 orang, PNS sebanyak 16 orang, dan wiraswasta sebanyak 11 orang. Data sebaran jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jenis pekerjaan responden

Dari data tersebut, dapat diketahui persentase jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dalam botol susu polikarbonat antara lain, responden ibu rumah tangga sebesar 54%, karyawan swasta sebesar 20%, PNS sebesar 17% dan wiraswasta sebesar 9%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan air putih di dalam botol susu polikarbonat adalah responden ibu rumah tangga, selanjutnya adalah responden yang bekerja sebagai karyawan swasta dan PNS. Pada survei terhadap responden pengguna ASI dalam botol susu polikarbonat, didapat persentase jenis pekerjaan responden antara lain, responden ibu rumah tangga sebesar 28%, karyawan swasta sebesar 35%, PNS sebesar 22% dan wiraswasta sebesar 15%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat adalah karyawan swasta, selanjutnya ibu rumah tangga dan PNS. Sebaran jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Sebaran jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat

Pekerjaan Responden

Pengguna botol PC untuk menyimpan

air (orang)

Persentase pengguna botol PC untuk menyimpan air (%)

Pengguna botol PC untuk menyimpan ASI

(orang)

Persentase pengguna botol PC

untuk menyimpan ASI (%) Ibu Rumah

Tangga 49 54 20 28

Swasta 18 20 25 35

PNS 16 17 16 22

Wiraswasta 8 9 11 15


(17)

15

Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa yang paling banyak menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan air adalah ibu rumah tangga sebesar 54%, dan 46% sisanya adalah ibu pekerja yang 20%-nya merupakan karyawan swasta, sedangkan yang paling banyak menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan ASI adalah ibu pekerja sebesar 72% dimana 35 %-nya merupakan karyawan swasta, selanjutnya adalah ibu rumah tangga sebesar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang bekerja di luar rumah maupun yang tidak bekerja di luar rumah memiliki kemungkinan yang sama untuk terkontaminasi paparan zat berbahaya BPA yang terkandung dalam polikarbonat. Kekurangtahuan masyarakat mengenai bahaya BPA dan penjualan botol susu polikarbonat yang menyebar di Indonesia menyebabkan penggunaan botol susu polikarbonat dianggap hal yang biasa. Dari sisi ekonomi, harga botol susu polikarbonat yang murah dan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat juga menyebabkan konsumsi terhadap botol susu jenis ini lebih diminati oleh masyarakat kecil sampai masyarakat dengan tingkat penghasilan menengah keatas. Untuk itu penyuluhan mengenai bahaya paparan BPA yang terkandung dalam botol susu polikarbonat perlu dilakukan secara menyeluruh, baik di kantor-kantor maupun di perumahan masyarakat untuk menghindarkan masyarakat dari penggunaan botol susu polikarbonat.

4.1.3. Sebaran branded botol susu polikarbonat

Brand atau merk dagang merupakan hal yang sangat penting dalam penjualan suatu produk. Merk dagang adalah suatu identitas perusahaan yang dibuat untuk membedakan produknya dengan produk pesaing. Pencitraan dari perusahaan pembuat produk akan mempengaruhi pamor produk tersebut. Semakin baik citra perusahaan atau semakin terkenal nama perusahaan, maka merk dagang yang digunakan oleh perusahaan tersebut juga akan lebih dipercaya oleh konsumen. Kepercayaan konsumen terhadap merk dagang suatu produk akan mempengaruhi keinginan konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut. Oleh karena itu, merk dagang sangat mempengaruhi tingkat penjualan produk. Pada penelitian ini akan dilihat sebaran merk dagang botol susu polikarbonat yang biasa dikonsumsi oleh responden. Untuk mempermudah analisa, merk dagang botol susu akan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu botol susu dengan merk A, merk B dan merk C.

Berdasarkan hasil survei, dari 91 responden yang menggunakan botol untuk menyimpan air, didapat jumlah botol susu polikarbonat yang digunakan dengan merk dagang A sebanyak 70 botol, merk dagang B sebanyak 17 botol, dan merk dagang C sebanyak empat botol. Survei juga dilakukan terhadap 72 responden yang menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat. Dari hasil survei didapat jumlah botol susu polikarbonat dengan merk dagang A yang digunakan untuk menyimpan ASI sebanyak 50 botol, merk dagang B sebanyak 20 botol, dan merk dagang C sebanyak dua botol. Data sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Merk botol susu polikarbonat Merk

Botol

Jumlah botol PC yang digunakan untuk menyimpan air (buah)

Persentase botol PC yang digunakan untuk menyimpan air

(%)

Jumlah botol PC yang digunakan untuk menyimpan

ASI (buah)

Persentase botol PC yang digunakan untuk menyimpan

ASI (%)

A 70 77 50 69

B 17 19 20 28

C 4 4 2 3


(18)

16

Dari data tersebut, persentase botol susu polikarbonat yang banyak digunakan responden untuk menyimpan air adalah botol susu dengan merk dagang A sebesar 77%, merk dagang B sebesar 19%, dan merk dagang C sebesar 4%. Sedangkan persentase botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan ASI antara lain, botol susu dengan merk dagang A sebesar 69%, merk dagang B sebesar 28% dan merk dagang C sebesar 3%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa botol susu polikarbonat yang paling banyak digunakan responden adalah botol susu dengan merk dagang A. Sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan responden untuk menyimpan air dan ASI dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa botol susu polikarbonat yang paling banyak digunakan, baik untuk menyimpan air, maupun untuk menyimpan ASI adalah botol susu polikarbonat dengan merk dagang A sebesar 77% dan 69%. Hal ini menunjukkan bahwa merk dagang A merupakan botol susu polikarbonat dengan tingkat kepercayaan konsumen yang cukup baik. Selain tingkat kepercayaan masyarakat yang baik terhadap merk dagang ini, harga yang ditawarkan juga terjangkau, sehingga mayoritas masyarakat menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk dagang A. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase sebaran tingkat pendidikan dan pekerjaan responden terhadap pemilihan brand botol. Persentase tingkat pendidikan dan pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan brand botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Brand botol A paling banyak digunakan untuk menyimpan air. Responden yang memilih brand

A untuk menyimpan air memiliki beragam tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Mulai dari tingkat pendidikan SD sampai tingkat pendidikan S2. Namun mayoritas responden yang menggunakan brand

A, jika dilihat dari tingkat pendidikannya adalah tingkat pendidikan S1. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas responden yang menggunakan brand A adalah responden dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Brand botol A paling banyak digunakan untuk menyimpan ASI. Responden yang memilih brand A untuk menyimpan ASI, memiliki tingkat pendidikan yang beragam, mulai dari tingkat pendidikan SLTA sampai tingkat pendidikan S2. Namun mayoritas responden yang menggunakan brand A, jika dilihat dari tingkat pendidikannya adalah tingkat pendidikan S1. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas responden yang menggunakan brand A adalah responden karyawan swasta. Dari Tabel dapat diketahui bahwa responden penyimpan air dalam botol susu polikarbonat yang memilih brand A adalah responden dengan tingkat pendidikan S1 sebesar 33% dan pekerjaan ibu rumah tangga sebesar 53%. Untuk responden penyimpan ASI dalam


(19)

17

botol susu polikarbonat yang memilih brand A adalah responden dengan tingkat pendidikan S1 sebesar 50% dan karyawan swasta sebesar 40%.

Tabel 4.4. Tingkat pendidikan dan pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan brand botol susu polikarbonat

Merk Botol PC untuk Air

Total

Merk Botol PC untuk ASI

Total

A B C A B C

(n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%)

Pendidikan

S2 3 4 3 4 8 4

S1 23 33 5 29 1 25 29 25 50 10 50 1 50 36

S0 20 29 4 24 1 25 25 8 16 5 25 13

SLTA 20 29 6 35 2 50 28 13 26 5 25 1 50 19

SMP 3 4 2 12 5

SD 1 1 1

Total 70 100 17 100 4 100 91 50 100 20 100 2 100 72

Pekerjaan

Ibu RT 37 53 10 58 2 50 49 14 28 5 25 1 50 20

Swasta 15 21 3 18 18 20 40 5 25 25

PNS 13 19 1 6 2 50 16 10 20 5 25 1 50 16

Wiraswasta 5 7 3 18 8 6 12 5 25 11

Total 70 100 17 100 4 100 91 50 100 20 100 2 100 72

4.1.4. Sebaran responden berdasarkan cara sterilisasi botol susu

Sterilisasi botol susu dilakukan untuk menghindari kontaminasi bakteri dari pangan yang tersisa didalam botol. Biasanya sterilisasi ini dilakukan dengan pemanasan pada suhu tertentu untuk mematikan bakteri yang ada. Ada banyak cara untuk mensterilisasi botol susu antara lain, dengan mencuci botol susu menggunakan sabun, merebus botol susu, merendam botol susu dalam air panas, atau menggunakan uap panas dari mesin seperti steamer. Suhu dan lama waktu sterilisasi mempengaruhi terjadinya pengikisan lapisan plastik polikarbonat pada botol susu. Hal ini harus diperhatikan mengingat kikisan tersebut dapat terlarut dalam air dan ASI. Biedermann-Brem dan Grob (2009) mempelajari pengaruh suhu terhadap migrasi BPA dalam air ledeng, hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi BPA dalam air ledeng pada suhu 50°C sebesar <0.0001 mg/l meningkat menjadi 0.0006 mg/l ketika air mendidih. Kemudian konsentrasi BPA dalam air pada pH 9.5 (50o

Untuk mempermudah analisis, cara sterilisasi botol susu polikarbonat kemudian dikelompokkan menjadi tiga cara, yaitu dengan cara merebus botol dalam air dengan suhu 100 ºC, merendam botol ke dalam air panas dengan suhu sekitar 70ºC, dan sterilisasi dengan menggunakan

steamer. Dari hasil survei terhadap 91 responden yang menggunakan botol susu polikarbonat untuk C) sebesar <0.002 mg/l meningkat menjadi 0.033 mg/l ketika air mendidih. Menurut Biles et al. (1997), konsentrasi terbesar migrasi BPA dari kemasan polikarbonat dalam air deionisasi dan air ledeng adalah sebesar 1 mg/l pada suhu 65°C selama 10 hari. BPA akan sangat mudah bermigrasi apabila suhunya dinaikkan atau dipanaskan. Sementara botol susu dalam penggunaannya selalu bersentuhan panas baik untuk sterilisasi dengan cara direbus, dipanaskan dengan microwave, hingga dituangi air mendidih atau air panas. Pemanasan botol, kondisi makanan yang panas dalam botol, atau keberadaan makanan atau minuman asam, serta pencucian yang berulang pada botol polikarbonat dapat meningkatkan lepasnya monomer BPA dari botol.


(20)

18

menyimpan air, didapat sebanyak 75 orang responden yang mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direbus, sebanyak 12 orang dengan cara merendam botol dalam air panas dengan suhu sekitar 70ºC, dan empat orang sisanya menggunakan steamer. Selanjutnya, dari 75 responden yang menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan ASI, didapat sebanyak 52 orang responden yang mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direbus, sebanyak 14 orang dengan cara merendam botol dalam air panas dengan suhu sekitar 70ºC, dan enam orang menggunakan steamer. Data cara sterilisasi botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Cara sterilisasi botol susu polikarbonat

Dari data tersebut didapat persentase sebaran responden berdasarkan cara sterilisasi botol susu polikarbonat. Botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air, sebesar 83% disterilisasi dengan cara direbus, sebesar 13% disterilisasi dengan cara direndam dalam air panas, dan sebesar 4% disterilisasi dengan menggunakan steamer. Botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan ASI, sebesar 72% disterilisasi dengan cara direbus, sebesar 20% disterilisasi dengan cara direndam dalam air panas, dan sebesar 8% disterilisasi dengan menggunakan steamer. Dari sebaran tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara merebusnya. Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang paling banyak dilakukan adalah direbus. Persentase sebesar 83% untuk botol yang digunakan untuk menyimpan air dan sebesar 72% untuk botol yang digunakan untuk menyimpan ASI. Cara sterilisasi botol dengan merebusnya merupakan cara yang umum dilakukan untuk menghilangkan bakteri dari pangan yang tersisa didalam botol. Perlakuan ini sebenarnya cara paling baik karena bakteri pembawa penyakit dapat mati jika dipanaskan pada suhu 100ºC. Akan tetapi, yang perlu dihindari bukan bakteri saja. Bahaya paparan BPA dalam botol susu polikarbonat juga harus dihindari. Cara sterilisasi dengan merebus botol pada suhu 100ºC dapat menyebabkan terlepasnya BPA dari botol.Sebaran cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Berdasarkan perilaku responden secara spesifik, sterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direbus kemudian dibedakan lagi menjadi dua, yaitu botol direbus selama 5-10 menit setelah air mendidih dan botol dimasak bersama air sampai air mendidih. Sterilisasi botol dengan cara direndam air panas juga dispesifikasi lagi menjadi dua, yaitu perendaman botol dalam air panas dan pengocokan botol dengan air panas. Data sterilisasi botol susu polikarbonat berdasarkan perilaku responden dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Cara Sterilisasi Botol

Jumlah botol PC untuk menyimpan

air (buah)

Persentase botol PC untuk menyimpan

air (%)

Jumlah botol PC untuk menyimpan ASI

(buah)

Persentase botol PC untuk menyimpan air

(%)

Direbus 75 83 52 72

Direndam air panas 12 13 14 20

Steamer 4 4 6 8


(21)

19

Gambar 4.4. Sebaran cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI

Tabel 4.6. Sterilisasi botol secara spesifik Cara

Sterilisasi Botol

Suhu Keterangan Cara

Botol PC untuk air (buah)

Persentase botol PC untuk air

(%)

Botol PC untuk ASI

(buah)

Persentase botol PC untuk ASI

(%)

Direbus 100

Botol direbus selama 5 – 10 menit setelah air mendidih

42 56 29 56

Botol sekaligus dimasak hingga air mendidih

33 44 23 44

Total 75 100 52 100

Direndam air panas 70

Air mendidih, kompor dimatikan, lalu botol direndam

9 75 10 72

Botol dikocok

dengan air panas 3 25 4 28

Total 12 100 14 100

Steamer 100 Menggunakan

steamer 4 6

Total responden 91 72

Pada botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air, dari 75 responden yang melakukan sterilisasi botol dengan cara perebusan, 56% responden atau sebanyak 42 pengguna botol merebus botol selama 5-10 menit setelah air mendidih dan 44% responden atau sebanyak 33 pengguna botol merebus botol bersamaan dengan air sampai air mendidih. Pada botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan ASI, dari 52 responden yang melakukan sterilisasi botol dengan cara perebusan, 56% responden atau sebanyak 29 pengguna botol merebus botol selama 5-10 menit setelah air mendidih dan 44% responden atau sebanyak 23 pengguna botol merebus botol bersamaan dengan air sampai air mendidih. Perilaku merebus air bersamaan dengan botol sampai air mendidih ini merupakan perilaku yang sangat ekstrim karena botol akan mengalami kontak dengan air panas lebih lama mulai dari air dimasak sampai air tersebut mendidih. Dibandingkan dengan perilaku merebus botol selama 5-10 menit setelah air mendidih, akumulasi panas yang diterima oleh botol yang


(22)

20

mengalami perilaku perebusan dari air dimasak sampai air mendidih akan lebih besar, sehingga kemungkinan BPA terpapar karena panas juga lebih besar.

Gambar 4.5. Sebaran sterilisasi botol dengan perebusan

Selanjutnya, pada keterangan sterilisasi botol susu dengan perendaman dalam air panas yang suhunya diperkirakan 70ºC, 75% responden atau sebanyak sembilan pengguna botol polikarbonat yang menyimpan air dalam botol dan 72% responden atau sebanyak 10 pengguna botol yang menyimpan ASI merendam botol setelah air mendidih. 25 % responden atau sebanyak tiga orang pengguna yang menyimpan air dalam botol dan 28% responden atau sebanyak empat orang pengguna yang menyimpan ASI dalam botol melakukan sterilisasi botol dengan mengocok botol yang berisikan air panas. Perilaku responden yang mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan mengocok botol yang berisi air panas lebih beresiko terpapar BPA. Hal ini disebabkan pada saat pengocokan, air panas dan dinding botol mengalami gesekan secara berulang. Pada suhu tinggi, kekuatan plastik akan melemah atau melentur dan gesekan yang terjadi secara berulang dapat menggores dinding plastik sehingga BPA yang terkandung di dalamnya dapat terpapar. Cara sterilisasi lainnya dengan menggunakan steamer, yaitu pencucian botol susu polikarbonat secara otomatis dengan menggunakan uap panas (suhu 100ºC) . Cara sterilisasi dengan menggunakan steamer ini tergolong jarang digunakan karena dari segi harga, steamer termasuk barang yang tidak bisa dijangkau oleh semua kalangan. Sebaran sterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direndam air panas dapat dilihat pada Gambar 4.6.


(23)

21

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Michels (2008) di Sekolah Kesehatan Masyarakat Harvard (HSPH), menunjukkan bahwa air yang disimpan selama seminggu didalam botol polikarbonat dapat terkontaminasi BPA. Hal ini akan meningkat dua sampai tiga kali lipat apabila botol dipanaskan. Penelitian lain juga menyatakan bahwa botol susu polikarbonat yang mengalami perlakuan perebusan pada suhu 100ºC selama satu jam, pencucian dan penyikatan secara berulang akan mengakibatkan nilai paparan BPA pada botol meningkat (Brede et al, 2003). Menurut Biedermann-Brem dan Grob (2009), proses sterilisasi yang biasa diperlakukan pada botol bayi akan mempengaruhi konsentrasi BPA yang dilepaskannya. Botol bayi yang disterilkan dengan steamer

selama 5 menit dapat menyebabkan lepasnya BPA dari botol bayi sebanyak 3-10 µg/L. Besarnya konsentrasi BPA yang lepas dari botol bayi tergantung dari lamanya sterilisasi, semakin lama waktu sterilisasi semakin banyak BPA yang terlepas. Sedangkan mensterilisasi botol dengan merebusnya selama 10 menit akan menyumbang BPA sebanyak 6 µg/L.

Kemudian dilakukan perhitungan persentase tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden terhadap cara sterilisasi botol susu polikarbonat pada responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol. Persentase tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan cara sterilisasi botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dari Tabel dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menggunakan botol susu polikarbonat, baik untuk menyimpan air maupun ASI, mensterilisasi botol polikarbonat dengan cara perebusan. Responden pengguna botol polikarbonat untuk air yang mensterilisasi botol dengan perebusan memiliki beragam tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, mayoritas responden yang melakukan perebusan adalah responden dengan tingkat pendidikan SLTA sebesar 34%. Jika dilihat dari pekerjaannya, mayoritas responden yang melakukan perebusan adalah ibu rumah tangga sebesar 56%. Untuk responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat, pengguna yang melakukan sterilisasi dengan perebusan jika dilihat dari tingkat pendidikannya adalah S1 sebesar 53%. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas responden yang melakukan sterilisasi dengan perebusan adalah karyawan swasta sebesar 33%.

Tabel 4.7. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan cara sterilisasi botol susu polikarbonat

Sterilisasi Botol PC untuk Air Total

Sterilisasi Botol untuk ASI

Total Direbus Direndam

air panas Steamer Direbus

Direndam

air panas Steamer (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%)

Pendidikan

S2 3 4 3 3 6 1 7 4

S1 23 31 5 42 1 25 29 27 53 5 33 4 66 36 S0 17 23 5 42 3 75 25 7 14 4 27 2 34 13

SLTA 26 34 2 16 1 14 27 5 33 19

SMP 5 7 28

SD 1 1 5

Total 75 100 12 100 4 100 91 51 100 15 100 6 100 72

Pekerjaan

Ibu RT 42 56 7 58 49 14 27 5 34 1 17 20

Swasta 13 17 3 26 2 50 18 17 33 6 40 2 33 25 PNS 13 17 1 8 2 50 16 12 24 1 6 3 50 16

Wiraswasta 7 10 1 8 8 8 16 3 20 11


(24)

22

4.1.5. Sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol

Tempat penyimpanan botol susu polikarbonat dibedakan menjadi dua, yaitu tempat penyimpanan yang terbuka dan tempat penyimpanan yang tertutup. Dari hasil survei yang dilakukan terhadap 91 responden yang menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan air, 66% responden atau sebanyak 60 pengguna menyimpan botol di tempat tertutup dan 34% responden atau sebanyak 31 pengguna menyimpan botol di tempat terbuka. Pada 72 responden menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan ASI, 64% responden atau sebanyak 46 pengguna menyimpan botol di tempat tertutup dan 36% responden atau sebanyak 26 pengguna menyimpan botol di tempat terbuka. Artinya, secara keseluruhan responden menyimpan botol susu polikarbonat di tempat tertutup. Botol susu polikarbonat sebaiknya memang di simpan di tempat tertutup yang bersih, kering, dan tidak lembab. Penyimpanan botol susu di tempat tertutup yang bersih dan tidak lembab dapat mencegah botol terkontaminasi debu dan bakteri, selain itu, tempat tertutup dapat menghindari botol dari paparan sinar matahari secara langsung. Paparan sinar matahari secara langsung memang tidak secara instan menyebabkan lapisan plastik polikarbonat terkikis, akan tetapi semakin lama botol disimpan di tempat yang terpapar sinar matahari, kemungkinan plastik polikarbonat terkikis akan semakin besar. Untuk itu, penyimpanan botol susu polikarbonat sebaiknya di tempat yang tidak terpapar sinar matahari secara langsung.

Pada 72 responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat dilakukan survei lagi mengenai tempat penyimpanan ASI perah. Data survei tempat penyimpanan ASI perah dapat dilihat pada Tabel 4.8. Dari data diketahui bahwa responden menyimpan ASI perah di freezer dan lemari pendingin. 12 % responden atau sebanyak delapan pengguna menyimpan ASI perah di freezer kulkas dua pintu dan 88% responden atau sebanyak 64 pengguna menyimpan ASI perah di lemari pendingin. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki kecenderungan untuk menyimpan ASI perah di lemari pendingin. Pemilihan keputusan responden untuk menyimpan ASI perah di lemari pendingin karena ASI yang disimpan tidak untuk jangka waktu yang panjang. Pada suhu rendah, kemungkinan BPA terkikis dari plastik sangat kecil, akan tetapi semakin lama ASI disimpan dalam botol susu polikarbonat, tidak menutup kemungkinan bahwa BPA juga akan menkontaminasi ASI.

Tabel 4.8. Tempat penyimpanan ASI perah Tempat penyimpanan ASI perah Botol PC

(buah)

Persentase botol PC (%)

Freezer kulkas dua pintu 8 12 Lemari pendingin bagian bawah kulkas dua pintu 32 44

Lemari pendingin satu pintu 32 44

Total 72 100

Penyimpanan ASI perah dilakukan untuk menghindari kerusakan pada ASI. Organisasi laktasi internasional, Lalecheleague, menetapkan kisaran waktu penyimpanan ASI perah pada suhu ruang (19ºC-22ºC) dapat bertahan selama 4-10 jam, penyimpanan pada kulkas bagian bawah yang bersuhu 0ºC-4ºC dapat bertahan selama 2-3 hari, penyimpanan pada freezer kulkas satu pintu dengan suhu variatif < 4ºC dapat bertahan selama dua minggu, penyimpanan pada freezer kulkas dua pintu dengan suhu variatif < 4 ºC dapat bertahan selama 3-4 bulan, dan penyimpanan pada freezer khusus dengan suhu -19 ºC dapat bertahan selama 6 bulan atau lebih. Interval waktu tersebut tergantung kondisi dari lokasi penyimpanan. Perbedaan rentang waktu antara freezer kulkas satu pintu dengan freezer kulkas dua pintu disebabkan pada freezer dua pintu, suhu akan konstan karena bagian freezer kulkas tidak


(25)

23

Bila ASI perah akan diberikan kurang dari enam jam, maka ASI tidak perlu di simpan di lemari pendingin. Akan tetapi disarankan untuk tidak menyimpan ASI di suhu kamar lebih dari 3 atau 4 jam untuk mencegah ASI dari kontaminasi bakteri. Sebaiknya ASI disimpan di lemari pendingin bagian tengah atau di bagian terdalam freezer, karena lokasi-lokasi tersebut memiliki temperatur yang lebih dingin dan konstan. ASI yang disimpan pada rak yang menempel di pintu lemari pendingin akan mengalami perubahan suhu karena temperatur di tempat tersebut mudah berubah ketika pintu dibuka dan ditutup. Khamzah (2012) menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan ASI perah antara lain pemberian label keterangan waktu perah pada botol yang digunakan untuk menampung ASI, tidak mengisi botol penampung ASI dengan penuh karena ASI akan memuai saat membeku. Masa penyimpanan ASI yang paling lama adalah tidak lebih dari enam bulan dalam keadaan beku, jika disimpan lebih lama dari 6 bulan, komposisi yang terkandung dalam ASI bila terurai. Hal ini disebabkan pembekuan yang lama (lebih dari 6 bulan) dapat mengubah komposisi kimia ASI, seperti terjadi penguraian beberapa senyawa lemak dan hilangnya beberapa senyawa yang berfungsi melawan organisme berbahaya. Membekukan ASI akan merusak beberapa antibodi dalam ASI sehingga sebaiknya sedapat mungkin menggunakan ASI segar.

4.1.6. Sebaran responden berdasarkan cara penyiapan ASI

ASI yang telah disimpan untuk waktu tertentu oleh responden, sebelum dikonsumsi oleh anak, perlu melalui beberapa tahap penyiapan ASI. Tahap penyiapan ASI dikelompokkan menjadi tiga cara antara lain dengan mendiamkan botol di suhu ruang selama 30 menit, merendam botol dengan air panas, dan dengan menggunakan steamer. Dari hasil survei terhadap 72 responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat, terdapat empat responden yang menyiapkan ASI dengan cara mendiamkan botol di suhu ruang, sebanyak 62 responden menyiapkan ASI dengan merendam botol dalam air panas, dan sisanya sebanyak enam orang menyiapkan ASI dengan menggunakan steamer. Sebaran penyiapan ASI yang dilakukan responden dapat dilihat pada Tabel 4.9. Dari data tersebut, diketahui sebaran cara penyiapan ASI yang dilakukan oleh responden dengan persentase sebesar 86% responden menyiapkan ASI dengan cara merendam botol susu polikarbonat dalam air panas, sebesar 8% responden menyiapkan ASI dengan menggunakan steamer dan 6% responden menyiapkan ASI dengan mendiamkan botol di suhu ruang. Sebaran cara penyiapan ASI dalam botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Tabel 4.9. Cara penyiapan ASI yang dilakukan responden Cara penyiapan ASI perah Botol PC

(buah)

Persentase botol PC (%)

Didiamkan di suhu ruang 4 6

Direndam air panas 62 86

Menggunakan steamer 6 8


(26)

24

Gambar 4.7. Sebaran cara penyiapan ASI dalam botol susu polikarbonat

Hal ini menunjukkan kecenderungan responden untuk merendam botol ASI sebelum memberikannya pada anak untuk dikonsumsi. Cara ini dilakukan agar anak tidak mengkonsumsi ASI yang masih dalam keadaan dingin saat botol dikeluarkan dari tempat penyimpanan ASI. Perlakuan ini menyebabkan perubahan suhu yang sangat ekstrim bagi botol susu polikarbonat. Perubahan suhu yang mendadak selain dapat menyebabkan kerusakan kandungan vitamin dalam ASI, juga dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan plastik polikarbonat. Hal ini sangat memungkinkan BPA dari polikarbonat terpapar ke dalam ASI. Sebaiknya, untuk menyiapkan ASI yang disimpan dalam waktu satu atau dua hari di lemari pendingin, tidak perlu dilakukan pemanasan botol dengan merendam botol dalam air panas. Botol yang dikeluarkan dari lemari pendingin cukup didiamkan saja pada suhu ruang selama kurang lebih 30 menit sampai ASI dalam botol mencapai suhu normal. Hal ini dirasa lebih baik untuk mencegah terpaparnya BPA dari botol susu polikarbonat. Menurut Biedermann-Brem dan Grob (2009), cara penyiapan ASI dengan merebus botol susu dapat menyebabkan pelepasan BPA tidak lebih dari 0.5 µg/L.

Khamzah (2012) menjelaskan bahwa setelah penyimpanan, saat ASI akan diberikan kepada anak perlu penanganan khusus, seperti pemberian ASI sebaiknya berdasarkan waktu pemerahan dimana yang pertama diperah harus dikonsumsi lebih dulu. Untuk ASI yang disimpan di lemari pendingin cukup dihangatkan dengan cara meletakkan botol di wadah berisi air hangat selama 15 menit, sambil dikocok secara perlahan. Untuk ASI beku, keluarkan botol susu yang berisi ASI beku. Setengah jam sebelum dikonsumsi oleh anak, rendamlah di dalam wadah berisi air hangat, atau pindahkan ASI beku ke lemari pendingin bagian bawah semalam sebelum dikonsumsi. ASI tidak boleh dipanaskan dengan suhu tinggikarena akan merusak kandungan vitamin dalam ASI.

Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden terhadap cara penyiapan ASI. Persentase tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden yang menyimpan ASI perah terhadap pemilihan cara penyiapan ASI perah dapat dilihat pada Tabel 4.10. Dari Tabel dapat diketahui bahwa mayoritas responden menyiapkan ASI perah dengan cara merendam botol dalam air panas. Jika dilihat dari tingkat pendidikan responden yang menyiapkan ASI perah dengan merendam botol dalam air panas, responden paling banyak dengan tingkat pendidikan S1 sebesar 50%. Jika dilihat dari jenis pekerjaan yang menyiapkan ASI perah dengan cara merendam botol dalam air panas, responden paling banyak adalah karyawan swasta sebesar 35%.


(27)

25

Tabel 4.10. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden yang menyimpan ASI dalam botol terhadap pemilihan cara penyiapan ASI perah

Cara Penyiapan ASI

Total Didiamkan di

suhu ruang

Direndam air

panas Steamer

(n) (%) (n) (%) (n) (%)

Pendidikan S2 4 6 4

S1 1 25 31 50 4 67 36

S0 1 25 10 16 2 33 13

SLTA 2 50 17 27 19

Total 4 100 62 100 6 100 72

Pekerjaan Ibu RT 2 50 17 27 1 17 20

Swasta 1 25 22 35 2 33 25

PNS 1 25 13 21 2 33 16

Wiraswasta 10 17 1 17 11

Total 4 100 62 100 6 100 72

4.1.7. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin anak

Hasil survei pada 91 responden yang menyimpan air putih di dalam botol susu polikarbonat, menunjukkan sebaran jenis kelamin anak yang mengkonsumsi air putih dengan menggunakan botol susu polikarbonat sebanyak 45 anak laki-laki dan 46 anak perempuan dengan persentase 49% anak yang berjenis kelamin laki-laki dan 51% anak yang berjenis kelamin perempuan. Sebaran jenis kelamin anak yang mengkonsumsi air putih dari botol polikarbonat ini cenderung seimbang. Sedangkan dari 72 responden yang menyimpan ASI dalam botol polikarbonat, jenis kelamin anak yang mengkonsumsi ASI dengan menggunakan botol polikarbonat adalah sebanyak 27 anak berjenis kelamin laki-laki dan 45 anak yang berjenis kelamin perempuan. Gambaran sebaran jenis kelamin anak yang mengkonsumsi air dan ASI dalam botol polikarbonat dapat dilihat pada Gambar 4.8. Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa yang paling banyak mengkonsumsi air dan ASI dengan menggunakan botol susu polikarbonat adalah anak perempuan. Persentase sebesar 51% untuk anak perempuan yang mengkonsumsi air dalam botol susu polikarbonat dan sebesar 63% untuk anak perempuan yang mengkonsumsi ASI dalam botol susu polikarbonat. Sebenarnya baik anak laki-laki maupun anak perempuan, keduanya memiliki kemungkinan yang sama untuk terkontaminasi paparan BPA apabila orang tuanya tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap bahaya botol susu polikarbonat. Banyaknya persentase anak perempuan dalam hal ini disebabkan oleh tingkat kelahiran anak perempuan yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Berdasarkan data statistik tahun 2009, menunjukkan bahwa tingkat kelahiran bayi perempuan di Indonesia adalah 51,5% (BPS, 2010).

Penelitian yang dilakukan mengenai keterkaitan paparan BPA terhadap jenis kelamin dilakukan di Korea dengan pengukuran berdasarkan sampel urin. Hasilnya, konsentrasi BPA yang terpapar pada urin pria dan wanita tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan paparan BPA (Yang et al., 2006). Kang et al. (2006) menambahkan bahwa nilai konsentrasi BPA yang terpapar dalam tubuh manusia sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup dan pemakaian produk yang mengandung BPA.


(1)

65

66. Ambar S0 Swasta Kezia P 24 12 RS Sukmul Jl.

Tawes Jakut 60 3 5 1 6 A 60 0,0001 0,18 0,000001

67. Dewi K S1 Ibu RT Herman

syah L 14 12

RS Sukmul Jl.

Tawes Jakut 40 5 5 1 6 A 60 0,0001 0,2 0,000001

68. Annisa F S1 Swasta Syadza P 16 9

Puskesmas Pembantu Jl. Babakan Lebak Bogor

120 5 30 2 32 A 120 0,0001 0,6 0,000006

69. Winta A S1 PNS Shifa P 4 7

Puskesmas Pembantu Jl. Babakan Lebak Bogor

240 1 60 2 62 A 240 0,0001 0,24 0,000003

70. Sumarwat

i S1

Wirasw

asta Adit L 8 9,3

Puskesmas

Pembantu 120 3 30 2 32 B 120 0,0001 0,36 0,000004

71. Wenefrida S0 Ibu RT Kinanti P 3 4,2

Puskesmas Pembantu Jl. Babakan Lebak Bogor

60 1 10 1 11 B 60 0,0001 0,06 0,000001

72. Feni SLTA Ibu RT Aditya L 13 10

Puskesmas Pembantu Jl. Babakan Lebak Bogor

120 3 30 2 32 A 120 0,0001 0,36 0,000003

73. Putri P SLTA Wirasw

asta Natasha P 7 6

Puskesmas Pembantu Jl. Babakan Lebak Bogor

60 2 10 1 11 A 60 0,0001 0,12 0,000001

74. Eni O S1 PNS Adam L 19 11 Puskesmas

Pembantu Jl. 120 3 10 1 11 A 120 0,0001 0,36 0,000003

75. Nuraeni S1 PNS Darrah P 7 6

Puskesmas Tanah Sereal Jl. Kesehatan Bogor

60 1 30 2 32 A 60 0,0001 0,06 0,000001

76. Yuliana SLTA Ibu RT Naila P 24 14 Puskesmas Tanah


(2)

66

77. Fitri Y SLTA Swasta Nadia G P 10 10

Puskesmas Tanah Sereal Jl. Kesehatan Bogor

60 5 10 1 11 A 60 0,0001 0,3 0,000003

78. Aulia A. S1 Wirasw

asta Giandra L 11 7

Puskesmas Tanah Sereal Jl. Kesehatan Bogor

120 1 5 1 6 A 120 0,0001 0,12 0,000001

79. Indah S S1 Swasta Kamila P 6 8 RSIA Hermina Jl.

Ring road Bogor 20 1 15 1 16 A 60 0,0001 0,02 0,000001

80. Rakhma Y S1 PNS Namira P 19 12

RB Bidan Siti Jl. Balumbang Jaya Bogor

120 2 5 2 7 A 120 0,0001 0,24 0,000002

81. Syanti S1 PNS Rafa L 3,

5 6,8

RB Bidan Siti Jl. Balumbang Jaya Bogor

120 3 10 1 11 B 120 0,0001 0,36 0,000005

82. Yulianti S1 Swasta Aflah L 5 3,5

RB Bidan Siti Jl. Balumbang Jaya Bogor

60 1 15 1 16 A 60 0,0001 0,06 0,000001

83. Budiarti SLTA Ibu RT Fairus L 12 8,5

RB Bidan Siti Jl. Balumbang Jaya Bogor

60 3 15 1 16 B 60 0,0001 0,18 0,000002

84. Yuliani SLTA Ibu RT Askia P 9 10 RB Bidan Siti Jl. 60 1 10 1 11 A 60 0,0001 0,06 0,000001

85. Kemala D S0 Wirasw

asta Farhan L 13 12

RB Katili Jl. Raya

Dramaga Bogor 60 6 20 1 21 A 60 0,0001 0,36 0,000003

86. Dewi R S0 PNS Yesi P 12 14 RB Katili Jl. Raya

Dramaga Bogor 60 6 10 1 11 A 60 0,0001 0,36 0,000002

87. Dina M S0 PNS Rizki P 11 8,5 RS PMI Jl.

Pajajaran Bogor 120 2 20 2 22 A 120 0,0001 0,24 0,000003

88. Fika H S0 Swasta Annisa P 4, 5 8

RS PMI Jl.

Pajajaran Bogor 60 6 10 1 11 A 60 0,0001 0,36 0,000004

89. Rosmala S1 Swasta Syarif L 9 9,5 RS PMI Jl.

Pajajaran Bogor 120 3 15 2 17 A 120 0,0001 0,36 0,000004

90. Herma H S0 Swasta Wahyu L 11 8,6 RS Salak Jl. Jendral


(3)

67

91. Lilis S S0 Wirasw

asta Alpatir L 9 8

RS Salak Jl. Jendral

Sudirman Bogor 60 5 20 1 21 B 60 0,0001 0,3 0,000003

Rata-rata 10 0,0001 0,23

2 0,000002

Keterangan:

1. Nomor Urut

6. Jenis Kelamin Anak

11. Frekuensi Minum Anak (kali)

16. Volume Botol (mL)

2. Nama Responden

7. Usia Anak (bulan)

12. Lama Minum Anak (menit)

17. BPA yang Termigrasi Per L pangan (mg/L)

3. Pendidikan Responden

8. Berat Badan Anak (kg)

13. Lama Penyiapan (menit)

18. Konsumsi Pangan Per Hari (L/hari)

4. Pekerjaan Responden

9. Tempat Wawancara

14. Total Lama Waktu Kontak (menit)

19. Nilai Paparan Per Hari (mg/kg/hari)

5. Nama Anak

10. Porsi Minum Anak (mL)

15. Merk Botol


(4)

68

Lampiran 3. Hasil rekapan data survei konsumsi air (lanjutan)

No

Nama

Responden Cara Sterilisasi Botol Lama

(menit) Suhu (

o

Tempat Penyimpanan Botol C)

1. Rosma Direbus 5 100 Tempat tertutup

2. Nur Afni Direbus 5 100 Tempat tertutup

3. Juwita Direbus 5 100 Tempat tertutup

4. Herfina Direbus 5 100 Tempat tertutup

5. Ade K Direbus 5 100 Tempat tertutup

6. Yuli R Direbus 15 100 Tempat tertutup

7. Harun Direbus 10 100 Tempat tertutup

8. Aminah E Direndam air panas 5 70 Tempat tertutup

9. Sonya Direbus 5 100 Tempat tertutup

10. Syamsiah Direbus 5 100 Tempat terbuka

11. Yusmaini Direbus 15 100 Tempat tertutup

12. Fitri Direbus 10 100 Tempat terbuka

13. Linda Direbus 10 100 Tempat terbuka

14. Andi M Direbus 10 100 Tempat terbuka

15. Ivone Direbus 20 100 Tempat tertutup

16. Sari N Direbus 10 100 Tempat tertutup

17. Yenni R Direndam air panas 5 70 Tempat tertutup

18. Aryani Direbus 5 100 Tempat tertutup

19. Isti Direbus 10 100 Tempat tertutup

20. Rita M Direbus 10 100 Tempat tertutup

21. Ade R Direbus 20 100 Tempat tertutup

22. Eka J Direbus 10 100 Tempat terbuka

23. Linawaty Direndam air panas 5 70 Tempat tertutup

24. Astuti Direbus 3 100 Tempat tertutup

25. Nur Afni Direbus 15 100 Tempat tertutup

26. Pricil Direbus 15 100 Tempat tertutup


(5)

69

28. Meti Direndam air panas 10 70 Tempat tertutup

29. Sari H Direbus 15 100 Tempat tertutup

30. Theresia Direbus 15 100 Tempat tertutup

31. Linus S Direndam air panas 15 70 Tempat tertutup

32. Andreas Direndam air panas 15 70 Tempat tertutup

33. Mei W Direbus 5 100 Tempat tertutup

34. Friska Direndam air panas 10 70 Tempat tertutup

35. Sari Direbus 60 100 Tempat tertutup

36. Ramdania Direbus 10 100 Tempat tertutup

37. Yanti Direbus 10 100 Tempat tertutup

38. Murli Direbus 1 100 Tempat tertutup

39. Eni M Direbus 10 100 Tempat terbuka

40. Jani M Direndam air panas 15 70 Tempat terbuka

41. Umaiyah Direbus 15 100 Tempat terbuka

42. Martinah Direbus 15 100 Tempat terbuka

43. Khoiriyah Direbus 10 100 Tempat terbuka

44. Arta M Direbus 15 100 Tempat terbuka

45. Linda N Direbus 10 100 Tempat tertutup

46. Esti P Direbus 5 100 Tempat tertutup

47. Vivi Direbus 5 100 Tempat terbuka

48. Ade M Direbus 5 100 Tempat tertutup

49. Makhria Direbus 10 100 Tempat tertutup

50. Tati Direbus 5 100 Tempat terbuka

51. Lena Direbus 5 100 Tempat tertutup

52. Agustina Direbus 5 100 Tempat tertutup

53. Sri M Direbus 5 100 Tempat terbuka

54. Satria Direbus 5 100 Tempat tertutup

55. Enike Direbus 5 100 Tempat tertutup

56. Sisca Direbus 15 100 Tempat tertutup

57. Sofi Direbus 10 100 Tempat tertutup

58. Agustine Direndam air panas 5 70 Tempat tertutup

59. Valentina Direbus 15 100 Tempat tertutup


(6)

70

61. Halimah Direbus 5 100 Tempat terbuka

62. Dewi Direbus 3 100 Tempat tertutup

63. Suwardi Direbus 2 100 Tempat tertutup

64. Natalinar Direbus 5 100 Tempat tertutup

65. Wasti Direbus 2 100 Tempat terbuka

66. Ambar Direbus 3 100 Tempat tertutup

67. Dewi K Direbus 5 100 Tempat tertutup

68. Annisa F Direbus 30 100 Tempat terbuka

69. Winta A Direbus 2 100 Tempat tertutup

70. Sumarwati Direbus 30 100 Tempat terbuka

71. Wenefrida Direbus 15 100 Tempat terbuka

72. Feni Direbus 30 100 Tempat terbuka

73. Putri P Direbus 5 100 Tempat tertutup

74. Eni O Menggunakan steamer 10 100 Tempat tertutup

75. Nuraeni Direbus 30 100 Tempat terbuka

76. Yuliana Direbus 20 100 Tempat terbuka

77. Fitri Y Direbus 15 100 Tempat terbuka

78. Aulia A. Direbus 15 100 Tempat tertutup

79. Indah S Direbus 30 100 Tempat terbuka

80. Rakhma Y Direbus 15 100 Tempat tertutup

81. Syanti Direbus 5 100 Tempat terbuka

82. Yulianti Direbus 10 100 Tempat terbuka

83. Budiarti Direndam air panas 15 70 Tempat tertutup

84. Yuliani Direbus 5 100 Tempat terbuka

85. Kemala D Direndam air panas 5 70 Tempat tertutup

86. Dewi R Direndam air panas 10 70 Tempat terbuka

87. Dina M Menggunakan steamer 5 100 Tempat tertutup

88. Fika H Menggunakan steamer 5 100 Tempat terbuka

89. Rosmala Direbus 10 100 Tempat tertutup

90. Herma H Direbus 5 100 Tempat terbuka


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Ibu Memilih Pemberian Susu Formula Pada Bayi 0-6 Bulan di Desa Lubuk Rotan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 39 68

Kajian Paparan Bisfenol-A (BPA) Dari Botol Susu Polikarbonat Pada Bayi. Studi Kasus : Wilayah DKI Jakarta

1 5 178

STERILISATOR BOTOL SUSU BAYI BERBASIS MIKROKONTROLER

14 59 111

Pengaruh paparan radiasi sinar matahari terhadap kadar bisfenol A dalam botol plastik jenis polikarbonat yang ditetapkan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik.

2 10 165

Pengaruh paparan sinar matahari terhadap kadar bisfenol A dalam air yang berasal dari botol polikarbonat dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik dengan metode pengayaan.

0 0 141

Pengaruh paparan radiasi sinar matahari terhadap kadar bisfenol A dalam botol plastik jenis polikarbonat yang ditetapkan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik

1 2 163

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN ASI DAN MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU ( MP – ASI ) DENGAN STATUS GIZI PADA BAYI DI PUSKESMAS BANDARHARJO SEMARANG 2008 - UDiNus Repository

0 0 2

PDF ini Perbedaan Kadar Lisozim dalam Air Susu Ibu (ASI) pada Bayi Sehat dan Bayi Sakit yang Mendapat ASI Eksklusif | Irwandi | Sari Pediatri 4 PB

0 0 6

BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Konsep Teori Air Susu Ibu (ASI) 1. Air Susu Ibu (ASI) - BAB II pdf

0 0 28

Pengaruh paparan sinar matahari terhadap kadar bisfenol A dalam air yang berasal dari botol polikarbonat dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik dengan metode pengayaan - USD Repository

0 0 139