34 bersifat non-polar, namun seiring jumlah penggunaannya pada suhu tinggi,
terbentuk berbagai senyawa yang menyebabkan sifat minyak jelantah menjadi polar. Senyawa polar ini dapat diadsorpsi oleh karbon aktif yang mengandung
gugus polar [65]. Pada tahap pre – treatment yang dilakukan oleh peneliti, terjadi
penurunan volume minyak yang dihasilkan TWCO terhadap volume minyak sebelum perlakuan. Sehingga, penurunan kadar asam lemak jenuh dapat terjadi
disebabkan oleh terjadinya adsorpsi senyawa polar pada pre-treatment minyak jelantah.
Selain mengidentifikasi komponen asal lemak dalam minyak jelantah, dilakukan juga identifikasi kandungan asam lemak bebas FFA pada minyak
jelantah dengan AOCS Official Method Ca 5a-40 dan diperoleh kadar FFA TWCO sebesar 0,4. Adsorben ini memiliki kemampuan adsorpsi asam dan basa
yang tinggi [53]. Karbon aktif memiliki luas permukaan yang besar dan distribusi ukuran poros yang bervariasi sehingga mampu untuk mengikat polutan dengan
berbagai ukuran molekul. Selain itu, adsorben juga dapat berfungsi sebagai agen bleaching
dan de-coloring [49, 66]. Penggunaan karbon aktif dapat menurunkan kadar FFA minyak jelantah sebesar lebih dari 60 dari keadaan awal [45].
Dengan kata lain, proses pre-treatment minyak jelantah pada penelitian ini berhasil menurunkan kadar FFA sebesar 68 dari keadaan awal menjadi bahan
baku yang layak digunakan untuk proses transesterifikasi dan sesuai dengan kajian yang dilaporkan oleh Kheang [45].
4.3 KATALIS ABU DARI LIMBAH CANGKANG TELUR AYAM
Pada tahap ini, limbah kulit telur ayam dibersihkan dan dikalsinasi pada suhu tinggi. Kalsinasi pada suhu tinggi akan mengubah kalsium karbonat CaCO
3
yang terkandung dalam cangkang telur ayam menjadi kalsium oksida CaO. Berbagai
penelitian melaporkan bahwa kalsinasi akan optimal jika dilakukan pada suhu 900 °
C – 1.100 °C selama 2 jam [8]. Berdasarkan kajian oleh Sirisomboonchai, dkk.
2015, proses kalsinasi optimal dilakukan pada suhu 1.000 °C selama 2 jam. Kalsinasi pada suhu yang lebih tinggi akan mengakibatkan penurunan sifat
katalitik dan luas permukaan aktif pada katalis [6]. Tabel 4.3 menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
35 komposisi yang terkandung dalam katalis abu limbah cangkang telur ayam
menggunakan AAS Atomic Absorption Spectrophotometry dan oven.
Tabel 4.3 Komposisi Katalis Abu dari Limbah Cangkang Telur Ayam
Parameter Satuan
Hasil Uji Metode Uji
CaO 60,08
IK.01.P.09 AAS Kadar Air
0,1 IK.01.P.01 Oven
Pada penelitian ini, dilakukan analisis SEM Scanning Electron Microscope
untuk melihat perbandingan morfologi cangkang telur sebelum dan setelah dikalsinasi yang disajikan dalam Gambar 4.1.
a b
Gambar 4.1 Hasil Analisis SEM pada Cangkang Telur a Sebelum Kalsinasi dengan Perbesaran 2.500 kali b Setelah Kalsinasi dengan Perbesaran
2.500 kali Dari Gambar 4.1, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan morfologi pada
cangkang telur setelah diberikan perlakuan kalsinasi. Gambar 4.1a menunjukkan serbuk cangkang telur memiliki permukaan yang datar, tidak beraturan, dan
cenderung menumpuk pada bagian tertentu. Gambar 4.1b menunjukkan serbuk cangkang telur setelah kalsinasi yang cenderung lebih beraturan dan mengalami
pengecilan ukuran dibandingkan sebelum proses kalsinasi. Pengecilan ukuran partikel dapat dilihat langsung dari jumlah distribusi cangkang telur pada
perbesaran yang sama. Morfologi abu cangkang telur yang lebih rapuh dan beraturan. Hal yang sama juga dilaporkan dalam kajian yang dilakukan Tan [67].
Adapun perubahan ukuran dan struktur pada cangkang telur dapat disebabkan oleh perubahan komposisi CaCO
3
menjadi CaO saat kalsinasi.
Universitas Sumatera Utara
36 Dari Tabel 4.3 dan Gambar 4.1, dapat dilihat bahwa abu cangkang telur
yang dihasilkan dari kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1.000 °C selama 2 jam memiliki ukuran partikel 2
– 4 μm, mengandung kadar CaO sebesar 60,08, dengan kadar air sebesar 0,1. Dengan demikian, abu hasil kalsinasi cangkang
telur ayam dapat digunakan sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel.
4.4 ZEOLIT ALAM