1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: a. Pengaruh ekstrak N-heksan buah andaliman terhadap penampilan reproduksi
induk betina mencit Mus musculus L. strain DDW.
b. Pengaruh ekstrak N-heksan buah andaliman terhadap pertumbuhan dan
perkembangan fetus mencit Mus musculus L. strain DDW.
c. Pengaruh ekstrak N-heksan buah andaliman terhadap perkembangan struktur
kraniofacial fetus mencit Mus musculus L. strain DDW.
1.4. Hipotesis
a. Ekstrak N-heksan buah andaliman dapat mempengaruhi penampilan reproduksi
induk betina mencit Mus musculus L. strain DDW.
b. Ekstrak N-heksan buah andaliman dapat mempengaruhi berat badan fetus dan jumlah fetus hidup.
c. Ekstrak N-heksan buah andaliman dapat mempengaruhi struktur kraniofacial
mencit Mus musculus L. strain DDW.
1.5. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak N-heksan buah andaliman Zanthoxylum
acanthopodium DC. terhadap perkembangan struktur kraniofacial embrio mencit
Mus musculus L. strain DDW yang diberikan pada induk mencit dengan umur
kebuntingan 0-10 hari. b. Sebagai sumber informasi pada instansi dan masyarakat sehingga dapat dilakukan
penelitian yang lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC.
2.1.1. Sistematika Tanaman Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC.
Menurut Whitmore 1992, kedudukan tanaman Zanthoxylum di dalam sistematika taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Zanthoxylum
Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC.
2.1.2. Deskripsi Andaliman
Andaliman berupa semak atau pohon kecil yang memiliki cabang rendah, tingginya mencapai 5 m dan merupakan tumbuhan menahun. Permukaan batang,
cabang dan ranting andaliman berduri. Daun andaliman merupakan daun majemuk yang tersebar diseluruh batang dan cabang Siregar, 2002. Bunganya majemuk
berbatas dalam anak payung dan mempunyai perhiasan bunga satu lingkaran yaitu kelopak yang disusun oleh lima daun kelopak bebas Tjitrosoepomo, 1991. Dasar
bunganya rata dan berbentuk kerucut serta berukuran kecil. Buah andaliman berbentuk bulat bewarna hijau, bila digigit mengeluarkan aroma wangi dan ada rasa
getir yang tajam dan khas serta dapat merangsang produksi air liur Siregar, 2002.
Universitas Sumatera Utara
A B Gambar 2.1. Buah andaliman; A. Buah muda, B. Buah yang sudah tua
2.1.3. Kandungan Senyawa Kimia Andaliman
Andaliman mengandung senyawa polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen, serta kuinon. Selain itu juga terdapat minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol, dan
citronella yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon Simangunsong, 2008 dalam Sinaga, 2009. Ekstrak segar andaliman mengandung flavonoid, alkaloid,
terpenoid, dan steroid Nababan, 2012. Tanaman andaliman juga mengandung senyawa terpenoid yang memiliki
aktivitas antioksidan yang sangat baik bagi kesehatan dan berperan dalam mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan,
perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Senyawa terpenoid juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba, sehingga andaliman dapat dijadikan
bahan baku senyawa antioksidan dan antimikroba bagi industri Wijaya, 1999. Menurut Suryanto et al., 2008, hasil ekstraksi dan kandungan total fenolik
andaliman adalah:
Tabel 2.1. Hasil Ekstraksi dan Kandungan Total Fenolik Andaliman Jenis
Tanaman
Nama Ilmiah Ekstrak
Rendemen mgg
Total Fenolik µgg
Andaliman Zanthoxyllum
acanthopodium Heksana
Aseton Etanol
78,06±2,48 31,75±5,56
69,98±3,36 27,7±0,58
91±0,03 125,3±0,59
Fenolik merupakan suatu senyawa dimana gugus OH- nya terikat pada inti benzene inti aromatik. Fenola ialah suatu senyawa yang terbentuk apabila satu atau
Universitas Sumatera Utara
lebih atom N dan inti benzene inti aromatik diganti oleh gugus ori hidroksil. Fenol bersifat asam jika dilarutkan dalam air Sulaiman, 1990.
Golongan senyawa fenolik merupakan komponen bioaktif yang terdapat pada tanaman. Fenolik atau polifenol adalah senyawa metabolit sekunder yang berfungsi
sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan tersebut dan lingkungan Lenny, 2006. Beberapa senyawa fenolik memiliki sifat toksik
terhadap hewan pemangsa, tumbuhan dan senyawa fenolik lainnya memiliki aktivitas antiinflamasi sehingga dapat menghambat sintesis prostaglandin Robinson, 1995.
2.2. Tahap-tahap perkembangan 2.2.1.
Periode praimplantasi
Periode praimplantasi terjadi setelah pembuahan fertilisasi yaitu proses penyatuan ovum dan sperma Isnaeni, 2006, sehingga menghasilkan zigot Syahrum, 1994;
Nalbandov, 1990, zigot berkembang dan akan mengalami pembelahan cleavage yaitu merupakan serangkaian pembelahan mitotik yang menyebabkan sitoplasma zigot
semakin banyak dan akan terus-menerus membelah sehingga zigot akan tampak seperti buah arbei yang disebut morula Sadler, 2006,
Morula akan berkembang menjadi blastokista, yang membentuk rongga blastocoel Sperber, 1991. Membran bagian luar sel membentuk tropoblas, kemudian
tropoblas berubah menjadi korion lalu akan membentuk plasenta. Tropoblas bagian dalam menghasilkan cairan amnion, membran bagian dalam membentuk massa sel
dalam yang kemudian akan berkembang menjadi embrio Sadler, 2006.
2.2.2. Periode Embrionik
Periode embrionik dibagi menjadi 3 periode: prasomit, somit dan pasca somit. Selama periode prasomit, lapisan primer embrio dan adnexa embrionik membran
fetus terbentuk dalam massa sel dalam. Pada periode somit, ditandai dengan munculnya segmen metamerik dorsal yang prominen, pola dasar sistem tubuh dan
organ utama, ditentukan. Periode pasca-somit ditandai dengan pembentukan bagian
Universitas Sumatera Utara
luar tubuh Sperber, 1991. Periode pasca-somit merupakan fase organogenesis, pada fase ini terjadi diferensiasi pembentukan organ tubuh, sehingga pada fase ini
merupakan fase paling peka terjadinya malformasi anatomik dan pengaruh buruk lainnya dengan beberapa kemungkinan: pengaruh letal, pengaruh sub letal dan
gangguan fungsional Santoso, 1990.
2.2.3. Periode Fetus
Periode fetus terjadi setelah organogenesis hingga saat lahir. Tahap ini ditandai dengan munculnya pusat osifikasi dan pergerakan pertama dari fetus. Terdapat sedikit
diferensiasi atau organogenesis jaringan baru, tetapi juga ada pertumbuhan yang cepat dan pembesaran struktur dasar yang sudah terbentuk Sperber, 1991.
2.3. Tahap Perkembangan Kraniofacial
Regio kepala berasal dari mesoderm paraksial dan mesoderm lempeng lateral, krista neuralis dan region ektoderm yang menebal dikenal sebagai plakoda ektoderm.
Mesoderm paraksial membentuk dasar tengkorak dan sebagian kecil region oksipital, semua otot volunder regio kraniofasial, dermis dan jaringan ikat dibagian dorsal
kepala Sadler, 2006.
Mesoderm paraksial juga membentuk pusat prosensephalik yang berjalan melalui garis primitive berada di ujung rostral notokord dibalik forebrain
prosensephalon, merangsang pembentukan alat indra penglihatan dan telinga luar, telinga tengah serta sepertiga atas wajah Sperber, 1991.
2.3.1.
Pembentukan Sistem Saraf Pusat
Pembentukan sistem saraf diawali dengan proses pembentukan bumbung neural yang disebut neurulasi Sabri, 2009. Lempeng saraf berasal dari ektoderm, memanjang dan
meluas ke arah primitif, lalu tepi lempeng saraf meninggi untuk membentuk lipatan saraf neural fold dan bagian tengah yang cekung membentuk alur saraf neural
Universitas Sumatera Utara
groove, lipatan saraf tumbuh ke atas dan ke garis tengah lalu terjadilah fusi sehingga terbentuk tabung saraf neural tube Sadler, 2006.
Pada awal embrio mamalia, struktur bumbung neural masih berupa tabung yang lurus. Sebelum posterior terbentuk, bagian anterior dari bumbung neural
membengkak dan menjadi 3 vesikel primer yaitu: a. Forebrain Prosencephalon
: Prosencephalon akan berdiferensiasi menjadi 2 bagian yaitu bagian anterior membentuk telencephalon dan bagian posterior
membentuk diencephalon. b. Midbrain Mesencephalon
: Mesencephalon akan berdiferensiasi membentuk suatu rongga Aquaduct cerebral.
c. Hindbrain Rhombencephalon : Rhombencephalon akan berdiferensiasi menjadi 2 bagian yaitu bagian anterior yang akan membentuk myelencephalon yang
kemudian berkembang membentuk medulla oblongata yang menghasilkan saraf untuk mengatur pergerakan respirasi, gastrointestinal dan cardiovascular. Bagian
posterior membentuk metencephalon yang kemudian akan muncul sereblum Sabri, 2009.
Pada saat tabung saraf tertutup terjadi 2 penebalan ektoderm bilateral, sehingga akan terbentuk plakoda otika lempeng telinga dan plakoda lentis lempeng
lensa Sadler, 2006.
2.3.2. Perkembangan Wajah, Mulut dan Hidung
Wajah berasal dari 5 tonjolan yang mengelilingi cekungan sentral, stomodeum, yang membentuk bakal mulut Sperber, 1991.
Tonjolan-tonjolan pada wajah dan ceruk mulut terletak di atas tonjol jantung yang disebabkan melengkungnya embrio sehingga tonjolan wajah tidak terlihat.
Tonjolan wajah dapat terlihat setelah terangkat dari tonjol-tonjol jantung Drews, 1996. Tonjol-tonjolan tersebut adalah frontonasal tengah tunggal dan sepasang
tonjolan maksila dan mandibula Sperber, 1991.
Universitas Sumatera Utara
Prominensia frontonasalis frontonasal tengah tunggal yang terdiri dari dua sisi akan membentuk plakoda nasalis dan membentuk batas atas stomodeum Sadler,
2006. Plakoda nasalis akan mengalami invaginasi sehingga terbentuk fovea nasalis serta tonjol hidung medial dan lateral Drews, 1996. Prominensia maksilaris akan
berkembang dan tumbuh ke arah medial sehingga menekan prominensia medial ke garis tengah. Celah yang terdapat diantara prominensia nasalis dan prominensia
maksilaris yaitu nasolakrimal hilang sehingga keduanya menyatu. Prominensia nasalis medial dan prominensia maksilaris akan membentuk bibir atas, sedangkan
bibir bawah dibentuk oleh prominensia mandibularis yang menyatu dibagian tengah, lalu prominensia maksilaris akan terus membesar sehingga membentuk pipi Sadler,
2006.
Celah bibir atas dan celah bagian depan palatum terbentuk dari kegagalan desintegrasi normal dari sayap nasal, kematian sel atau pertukaran mesensimal dengan
cara menghalangi penyatuan mesensim nasal medial dan maksilar Sperber, 1991. Tonjolan nasal medial akan menyatu digaris tengah membentuk langit-langit primer
Drews, 1996.
Dalam zona peleburan antara tonjol-tonjolan nasal medial dan lateral, serta tonjol maksilar terbentuk kelim epitelial tembok epitel Hofstetter bersifat sementara.
Tembok epitel terbentang di kedalaman antara langit-langit primer dan langitan sekunder Drews, 1996, langit-langit sekunder tersebut berasal dari perluasan
mesoderm Craigmyle Presley, 1975. Dibelakang langit-langit primer terdapat rongga tekak sebagai kesatuan yang terisi oleh lidah dan meluas sampai pada dasar
tengkorak. Melalui langit-langit sekunder rongga ini terbagi menjadi lorong hidung definitif dan rongga mulut, lalu terbentuk lempeng langit-langit yang mula-mula
terdapat pada sisi lateral lidah. Pada batas antara langit primer dan langi-langit sekunder berasal dari lempeng langit-langit Drews, 1996.
Hidung merupakan hasil dari tonjolan frontal, penyatuan tonjolan nasal medial, tonjolan nasal lateral ala, dan kapsul tulang rawan nasal terdiri dari septum
dan cocha nasal Sperber, 1991. Tonjolan frontal prominensia frontonalis akan membentuk jembatan hidung. Tonjolan nasal medial prominensia nasal medial akan
menyatu sehingga membentuk lengkung hidung dan ujung hidung. Tonjolan nasal
Universitas Sumatera Utara
lateral prominensia nasal lateral akan membentuk cuping hidung disebut juga alae Sadler, 2006. Celah hidung akan terpisah, lalu terjadilah penggabungan tonjolan
nasal medial, maksila, dan nasal lateral, sehingga membentuk lubang hidung yaitu
nares anterior Sperber, 1991.
2.3.3. Perkembangan Mata
Perkembangan mata berasal dari diencephalon, lalu akan mengalami diferensiasi membentuk vesikula optika kemudian akan menginduksi ektoderm untuk
membentuk plakoda lensa. Plakoda lensa mengalami invaginasi dan berkembang menjadi vesikula lentis vesikel lensa kemudian vesikula lentis terlepas dari ektoderm
dan berada di mulut cawan optik. Bagian luar dari dinding cawan optik akan membentuk retina neural yang terdiri dari fotoreseptor, sel glia, interneuron dan sel
ganglion Sadler, 2006.
2.3.4. Pembentukan Telinga
Perkembangan telinga berasal dari penebalan ektoderm rhombencephalon membentuk plakoda otika lalu mengalami invaginasi membentuk vesikula otika kemudian akan
membentuk 2 bagian: a. bagian ventral menghasilkan sakulus dan duktus koklearis, b. bagian dorsal membentuk utrikulus, kanalis semisikularis dan duktus endolimpatikus,
lalu secara bersama membentuk labirin membranosa Sadler, 2006. Labirin membranosa mengandung sel-sel epitel yang akan dimodifikasi menjadi neuroepitel
sel rambut. Labirin membranosa yang pertama ditransformasikan menjadi tulang rawan, lalu menjadi tulang labirin Adnan, 2008.
Neuroepitel dilapisi oleh membran tektoria, lalu bersama sel sensorik akan menbentuk organ corti. Selama pembentukan vesicular otika, suatu kelompok kecil
sel memisah dari dindingnya dan membentuk ganglion statoakustik, lalu ganglion terpisah menjadi bagian kokleare dan vestibula yang masing-masing memasok sel
Universitas Sumatera Utara
sensorik organ corti dan sel-sel sensorik sakulus, utrikulus, kanalis dan semisirkularis Sadler, 2006.
Telinga tengah berasal dari kantung faring pertama yang tumbuh ke arah lateral, bagian distal disebut processus tubotymphanicus lalu melebar membentuk
cavum tympani. Bagian proksimal membentuk saluran eustachius yang menghubungkan cavum tympani dengan nasofaring, lalu akan membentuk cavum
tympani. Cavum tympani akan menginvaginasi tulang prosesus mastoideus dan terbentuklah peneumatisasi kantong-kantong udara Adnan, 2008.
Telinga luar berasal dari bagian dorsal celah faring pertama yang akan berkembang membentuk meatus akustikus ekstermus, lalu berpoliferasi membentuk
lempeng epitel solid, sumbat meatus bersama-sama dengan lapisan epitel endoderm di kavitas tympani dan lapisan intermedier jaringan ikat untuk membentuk gendang
telinga. Perkembangan selanjutnya terjadilah enam poliferasi mesenkim pada ujung dorsal arkus faring pertama dan kedua, lalu terjadilah penyatuan meatus akustikus
eksternus dan membentuk aurikula. Dengan terbentuknya mandibula, telinga luar naik ke samping kepala setinggi mata Sadler, 2006.
2.4. Teratogenesis
Teratogenesis adalah kelahiran bayi yang abnormal akibat gangguan zat asing yang masuk ke dalam tubuh ibu Wirohusodo, 1995 dalam Tampubolon, 2000. Studi
tentang asal mula embriologis dan kuasa berbagai cacat lahir teratogen disebut teratologi Sadler, 2006. Teratologi merupakan bagian embriologi eksperimental
yang berusaha menjelaskan hubungan sebab-akibat pada terjadinya berbagai malformasi. Salah satu aspeknya ialah penelitian semua obat baru terhadap khasiat
teratogenik melalui percobaan pada hewan Drews, 1996. Zat yang menyebabkan efek teratogenik disebut dengan teratogen. Teratogen adalah senyawa organik
maupun anorganik yang merupakan salah satu zat yang bersifat toksik zat yang dapat merusak sistem biologis dari makhluk hidup Wirohusodo, 1995 dalam Tampubolon,
2000.
Universitas Sumatera Utara
Pemakaian bahan kimia berhasil meningkatkan mutu kehidupan masyarakat tetapi menimbulkan dampak negatif. Senyawa kimia selain bersifat toksik juga dapat
bersifat teratogenik. Pemberian bahan kimia selama periode organogenesis pada hewan betina yang sedang bunting dapat menyebabkan kelainan perkembangan atau
bersifat teratogenik karena merupakan periode yang sensitif Susantin et al., 2006.
Menurut Sadler 2006, faktor-faktor yang menentukan kapasitas suatu agen untuk menimbulkan cacat lahir telah didefenisikan dan diajukan sebagai prinsip
teratologi. Prinsip tersebut mencakup:
a. Kerentanan terhadap teratogenesis yang bergantung pada genotipe konseptus dan cara bagaimana komposisi genetik ini berinteraksi dengan lingkungan.
b. Kerentanan terhadap teratogen bervariasi sesuai stadium perkembangan saat pajanan.
c. Manifestasi gangguan perkembangan bergantung pada dosis dan lama pajanan ke teratogen.
d. Teratogen bekerja melalui jalur mekanisme spesifik pada sel dan jaringan yang sedang berkembang untuk memicu kelainan embriogenesis patogenesis.
e. Manifestasi kelainan perkembangan adalah kematian, malformasi, retardasi pertumbuhan, dan gangguan fungsional.
2.5. Kerja Zat Teratogen