Risiko Pernikahan Dini Landasan Teori

- Adat Istiadat Di banyak daerah di Indonesia ada semacam anggapan jika anak gadis yang telah dewasa belum berkeluarga dipandang merupakan aib keluarga. Untuk mencegah aib tersebut, para orangtua berupaya secepat mungkin menikahkan anak gadis yang dimilikinya, yang pada akhirnya mendorong terjadinya pernikahan dini. Desa Pantai Utara Pulau Jawa, suatu daerah yang penduduknya biasa menikahkan anak gadisnya di usia muda, biarpun tak lama kemudian bercerai. Di daerah tersebut perempuan yang berumur 17 tahun apabila belum kawin dianggap perawan tua yang tidak laku. Tak jauh beda di Kabupaten Bantul, perempuan usia dibawah 20-an tak menikah maka dianggap perempuan tak laku. - Pandangan dan kepercayaan Dibanyak daerah masih ditemukan adanya pandangan dan kepercayaan yang salah, misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status pernikahan, adanya anggapan bahwa status janda lebih baik daripada perawan tua, adanya anggapan bahwa kejantanan seseorang dinilai dari seringnya melakukan pernikahan.

2.3. Risiko Pernikahan Dini

Seorang dokter peneliti dari Universitas Islam Negeri menyatakan ada beberapa hal dampak yang diakibatkan dari pernikahan dini, diantaranya anak yang menikah di usia dini sering mendapatkan kekerasan dari orangtua dan keluarga bila menolak untuk dinikahkan. Hal ini terjadi di desa Tegal Dowo Rembang dan Desa Ngiri, orangtua melakukan kekerasan fisik seperti memukul, menendang sehingga Universitas Sumatera Utara anak keluar dari rumah, semakin meningkatnya perceraian, faktor ekonomi sehingga kemiskinan meningkat karena belum siap secara ekonomi, dan kebebasan anak dari orangtua meningkat karena telah menikah mereka akan keluar dari desanya mencari pekerjaan, beberapa kasus menyebutkan mereka bekerja sebagai penyanyi karauke bahkan ada yang menjadi wanita penghibur. Faktor kesehatan yang terjadi, biasanya terjadi pada pasangan wanita saat mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan seorang remaja. Sebenarnya ia belum siap mental untuk hamil, namun karena keadaaan ia terpaksa menerima kehamilan dengan risiko. Rianti 2004 melakukan penelitian terhadap 127 orangtua yang melakukan pernikahan berusia 20 tahun menyimpulkan bahwa hampir sebagian besar orangtua 84,11 persen kurang memperhatikan kesehatan dan pendidikan anaknya, 72,43 persen orangtua cenderung mengabaikan keinginan anaknya dan membatasi semua aktivitas anak dengan mengancam serta memarahinya dan 81,66 persen orangtua pesimistis terhadap anaknya.

2.4. Faktor-faktor Karakteristik Keluarga

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak dari hasil pernikahan dini, antara lain sebagai berikut :

2.4.1. Pendidikan

Pendidikan yang tinggi memungkinkan seorang ibu dapat mengakses informasi tentang gizi juga akan semakin mudah. Wanita terpelajar lebih mudah Universitas Sumatera Utara tertarik terhadap informasi gizi dan banyak diantara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari media cetak, khususnya majalah dan koran. Apriadji 1986 menyatakan bahwa faktor pendidikan mennetukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Dalam kepentingan gizi keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan dan penghasilan lebih tinggi mendapat paparan media masa lebih tinggi juga BKKBN, 1986. Di Indonesia, seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mudah mengakses berbagai masalah populer termasuk masalah gizi. Tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan keadaan gizi anak. Hal ini disebabkan ibu rumah tangga mempunyai peranan penting dalam menentukan dan mengatur keuangan,. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik status gizi anak Hasanah, 2012. Namun seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu memilih makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi, karena sekalipun pendidikannya rendak, jika orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga juga berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga. Sumarwan 2003 menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga maka kemungkinan akan mempunyai Universitas Sumatera Utara tingkat pendapatan yang relatif tinggi pula sehingga pola konsumsi rumah tangga yang bersangkutan juga akan berubah. Widjaya 2000 mengungkapkan bahwa kecenderungan semakin tinggi pendidikan formal yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula status sosial ekonominya dan semakin otoritatif pola asuhnya. Hal ini disebabkan mereka lebih terbuka terhadap pembaharuan karena lebih seriang mendapatkan informasi dari media cetak maupun media massa.

2.4.2. Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitiff merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang overt behavior. Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu Notoadmodjo, 2003. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai Berg, 1986. Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Dalam kepentingan gizi keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya Apriadji, 1986. Bagi masyarakat yang Universitas Sumatera Utara berpendidikan dan cukup pengetauan tentang nilai gizi makanan atau pertimbangan fiziologik lebih menonjol dibandingkan dengan kebutuhan psikis. Masyarakat awam yang tidak mempunya cukup pengetahuan gizi, akan memilih makanan yang paling menarik dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan zat gizi makanan Paath, 2005 Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu Notoadmodjo, 2007. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh terhadap perilaku ibu. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik kemungkinan memberikan gizi yang cukup bagi bayinya Proverawati dan Asfuah, 2009. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi Sediaoetama, 2000. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan Almatsier, 2009. Universitas Sumatera Utara Suhardjo 2003, menyatakan suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi, 3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi. Secara umum, di negara berkembang, ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk dikonsumsi anggota keluarganya. Walaupun seringkali para ibu bekerja di luar, mereka tetap mempunyai andil besar dalam kegiatan pemilihan dan penyiapan makanan dan mengidentifikasi pola pengambilan keputusan dalam keluarga Hardinsyah, 2007. Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu misalnya anak, ibu hamil dan menyusui dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar. Pengetahuan ibu rumahtangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi perilaku pemilihan pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang Notoatmodjo, 2007. Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan dan penghasilan lebih tinggi mendapat paparan dari media Universitas Sumatera Utara massa lebih tinggi juga National Board for Family Planning BKKBN and Community System Foundation, 1986. Di Indonesia, seseorang dengan tingkat pendapatan lebih tinggi relatif lebih mudah mengakses televise dan mereka yang tinggal di daerah perkotaan lebih mudah mengakses berbagai majalah populer. Oleh karena itu, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan rumahtangga dan wilayah tempat tinggal desa atau kota diasumsikan mempengaruhi kondisi individu seseorangrumahtangga untuk terpapar media massa Kurangnya pengetahuan di bidang memasak, konsumsi anak, keragaman bahan makanan dan keragaman jenis masakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Untuk dapat menyusun menu, seseorang perlu memiliki pengetahuan mengenai bahan makanan dan zat gizi, kebutuhan zat gizi seseorang serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya. Umumnya ini dilakukan oleh seorang ibu Santoso, Anne Lies Ranti, 2004.

2.4.3. Pendapatan

Pendapatan diindikasikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap baik dan buruknya serta rendah dan tingginya konsumsi pangan. Konsumsi pangan banyak dipengaruhi oleh pendapatan, pendidikan, kepercayaan, kebiasaan dan keadaan lingkungan Levinson 1974 dalam Suhardjo 1984. Faktor yang berperan dam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber Universitas Sumatera Utara daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuhnya Fikawati dan Shafiq, 2012. Hukum Engle menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil walaupun secara absolute meningkat. Umumnya peningkatan pendapatan diikuti oleh peningkatan konsumsi pangan hewani atau makanan-makanan kaleng Suhardjo, 1984. Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan Proverawati dan Asfuah, 2009. Rendahnya pendapatan menjadi indikasi rendahnya pangan yang dikonsumsi. Hal ini yang sering menyebabkan terjadinya kasus gizi kurang diakibatkan rendahnya kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Dalam Worsley 2003 disebutkan bahwa pendapatan per kapita secara luas terkait dengan konsumsi makanan individu dan indeks total makanan berbagai kelompok. Umumnya, rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki makanan yang kurang bervariasi daripada rumah tangga dengan pendapatannya tinggi. Pendapatan yang tinggi akan memungkinkan meningkatnya konsumsi untuk pangan dan semakin beragam serta peningkatan konsumsi pangan yang bernilai gizi Soekirman, 2000. Universitas Sumatera Utara

2.5. Pola Asuh

Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktek pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan, serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pemberian makan, mandi, menyediakan dan memakai pakaian buat anak. Termasuk didalamnya adalah monitoring kesehatan anak, menyediakan obat, dan membawanya ke petugas kesehatan profesional O’Connel 1992 dan Bahar 2002. Sesuai dengan yang diajukan oleh Mosley dan Chen 1988 dalam Bahar, 2002 pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan terkait gizi atau penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit, memandikan anak, membersihkan pakaian anak, membersihkan rumah. Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan anak berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik tentang pengasuhan anak Suharsih, 2001. Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepribadian orangtua sangat menentukan pola interaksi ibu dan anak. Pengaruh struktur dan watak ibu yang mengasuh anak balita mempunyai efek yang sangat besar dalam hubungan ibu dan anak. Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF dan dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al 1997 menekankan bahwa tiga komponen makanan kesehatan- Universitas Sumatera Utara asuhan merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Engle et all 1997 mengungkapkan bahwa pola asuh dimanifestasikan dalam 6 hal, yaitu : 1. Perhatian atau dukungan terhadap wanita seperti pemberian waktu istirahat yang tepat atau peningkatan asupan makanan selama hamil, 2. Pemberian ASI dan makanan pendamping anak, 3. Rangsangan psikososial terhadap anak dan dukungan untuk perkembangan mereka, 4. Persiapan dan penyimpanan makanan, 5. Praktek kebersianhygiene sanitasi lingkungan, dan 6. Perawatan keluarga dalam keadaan sakit meliputi praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan. Pengasuhan anak meliputi pula hal-hal seperti cara memandikan, disiplin buang air, disiplin makan, adat istiadat penyapihan, cara menggendong bayi, dan mengajar sopan santun. Pola pengasuhan merupakan cara orang tua mendidik dan membesarkan anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan, serta kepribadian orang tua orang tua sendiri atau orang yang mengasuh anak. Selain dan faktor tersebut pola pengasuhan sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang tua, terutama pengetahuan, sikap dan tindakan. Pada umumnya bila orang tua semasa kecil dididik secara keras dan berdisiplin tinggi, maka ia pun akan mendidik anaknya juga dengan cara demikian. Pola pengasuhan yang baik terhadap balita adalah : 1. Diberikan dalam satu rumah, 2. Dengan satu orangtua yang berperan sebagai ibu, 3. Dalam satu keluarga Universitas Sumatera Utara yang utuh terdiri dari ayah dan ibu, 4. Adanya keseimbangan dalam pendidikan anak dalam suasana damai dilandasi kasih sayang dan penerimaan. Hasil penelitian yang dilakukan Hafrida 2004 menyatakan bahwa ada kecenderungan dengan semakin baiknya pola pengasuhan anak, maka proporsi gizi baik pada anak juga semakin besar. Tetapi sebaliknya di negara Timur seperti di Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali dipegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat lain dan bukan pembantu. Tetapi ternyata anak yang dididik dalam keluarga besar tersebut dapat tumbuh dengan kepribadian yang baik. Jadi yang lebih penting nilainya adalah suasana damai dan kasih sayang dalam keluarga Nadesul, 1995.

2.5.1. Asuh Makan

Asuh makan adalah cara makan seseorang atau sekelompok orang dalam memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi budaya dan sosial Waryana, 2010. Untuk kebutuhan pangangizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian ASI, menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui status gizi ibu pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak. Universitas Sumatera Utara Pengasuhan makanan anak fase 6 bulan pertama adalah pemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendampingpengganti ASI pada anak. Dinyatakan cukup bila diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteria tersebut. Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan kedua adalah pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak diberikan ASI plus makanan lumat yang terdiri dari tepung-tepungan dicampur susu, dan atau nasi berupa bubur atau nasi biasa bersama ikan, daging atau putih telur lainnya ditambah sayuran dalam bentuk kombinasi atau tunggal diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut Bahar, 2002. Pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat Agus, 2001. Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004, jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi Air Susu Ibu ASI adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein Depkes RI, 2006. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Widodo 2005, mengungkapkan bahwa di Indonesia jenis MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia 4 bulan adalah pisang 57,3 persen. Disamping itu akibat rendahnya sanitasi dan higiene MP-ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan resiko infeksi yang lain pada bayi. Ada perbedaan antara proporsi berat badan bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI dibawah usia 4 bulan, sedangkan berdasarkan panjang badan tidak ada perbedaan. Makanan yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur 2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia di tempat tinggal, kebiasaan makan dan selera terhadap makanan tersebut. 3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi dan keadaan faal bayianak. 4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan Menurut Persatuan Ahli Gizi IndonesiaPersagi 1992 yang dikutip oleh Kristiadi, E. 2007, berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari 1-3 tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Universitas Sumatera Utara Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari. Waktu pemberian makan untuk balita sebaiknya disesuaikan dengan waktu pada umunmnya. Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul 07.00-08.00, siang hari pada pukul 12.00-13.00, dan malam hari pada pukul 18.00-19.00. Pemberian makanan selingan yaitu antara dua waktu makan yaitu pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00 seperti tercantum dalam tabel di bawah ini : Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita Umur Bentuk Makanan Frekuensi 0 – 6 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin minimal 8 kalihari 6 – 9 bulan Makanan lumatlembek 2 kali sehari, 2 sendok makan setiap kali makan 9 – 12 bulan Makanan lembek 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan 1 – 3 tahun Makanan keluarga 1 – 1 ½ 2 – 3 potong sedang lauk hewani piring nasipengganti 1 – 2 potong sedang lauk nabati ½ 2-3 potong buah-buahan mangkuk sayur 1 gelas susu 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Lanjutan Umur Bentuk Makanan Frekuensi 4 – 6 tahun 1 – 3 piring nasipengganti 2 – 3 potong lauk hewani 1 – 2 potong lauk nabati 1 – 1 ½ mangkuk sayur 2 – 3 potong buah-buahan 1 – 2 gelas susu 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan Sumber : Depkes RI, 2006 Selain takaran dan frekuensi makanan untuk balita, ada juga anjuran pemberian makanan untuk balita berdasrkan Depkes RI 2006, yaitu : 1. Umur 0-6 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu : a. Beri ASI setiap kali bayi menginginkan minimal 8 kali sehari yaitu pagi, siang dan malam b. Jangan berikan makanan atau minuman selain ASI c. Susu bayi dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian 2. Umur 6-12 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu : a. Teruskan pemberian ASI sampai usia 2 tahun b. Umur 6-9 bulan, kenalkan makanan pendamping ASI dalam bentuk lumat dimulai dari bubur susu sampai nasi tim lumat, 2 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur: - 6 bulan: 6 sendok makan - 7 bulan: 7 sendok makan - 8 bulan: 8 sendok makan c. Beri ASI terlebih dahulu kemudian makanan pendamping ASI Universitas Sumatera Utara d. Umur 9-12 bulan, beri makanan pendamping ASI, dimulai dari bubur nasi, sampai nasi tim, 3 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur : - 9 bulan: 9 sendok makan - 10 bulan: 10 sendok makan - 11 bulan: 11 sendok makan e. Pada makanan pendamping ASI, tambahan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak. f. Bila menggunakan makanan pendamping ASI dari pabrik, baca cara memakainya, batas umur dan tanggal kadaluwarsa g. Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya h. Beri buah-buahan atau sari buah seperti air jeruk manis, air tomat saring, dan sebagainya. i. Mulai mengajari bayi minum dan makan menggunakan gelas dan sendok 3. Umur 1- 2 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu : a. Beri ASI setiap kali balita menginginkan b. Beri nasi lembek 3 kali sehari c. Tambahan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak pada nasi lembek Universitas Sumatera Utara d. Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya e. Beri buah-buahan atau sari buah. f. Bantu anak untuk makan sendiri 4. Umur 2-3 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu : a. Beri makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah b. Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya c. Jangan berikan makanan yang manis dan lengket diantara waktu makan. 5. Umur 3-5 tahun anjuran pemberian makanannya sama dengan anjuran pemberian makanan umur 2-3 tahun Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa anak, bila dipaksa akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan Pudjiadi, 2005. Suharjo 1992, menyatakan tujuan pemberian makanan balita adalah 1. Untuk mendapatkan zat gizi yang diperlukan dan digunakan oleh tubuh, 2. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh, dimana zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari- hari, dan 3. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita. Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Asuh Diri

Sulistijani 2001 mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan dalam sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut : 1. Mandi 2 kali sehari, 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, 3. Makan teratur 3 kali sehari, 4. Menyikat gigi sebelum tidur dan 5. Buang air kecil pada tempatnyaWC. Anwar 2000 menyatakan asuh diri meliputi perilaku ibu memelihara kebersihan rumah, hygiene makanan, dan sanitasi lingkungan. Pemberian nutrisi tanpa memperhatikan kebersihan akan meningkatkan risiko balita mengalami infeksi, seperti diare. Hasil penelitian Widodo 2005 mengungkapkan akibat rendahnya sanitasi dan hygiene pada pemberian MP ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan risiko atau infeksi lain pada balita. Sumber infeksi lain adalah permainan dan lingkungan yang kotor.

2.5.3. Asuh Kesehatan

Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi balita kearah yang lebih baik. Balita merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit. Hal ini berkaitan dengan interaksi terhadap sarana dan prasarana yang ada di lingkungan rumah tangga dan lingkungan sekelilingnya. Menurut Budi 2006 menyatakan bahwa jenis sakit yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit yang diderita sangat mempengaruhi kesehatan dan status gizi balita. Universitas Sumatera Utara Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana dia berada serta upaya ibu dalam mencari pengobatan jika anak tersebut sakit Zeitlin, all 1990. Perilaku ibu dalam menghadapi anak balita yang sakit dan pemantauan kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi status gizi balita. Balita yang mendapatkan imunisasi, lebih rendah mengalami resiko penyakit. Anak balita yang dipantau status gizinya di Posyandu melalui kegitan penimbangan akan lebih mudah mendapatkan informasi akan adanya gangguan status gizi pada balita. Sakit yang lama akan mempengaruhi nafsu makan balita yang berakibat pada rendahnya asupan gizi.

2.6. Status Gizi

Status gizi adalah gambaran keseimbangan antara asupan gizi dan kebutuhan gizi seseorang. Status gizi baik apabila asupan dan kebutuhan gizi seimbang, tetapi sebaliknya status gizi kurang adalah ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi Indonesian Nutrition Network Forum, 2005, menurut Supriasa 2002 status Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. Pendapat Adriani 2012, status gizi adalah keadaan kesehatan berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Universitas Sumatera Utara Menurut Gibson 1998 dalam Tunif 2008 status gizi adalah tanda-tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat yang utama digambarkan pada status gizi balita dan ibu hamil. Oleh karena itu sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan dimulai dari wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah. Menurut DEPKES 2002, status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan Status gizi ditentukan oleh ketersediaan semua zat gizi dalam jumlah dan kombinasi yang cukup serta waktu yang tepat. Dua hal yang penting adalah terpenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh dan faktor-faktor yang menentukan kebutuhan, penyerapan, dan penggunaan zat gizi tersebut. Keseimbangan asupan dengan kebutuhan dapat terlihat dari variabel-variabel pertumbuhan berat badan, tinggipanjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai Supriasa, 2002. Sedangkan menurut Jellieffe 1989 status gizi dapat dijelaskan dengan menilai melalui dua cara yaitu pengukuran secara langsung dan pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan : a antropometri, b pemeriksaan biokimia, c pemeriksaan klinis dan d pemeriksaan biofisik. Pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan a survei konsumsi pangan, b statistik vital dan c faktor ekologi. Universitas Sumatera Utara Depkes 2001, penentuan status gizi balita yang relatif lebih mudah adalah dengan menggunakan indikator berat badan menurut umur BBU dipakai dalam Kartu Menuju Sehat KMS untuk memantau pertumbuhan anak secara perorangan. KMS yang digunakan di posyandu pada dasarnya adalah penerapan pengukuran status gizi anak balita. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh masa sekarang ataupun masa lalu. Tinggi badan bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak sama dengan berat badan, tinggi badan kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam jangka waktu yang pendek. Indikator BBU mencerminkan status gizi saat ini, sedangkan indikator TBU lebih mencerminkan status gizi masa lalu dan rendahnya nilai z-score berdasarkan TBU dikatakan sebagai indikator kekurangan gizi kronik Martianto, Riyadi Ariefiani, 2011. Masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi anak balita gizi kurang, pendek dan kurus lebih dari 30,0 persen, 40,0 persen dan 15,0 persen Martianto, dkk, 2011. Diketahui dari hasi penelitian Aryunita 2002, bahwa prevalensi anak yang pendek diperkotaan hanya 6,6 persen sedangkan dipinggiran kota jauh lebih tinggi, lebih kurang enam kali dibandingkan dengan diperkotaan 40, dan menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan lingkungan lebih berpengaruh terhadap perbedaan pertumbuhan anak dari pada faktor genetik dan etnik. Universitas Sumatera Utara

2.6.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi

UNICEF 1998 mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi dapat dilihat dari penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok permasalahan, dan akar masalah. Faktor penyebab langsung meliputi makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi, sedangkan faktor penyebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam masalah kurang gizi adalah kurangnya pemberdayaan terhadap wanita, rendahnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun akar masalah Keadaan kurang gizi terjadi karena krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan pengangguran. Almatsier 2001 menyatakan status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan. Selain konsumsi pangan, pengetahuan ibu juga dapat mempengaruhi status gizi balita, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam pemberian makan. Kekeliruan yang sering terjadi dalm bentuk penyajian makanan, frekuensi makan, jumlah serta waktu pemberian makanan. Dalam keadaan ini, pengetahuan ibu sangat Universitas Sumatera Utara berperan penting sehingga balita dapat terpenuhi kebutuhan gizi yang sesuai Burhanuddin, 2006. Faktor yang memengaruhi status gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan untuk menilai status gizi yang dikutip dalam materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional Depkes RI, 2000 sebagai berikut: 1. Makanan anak dan penyakit infeksi yang diderita anak. Penyebab kurang baiknya status gizi tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit anak. Anak yang mendapatkan makanan yang baik tetapi sering mengalami sakit maka akan dapat mempengaruhi status gizinya, sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan yang cukup dan seimbang daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan ini anak akan mudah terserang penyakit dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makanan. Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung anak akan menjadi kurus dan timbullah masalah kurang gizi. 2. Ketahanan pangan keluarga. Pola pengasuhan serta kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sangat memengaruhi status gizi anak. Ketahanan pangan keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan makanan yang dibutuhkan. Daya beli keluarga biasanya dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan keluarga Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi adalah upaya untuk menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui penilaian dalam antropometri, konsumsi makan, biokimia, dan klinik. Antropometri sebagai indikator dalam penilaian status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Menurut Supriasa 2002, parameter antropometri yang bermanfaat dan sering dipakai adalah umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala dan lipatan kulit. Menurut Depkes RI, 2005 ada beberapa cara menilai status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik yang disebut dengan penilain gizi secara langsung. Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana, praktis dan mudah karena dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Indeks antropometri yang digunakan adalah Berat Badan berdasarkan Umur BBU, Tinggi Badan berdasarkan Umur TBU, dan Berat Badan berdasarkan Tinggi Badan BBTB dibandingkan dengan nilai rujukan WHO-NCHS. Berikut penilaian status gizi berdasarkan indeks BBU, TBU dan BBTB standar baku antropometri menurut WHO 2005 : Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Penilaian Status gizi berdasarkan indeks antropometri BBU, TBU dan BBTB menurut WHO 2005 No Indeks yang dipakai Status Gizi Keterangan 1 BBU Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Z Score -3 SD Z Score -3 SD sampai dengan -2 SD Z score -2 SD samapi dengan 2 SD Z Score 2 SD 2 TBU Tinggi Normal Pendek Sangat Pendek Z score 2 SD Z Score -2 SD sampai dengan 2 SD Z Score -3 SD sampai dengan -2 SD Z Score -3 SD 3 BBTB Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus Z Score 2,0 SD Z Score -2,0 SD sampai dengan 2,0 SD Z Score -3,0 SD sampai dengan -2,0 SD Z Score -3,0 SD Sumber : SK Menkes 2010 tentang Standard Antropometri Penilaian Status Gizi Anak Umur sangat berperan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti apabila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti satu tahun, dua tahun dan tiga tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Universitas Sumatera Utara Ketentuannya adalah bahwa satu tahun adalah duabelas bulan dan satu bulan adalah 30 hari Depkes, 2004. Soetjiningsih 1995 menyatakan bahwa terdapat fluktuasi yang wajar dalam sehari sebagai akibat dari adanya masukan intake makanan dan minuman dengan keluaran output melalui urin, fases, keringat dan nafas. Besarnya fluktuasi tergantung pada kelompok umur dan bersifat sangat individual, yang berkisar antara 100-200 gram sampai 500-1000 gram, bahkan lebih. Cara paling baik dalam mengukur berat badan anak adalah dengan menggunakan timbangan gantung dacin. Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa tubuh, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak, baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan harus selalu dipantau agar dapat memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi sedini mungkin guna mengatasi kecenderungan perubahan berat badan yang tidak dikehendaki Adriani, 2012. Indikator berat badan menurut umur mencerminkan keadaan gizi sekarang yang terdiri dari gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk. Indikator tinggi badan menurut umur mencerminkan keadaan gizi masa lalu yang terdiri dari normal dan pendek, selain itu tinggi badan menurut umur juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat kersejahteraan masyarakat Diana, 2004. Sedangkan indikator berat badan menurut tinggi badan digunakan untuk menilai keadaan gizi secara lebih khusus karena mencerminkan Universitas Sumatera Utara keadaan gizi masa lalu dan sekarang yang terdiri dari gemuk, normal, kurus dan kurus sekali Indonesian Nutrition Network Forum, 2005. Status gizi anak dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Status gizi baik, yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai penggunaan untuk aktivitas tubuh. Adanya keseimbangan antara perkembangan dengan berat badan dan umur si anak. Anak-anak dikategorikan berstatus gizi baik dan sehat menurut Departemen Kesehatan RI, dalam Soegeng dan Lies 2003 adalah sebagai berikut : a. Tumbuh dengan normal, b. Tingkat perkembangan sesuai dengan tingkat umurnya, c. Mata bersih dan bersinar, d. Bibir dan lidah tampak segar, e. Nafsu makan baik, f. Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering, g. Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 2. Status gizi lebih, yaitu suatu keadaan diakibatkan kelebihan dalam mengonsumsi makanan. Keadaan ini sangat berkaitan dengan kelebihan energi dalam makanan yang dikonsumsi terhadap kebutuhannya. Orang-orang yang kelebihan berat badan diakibatkan karena jaringan lemak yang tidak aktif. Kondisi ini meningkatkan beban kerja terutama kerja jantung Djaeni, 2000. 3. Status gizi kurang, yaitu keadaan yang terjadi akibat kekurangan beberapa zat gizi yang diperlukan. Hal ini dikarenakan kurangnya makanan dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Selain itu zat gizi yang dikonsumsi gagal digunakan dan diserap oleh tubuh. Kurang gizi lebih rentan menimpa anak-anak dibawah 5 tahun karena kurangnya kebutuhan zat gizi serta mudah terserang penyakit. Universitas Sumatera Utara

2.6.3. Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh

Hasil penelitian Suranadi dan Dewi 2009 menunjukkan bahwa peningkatan besar keluarga beruhubungan positif terhadap status gizi balita. Keluarga yang memiliki banyak anak maka perhatian ibu dalam mengasuh anak akan berkurang dan sedikit. Hasil penelitian Anindita 2010 didapat sebagai berikut, pendidikan akan mempengaruhi pada tingkat pengetahuan dan sikap yang akhirnya berpengaruh terhadap tindakan dan pola asuh kepada balita. Pola asuh akan berpengaruh terhadap status gizi balita. Oleh karena itu, pendidikan tinggi disertai dengan pengetahuan akan gizi tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap pola asuh dan status gizi balita. Penelitian Supriatin 2004, dengan judul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh makan dan hubungannya dengan status gizi balita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik keluarga besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orangtua, tingkat pengetahuan gizi ibu, umur anak dan jarak kelahiran anak, yang berpengaruh terhadap pola asuh makan dengan menggunakan uji regresi linier berganda yaitu pendidikan ibu. Pendidikan ibu yang tinggi disertai dengan pengetahuan yang baik maka akan berdampak positif terhadap pola asuh makan yang baik terhadap balita.

2.6.4. Pengaruh Pola Asuh dengan Status Gizi

Pola asuh gizi anak adalah sikap atau perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberi makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap Universitas Sumatera Utara perkembangan anak. Pola asuh yang tidak sesuai dapat menyebabkan anak tidak mau makan, atau tidak mengonsumsi makanan yang seimbang, dan mudah terserang penyakit yang kemudian berpengaruh terhadap status gizi Soekirman, 2000. Menurut penelitian Hafrida 2004 menyatakan dari 40 ibu yang diteliti, terdapat 30 75 persen ibu dengan pola asuh yang baik mempunyai status gizi anak yang baik pula, dan 10 25 persen ibu dengan pola asuh yang tidak baik dengan status gizi anak kurang. Dengan demikian dapat disimpulkan jika pola asuh anak dalam keluarga baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak semakin baik sehingga mempengaruhi status gizi anak.

2.7. Landasan Teori

Status gizi adalah keadaan tubuh yang tidak seimbang antara asupan gizi dengan kebutuhan. Ketersediaan gizi pada tingkat seluler dibutuhkan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan menjalankan fungsi tubuh. Status gizi kurang biasanya disebabkan asupan gizi yang tidak seimbang serta penyakit infeksi. Gizi kurang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor langsung makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi serta faktor tidak langsung pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Menurut Husaini 2001 peran keluraga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh kembang anak. Perilaku ibu dalam menyususi atau memberi makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak. Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap anak yang baik merupakan hal Universitas Sumatera Utara yang sangat penting karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan ibu yang diberikan kepada anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu itu sendiri, terutama pendidikan, kesehatan, pengetahuan serta keterampilan ibu tentang pengasuhan anak Suharsi, 2001. Peranan deteminan pola pengasuhan terhadap pertumbuhan balita cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi balita. Berikut bagan penyebab kurang gizi yang dipengaruhi oleh pola asuh adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Dampak KURANG GIZI Penyebab langsung Makan Tidak Seimbang Penyakit Infeksi Penyebab Tidak langsung Tidak Cukup Persediaan Pangan Pola AsuhAnak Tidak Memadai Sanitasi danAir BersihPelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan Pokok Masalah di Masyarakat Akar Masalah nasional Kurang pemberdayaan wanita dan keluarg,akurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat Pengangguran , inflas,i kurang pangan dan kemiskinan Krisis Ekonomi, Politik dan Sosial Gambar 2.1. Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi Disesuaikan dari UNICEF, 1998 dalam Soekirman 19992000 dan Baliwati 2004 Universitas Sumatera Utara

2.8 Kerangka Konsep

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar

3 41 99

Pengaruh Pola Asuh Ibu terhadap Status Gizi Balita Keluarga Miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011

3 53 96

Pengaruh Konseling Gizi Pada Ibu Balita terhadap Pola Asuh dan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

3 67 84

Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Status Gizi Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura kabupaten Langkat Tahun 2008

5 71 83

PENGARUH POS GIZI TERHADAP PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS KWADUNGAN KECAMATAN KWADUNGAN Pengaruh Pos Gizi Terhadap Pengetahuan Dan Pola Asuh Ibu Balita Di Wilayah Puskesmas Kwadungan Kecamatan Kwadungan Kabupaten Ngawi.

0 2 10

Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Belimbing Kota Padang

0 0 5

KUESIONER PENELITIAN PENGARUH KARAKTERISTIK KELUARGA DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI BALITA PADA IBU MENIKAH DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEUDE GEUROBAK KECAMATAN BANDA ALAM KABUPATEN ACEH TIMUR TAHUN 2013

0 0 49

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pernikahan Dini - Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh terhadap Status Gizi Balita pada Ibu Menikah Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Keude Geureubak Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur Tahun 2013

0 0 37

PENGARUH KARAKTERISTIK KELUARGA DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI BALITA PADA IBU MENIKAH DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEUDE GEUREUBAK KECAMATAN BANDA ALAM KABUPATEN ACEH TIMUR TAHUN 2013 TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

0 4 19

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DAN PENDAPATAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MINGGIR KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

0 0 11