Pengaruh Pola Asuh Terhadap Status Gizi Balita

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Sediaoetama yang menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan maka penilaian terhadap makanan semakin baik, artinya penilaian terhadap makanan tidak terpancang terhadap rasa saja, tetapi juga memperhatikan hal-hal yang lebih luas. Pengetahuan tentang gizi memungkinkan seseorang memilih dan mempertahankan pola makan berdasarkan prinsip ilmu gizi. Pada ibu dengan tingkat pengetahuan yang rendah seringkali anak harus puas dengan makan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi. Pengetahuan gizi yang diperoleh ibu sangat bermanfaat bagi balita apabila ibu berhasil mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimilikinya. Hasil uji statistik chi square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita dengan nilai p = 0,029.

5.2 Pengaruh Pola Asuh Terhadap Status Gizi Balita

Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan pengukuran berat badan menurut tinggi badan diperoleh hasil bahwa sebagian besar balita berstatus gizi normal 51,0 dan selebihnya berstatus gizi kurus 49,0. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita dalam status gizi normal. Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan derajat kesehatan. Karena dengan status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga dapat mencapai kematangan yang optimal. Pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam Universitas Sumatera Utara menggunakan zat-zat gizi tersebut. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang wanita yang terlalu muda dalam menikah tentunya memiliki anak dalam usia muda juga. Sementara pengetahuan dan pengalaman ibu dalam mengasuh dan merawat anak masih sangat kurang sehingga berdampak pada status gizi balita. Kondisi ini semakin diperparah dengan lingkungan tempat tinggal ibu. Lokasi yang jauh dari kota, pendidikan ibu yang rendah, pengetahuan gizi ibu yang kurang, akses informasi yang kurang sehingga ibu kurang mendapatkan informasi tentang gizi balita. Usia ibu yang terlalu muda dalam menikah sering menyebabkan ibu kurang mahir dalam mengasuh anak, cepat emosi, lebih mementingkan keinginan sendiri yang akhirnya menyebabkan balita kurang mendapatkan pola asuh yang baik. Hal ini terlihat dari hasil uji penelitian yang menyimpulkan bahwa pola asuh yang terdiri dari pola asuh makan, pola asuh diri dan pola asuh kesehatan termasuk dalam kategori kurang baik. Pola asuh makan yang kurang baik banyak terlihat pada balita usia 24-59 bulan ini dikarenakan ibu kurang memperhatikan jenis makanan yang dikonsumsi balita. Ibu membiarkan begitu saja balita mengonsumsi makanan jajanan tanpa ada pendampingan. Nadesul 1995, mengemukakan bahwa anak masih membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian atau dukungan ibu tersebut terhadap anak meliputi perhatian ketika anak Universitas Sumatera Utara makan dan sikap orangtua dalam memberi makan. Menurut Soenardi 2000 yang mengemukakan bahwa pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan dan peralatan yang dipakai harus mendapatkan perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau kecacingan pada anak. Penyakit infeksi seperti diare dan kecacingan dapat mempengaruhi status gizi anak.. Ketidakmampuan ibu dalam menyediakan bahan makanan yang cukup dan beranekaragam, terlihat dari rata-rata angka kecukupan energi dan protein balita belum sesuai dengan angka kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan balita. Lokasi yang jauh dari perkotaan, tidak tersedianya warung-warung yang menjual makanan sumber protein, ekonomi yang menengah kebawah, ketikmauan ibu dalam memberikan makanan yang bervariasi menyebabkan balita kurang mendapatkan asupan protein yang cukup. Demikian juga dengan komposisi makanan dilihat dari sumber zat gizi belum sesuai dengan konsep keseimbangan menu makanan yang dianjurkan.. Hal ini terjadi karena ibu tidak membiasakan balita untuk mengonsumsi protein dan sayuran bahkan buah-buahan. Dari hasil food frequensi ternyata rata-rata balita 24-59 bulan mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok utama 2 kali sehari. Jagung, roti, dan tepung-tepungan dikelompokkan pada konsumsi yang jarang dikonsumsi, walaupun mie merupakan makanan yang sering dikonsumsi sebagai makanan tambahan dalam susunan makanan sehari-hari. Roti dikonsumsi pada waktu-waktu tertentu saja, konsumsi roti dalam bentuk roti kering biskuit atau crackers. Makanan golongan sumber zat pengatur: sayuran hijau tua seperti bayam dan kangkung. Sayuran berwarna kuning Universitas Sumatera Utara jingga: wortel dan tomat. Makanan yang mengandung karbohidrat sederhana gula- gulaan seperti permen, coklat, es krim, dll., sering dikonsumsi. Hal ini yang dapat memungkinkan menyebabkan anak cepat kenyang sebelum memakan makanan pokok, sayuran dan buahan. Gula-gula akan meningkatkan cairan gastric sehingga memperlambat pengosongan perut. Rendahnya kemampuan ibu dalam menyediakan makanan yang sesuai dengan kebutuhan balita diakibatkan karena rendahnya kemampuan dari aspek ekonomi, yaitu pendapatan keluarga yang rendah disamping pengetahuan ibu itu sendiri yang masih sangat rendah dalam mengatur komposisi makanan keluarga. Makanan yang tergolong sumber pengatur juga jarang dikonsumsi oleh balita karena ibu juga tidak menyediakan. Hasil observasi yang dilakukan peneliti didapat, ibu jarang memasak sayuran dikarenakan ketersediaan pangan yang kurang sehingga memaksa ibu hanya menyediakan makanan pokok dan dan protein secukupnya. Hasil observasi selama penelitian didapat, ibu membiarkan saja balita 36-59 bulan jajan di warung-warung terdekat tanpa memantau jajanan apa yang dibeli balita. Sehingga balita sesuka hati untuk membeli apa saja yang mereka mau seperti permen, coklat, kerupuk, es, dan lain-lain. Hal ini memungkinkan balita jarang mengonsumsi makanan rumahan karena sudah kenyang oleh makanan jajanan. Hasil penelitian diketahui bahwa pola asuh diri yang dilakukan ibu menikah dini terhadap balita usia 0-59 bulan yang meliputi personal hygiene balita dan ibu didapat 37,5 termasuk dalam kategori baik , dan 62,5 termasuk dalam kategori kurang baik. Secara umum, tindakan ibu dalam menjaga kebersihan balita mulai dari Universitas Sumatera Utara memotong kuku jika kelihatan panjang , membersihkan peralatan makan setelah digunakan, mencuci tangan dengan sabun, memakai sandal jika bermain di luar rumah, dan mencuci tangan setelah BAB, kurang baik. Ibu jarang memperhatikan kondisi kebersihan si balita dan lingkungan rumah. Selain itu, observasi yang dilakukan oleh peneliti didapat bahwa ibu lebih sering kumpul-kumpul disatu tempat salah satu rumah dibandingkan memandikan anak pada sore hari. Balita dibiarkan bermain sesukanya. Kebersihan peralatan makan dan kebersihan diri balita yang kurang baik ini sering menyebabkan balita mudah terserang penyakit. Peralatan makan balita sering dibiarkan begitu saja tanpa langsung dicuci. Salah satu faktor yang mempermudah anak balita terserang penyakit adalah keadaan lingkungan. Menurut Sulistijani 2001 menyatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti mandi, cuci tangan sebelum makan dan menyikat gigi. Mendukung penelitian Widodo 2005 menyatakan bahwa akibat rendahnya sanitasi dan higiene pada pemberian makanan balita memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan resiko atau infeksi yang lain pada balita. Sumber infeksi lain adalah alat permainan dan lingkungan bermain yang kotor. Kondisi kemiskinan juga menjadi hambatan dalam melakukan pengasuhan diri terhadap balita pada ibu menikah dini, dimana keluarga belum memiliki sarana Universitas Sumatera Utara air bersih dan peralatan mandi atau cuci yang cukup untuk dapat melakukan asuh diri pada balita. Ditambah dengan kondisi tempat tinggal serta lingkungan sekitar yang tidak mendukung untuk dapat memberikan asuh diri dan kesehatan yang optimal. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa asuh kesehatan dari ibu menikah dini didapat 35,6 termasuk dalam kategori baik dan 64,4 termasuk dalam kategori kurang baik. Pola asuh ibu berdasarkan perawatan kesehatan lebih banyak pada kategori kurang baik, kemauan ibu yang memiliki balita dalam memanfaatkan pelayanan posyandu sebagai sarana imunisasi balita juga sangat rendah, hal ini menyebabkan persentase balita yang diimunisasi lengkap sangat rendah. Ketidakmauan ibu untuk membawa balita ke posyandu juga disebabkan karena, sebagian ibu menganggap bahwa cairan imunisasi yang diberikan kepada balita adalah haram. Selain itu ibu juga beranggapan bahwa, balita mereka terlalu cantik untuk di suntikkan imunisasi ke tanggannya yang akan menimbulkan bekas pada kulit balita. Kondisi perekonomian keluarga yang berada pada kategori menengah kebawah sangat sulit diharapkan mampu melakukan asuh kesehatan dengan baik. Oleh karena upaya perbaikan dari aspek ekonomi keluarga merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Soetjiningsih 1995 mengemukakan bahwa kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat. Masa balita sangat rentan terhadap penyakit seperti : flu, diare atau penyakit infeksi lainnya. Universitas Sumatera Utara Mendukung pendapat Budi 2006 bahwa perilaku ibu dalam menghadapi balita yang sakit dan pemantauan kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang balita. Balita yang mendapatkan imunisasi akan lebih rendah mebgalami risiko penyakit . balita yang dipantau pertumbuhan di Posyandu melalui kegiatan penimbangan akan lebih dini mendapatkan informasi akan adanya gangguan pertumbuhan. Sakit yang lama, berulang akan mengurangi nafsu makan yang berakibat pada rendahnya asupan gizi. Pengaruh pola asuh yang terdiri dari pola asuh makan, asuh diri dan asuh kesehatan terhadap status gizi balita didapat hasil bahwa pola asuh makan merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap status gizi balita. Hal ini berarti, praktek pemberian makan yang baik konsumsi energi dan protein yang cukup sangat mendukung tercapainya status gizi anak yang baik. Namun sebaliknya jika praktek pemberian makan pada anak kurang baik, konsumsi energi dan protein yang kurang dapat menyebabkan status gizi anak tidak baik pula. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sarasani 2005 yang menyatakan bahwa anak yang mempunyai praktek pemberian makan yang baik lebih banyak berstatus gizi baik pula. Status gizi yang normal menunjukkan bahwa asupan makanan yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan tubuh Arkani, 1992. Sulistijani 2001, mengemukakan seiring dengan bertambahnya usia anak ragam makanan yang diberikan harus bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan status gizi anak. Universitas Sumatera Utara Hidayat 2008 menyatakan bahwa gizi yang baik dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari penyakit. Dengan demikian status gizi dapat membantu mendeteksi secara dini resiko terjadinya masalah kesehatan pada balita. Gizi yang seimbang juga dapat meningkatkan kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan balita lebih optimal. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Engle dan Riccuti 1995 yang menyatakan rangsangan psikososial yang baik umumnya berkaitan erat dengan status gizi dan kesehatan yang baik pula, sehingga secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap status gizi, pertumbuhan dan perkembangan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sihombing 2005 di Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal pada anak batita menunjukkan juga bahwa anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan pada keluarga yang melakukan praktek kesehatan yang baik. Secara umum pola asuh ibu berada pada kategori baik mempunyai status gizi anak yang baik pula. Hal ini sesuai dengan penelitian Hafrida 2004 yang menyatakan bahwa ada kecendrungan dengan semakin baiknya pola asuh, maka proporsi status gizi baik juga semakin besar.. Hasil penelitian diketahui masih adanya status gizi kurus sebesar 49,0, masih tingginya prevalensi balita berstatus gizi kurus tersebut rata-rata pada umur 36 bulan, ini dikarenakan pada usia tersebut balita sudah diberi makanan lengkap. Jika pola pemberian makanan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan balita sementara kebutuhan akan zat gizi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, maka akan berdampak pada status gizi balita. Universitas Sumatera Utara Status gizi anak kurus dan sangat kurus juga berdampak negatif untuk kehidupan anak. Keadaan yang bila terjadi terus berlanjut, anak dapat mengalami gangguan pada pertumbuhan fisik dan mentalnya. Anak dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi penyakit. Selain itu, anak juga berisiko terjadi Kurang Energi Protein KEP karena ketidaksesuaian antara zat gizi yang diperoleh dengan dari makanan dan kebutuhan tubuh Djoko Wijono, 2009. Gizi yang seimbang selain dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan yang normal terutama pada anak.Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Sehingga status gizi juga dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan Hidayat 2008. Balita merupakan kelompok usia yang rentan terhadap penyakit, sehingga keadaan gizinya harus selalu diperhatikan melalui tindakan ibu dalam memberikan pola asuh asuh makan, asuh diri dan asuh kesehatan terhadap balitanya.

5.3 Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pola Asuh

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar

3 41 99

Pengaruh Pola Asuh Ibu terhadap Status Gizi Balita Keluarga Miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011

3 53 96

Pengaruh Konseling Gizi Pada Ibu Balita terhadap Pola Asuh dan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

3 67 84

Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Status Gizi Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura kabupaten Langkat Tahun 2008

5 71 83

PENGARUH POS GIZI TERHADAP PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS KWADUNGAN KECAMATAN KWADUNGAN Pengaruh Pos Gizi Terhadap Pengetahuan Dan Pola Asuh Ibu Balita Di Wilayah Puskesmas Kwadungan Kecamatan Kwadungan Kabupaten Ngawi.

0 2 10

Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Belimbing Kota Padang

0 0 5

KUESIONER PENELITIAN PENGARUH KARAKTERISTIK KELUARGA DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI BALITA PADA IBU MENIKAH DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEUDE GEUROBAK KECAMATAN BANDA ALAM KABUPATEN ACEH TIMUR TAHUN 2013

0 0 49

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pernikahan Dini - Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh terhadap Status Gizi Balita pada Ibu Menikah Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Keude Geureubak Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur Tahun 2013

0 0 37

PENGARUH KARAKTERISTIK KELUARGA DAN POLA ASUH TERHADAP STATUS GIZI BALITA PADA IBU MENIKAH DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEUDE GEUREUBAK KECAMATAN BANDA ALAM KABUPATEN ACEH TIMUR TAHUN 2013 TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

0 4 19

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DAN PENDAPATAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MINGGIR KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

0 0 11