Pengaruh Pemekaran Kelurahan Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Di Kota Tebing Tinggi

(1)

PENGARUH PEMEKARAN KELURAHAN

TERHADAP KUALITAS PELAYANAN

PUBLIK DI KOTA TEBING TINGGI

OLEH

NAMA

: SRI PRATIWI

NIM

: 040903073

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRACT

Subdistricts blooming are one of the result of local autonomy that give rights to local government to carry out its own business according to the necessities. According to PP No.73/2005 about subdistrict, subdstrict is local ware of the regency/town in district area. Blooming a subdistrict into The two ones can be done after the mother subdistrict more than 5 years old by considering amount of people, large of area, part of work area, and equipments.

In Tebing Tinggi, subdistricts blooming were held to fulfill the criteria in UU No.32/2004 (5/5) about local government that instruct a town must be insist of minimally 4 districts, meanwhile before it, Tebing Tinggi that stood since 1917 just insist of 3 districts and 27 subdistricts. To fulfill the rule , since 1 July 2007, subdistricts blooming were held, until now Tebing Tinggi has 5 districts and 35 subdistricts. This subdistricts blooming were held also remind of the amount of people in Tebing Tinggi are increase, so demand an increasing in quality of government, development, and people welfare. By subdistricts blooming, automatically a govern area came smaller and public services activity will be next to people, so it could be more effctive and efficient. Besides that, span of control also became smaller and could be maximalized, so it also could be minimized the wrong authority.

This research was held to see if there is an influence between subdistricts blooming and public sevice quality in Tebing Tinggi. From the result of produt moment corelation shows that relation between both is STRONG; For knowing how many contribution from subditricts blooming to public service quality use determination formula that resulted 36,97%; and to see how the inluence that is given by subdistricts blooming to public service quality through short regression analysis got positive result with formula Y=309,4+0,951 X, and then to test the hypothesis by consultating the value from rcount to rtabel, resulted rcount 0,608 and

rtabel with significancy degree 95% is 0,202. The rcount is more than rtabel means that

influence given by subdistricts blooming to public service quality is positive and significant. It means that the hypothesis is accepted.

Keywords : Subdistricts blooming, public service quality, local government, and local autonomy.


(3)

ABSTRAK

Pemekaran Kelurahan adalah salah satu hasil dari kebijakan otonomi daerah yang memberikan hak kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya tersebut. Menurut PP No. 73 Tahun 2005 tentang kelurahan, yang dimaksud dengan kelurahan adalah perangkat daerah kabupaten/kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan. Pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan dapat dilaksanakan stelah kelurahan induk telah berusia lebih dari lima tahun dengan mempertimbangkan syarat-syarat seperti jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, serta sarana dan prasarana.

Di Kota Tebing Tinggi Pemekaran kelurahan dilaksanakan untuk memenuhi kriteria yang tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 5 ayat (5) Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan bahwasannya sebuah kota harus terdiri dari minimal 4 (empat) kecamatan, sementara sebelumya kota Tebing Tinggi yang berdiri sejak tahun 1917 ini hanya terdiri dari 3 kecamatan dan 27 kelurahan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, maka sejak tanggal 1 Juli 2007 dilaksanakanlah pemekaran kelurahan ini, sehingga sekarang kota Tebing Tinggi sudah memiliki 5 kecamatan dan 35 kelurahan. Pemekaran kelurahan ini dilaksanakan juga mengingat karena jumlah penduduk di Kota Tebing Tinggi yang semakin meningkat, sehingga menuntut adanya peningkatan pula dalam hal urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kota Tebing Tinggi. Dengan dilaksanakannya pemekaran kelurahan ini, secara otomatis wilayah pemerintahan akan semakin kecil, dan aktivitas pelayanan publik pun semakin dekat dengan masyarakat, sehingga bisa leih efektif dan efisien. Selain itu span of control juga semakin kecil dan bisa dimaksimalkan, sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh antara pemekaran kelurahan dengan kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi. Dari perhitungan korelasi product moment, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwasannya hubungan antara kedua variabel tersebut termasuk dalam kategori kuat; untuk mengetahui besarnya kontribusi yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik dipergunakan rumus determinasi yang diperoleh hasil sebesar 36,97%; serta untuk melihat bagaimana pengaruh yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah dengan analisis regresi sederhana yang diperoleh hasil positif dengan persamaan Y=309,4+0,951X. Kemudian untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka dengan mengkonsultasikan nilai rhitung dengan rtabel, diperoleh hasil rhitung

sebesar 0,608 dan rtabel dengan taraf kepercayaan 95% adalah sebesar 0,202. rhitung

tersebut lebih besar dari rtabel yang berarti pengaruh yang diberikan oleh

pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah positif dan signifikan. Berarti hipotesis dierima.

Kata Kunci : Pemekaran Kelurahan, Kualitas Pelayanan Publik, Pemerintahan Daerah, dan Otonomi Daerah.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, pemilik alam semesta ini, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat yang telah memperjuangkan agama Allah di muka bumi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu beban mata kuliah yang harus dilaksanakan dan untuk memenuhi persyaratan akademis untuk mendapatkan gelar sarjana sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara. Adapun judul dari skripsi ini adalah : “PENGARUH

PEMEKARAN KELURAHAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI KOTA TEBING TINGGI.”

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dari semua pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, baik dari mulai penulisan proposal, saat penelitian, sampai selesainya skripsi ini, yaitu :

1. Orang tuaku tercinta “mama & papa” yang selalu memberikan do’a,

semangat, dan masukan yang tak ternilai harganya dalam pembuatan skripsi ini. Ma, Pa, makasih banyak ya...udah jadi orang tua, guru, n temen yang terbaik dalam hidup wik, tempat curhat yang paling OK lagi... Pokoknya you’re the best in my life lah....

2. Dosen pembimbing : Muhammmad Arifin Nasution, S.Sos, M.SP yang

telah banyak memberikan bantuan dalam pembuatan skripsi ini.

3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU, Bapak Prof. Dr. Muhammad

Arif Nasution.

4. Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Bapak Dr. Marlon


(5)

5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dan tak ternilai harganya selama di perkuliahan yang dapat menjadi bekal untuk meraih masa depan.

6. Kepada Kakan Kesbang Linmas Kota Tebing Tinggi, Bapak Ismail

Budiman, S.H yang telah memberikan rekomendasi penelitian.

7. Kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Tebing Tinggi,

Bapak Marahansan, S.H yang telah memberikan surat izin penelitian.

8. Kepada Kepala Bagian Pemerintahan Kota Tebing Tinggi, Bapak Drs.

Mintarso A. R dan Bapak Piala Ginting, S.H selaku Kasubbag Pemerintahan Kelurahan Kota Tebing Tinggi yang telah memberikan banyak bantuan berupa informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

9. Kepada Para Kepala Kelurahan yang telah memberikan izin wilayahnya

menjadi lokasi penelitian, yaitu Kepala Kelurahan Mekar Sentosa, Deblod Sundoro, Lubuk Raya, dan Teluk Karang.

10.Kak Mega & Kak Emi yang sudah memberian kemudahan dalam urusan

administrasi.

11.Bang Faisal Eriza M.SP yang baik hati, yang selalu siap menjadi tempat bertanya kapan aja saat wik ngerasa bingung. Thanx bgt ya bang....

12.Mba’Qu.... Mba’ Nuni & Bang Iqbal yang selalu siap memberikan bantuan dimana aja dan kapan aja. Bahkan gak peduli pada saat kalian sendiri masih sibuk...Kalian memang pasangan siap antar jaga banget buat wik....

13.AdekQu....Si “boncel” OVI yang suka bikin gemezzz...kadang suka

menghibur kalo lagi stress gara-gara skripsi ini, tapi kadang juga suka jail...dasar boncel..!!!

14.Best friendQu....Kak Tan (KakakQu yang paling imoet...) & Mai (Wanita Tanpa Xpressi), smile dunx mai...I hope We’ll be best friend 4ever ya....Amin...

15.My beloved 21f, yang udah banyak ngasih pelajaran tentang cinta...kalau gak gara-gara kamu, wik gak bakalan pernah tau apa artinya cinta...Gara-gara kamu juga skripsi ini bisa jadi & dibuat penuh dengan resep cinta.


(6)

16.Temen-temen magang...K’tan, Ira, Lia, Asfar, Fauzy, Wan, & Indra. Kapan lagi ya kita ke Sidimpuan bareng-bareng....It’s a really, truly, medley, deeply adventure...(alah kayak judul lagu pula...)

17.Temen-temen SMAQu yang dah banyak bantuin n ngasih support waktu

penelitian: Syahef, Sari eN, Retno (Mba’Wet), Dwi, Mba’ Diana, Arie, Uli, Titin....Kapan ni kita ngumpul2 lagi...

18.ALL FRIENDS....AN’04...YANG GAK MUNGKIN DISEBUTIN 1/1,

SEMOGA KITA BISA TETAP KOMPAK YA....

19.K’Deli, K’Yani, K’Eci, Vina, Nurul, n Monic...Walaupun jarang ketemu,

tapi kalian masih tetap care ma wik..makasih ya kakak2Qu atas

supportnya. Senang pernah bertemu dan bersaudara dengan kalian. Kapan lagi ya kita bisa ngumpul kaya’ dulu lagi....(46’2004)

20.Meiva, Riska, Septi..Thanx banget ya udah jadi wanita penghibur

(denotasi, bukan konotasi) di 46,,lanjutkan perjuangan kalian yang selalu bisa buat orang ketawa sampe sakit perut.

Penulis menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, karena sesungguhnya sempurna hanya milik Allah, tapi penulis senantiasa berusaha untuk melakukan yang terbaik. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2008 Hormat Saya


(7)

DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... ABSTRAK ... BAB I : PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah ...1

I.2. Perumusan Masalah ...6

I.3. Tujuan Penelitian ...6

I.4. Manfaat penelitian .. ...6

I.5. Kerangka Teori I.5.1. Otonomi Daerah ...7

I.5.2. Konsep Pemekaran ...14

I.5.3. Kelurahan ...19

I.5.4. Pelayanan Publik I.5.4.1. Pengertian Pelayanan Publik ...21

I.5.4.2. Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik ...22

I.5.4.3. Faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Publik ...24

I.5.4.4. Kualitas Pelayanan Publik ...26

I.5.5. Kinerja Organisasi Pelayanan Publik ...31

I.5.6. Pengaruh Pemekaran Kelurahan terhadap Kualitas Pelayanan Publik...36

I.6. Hipotesis ...39

I.7. Defenisi Konsep ...39

I.8. Defenisi Operasional ...40


(8)

BAB II : METODE PENELITIAN

II.1. Bentuk Penelitian ...45

II.2. Lokasi Penelitian ...45

II.3. Populasi dan Sampel II.3.1. Populasi ...45

II.3.2. Sampel ...47

II.4. Teknik Pengumpulan Data ...49

II.5. Teknik Penentuan Skor ...50

II.6. Teknik Analisa Data ...51

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1. Gambaran Umum Kota Tebing Tinggi III.1.1. Lokasi dan Keadaan Geografis ...52

III.1.2. Hidrologi ...53

III.1.3. Wilayah dan Pemerintahan ...53

BAB IV : PENYAJIAN DATA IV.1. Karakteristik Responden ...62

IV.2. Data Variabel Penelitian ...65

IV.2.1. Pemekaran Kelurahan IV.2.1.1. Urgensi dan Relevansi ...66

IV.2.1.2. Prosedur ...70

IV.2.1.3. Implikasi ...72

IV.2.2. Kualitas Pelayanan Publik IV.2.2.1. Transparansi ...74

IV.2.2.2. Akuntabilitas ...75

IV.2.2.3. Kondisional ...78

IV.2.2.4. Partisipatif ...79

IV.2.2.5. Kesamaan Hak ...80

IV.2.2.6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban...81


(9)

BAB V : ANALISA DATA

V.1. Pemekaran Kelurahan ...83 V.2. Kualitas Pelayanan Publik ...87 V.3. Pengaruh Pemekaran Kelurahan Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Di Kota Tebing Tinggi ...90

BAB VI : PENUTUP

VI.1. Kesimpulan ...96 VI.2. Saran ...97


(10)

Pemekaran Kelurahan adalah salah satu hasil dari kebijakan otonomi daerah yang memberikan hak kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya tersebut. Menurut PP No. 73 Tahun 2005 tentang kelurahan, yang dimaksud dengan kelurahan adalah perangkat daerah kabupaten/kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan. Pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan dapat dilaksanakan stelah kelurahan induk telah berusia lebih dari lima tahun dengan mempertimbangkan syarat-syarat seperti jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, serta sarana dan prasarana.

Di Kota Tebing Tinggi Pemekaran kelurahan dilaksanakan untuk memenuhi kriteria yang tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 5 ayat (5) Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan bahwasannya sebuah kota harus terdiri dari minimal 4 (empat) kecamatan, sementara sebelumya kota Tebing Tinggi yang berdiri sejak tahun 1917 ini hanya terdiri dari 3 kecamatan dan 27 kelurahan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, maka sejak tanggal 1 Juli 2007 dilaksanakanlah pemekaran kelurahan ini, sehingga sekarang kota Tebing Tinggi sudah memiliki 5 kecamatan dan 35 kelurahan. Pemekaran kelurahan ini dilaksanakan juga mengingat karena jumlah penduduk di Kota Tebing Tinggi yang semakin meningkat, sehingga menuntut adanya peningkatan pula dalam hal urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kota Tebing Tinggi. Dengan dilaksanakannya pemekaran kelurahan ini, secara otomatis wilayah pemerintahan akan semakin kecil, dan aktivitas pelayanan publik pun semakin dekat dengan masyarakat, sehingga bisa leih efektif dan efisien. Selain itu span of control juga semakin kecil dan bisa dimaksimalkan, sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh antara pemekaran kelurahan dengan kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi. Dari perhitungan korelasi product moment, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwasannya hubungan antara kedua variabel tersebut termasuk dalam kategori

kuat; untuk mengetahui besarnya kontribusi yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik dipergunakan rumus determinasi yang diperoleh hasil sebesar 46,1%; serta untuk melihat bagaimana pengaruh yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah dengan analisis regresi sederhana yang diperoleh hasil positif dengan persamaan Y=94,115+1,126X. Kemudian untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka dengan mengkonsultasikan nilai rhitung dengan rtabel, diperoleh hasil rhitung

sebesar 0,679 dan rtabel dengan taraf kepercayaan 95% adalah sebesar 0,220. rhitung

tersebut lebih besar dari rtabel yang berarti pengaruh yang diberikan oleh

pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah positif dan signifikan. Berarti hipotesis dierima.

Kata Kunci : Pemekaran Kelurahan, Kualitas Pelayanan Publik, Pemerintahan Daerah, dan Otonomi Daerah.


(11)

Subdistricts blooming are one of the result of local autonomy that give rights to local government to carry out its own business according to the necessities. According to PP No.73/2005 about subdistrict, subdstrict is local ware of the regency/town in district area. Blooming a subdistrict into the two ones can be done after the mother subdistrict is more than 5 years old by considering amount of people, large of area, part of work area, and equipments.

In Tebing Tinggi, subdistricts blooming were held to fulfill the criteria in UU No.32/2004 (5/5) about local government that instruct a town must be insist of minimally 4 districts, meanwhile before it, Tebing Tinggi that stood since 1917 just insist of 3 districts and 27 subdistricts. To fulfill the rule , since 1 July 2007, subdistricts blooming were held, until now Tebing Tinggi has 5 districts and 35 subdistricts. This subdistricts blooming were held also remind of the amount of people in Tebing Tinggi are increase, so do demand increasing in quality of government activity, development, and people welfare. By subdistricts blooming, automatically a govern area became smaller and public services activity will be nearer to the people, so it could be more effective and efficient. Besides that, span of control also became smaller and could be maximalized, so it also could be minimized the wrong authority.

This research was held to see if there is an influence between subdistricts blooming and public sevice quality in Tebing Tinggi. From the result of produt moment corelation shows that relation between both is STRONG; For knowing how many contribution from subditricts blooming to public service quality use determination formula that resulted 46,1%; and to see how the inluence that is given by subdistricts blooming to public service quality through short regression analysis got positive result with formula Y=94,115 +1,126 X, and then to test the hypothesis by consultating the value from rcount to rtabel, resulted rcount 0,679 and

rtabel with significancy degree 95% is 0,220. The rcount is more than rtabel means that

influence given by subdistricts blooming to public service quality is positive and significant. It means that the hypothesis is accepted.

Keywords : Subdistricts blooming, public service quality, local government, and local autonomy.


(12)

Pemekaran Kelurahan adalah salah satu hasil dari kebijakan otonomi daerah yang memberikan hak kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya tersebut. Menurut PP No. 73 Tahun 2005 tentang kelurahan, yang dimaksud dengan kelurahan adalah perangkat daerah kabupaten/kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan. Pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan dapat dilaksanakan stelah kelurahan induk telah berusia lebih dari lima tahun dengan mempertimbangkan syarat-syarat seperti jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, serta sarana dan prasarana.

Di Kota Tebing Tinggi Pemekaran kelurahan dilaksanakan untuk memenuhi kriteria yang tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 5 ayat (5) Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan bahwasannya sebuah kota harus terdiri dari minimal 4 (empat) kecamatan, sementara sebelumya kota Tebing Tinggi yang berdiri sejak tahun 1917 ini hanya terdiri dari 3 kecamatan dan 27 kelurahan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, maka sejak tanggal 1 Juli 2007 dilaksanakanlah pemekaran kelurahan ini, sehingga sekarang kota Tebing Tinggi sudah memiliki 5 kecamatan dan 35 kelurahan. Pemekaran kelurahan ini dilaksanakan juga mengingat karena jumlah penduduk di Kota Tebing Tinggi yang semakin meningkat, sehingga menuntut adanya peningkatan pula dalam hal urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kota Tebing Tinggi. Dengan dilaksanakannya pemekaran kelurahan ini, secara otomatis wilayah pemerintahan akan semakin kecil, dan aktivitas pelayanan publik pun semakin dekat dengan masyarakat, sehingga bisa leih efektif dan efisien. Selain itu span of control juga semakin kecil dan bisa dimaksimalkan, sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh antara pemekaran kelurahan dengan kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi. Dari perhitungan korelasi product moment, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwasannya hubungan antara kedua variabel tersebut termasuk dalam kategori

kuat; untuk mengetahui besarnya kontribusi yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik dipergunakan rumus determinasi yang diperoleh hasil sebesar 46,1%; serta untuk melihat bagaimana pengaruh yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah dengan analisis regresi sederhana yang diperoleh hasil positif dengan persamaan Y=94,115+1,126X. Kemudian untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka dengan mengkonsultasikan nilai rhitung dengan rtabel, diperoleh hasil rhitung

sebesar 0,679 dan rtabel dengan taraf kepercayaan 95% adalah sebesar 0,220. rhitung

tersebut lebih besar dari rtabel yang berarti pengaruh yang diberikan oleh

pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah positif dan signifikan. Berarti hipotesis dierima.

Kata Kunci : Pemekaran Kelurahan, Kualitas Pelayanan Publik, Pemerintahan Daerah, dan Otonomi Daerah.


(13)

Subdistricts blooming are one of the result of local autonomy that give rights to local government to carry out its own business according to the necessities. According to PP No.73/2005 about subdistrict, subdstrict is local ware of the regency/town in district area. Blooming a subdistrict into the two ones can be done after the mother subdistrict is more than 5 years old by considering amount of people, large of area, part of work area, and equipments.

In Tebing Tinggi, subdistricts blooming were held to fulfill the criteria in UU No.32/2004 (5/5) about local government that instruct a town must be insist of minimally 4 districts, meanwhile before it, Tebing Tinggi that stood since 1917 just insist of 3 districts and 27 subdistricts. To fulfill the rule , since 1 July 2007, subdistricts blooming were held, until now Tebing Tinggi has 5 districts and 35 subdistricts. This subdistricts blooming were held also remind of the amount of people in Tebing Tinggi are increase, so do demand increasing in quality of government activity, development, and people welfare. By subdistricts blooming, automatically a govern area became smaller and public services activity will be nearer to the people, so it could be more effective and efficient. Besides that, span of control also became smaller and could be maximalized, so it also could be minimized the wrong authority.

This research was held to see if there is an influence between subdistricts blooming and public sevice quality in Tebing Tinggi. From the result of produt moment corelation shows that relation between both is STRONG; For knowing how many contribution from subditricts blooming to public service quality use determination formula that resulted 46,1%; and to see how the inluence that is given by subdistricts blooming to public service quality through short regression analysis got positive result with formula Y=94,115 +1,126 X, and then to test the hypothesis by consultating the value from rcount to rtabel, resulted rcount 0,679 and

rtabel with significancy degree 95% is 0,220. The rcount is more than rtabel means that

influence given by subdistricts blooming to public service quality is positive and significant. It means that the hypothesis is accepted.

Keywords : Subdistricts blooming, public service quality, local government, and local autonomy.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dari diri setiap individu, tidak memandang apakah orang tersebut kaya atau miskin dan tua atau muda. Pelayanan dapat dibedakan menjadi dua bagian, pelayanan yang ditujukan untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang disebut sebagai pelayanan individual, sedangkan pelayanan yang ditujukan untuk kepentingan orang banyak dan kesejahteraan bersama disebut sebagai pelayanan publik.

Pelayanan publik merupakan segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.1

Pelayanan publik pada umumnya diberikan melalui beberapa organisasi birokrasi pemerintah. Karena pemerintahlah yang mempunyai hak monopoli atas Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya, negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual, akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat secara bersama-sama.

1


(15)

penyediaan suatu barang/jasa publik kepada setiap warga negara, mulai dari seorang warga negara itu lahir sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ada pameo sebagaimana yang dikatakan oleh Stiglitz :2

Birokrasi sebagai wujud organisasi sektor publik tidak terlepas dari pengaruh perubahan paradigma pelayanan. Paradigma baru mengenai organisasi pelayanan publik pada dasarnya berasal dari tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dari waktu ke waktu. Tuntutan tersebut semakin berkembang seirama dengan tumbuhnya kesadaran bahwa warga negara memiliki hak untuk dilayani dan kewajiban pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan, sebab hakekat pemerintahan adalah memang pelayanan kepada rakyat. Paradigma baru mengenai organisasi pelayanan publik tersebut menuntut perubahan dalam orientasi pelayanan, dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan

from birth to death, our lives are affected in countless ways by the activities of government”.

Ungkapan tersebut bisa hadir karena memang pelayanan publik yang dibutuhkan oleh setiap warga negara hanya bisa disediakan oleh institusi pemerintah saja (birokrasi). Pelayanan publik tidak mungkin diserahkan dengan mekanisme pasar yang terjadi secara sempurna, karena akan menyebabkan harga pelayanan publik tersebut menjadi mahal dan hanya bisa dijangkau oleh pihak-pihak tertentu saja.

2

Dikutip dari pendapat Stiglitz dalam Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2005, hal.176. Ungkapan tersebut berarti bahwa sejak lahir sampai meninggal, seorang warga negara tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan birokrasi pemerintah.


(16)

kekuasaan berubah menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis, serta dari cara-cara sloganis menuju ke realistik pragmatis.3

Semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah terus menerus berusaha untuk meningkatkan pelayanan publik. Hal itu bisa dilihat dari ketika maraknya pemerintah daerah (kabupaten/kota) di seluruh Indonesia meminta hak otonomi yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Hak otonomi itu sangat wajar dituntut sebagai upaya peningkatan kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan publik, karena dengan otonomi yang merupakan derivatif dari asas desentralisasi, pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, semakin efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya, dan menggugah semangat partisipasi warga masyarakat untuk membangun daerahnya. Namun, untuk dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat, selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Ketika persoalan-persoalan dalam masyarakat tersebut sudah dapat diinventarisir dan dilakukan analisis, maka strategi-strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut akan semakin jelas dan konkret dampaknya bagi masyarakat.

4

Seperti halnya dengan pemerintah Kota Tebing Tinggi sebagai pemerintah daerah yang selalu ingin berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka terlebih dahulu harus mengetahui persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakatnya. Persoalan mengenai pelayanan publik yang terjadi di Kota Tebing

3

Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta:Pembaruan, 2005, hal.5

4

Riawan Tjandra, dkk, Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik, 2005, Yogyakarta:Pembaruan, 2005, hal.2.


(17)

Tinggi saat ini adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada di Kota Tebing Tinggi yaitu dari berjumlah 129.780 jiwa pada tahun 2004 dan pada tahun 2006 sudah mencapai 134. 319 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tersebut, secara otomatis juga turut semakin meningkatkan volume kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.5

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kelurahan dan kecamatan di Kota Tebing Tinggi yang sebanyak 3 kecamatan dan 27 kelurahan dianggap sudah tidak efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan, yaitu seperti lamanya rentang

waktu penyelesaian dalam pengurusan suatu pelayanan administrasi,

pembangunan yang berjalan lambat, serta urusan pembinaan untuk kemasyarakatan yang menjadi kurang fokus, maka pemerintah Kota Tebing Tinggi berusaha melakukan suatu strategi sebagai jawaban atas permasalahan pelayanan publik tersebut. Strategi tersebut adalah dengan melakukan pemekaran kelurahan.6

Pemekaran kelurahan adalah membentuk suatu kelurahan baru yang berasal dari kelurahan lama dengan mempertimbangkan sudah terpenuhinya syarat jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, sarana dan prasarana pemerintahan, serta kelurahan yang lama sudah berdiri selama lebih dari 5 (lima) tahun masa pemerintahan.7

5

Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi No.15 Tahun 2006 tentang Pembentukan Kecamatan Dan Kelurahan Di Kota Tebing Tinggi.

6

Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kota Tebing Tinggi pada saat pra penelitian yang menyatakan bahwasannya rasio antara jumlah penduduk sebagai penerima pelayanan publik dengan jumlah kelurahan dan kecamatan sebagai penyedia pelayanan publik yang ada di Kota Tebing Tinggi sudah tidak memadai, sehingga diperlukan penambahan jumlah sentra pelayanan publik yaitu melalui pemekaran kelurahan. Rasio ideal antara jumlah penduduk dengan jumlah kelurahan menurut Peraturan Menteri Dalam Neger No.31 Tahun 2006 adalah satu kelurahan itu terdiri dari 2000 jiwa.

7

Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2005 Pasal 2 Ayat (5) tentang Kelurahan.

Pemekaran kelurahan dianggap sebagai suatu solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan tersebut di atas, karena dengan


(18)

pemekaran kelurahan berarti bertambahnya jumlah kelurahan yang ada di Kota Tebing Tinggi; Pertambahan jumlah kelurahan ini berimplikasi pada semakin mengecilnya wilayah suatu kelurahan dan semakin sedikitnya jumlah warga masyarakat dalam suatu kelurahan, sehingga diharapkan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan bisa berjalan dengan lebih fokus dan maksimal. Seperti misalnya, permasalahan yang terjadi adalah dengan bertambahnya jumlah penduduk, pihak kelurahan menjadi lambat dalam menyelesaikan suatu urusan pelayanan administrasi karena jumlah warga yang dilayani sangat banyak Tetapi dengan adanya pemekaran ini, maka beban yang dikerjakan oleh suatu pemerintah kelurahan semakin sedikit, sehingga diharapkan pelayanan akan sampai ke tangan masyarakat dengan cepat dan tentunya dengan kualitas yang baik pula. Selain itu, dengan semakin kecilnya wilayah suatu pemerintahan, maka akan memperpendek jarak birokrasi dengan masyarakatnya, sehingga bisa semakin fokus terhadap masyarakatnya, dapat secara jelas diketahui apa saja yang menjadi kebutuhan dan juga permasalahan apa yang dihadapi oleh mereka.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Pemekaran Kelurahan terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kota Tebing Tinggi.”


(19)

I. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Adakah Pengaruh Pemekaran Kelurahan Terhadap Kualitas Pelayanan

Publik di Kota Tebing Tinggi?

2. Seberapa besar pengaruh pemekaran kelurahan terhadap kualitas

pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi?

3. Bagaimana pengaruh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan

publik di Kota Tebing Tinggi?

I. 3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui adakah pengaruh pemekaran kelurahan terhadap

kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemekaran kelurahan terhadap

kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemekaran kelurahan terhadap

kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi.

I. 4. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan

kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah diterima di Departemen Ilmu


(20)

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran kepada

pemerintah kota Tebing Tinggi untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan publik.

3. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat mahasiswa dan dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

I. 5. Kerangka Teori

I. 5. 1. Otonomi Daerah

Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tersebut akan membagi-bagi pemerintahannya menjadi sistem yang lebih kecil (pemerintahan daerah) untuk memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang. Di Indonesia, kebijakan seperti ini dikenal dengan istilah desentralisasi.

Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-daerah tersebut meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, daerah perlu diberikan wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki


(21)

pendapatan daerah seperti pajak dan retribusi daerah, dan lain-lain pemberian.8

Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi adalah adanya keinginan yang sangat kuat agar proses pembangunan di masa depan benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat kebanyakan, terutama mereka yang ada di daerah-daerah. Keinginan yang sangat kuat ini didasarkan pada kenyataan di masa lalu yang lebih mengedepankan pandangan pusat, yang dianggap telah mencerminkan dan mewakili kepentingan rakyat daerah.

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi ini adalah di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat

berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai

kecenderungan global dan mengambil manfaat dari pada kondisi tersebut. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatas berbagai masalah domestik akan semain kuat. Desentralisasi

merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat

kepada daerah. Hal ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem yang

8


(22)

sentralistik, pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi.

Di masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani secara baik karena keterbatasan wewenang pemerintah daerah di bidang itu; misalnya berkenaan dengan hal perizinan investasi, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintah yang sesuai kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan kepala daerah.9

Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang merupakan hasil revisi dari UU No. 22 tahun 1999 kewenangan-kewenangan tersebut didesentralisasikan ke daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatron, apalagi mendominasi kepentingan di daerah. Hal ini dibuktikan dengan dilimpahkannya segala urusan kepada pemerintah daerah kecuali yang menyangkut hukum dan perundang-undangan, agama, pertahanan dan keamanan, kebijakan dan politik luar negeri, serta kebijakan fiskal.

9

Syaukani, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatruan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004, hal 172-173.


(23)

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.10 Konsep desentralisasi dan otonomi daerah dilihat dari perspektif organisasi dan manajemen lebih menekankan pada aspek efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas. Osborne dan Gaebler mengemukakan ada 4 keunggulan lembaga yang terdesentralisasi, yakni lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralisasi karena lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah; lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif dari pada tersentralisasi; lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dari pada tersentralisasi; dan lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak, dan lebih besar produktivitas.11

Mardiasmo mengedepankan adanya tiga misi utama, yang sekaligus bisa dipahami sebagai alasan penting yang dianutnya desentralisasi. Dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan otonomi suatu daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan

memajukan perekonomian daerah. Misi tersebut yaitu pertama,

meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; Kedua, menciptakan efisiensi dan efektivitas

pengelolaan sumber daya daerah; dan ketiga, memberdayakan dan

10

UU. No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

11

Pendapat Osborne dan Gaebler yang dimuat dalam Hessel Nogi Tangkilisan, Penataan Birokrasi Publik Memasuki Era Millenium, Yogyakarta:YPAPI, 2004, hal. 11-12.


(24)

menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.12

Pada gilirannya, pemahaman terhadap berbagai bentuk tantangan desentralisasi akan menghadirkan kebutuhan pemerintah daerah untuk mampu mengelola setidak-tidaknya tiga hal, yakni kebijakan, sumber daya, dan program. Kemampuan dalam pengelolaan ini juga harus tetap dilandaskan pada semangat desentralisasi dalam bingkai kehidupan negara yang demokratis, masyarakat madani, dan good governance.

Pendapat tersebut di atas memberikan aksentuasi, desentralisasi yang dianut dalam penyelenggaraan pemerintahan negara justru karena pertimbangan-pertimbangan sekaligus alasan-alasan yang bertalian dengan demokrasi, administrasi, kultural, dan kepentingan pembangunan (ekonomi) sebagai salah satu basis legitimasi terpenting bagi regim di rata-rata negara dunia ketiga. Dari butir alasan yang dikemukakan tersebut terlihat bahwa elemen teknis administratif seperti efisiensi dan efektivitas merupakan dasar pembenar bagi penerapan prinsip desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penganut prinsip pemencaran kekuasaaan yang dalam wujud yang nyata berupa penerapan prinsip desentralisasi yang melahirkan adanya daerah-daerah yang menggenggam otonomi didorong oleh berbagai macam asumsi dan argumentasi, baik yang bersifat politik ideologis, maupun yang bersifat teknis administratif.

13

12

Ibid.,hal.15-17.

13


(25)

Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia dari paradigma monolitik sentralistik ke paradigma demokrasi khususnya demokrasi lokal atau dari government yang menekankan pada otoritas ke

governance yang bertumpu kepada interaksi dan kompatibilitas diantara

komponen yang ada, menuntut adanya perubahan dalam kerangka berpikir kita, tidak saja di dalam formulasi kebijakan tetapi juga implementasinya. Sebagai mesin atau alat pemerintahan, maka birokrasi mengikuti atau dipengaruhi sistem politik atau pemerintahan yang berlaku.

Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan untuk mendorong perubahan birokrasi di Indonesia dengan asumsi dasar untuk pemulihan fungsi birokrasi sebagai lembaga negara pelayan publik yang transparan, akuntabel, responsif, dan bersih dari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan adalah14

1. Pemerintah pusat seharusnya merupakan sumber perubahan dan

penggerak usaha perubahan. Tetapi dalam kenyataannya, pemerinah pusat tersebut merupakan komponen yang harus diubah terlebih dahulu.

:

2. Selama ini reformasi birokrasi hanyalah dalam kadar retorik yang banyak diucapkan oleh pemerintah atasan.

3. Tidak saja reformasi birokrasi harus kontinyu dan terprogram serta jelas jangka waktunya, tetapi juga harus terprogram dan terencana di dalam penganggaran.

14

Diungkapkan oleh Poernomo dalam Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Mewujudkan Kabupaten Partisipatif, Yogyakarta:Pustaka Jogja Mandiri, 2004, hal.75.


(26)

4. Meskipun proses, prosedur, dan isi merupakan hal yang pokok dalam mereformasi birokrasi, tetapi yang harus memperoleh perhatian yang paling utama untuk mendorong perubahan birokrasi di Indonesia adalah reformasi perilaku birokrat.

Rumusan otonomi pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah memberikan kewenangan yang luas dan juga sesungguhnya sumber pendapatan yang potensial kepada daerah-daerah. Meskipun di dalam kerangka otonomi daerah memiliki kewenangan yang luas dan utuh tetapi perlu adanya kesadaran dan semangat berotonomi di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, diperlukan negosiasi baik diantara pusat dengan daerah-daerah, maupun daerah propinsi dengan kabupaten dan kota, tetapi juga antar propinsi maupun antar kabupaten/kota. Negosiasi ini diperlukan untuk menentukan sampai seberapa jauh besarnya kewenangan yang dimiliki daerah-daerah. Sehingga, sesuai dengan keberadaan daerah, maka kewenangan penyelenggaraan urusan-urusan menyesuaikan dengan kekuatan keberadaan tersebut. Dengan demikian otonomi atau penyelenggaraan urusan yang luas atau terbatas dapat terletak di propinsi, kabupaten, maupun kota. Penyelenggaraan kewenangan atau otonomi ini terfokus kepada tujuan utamanya, yaitu tercapainya atau terealisasinya kemandirian daerah, terutama kemandirian masyarakat.15

15


(27)

I. 5. 2. Konsep Pemekaran

Setelah kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 dilaksanakan, ada banyak peristiwa yang terjadi di seluruh tanah air. Diantara yang paling populer adalah ide pemekaran wilayah, baik pemekaran propinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai ke tingkat kelurahan.

Melihat kecenderungan dan semangat daerah dalam merespon

undang-undang tersebut, bukan tidak mungkin gelombang pemekaran daerah akan semakin besar. Pertanyaannnya, apakah ide pemekaran itu benar-benar sesuai dengan amanat PP No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah; yang antara lain meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, pembagian wilayah kerja, serta sarana dan prasarana pemerintahan.

Menurut Kastorius Sinaga, ide pemekaran wilayah setidaknya harus menjawab tiga isu pokok, diantaranya16

1. Urgensi dan relevansi, yaitu apakah urgensi pemekaran wilayah

berkaitan dengan penuntasan masalah yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Jika tidak, pemekaran wilayah akan berdampak negatif dan cita-cita pemerataan pembangunan tidak akan terlaksana. Pertimbangan umum pemekaran wilayah biasanya didasari oleh adanya potensi sumber daya alam yang siap untuk dieksploitasi

:

16

Diungkapkan oleh Kastorius Sinaga dalam Wahyudi, dkk, Etnis Pakpak Dalam Pemekaran Wilayah, Sidikalang:Yayasan Sada Ahmo, 2002, hal.18.


(28)

sementara kemampuan daerah, terutama menyangkut kemampuan finansial dan sumber daya manusia.

2. Prosedur, yaitu apakah prosedur pemekaran wilayah sudah

ditempuh dengan benar sesuai ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Jika tidak maka proses pemekaran wilayah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan seperti ini juga cukup panjang.

3. Implikasi, yakni sejauh mana pemekaran wilayah memberi dampak

yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Problema pemekaran muncul tatkala kepentingan elite di tingkat

lokal menjadi dominan. Dalam kaca mata elite lokal, pemekaran adalah perluasan dan pemekaran kekuasaan yang berimplikasi pada pembagian

sumber-sumber (resources). Karena pemekaran merupakan

pembentukan daerah pemerintahan baru, maka hal ini berarti pula perluasan dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan tunjangan-tunjangan jabatan lainnya.

Dalam kaca mata teori pemerintahan daerah, berdasarkan alasan dan pertimbangan administrasi seperti efisiensi dan efektivitas sejatinya pemekaran daerah bukanlah hal yang diharamkan atau ditabukan. Pemekaran tujuannya tidak lain adalah untuk mendekatkan lokus pengambilan keputusan pada level pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Disamping itu juga, jangkauan pelayanan diharapkan menjadi lebih efisien dan efektif, karena span of control


(29)

pemekaran secara teoritik dapat dibenarkan sebagai upaya untuk

mempercepat pemerataan pembangunan.17

Menurut Sedu Wonosastro maraknya kegiatan dan wacana pemekaran wilayah di berbagai daerah sebaiknya harus benar-benar diarahkan bahwa pemekaran wilayah tersebut dilaksanakan karena pertimbangan untuk mendekatkan fungsi pelayanan aparatur dengan rakyat dengan ukuran mempersempit kendali pelayanan sehingga akan tercipta kualitas pelayanan yang semakin baik. Jadi, pemekaran wilayah ini tidak hanya eforia otonomi yang semata-mata terkait dengan logika kekuasaan, memenuhi keinginan dan ambisi pejabat dan politisi saja.

18

Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Sedu Wonosastro MS tersebut, Menteri Dalam Negeri dalam Musyawarah Rencana Pembanguan Nasional pada awal tahun 2004, menyatakan sikap Pemerintah Pusat terhadap maraknya usulan pemekaran wilayah yang terjadi secara luas, bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap daerah otonom hasil pemekaran wilayah, ternyata hasilnya tidak memuaskan/ kinerja lamban. Fakta di lapangan menunjukkan cukup banyak permasalahan yang mencuat ke permukaan sebagai dampak pemekaran wilayah, apabila tidak dilandasi suatu perencanaan yang detail, seperti mencuatnya konflik terbuka yang terjadi di Kabupaten Mamasa di Sulawesi Selatan, serta konflik tetutup dalam perebutan asset antara Kabupaten Musi Rawas dan Kota Lubulinggau di Sumatera Selatan.19

17

Pendapat Syahzinan dalam

18

Sedu Wonosastro, Pemekaran Wilayah, Jurnal litbang. Jawa Timur, vol.5, no.1, hal.1. 19


(30)

Harus diakui wacana pemekaran wilayah dalam pengertian pemekaran daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, pasal 4 ayat (4), maupun pemekaran wilayah dalam pengertian memecah kecamatan dan kelurahan/desa menjadi dua atau lebih dengan pertimbangan luas wilayah, kondisi geografis, jumlah penduduk yang terlalu padat serta kondisi sosial politik, kiranya perlu mendapat pemikiran dan penelaahan yang cermat, cerdas, dan objektif dimana hal-hal semacam ini merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mencari cara atau solusi dalam mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, baik pelayanan pembangunan infrastruktur, sosial ekonomi masyarakat, maupun administrasi dan jasa.

Pemekaran kelurahan berarti pembentukan kelurahan baru dari kelurahan yang lama dengan berdasarkan pada syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, serta sarana dan prasarana pemerintahan. Pemekaran kelurahan ini merupakan suatu produk dari kebijakan otonomi daerah yang menitik beratkan pada misi untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Konsep pemekaran kelurahan ini sudah lama menjadi isu yang hangat dalam wacana pemerintahan daerah di Indonesia, seperti misalnya yang dilakukan oleh pemerintah kota Depok yang memekarkan wilayah kecamatan dan kelurahannya. Berdasarkan studi banding yang


(31)

dimekarkan sebelumnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:20

1. Perlunya sosialisasi yang luas kepada masyarakat tentang rencana

pemekaran wilayah yang akan dilakukan oleh pemerintah kota, sehingga program ini dipahami dengan baik dan mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat.

2. Perlunya dipersiapkan dengan baik perangkat yang dibutuhkan

dalam pembentukan kecamatan dan kelurahan baru, seperti sumber daya manusia (SDM) pegawai serta sarana dan prasarana kantor.

3. Perlunya pemerintah kota melakukan koodinasi dengan institusi

vertikal, seperti kepolisian dan departemen agama untuk mempersiapkan kebutuhan pembangunan kantor kepolisian (polsek) dan KUA di kecamatan baru.

4. Proses pemekaran dan kecamatan dan kelurahan perlu diadakan

secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan daerah, sehingga tidak mengganggu proses pelayanan publik dan penyelenggaraan pembangunan.

5. Perlu pengkajian yang mendalam dan seksama dalam pembagian

wilayah kecamatan dan kelurahan lama dan baru, sehingga hasil pemekaran kecamatan dan kelurahan benar-benar mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

20

Diungkapkan oleh Zamrowi (Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kota Depok) dalam

antaranews.com/11 maret 2007/14.37. Beliau juga menyatakan bahwasannya pemekaran dilakukan dengan tujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan keamanan dan ketertiban, dan mempercepat pengembangan potensi, yang intinya lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(32)

I. 5. 3. Kelurahan

Berdasakan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang kelurahan, yang dimaksud dengan kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kota dalam wilayah kerja kecamatan.

Pembentukan kelurahan sebagaiman dimaksud dalam peraturan tersebut adalah dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan atau bagian kelurahan yang bersandingan, ataupun melalui pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan atau lebih.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 tahun 2006 tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan kelurahan, maka kelurahan dibentuk untuk meningkatkan pelayanan masyarakat, melaksanakan fungsi pemerintahan, dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejateraan masyarakat.

Pembentukan kelurahan tersebut sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat :

1. Jumlah penduduk, untuk wilayah Sumatera paling sedikit 2000

jiwa atau 400 kepala keluarga.

2. Luas wilayah, untuk wilayah Sumatera paling sedikit 5 Km2.

3. Bagian wilayah kerja, yaitu wilayah yang dapat dijangkau dalam

meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat.

4. Sarana dan prasarana pemerintahan, yaitu meliputi: memiliki

kantor kelurahan, memiliki jaringan perhubungan yang lancar, sarana komunikasi yang memadai, dan fasilitas umum yang memadai.


(33)

Pemekaran dari satu kelurahan menjadi dua kelurahan atau lebih sebagaimana dimaksud dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit lima tahun penyelenggaraan pemerintahan kelurahan.

Kelurahan merupakan perangkat daerah kota yang berkedudukan di wilayah kerja kecamatan, dan dipimpin oleh seorang lurah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada walikota melalui camat. Lurah sebagaimana dimaksud adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh walikota atas usul camat.

Syarat-syarat lurah yaitu, meliputi :

1. Pangkat/golongan minimal penata (III/c) 2. Masa kerja minimal 10 tahun

3. Memiliki kemampuan teknis di bidang administrasi pemerintahan

dan memahami keadaan sosial budaya masyarat setempat.

Tugas lurah yaitu menyangkut urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Selain itu, ia juga melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh walikota dan disesuaikan dengan prinsip efisiensi dan peningkatan dalam akuntabilitas.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, lurah mempunyai fungsi : 1. Pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan.

2. Pemberdayaan masyarakat.

3. Pelayanan Masyarakat.

4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. 5. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.


(34)

Susunan organisasi kelurahan yaitu, melipui lurah dan perangkat kelurahan. Perangkat kelurahan itu sendiri terdiri sekretaris kelurahan dan seksi sebanyak-banyaknya empat orang, serta jabatan fungsional. I. 5. 4. Pelayanan Publik

I. 5. 4. 1. Pengertian Pelayanan Publik

Menurut Kurniawan, pelayanan publik diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.21

21

Poltak Sinambela, op.cit., hal.5.

Selanjutnya menurut KepMenPAN No. 63/KEP/M. PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya, negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual, akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat secara bersama-sama.


(35)

I. 5. 4. 2. Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik

Pemerintah melalui lembaga dan segenap aparaturnya bertugas menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pemerintah terdiri dari berbagai macam bentuk.

Menurut H. A. S. Moenir, bentuk pelayanan ada tiga macam yaitu :22

1. Pelayanan dengan lisan.

Pelayanan dengan lisan ini dilakukan oleh petugas-petugas bidang hubungan masyarakat, bidang layanan informasi, dan bidang-bidang lainnya yang bertugas memberikan penjelasan atau keterangan kepada masyarakat mengenai berbagai fasilitas layanan yang tersedia.

Agar layanan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku pelayanan, yaitu:

a. Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam

bidang tugasnya.

b. Mampu memberikan penjelasan mengenai apa saja yang

diperlukan dengan lancar, singkat, tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu.

c. Bertingkah laku dengan sopan dan ramah tamah.

22

H.A.S. Moenir, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta:Bumi Aksara, 2002, hal.190.


(36)

d. Meski dalam keadaan sepi, tidak berbincang dan bertcanda dengan sesama pegawai karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas.

2. Pelayanan melalui tulisan.

Dalam bentuk tulisan, layanan yang diberikan dapat berupa pemberian penjelasan kepada masyarakat dengan penerangan berupa tulisan suatu informasi mengenai hal atau masalah yang sedang terjadi.

Pelayanan melalui tulisan terdiri dari dua macam yaitu :

a. Pelayanan yang berupa petunjuk, informasi, dan yang

sejenis ditujukan pada orang-orang yang berkepentingan agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi atau lembaga.

b. Pelayanan berupa reaksi tertulis atas permohonan, laporan, keluhan, pemberitahuan, dan lain sebagainya.

3. Pelayanan berbentuk perbuatan.

Pelayanan dalam bentuk perbuatan adalah pelayanan yang

diberikan dalam bentuk perbuatan ataupun hasil perbuatan, bukan sekedar kesanggupan dan penjelasan secara lisan.

Dalam KepMenPAN No. 63 tahun 2003, pelayanan publik dibagi berdasarkan tiga kelompok, yaitu :

a. Kelompok pelayanan administratif, yaitu bentuk pelayanan yang

menghasilkan berbagai macam dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau publik, misalnya status kewarganegaraan,


(37)

sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan lain-lain. Dokumen-dokumen tersebut antara lain KTP, akte kelahiran, buku pemilikan kendaraan bermotor, STNK, dan lain-lain.

b. Kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan lain-lain.

c. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk jasa yang dibuuhkan publik, misalnya pendidikan, pelayanan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, dan lain-lain.

I. 5. 4. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Publik

Menurut H. A. S. Moenir, terdapat faktor-faktor yang mendukung pelayanan, yaitu :23

1. Faktor Kesadaran.

Yaitu kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam kegiatan pelayanan. Kesadaran para pegawai pada segala tingkatan terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya dapat membawa dampak yang sangat positif terhadap organisasi ini akan menjadi kesungguhan dan disiplin melaksanakan tugas, sehingga hasilnya dapat diharapkan melalui standar yang telah ditetapkan.

23


(38)

2. Faktor Aturan.

Yaitu aturan dalam orsganisasi yang menjadi landasan kerja pelayanan. Aturan ini mutlak kebenarannya agar organisasi dan pekerjaan dapat berjalan teratur dan terarah, oleh karena itu harus dipahami oleh organisasi yang berkepentingan/bersangkutan. 3. Faktor Organisasi.

Merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan dalam usaha pencapaiaan tujuan. 4. Faktor Pendapatan.

Yaitu pendapatan pegawai yang berfungsi sebagai pendukung pelaksanaan pelayanan. Pendapatan yang cukup akan memotivasi pegawai dalam melaksanakan pekerjaan yang baik.

5. Faktor Keterampilan Tugas

Yaitu kemampuan dan keterampilan petugas dalam melaksanakan pekerjaan. Ada tiga kemampuan yang harus dimiliki, yaitu kemampuan manajerial, kemampuan teknis, dan kemampuan membuat konsep.

6. Faktor Sarana.

Yaitu sarana yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan layanan. Sarana ini meliputi peralatan, perlengkapan, alat bantu, dan fasilitas lain yang melengkapi seperti fasilitas komunikasi.


(39)

I. 5. 4. 4. Kualitas Pelayanan Publik

Meskipun tidak ada defenisi mengenai kualitas yang dapat diterima secara universal, namun ada elemen-elemen yang berkaitan dengan konsep kualitas tersebut, yaitu:24

1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan

pengguna barang/jasa.

2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.

3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa

yang dianggap meupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa yang akan datang.

Konsep kualitas itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk barang/ jasa yang terdiri atas kualitas kesesuaian. Ukuran relatif tersebut berarti bahwa kualitas ini tidak bersifat mutlak; ada persepsi yang berbeda dari setiap orang mengenai ukuran kualitas ini. Sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk barang/jasa memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan.

Berkaitan dengan usaha untuk memenuhi harapan pengguna barang/jasa, maka menurut KepMenPAN No. 63 tahun 2003 pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada para pelanggan sekurang-kurangnya mendukung tiga unsur pokok, yaitu :

24

Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2003, hal.3.


(40)

1. Terdapatnya pelayanan yang merata dan sama.

Yaitu dalam pelaksanaan tidak ada diskriminasi yang diberikan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat. Didalam memberikan pelayanan tidak boleh memandang hubungan kekerabatan, pangkat, suku, agama, maupun status ekonomi. Hal ini membutuhkan kejujuran dan tenggang rasa dari para pemberi pelayanan tersebut.

2. Pelayanan yang diberikan harus tepat pada waktunya.

Pelayanan oleh aparat pemerintah dengan mengulur waktu dengan berbagai alasan merupakan tindakan yang dapat mengecewakan masyarakat. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan dengan cepat harus segera dilayani agar tidak menimbulkan keluhan dan beban bagi masyarakat.

3. Pelayanan harus merupakan pelayanan yang berkesinambungan.

Dalam hal ini berarti aparat pemerintah harus selalu siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan.

Menurut Riawan Tjandra, tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat tersebut. Kualitas/ mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan. Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima


(41)

kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.25

1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan

dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

Kualitas pelayanan prima tersebut tercermin dari :

2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan

diskriminasi, dilihat dari aspek apapun, khususnya suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan lain-lain.

6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang

mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.26

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :

25

Riawan Tjandra, op.cit., hal.3.

26


(42)

1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan, yang mencakup : rincian biaya atau tarif pelayanan

publik serta prosedur/tata cara umum, baik teknis maupun administratif.

3. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

4. Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana

pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. 5. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, yakni pemberi pelayanan

harus bersikap disiplin, sopan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

6. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja, dan

pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.

Disamping harus memuat sendi-sendi pelayanan tersebut di atas, setiap penyelenggara pelayanan publik harus mempunyai standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi atau penerima layanan.


(43)

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus mempunyai standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik, standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi :

1. Prosedur Pelayanan

yaitu prosedur pelayanan yang diberlakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

2. Waktu Penyelesaian

yaitu waktu penyelesaian yan ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.

3. Biaya Pelayanan

biaya atau tarif pelayanan termasukrincian yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.

4. Produk Pelayanan

hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

5. Sarana dan Prasarana

penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik.


(44)

6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Publik

kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat sesuai dengan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

I. 5. 5. Kinerja Organisasi Pelayanan Publik

Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu sendiri, seperti efsiensi dan efektivitas, tetapi harus dilihat juga dari indokator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas.penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, dengan pengguna jasa yang memilki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap pemberi pelyanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan

Kesulitan lain dalam menilai kinerja publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional. Kenyataan bahwa birokrasi publik memiliki stakeholders yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu dengan yang lainnya membuat birokrasi publik memiliki


(45)

kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbeda-beda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk megukur kinerja birokrasi publik, yaitu sebagai berikut :27

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktvitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output.

2. Kualitas layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima oleh organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap pelayanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah.

Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas layanan seringkali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi suatu

27

Agus Dwiyanto,dkk, Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2006, hal.50.


(46)

ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat dapat menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyrakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja, karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjlaankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

Dalam operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan menjadi beberapa indikator, seperti meliputi (1) terdapat atau tidaknya keluhan dari pengguna jasa selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan dari pengguna jasa; (3) penggunaan keluhan dari penguna jasa sebagai sebagai referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada


(47)

masa mendatang; (4) berbagai tindakan aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.

Rendahnya responsivitas pelayanan terhadap masyarakat menurut beberapa aparat birokrasi tidak semata-mata disebabkan faktor aparat. Dalam banyak kasus, menurut penuturan seorang aparat birokrasi seringali justru masyarakat penguna jasa yang membuat pelayanan menjadi tidak lancar. Pengguna jasa seringkali datang ke kantor pelayanan tanpa membawa dokumen pelayanan yang diperlukan, pengguna jasa seringkali pula memaksa aparat untuk menyelesaikan pelayanan, padahal aparat tidak dapat segera memproses pelayanan tanpa adanya dokumen pelayanan yang dibutuhkan.

Rendahnya tingkat responsivitas penyelenggaraan pelayanan publik mengindikaskan bahwa aparat birokrasi masih memiliki keengganan untuk menolong masyarakat pengguna jasa dengan memberikan pelayanan yang baik. Tidak diterapkannya prinsip pelayanan banyak disebabkan belum adanya komunikasi yang interaktif antara aparat birokrasi dengan para pengguna jasa. Birokrasi pelayanan publik meiliki komitmen dan kemampuan yang rendah untuk mengenali kebutuhan pengguna jasa. Pengenalan akan kebutuhan pengguna jasa hanya dapat dilakukan apabila aparat birokrasi memiliki komitmen untuk belajar dari berbagai pengalaman pelayanan yang pernah dialaminya dan secara konsisten diterapkan guna perbaikan pelayanan selanjutnya.


(48)

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah peleksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.

Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, sepeti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yag berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi bila kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.


(49)

I. 5. 6. Pengaruh Pemekaran Kelurahan terhadap Kualitas Pelayanan Publik

Pengaruh dari aktivitas pemekaran kelurahan (variabel X) terhadap kualitas pelayanan publik (variabel Y) dapat dilihat melalui alur kerangka berpikir sebagai berikut (gambar 1.1):


(50)

Gambar 1.1 :Kerangka Berpikir Hubungan Pemekaran Kelurahan Terhadap Kualitas Pelayanan Publik

OTONOMI DAERAH

Daerah mempunyai wewenang untuk mengurusi wilayahnya sendiri sesuai

dengan kebutuhannya.

PEMEKARAN KELURAHAN

DI KOTA TEBING TINGGI

Meningkatnya volume kegiatan di bidang

pemerintahan, pelayanan,dan kemasyarakatan sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk

Komposisi jumlah

Penduduk, luas wilayah, dan sarana prasarana memadai.

Wilayah pemerintahan semakin kecil

Lokus Pengambilan keputusan semakin dekat dengan masyarakat

Pelayanan semakin efektif dan efisien

Span of Control menjadi lebih kecil dan bisa dimaksimalkan.

Kota Tebing Tinggi terdiri dari 3 kecamatan


(51)

Keterangan :

Dari bagan tersebut di atas dapat dilihat bahwasannya dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah yang berpedoman pada UU No. 32 Tahun 2004, maka daerah mempunyai wewenang untuk mengurusi wilayahnya sendiri sesuai dengan kebutuhannnya, hal ini mengingat bahwa sebenarnya yang mengetahui segala permasalahan yang terjadi di daerah adalah pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat. Selain itu, UU tersebut juga mensyaratkan bahwa sebuah kota harus terdiri dari minimal 4 kecamatan.

Dalam hal ini, Kota Tebing Tinggi masih tediri dari 3 (tiga) kecamatan, sehingga perlu segera dilaksanakan pemekaran kelurahan. Semakin meningkatnya volume kegiatan di bidang pemerintahan, pelayanan, dan kemasyarakatan serta dengan meningkatnya komposisi jumlah penduduk, luas wilayah yang cukup, dan memiliki sarana/prasarana yang memadai sebagai prasyarat pendirian kelurahan, maka pemerintah Kota Tebing Tinggi merasa siap untuk mengeluarkan kebijakan pemekaran kelurahan tersebut.

Dengan adanya pemekaran kelurahan tersebut, secara otomatis wilayah pemerintahan semakin kecil, sehingga lokus pengambilan keputusan semakin dekat dengan masyarakat. Hal ini senada dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Sedu Wono Sastro, direktur pengkajian pemerintahan IPDN, yaitu bahwasannya dengan semakin kecilnya wilayah pemerintahan, maka lokus pengambilan keputusan semakin dekat dengan masyarakat, sehingga pada akhirnya cita-cita untuk memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat akan dapat tercapai. Disamping itu pula, mekanisme pengawasan


(52)

terhadap kinerja aparat pemerintah kelurahan dapat dengan mudah dilaksanakan (span of control menjadi lebih kecil dan bisa dimaksimalkan).

I. 6. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara suatu penelitian yang mana kebenarannya perlu untuk diuji serta dibuktikan melalui penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik.28

I. 7. Defenisi Konsep

Berdasarkan pengertian tersebut, penulis mengajukan suatu hipotesis yang dilandaskan pada teori yang relevan (konsep otonomi daerah), yaitu dengan adanya pemekaran kelurahan, maka wilayah pemerintahan semakin kecil, sehingga lokus pengambilan keputusan semakin dekat dengan masyarakat dan pelayanan semakin efektif dan efisien.

Hipotesisnya yaitu:

”Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik.”

Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk mengambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial.29

28

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi Negara, Bandung:Alfabet, 2005, hal.70.

29

Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, Jakarta:LP3ES, 1995, hal. 33.


(53)

Berdasarkan pengertian tersebut, maka penulis mengemukakan defenisi dari beberapa konsep yang digunakan :

1. Kelurahan

Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kota dalam wilayah kerja kecamatan di Kota Tebing Tinggi.

2. Pemekaran kelurahan

Yaitu pembentukan kelurahan baru dari kelurahan lama dengan berdasarkan pada syarat-syarat tertentu.

3. Pelayanan Publik

Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian pelayanan atau kegiatan melayani masyarakat yang dilakukan oleh aparat Kelurahan di Kota Tebing Tinggi.

4. Kualitas Pelayanan Publik

Yaitu, standar ukuran dalam pemberian pelayanan publik kepada masyarakat yang berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku.

I. 8. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur variabel melalui indikator-indikatornya.

Variabel Bebas (X)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemekaran kelurahan dengan indikatornya sebagai berikut:


(54)

1. Urgensi dan relevansi, yaitu apakah urgensi pemekaran kelurahan berkaitan dengan penuntasan masalah yang dimiliki oleh wilayah tersebut.

2. Prosedur, yaitu apakah prosedur dan syarat pemekaran kelurahan sudah

ditempuh dan dipenuhi dengan benar sesuai ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Syarat tersebut meliputi :

a. Bagian wilayah kerja, yaitu wilayah yang dapat dijangkau dalam

meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat, serta adanya pembatasan lingkup wilayah kerja pemerintahan, yang meliputi kecamatan dan kelurahan.

b. Sarana dan prasarana yang memadai, yaitu meliputi adanya bangunan

fisik kantor kelurahan yang baru, jaringan perhubungan yang lancar, sarana komunikasi yang memadai, serta fasilitas yang menunjang kegiatan pemerintahan, pelayanan, serta kemasyarakatan di kelurahan tersebut.

3. Implikasi, yakni sejauh mana pemekaran kelurahan memberi dampak

yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan publik dengan indikatornya adalah sebagai berikut:

1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.


(55)

2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang meliputi: a. Kesederhanaan prosedur; tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan

mudah dilaksanakan.

b. Kejelasan; rincian biaya atau tarif pelayanan publik serta

prosedur/tata cara umum, baik teknis maupun administratif.

c. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

d. Kemudahan akses; tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang

memadai dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

e. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan; pemberi pelayanan harus

bersikap disiplin, sopan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

f. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja, dan alat pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.

g. Produk pelayanan; hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

h. Kompetensi petugas pemberi pelayanan publik; harus sesuai dengan

pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.


(56)

4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi,

dilihat dari aspek apapun, khususnya suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan lain-lain.

6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang

mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.

7. Pelayanan harus merupakan pelayanan yang berkesinambungan. Dalam

hal ini berarti aparat pemerintah harus selalu siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan pelayanan.


(1)

Gambar 4.1 Grafik Regresi Linier

Dengan melihat hipotesis yang telah diuji sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa variabel pemekaran kelurahan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi. Besarnya pengaruh yang diberikan variabel pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik di Kota tebing Tinggi adalah sebesar 36,97 %. Artinya, kualitas pelayanan publik yang ada di kota Tebing Tinggi saat ini dipengaruhi oleh pemekaran kelurahan sebanyak 36,97 %, sisanya bisa saja dari faktor lain-lain seperti tingkat pendidikan aparatur, tingkat kecakapannya dalam memberikan pelayanan, dan lain sebagainya yang tidak dijadikan pembahasan dalam penelitian


(2)

ini. Persentase tersebut dianggap cukup besar mengingat usia pemekaran ini masih berkisar 7 (tujuh) bulan. Pengaruh yang diberikan oleh pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik tersebut dikatakan positif karena apabila nilai variabel pemekaran dinaikkan satu satuan, maka nilai kualitas pelayanan publik pun akan turut meningkat pula.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN V. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari perhitungan koefisien korelasi diperoleh rhitung sebesar 0,608 yang berarti terdapat hubungan antara variabel pemekaran kelurahan (X) dengan variabel kualitas pelayanan publik (Y), dan tingkat hubungannya adalah KUAT.

2. Berdasarkan penghitungan nilai koefisien korelasi product moment tersebut, maka dapat dilakukan pengujian hipotesis, yaitu dengan mengkonsultasikan nilai rhitung dengan nilai rtabel. Nilai rhitung diperoleh sebesar 0,608dan lebih besar dari rtabel sebesar 0,202 pada taraf signifikansi 95% atau alpha 5%. Berarti hipotesis dapat diterima, yaitu terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel pemekaran kelurahan dengan kualitas pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi.

3 Besarnya pengaruh variabel pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah sebesar 36,97 % yang diperoleh dari perhitungan determinasi. 4. Pengaruh dari pemekaran kelurahan terhadap kualitas pelayanan publik adalah

positif yang dapat diuji melalui rumus regresi linier sederhana yang diperoleh persamaan Y=309,4 + 0,951X. Artinya apabila nilai dari variabel X (pemekaran kelurahan) dinaikkan sebanyak satu satuan, maka nilai variabel Y (kualitas pelayanan publik) pun juga akan meningkat pula.


(4)

V. 2. SARAN

1. Walaupun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara pemekaran kelurahan dan kualitas pelayanan publik, namun juga harus senantiasa dilakukan perbaikan-perbaikan ke depan seperti misalnya melengkapi sarana dan prasarana kantor dengan secepatnya, karena masalah ini merupakan masalah yang sangat penting, mengingat tujuan dari diadakannya pemekaran ini yaitu untuk meningkatkan pelayanan publik, oleh karena itu dengan dilengkapinya sarana dan prasarana tersebut otomatis juga akan semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut.

2. Segera melengkapi formasi pegawai yang bekerja di kantor kelurahan, sehingga proses pelayanan di kelurahan dapat terlaksana secara maksimal, karena seperti data yang diperoleh di lapangan yaitu hamper di seluruh kelurahan yang dimekarkan belum memiliki formasi pegawai yang lengkap. 3. Membina dan meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam usaha untuk

memajukan kelurahan yang baru saja dibentuk yang dapat menimbulkan rasa kecintaan terhadap wilayah tempat tinggalnya, sehingga kelurahan yang baru dibentuk tersebut dapat mengejar ketertinggalannya dari kelurahan induk.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

---2005. Mewujudkan Good Governance Melalui

Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Juliantara, Dadang. 2004. Pembaruan Kabupaten, Mewujudkan Kabupaten

Partisipatif. Yogyakarta : Pustaka Jogja Mandiri

Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta :

Pembaruan.

Moenir, H. A. S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta :

Bumi Aksara.

Prasetyo, Bambang dan Ina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian

Kuantitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sinambela, Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta : Bumi Aksara. Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES.

Soehartono, Irawan. 2004. Metode penelitian Sosial. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi Negara. Bandung : Alfabet. Suharsimi, Arikunto. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Syafii, Inu Kencana. 1994. Sistem pemerintahan Indonesia. Jakata : Rineka

Cipta.

Syaukani, dkk. 2004. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Tangkilisan, Hessel Nogi. 2004. Penataan Birokrasi Publik Memasuki Era

Millenium. Yogyakarta : YPAPI.

Tjandra, Riawan, dkk. 2005. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam

Pelayanan Publik. Yogyakarta : Pembaruan.

Tjiptono, Fandy & Anastasia Diana. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.


(6)

Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wahyudhi, dkk. 2002. Etnis Pakpak dalam Pemekaran Wilayah. Sidikalang :

Yayasan Sada Ahmo.

Sedu, Wonosastro. 2006. Pemekaran Wilayah. Jurnal Litbang Jawa Timur, Vol.

5, No. 1, hal. 1.

REFERENSI LAIN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemeritah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2006 tentang Pembentukan,

Penghapusan, dan Penggabungan Kelurahan.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003

tentang Penyelenggaraan pelayanan Publik.

Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi Nomor 15 Tahun 2006 tentang

Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tebing Tinggi.

Syahzinan. 2007. PEMEKARAN, solusi atau kegagalan. www. batampos. co

id/24 september 2007.