Universitas Sumatera Utara
dijunjung tinggi insan pers, baik sebagai individu maupun lembaga. Substansi dari keberadaan etika jurnalistik adalah “menegakkan kebenaran” dalam praktik dan pelaksanaan
tugas jurnalistik Yunus, 2010. Penegakan etika jurnalistik yang optimal pada akhirnya akan membentuk
profesionalisme wartawan dalam menjalankan tugas, di samping mampu menciptakan industri media massa yang objektif dan dapat dipercaya. Profesionalisme wartawan dan
objektivitas media massa merupakan landasan moral yang harus dipegang dalam menjalankan aktivitas jurnalistik. Etika jurnalistik merupakan persoalan moral dalam industri
media massa. Etika jurnalistik bertumpu pada penyajian informasi dan berita yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, tanpa mengabaikan etika dalam proses
pemberitaan. Beberapa aturan main jurnalistik yang terkait dengan penegakan etika antara lain dituangkan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik
Wartawan Indonesia-PWI, Keberadaan dan Fungsi Dewan Pers Yunus, 2010.
2.1.4 Kode Etik Jurnalistik
Kata ‘kode’ berasal dari bahasa Inggris ‘code’ yang antara lain berarti himpunan atau kumpulan ketentuan atau peraturan tertulis. Jadi kode etik berarti, kemampuan tertulis
tentang suatu etika. Dengan kata lain, istilah etika masih bersifat umum, tetapi jika sudah diawali dengan kata ‘kode’ sudah menunjuk kepada etika profesi tertentu Sukardi, 2012.
Secara singkat dan umum Kode Etik Jurnalistik berarti, himpunan atau kumpulan mengenai etika di bidang jurnalistik yang dibuat oleh, dari dan untuk kaum jurnalis
wartawan sendiri. Dengan kata lain, Kode Etik Jurnalistik dibuat oleh kaum jurnalis wartawan sendiri dan berlaku juga hanya terbatas untuk kalangan jurnalis wartawan saja.
Tiada satu orang atau badan lain pun yang diluar yang ditentukan oleh Kode Etik Jurnalistik tersebut terhadap para jurnalis wartawan, termasuk menyatakan ada tidak pelanggaran etika
berdasarkan Kode Etik Jurnalistik itu Sukardi, 2012. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, para wartawan Indonesia belum mempunyai
Kode Etik Jurnalistik. Begitu pula ketika Persatuan Wartawan Indonesia PWI, organisasi wartawan Indonesia tertua yang lahir setelah Februari 1946 belum ada Kode Etik Jurnalistik.
Pada tahun 1947, lahirlah Kode Etik Jurnalistik pertama melalui pembuatan Kode Etik Jurnalistik yang diketuai oleh Tasrif, seorang wartawan yang kemudian menjadi pengacara.
Isi kode etik ini tidak lebih merupakan terjemahan dari Canon of Jurnalism, kode etik jurnalistik wartawan Amerika pada masa itu. Tidak heran isi dari Kode Etik Jurnalistik PWI
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pertama ini sama dengan Canon of Jurnalism, hanya penyebutannya disesuaikan dengan istilah Indonesia.
Setelah lahir Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang pokok-pokok pers, Dewan Pers membentuk panitia ad hoc yang terdiri dari tujuh orang untuk merumuskan berbagai
kode etik di bidang pers, termasuk Kode Etik Jurnalistik. Ketujuh orang itu masing-masing Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey, Soendoro, Wanohito, L.E.
Manuhua dan A. Azis. Hasil panitia ad hoc diserahkan kepada Dewan Pers pada tanggal 30 September 1968. Kemudian Dewan Pers mengeluarkan keputusan No. 091968 yang
ditandatangani oleh Boediharjo dan T. Sjahril yang menetapkan Kode Etik Jurnalistik hasil rumusan “Panitia Tujuh” sebagai Kode Etik Jurnalistik.
Dengan adanya Kode Etik Jurnalistik yang dibuat oleh Dewan Pers, berarti saat itu berlaku dua kode etik buat jurnalis; yang pertama dari PWI dan kedua dari Dewan Pers.
Wartawan anggota PWI menggunakan Kode Etik Jurnalistik PWI, sedangkan yang bukan anggota PWI menggunakan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers. Pada tanggal 20 Mei 1975
pemerintah menetapkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Penerangan Nomor 27 Tahun 1975. Dengan demikian
secara otomatis pula kode etik yang berlaku buat semua wartawan ialah Kode Etik Jurnalistik PWI, yang ditegaskan kemudian melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun
1975. Pada tahun 1999 Dewan Perwakilan Rakyat membuat Undang-Undang Nomor 40
tentang Pers. Dalam undang-undang tersebut, wartawan diberi kebebasan memilih organisasi wartawan. Dasar hukum itu menyebabkan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi
wartawan dan Kode Etik Jurnalistik PWI tidak dapat diterapkan lagi untuk wartawan di luar anggota PWI. Perkembangan selanjutnya tanggal 6 Agustus 1999 sebanyak 25 organisasi
wartawan sepakat membentuk Kode Etik Wartawan Indonesia, yang disahkan oleh Dewan Pers tanggal 29 Juni 2000.
Enam tahun kemudian, tepatnya tanggal 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers 27 organisasi wartawan dan dua organisasi perusahaan pers kembali membentuk Kode Etik
Jurnalistik. Kode etik tersebut akhirnya berlaku secara umum bagi semua jurnalis Indonesia, termasuk PWI yang ikut menyetujui, dan diputuskan melalui Surat Keputusan Dewan Pers
No.03SK-DPIII2006 yang diperkuat dengan Peraturan Dewan Pers No.6Peraturan- DPV2008.
Penerapan Kode Etik Jurnalistik yang konsisten dan penuh komitmen pada akhirnya akan menghasilkan persepsi masyarakat tentang praktik dan perilaku jurnalistik yang objektif
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dan profesional. Indikatornya akan terlihat melalui penyajian berita memiliki kualitas tinggi dan berbobot, adanya independensi yang terpelihara dan menciptakan tatanan masyarakat
yang sadar informasi yang bebas dan bertanggung jawab sebagaimana disajikan insan pers dan media massa Yunus, 2010.
2.1.5 Kebebasan dan Tanggung Jawab