DINAMIKA PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP SERIOUS CYBERLOAFING

d. Bertanggung jawab terhadap tugas. Sekalinya individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menetapkan sebuah target, individu tersebut memiliki kecenderungan untuk secara total berfokus dengan tugas tersebut hingga tugas itu terselesaikan Hermans, 1970. Dikatakan bahwa ciri ini membuat mereka sulit untuk meninggalkan begitu saja tugas yang setengah selesai, maka dari itu sulit bagi mereka untuk menunda- nunda suatu pekerjaan. Mereka juga tidak puas ataupun bangga dengan diri mereka sendiri, jika mereka tidak memberikan usaha maksimal untuk tugas tersebut.

C. DINAMIKA PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP SERIOUS CYBERLOAFING

Penelitian ini menggolongkan cyberloafing kepada deviant behavior atau perilaku menyimpang Garrett Danziger, 2008; Lim, 2002; Robinson Bennet, 1995. Cyberloafing dianggap sebagai perilaku yang tidak diharapkan oleh perusahaan karena dapat membawa dampak buruk bagi perusahaan, seperti menurunnya produktivitas Beugré Kim, 2006; Weatherbee, 2010. Lebih spesifik lagi, Blanchard dan Henle 2008 membuat tipologi cyberloafing berdasarkan teori Robinson dan Bennet 1995, yang berpendapat bahwa terkait dampak yang ditimbulkan, production deviance dapat dibagi dalam tipe minor maupun serious. Minor cyberloafing mengacu kepada aktivitas-aktivitas cyberloafing yang umum dilakukan oleh karyawan serta secara normatif dinilai dapat ditoleransi. Sedangkan, serious cyberloafing mengacu pada aktivitas- aktivitas cyberloafing yang lebih jarang terjadi dan umumnya dikaitkan dengan penggunaan internet yang berpotensi menghasilkan permasalahan legal Henle Kedharnath, 2012; Lim, 2002; Lim Teo, 2005; Vitak dkk., 2011. Blanchard dan Henle 2008 melalui penelitiannya menemukan bahwa norma dalam perusahaan tidak memiliki hubungan dengan serious cyberloafing, yang mana para pelaku serious cyberloafing sesungguhnya mengetahui bahwa apa yang dilakukan salah dan sulit untuk ditoleransi, namun hal tersebut tidak menghentikan mereka untuk melakukannya. Sedangkan external locus of control memiliki kontribusi terhadap serious cyberloafing. Hal tersebut menunjukkan bahwa serious cyberloafing lebih dipengaruhi oleh faktor internal, seperti kepribadian, dibandingkan faktor eksternal. Mengingat adanya keterbatasan penelitian spesifik mengenai serious cyberloafing, maka dari itu penelitian terkait faktor yang turut mempengaruhi cyberloafing secara umum akan dipaparkan. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, Ozler dan Polat 2012 menjelaskan bahwa faktor individual turut menjadi faktor determinan dari cyberloafing. Adapun trait kepribadian yang dimaksud adalah external locus of control yang tinggi, self-esteem dan self-control yang rendah Chak Leung, 2004; Ugrin dkk., 2008; Vitak dkk., 2011;. Peneliti selanjutnya, yakni Prasad dkk. 2012, melakukan penelitian terkait regulasi diri terhadap cyberloafing dan menemukan bahwa karakteristik individual seperti achievement orientation orientasi berprestasi merupakan variabel moderator signifikan yang menjembatani hubungan antara regulasi diri dengan cyberloafing. Individu dengan orientasi keberhasilan yang tinggi memiliki tekad untuk mengejar tujuan mereka, merasakan urgensi yang lebih besar dalam mengejar tujuan mereka dan bersedia untuk menginvestasikan waktu dan usaha untuk mengejar tujuan mereka Diehl dkk., 2006. Individu dengan karakteristik tersebut juga merupakan seseorang yang memiliki regulasi diri yang tinggi, yang mana fokus yang mereka miliki dapat mengarahkan usaha mereka terhadap pemenuhan tujuan atau tuntutan, dan pada akhirnya melakukan lebih sedikit cyberloafing dibandingkan dengan yang memiliki regulasi diri yang rendah Prasad dkk., 2012. Bentuk achievement orientation sendiri mencerminkan proses motivasi berprestasi yang mempengaruhi pemilihan tugas oleh individu, penetapan tujuan pribadi, dan mekanisme usaha dalam konteks pembelajaran dan kinerja Higgins, Friedman, Harlow, dkk., 2001; VandeWalle Cummings, 1997. Orientasi berprestasi, yang memiliki hubungan langsung dengan cyberloafing, merupakan perkembangan dari motivasi berpestasi Kozlowski Bell, 2006; Rozhkova, 2011. Adapun motivasi menggambarkan keinginan untuk dapat melakukan sesuatu dan juga menentukan kemampuan yang dimiliki untuk memuaskan kebutuhan individu Robbins, 2002. Motivasi juga merupakan proses mental yang tidak dapat dilihat secara langsung, namun wujudnya dapat diamati dari perilaku individu. Maxwell dalam Socorro, 2012 menyatakan bahwa teori motivasi hadir untuk menjelaskan proses yang menggambarkan kenapa dan mengapa manusia melakukan sesuatu. Salah satu jenis motivasi yang relevan dalam dunia pekerjaan dan turut mempengaruhi perilaku karyawan di tempat kerja adalah motivasi berprestasi achievement motivation McClelland, 1987. McClelland dalam Hart dkk., 2004 menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah kebutuhan dalam diri individu untuk mencapai keberhasilan dalam mengerjakan tugas-tugas yang penuh tantangan, dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standar tertentu. Setiap karyawan memiliki kebutuhan tersebut dalam tingkatan yang berbeda. Dalam bidang pekerjaan, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasakan kebutuhan untuk sukses dan berprestasi, karena mereka menganggap identitas mereka berasal dari kedua hal tersebut Osland dkk., 2011. Berbagai penelitian telah menemukan hubungan positif antara motivasi berprestasi dengan komitmen organisasi dan karir, performa kerja, effort, dan juga produktivitas Hart dkk., 2004; Ohizu Okoiye, 2014; Steer Porter, 1991; Suar, 2010. Hubungan signifikan motivasi berprestasi dengan komitmen organisasi menjelaskan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan lebih berkomitmen terhadap organisasinya Ohizu Okoiye, 2014. Sebelumnya, Garrett dan Danziger 2008 telah menemukan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi akan berkontribusi terhadap penurunan cyberloafing. Selain itu, terkait dengan penelitian Hart dkk. 2004 yang menunjukkan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi merupakan individu pekerja keras, yang menghindari faktor pengganggu, untuk tetap produktif. Sebaliknya, cyberloafing sendiri telah dinyatakan sebagai aktivitas yang dapat menurunkan produktivitas Beugré Kim, 2006; Greenfield, 2009; Malachowski, 2005; Zyga, 2013. McClelland 1987 menggambarkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara personal terhadap performanya, yang mendorong individu untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan. Penyelesaian tugas merupakan prioritas utama yang membuat mereka sulit untuk menunda-nunda perkerjaan dengan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan usaha penyelesaian tugas. Steel 2007 juga menemukan bahwa motivasi berprestasi merupakan prediktor yang kuat dan konsisten dalam kemunculan perilaku prokrastinasi, yang mana motivasi berprestasi yang tinggi dalam diri individu akan membuatnya fokus pada tugas sehingga tidak cenderung menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bisa menunda penyelesaian tugas. Cyberloafing juga dikategorikan sebagai kegiatan prokrastinasi yang dilakukan oleh karyawan Prasad dkk., 2012. Hal ini dijelaskan dengan penyelewengan waktu yang digunakan karyawan, yang mana pada jam kerja malah melakukan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Selain itu, penelitian Ugrin dkk. 2008 telah menemukan bahwa kontrol diri yang rendah berkontribusi terhadap peningkatan cyberloafing. Kontrol diri pada dasarnya merupakan bagian dari motivasi berprestasi, yang mana peningkatan kontrol diri berhubungan dengan peningkatan motivasi berprestasi Ingalls, 2006; Rozhkova, 2011; Socorro, 2012. Ketika individu memiliki kontrol diri yang rendah memiliki kesulitan untuk mengatur dirinya, menahan godaan dari kesenangan sesaat, yang mengakibatkan individu tersebut lebih rentan dan cenderung untuk melakukan cyberloafing Ugrin dkk., 2008.

D. HIPOTESA PENELITIAN