Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Serious Cyberloafing di PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan

(1)

(PERSERO) KANTOR REGIONAL I MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

GUSTRISPA NAOMI SIRAIT

111301035

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2014/2015


(2)

ABSTRAK

Internet, bagaikan pedang bermata dua, dapat membawa dampak positif dan juga negatif. Kehadiran internet di tempat kerja turut berkontribusi terhadap kemunculan bentuk baru dari perilaku menyimpang di tempat kerja, yakni serious cyberloafing. Yang dimaksud dengan serious cyberloafing adalah penggunaan internet untuk kepentingan pribadi pada saat jam kerja yang dapat membawa ancaman bagi perusahaan, seperti menurunnya produktivitas dan permasalahan legal. Serious cyberloafing dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk didalamnya faktor kepribadian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh motivasi berprestasi terhadap fenomena yang sedang marak terjadi di tempat kerja, yaitu serious cyberloafing. Sebanyak 76 karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan (45 pria dan 31 wanita) dilibatkan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala motivasi berprestasi yang dirancang berdasarkan teori David McClelland (1987) dan modifikasi skala serious cyberloafing Blanchard dan Henle (2008). Data yang terkumpul dianalisa menggunakan analisa regresi sederhana. Hasil menunjukkan adanya pengaruh negatif yang signifikan motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing, dengan r = -0,57, R square = 0,32, dan p = 0,00 (p < 0,01). Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagaiman peran motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing dan juga informasi bagi perusahaan untuk mempertahankan tingkat serious cyberloafing yang rendah.

Kata kunci: motivasi berprestasi, serious cyberloafing, perilaku menyimpang di tempat kerja.


(3)

ABSTRACT

The Internet is a double-edged sword which can bring positive effect as well as the negative one. The advent of Internet in the workplace is also contributing on the emergence of a new form of deviant workplace behavior, namely serious cyberloafing. Serious cyberloafing refers to employees’ intentional use of Internet during work hours for personal purposes which can put companies at risk for reduced productivity as well as legal liability. Serious cyberloafing has been found to be affected by several factors, including personality. This study aims to examine the impact of achievement motivation on serious cyberloafing. This study involved 76 employees of PT. Pos Indonesia (Persero) First Regional Office Medan (45 males and 31 females). Data were collected by using the scale of achievement motivation based on theories of David McClelland (1987) and a modification of Blanchard & Henle (2008) serious cyberloafing scale. Data were analyzed by using simple regression and the result showed a significant negative correlation between achievement motivation and serious cyberloafing with r = -0.57, R square = 0.32, and p = 0.00 (p < 0.01). The results of this study are expected to provide an understanding of how achievement motivation affects serious cyberloafing, as well as information to organization to mantain a workplace with low level of serious cyberloafing.

Keywords: serious cyberloafing, achievement motivation, deviant workplace behavior.


(4)

i

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya memperoleh kesempatan dan kesehatan yang baik dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Serious Cyberloafing di PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan”.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh motivasi berprestasi yang dimiliki karyawan terhadap serious cyberloafing yang terjadi di tempat kerja.

Penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU atas dukungan yang telah diberikan demi kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Siti Zahreni, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan, dan dukungannya selama ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, M.Sc., M.A, psikolog dan juga Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dewan penguji skripsi.

4. Keluarga penulis, khususnya papa dan mama, kakak, dan kedua adik penulis yang selalu memberikan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi.


(5)

ii

penelitian.

6. Para sahabat Fakultas Psikologi USU, yaitu Fonds, Fera, Chindy, Puspa, Vilya, dan Merry yang selalu memberikan masukkan-masukkan dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang sudah bapak dan ibu ajarkan kepada penulis.

8. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas pelayanan yang baik buat penulis dan para mahasiswa lainnya.

Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan yang dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan, fasilitas, waktu, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis membuka diri terhadap segala kritik dan saran yang merupakan masukan bagi penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, April 2015

Gustrispa Naomi Sirait 111301035


(6)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Serious Cyberloafing ... 12

1. Pengertian Serious Cyberloafing... 12

2. Aktivitas Serious Cyberloafing ... 13

3. Faktor yang Mempengaruhi Serious Cyberloafing ... 14

B. Motivasi Berprestasi ... 18

1. Definisi Motivasi Berprestasi ... 18


(7)

iv

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 28

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 28

1. Motivasi Berprestasi... 28

2. Serious Cyberloafing ... 29

C. Sampel Penelitian ... 30

D. Metode Pengambilan Data ... 31

1. Skala Motivasi Berprestasi ... 31

2. Skala Serious Cyberloafing ... 32

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 33

1. Validitas Alat Ukur ... 33

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 34

3. Uji Daya Beda Aitem ... 35

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 35

1. Hasil Uji Coba Skala Motivasi Berprestasi ... 36

2. Hasil Uji Coba Skala Serious Cyberloafing ... 37

G. Prosedur Penelitian ... 38

H. Metode Analisa Data ... 41

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 43

A. ANALISA DATA ... 43


(8)

v

Usia ... 44

2. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 45

a. Uji normalitas ... 45

b. Uji linearitas ... 46

3. Hasil Penelitian ... 46

4. Deskripsi Data Penelitian ... 48

B. Pembahasan ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 57

1. Saran Metodologis ... 57

2. Saran Praktis ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN


(9)

vi

Tabel 1. Blueprint Skala Motivasi Berprestasi ... 32

Tabel 2.Blueprint Skala Serious Cyberloafing ... 33

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Motivasi Berprestasi Setelah Uji Coba ... 37

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Serious cyberloafing Setelah Uji Coba ... 38

Tabel 5. Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 43

Tabel 6. Sebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 44

Tabel 7. Hasil Uji Asumsi Normalitas ... 45

Tabel 8. Hasil Uji Asumsi Linearitas ... 46

Tabel 9. Hasil Perhitungan Analisa Regresi ... 47

Tabel 10. Sumbangan Efektif Variabel Motivasi Berprestasi ... 47

Tabel 11. Koefisien Regresi ... 48

Tabel 12. Perbandingan Mean Empirik Dan Mean Hipotetik ... 49

Tabel 13. Norma Kategorisasi Data Penelitian Serious Cyberloafing ... 50

Tabel 14. Norma Kategorisasi Data Penelitian Motivasi Berprestasi ... 50

Tabel 15. Kategori Data Penelitian Serious Cyberloafing ... 50


(10)

vii Lampiran A Reliabilitas dan Daya Beda Aitem

Lampiran B Data Mentah Subjek Penelitian

Lampiran C Hasil Penelitian

Lampiran D Skala Penelitian


(11)

ABSTRAK

Internet, bagaikan pedang bermata dua, dapat membawa dampak positif dan juga negatif. Kehadiran internet di tempat kerja turut berkontribusi terhadap kemunculan bentuk baru dari perilaku menyimpang di tempat kerja, yakni serious cyberloafing. Yang dimaksud dengan serious cyberloafing adalah penggunaan internet untuk kepentingan pribadi pada saat jam kerja yang dapat membawa ancaman bagi perusahaan, seperti menurunnya produktivitas dan permasalahan legal. Serious cyberloafing dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk didalamnya faktor kepribadian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh motivasi berprestasi terhadap fenomena yang sedang marak terjadi di tempat kerja, yaitu serious cyberloafing. Sebanyak 76 karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan (45 pria dan 31 wanita) dilibatkan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala motivasi berprestasi yang dirancang berdasarkan teori David McClelland (1987) dan modifikasi skala serious cyberloafing Blanchard dan Henle (2008). Data yang terkumpul dianalisa menggunakan analisa regresi sederhana. Hasil menunjukkan adanya pengaruh negatif yang signifikan motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing, dengan r = -0,57, R square = 0,32, dan p = 0,00 (p < 0,01). Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagaiman peran motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing dan juga informasi bagi perusahaan untuk mempertahankan tingkat serious cyberloafing yang rendah.

Kata kunci: motivasi berprestasi, serious cyberloafing, perilaku menyimpang di tempat kerja.


(12)

ABSTRACT

The Internet is a double-edged sword which can bring positive effect as well as the negative one. The advent of Internet in the workplace is also contributing on the emergence of a new form of deviant workplace behavior, namely serious cyberloafing. Serious cyberloafing refers to employees’ intentional use of Internet during work hours for personal purposes which can put companies at risk for reduced productivity as well as legal liability. Serious cyberloafing has been found to be affected by several factors, including personality. This study aims to examine the impact of achievement motivation on serious cyberloafing. This study involved 76 employees of PT. Pos Indonesia (Persero) First Regional Office Medan (45 males and 31 females). Data were collected by using the scale of achievement motivation based on theories of David McClelland (1987) and a modification of Blanchard & Henle (2008) serious cyberloafing scale. Data were analyzed by using simple regression and the result showed a significant negative correlation between achievement motivation and serious cyberloafing with r = -0.57, R square = 0.32, and p = 0.00 (p < 0.01). The results of this study are expected to provide an understanding of how achievement motivation affects serious cyberloafing, as well as information to organization to mantain a workplace with low level of serious cyberloafing.

Keywords: serious cyberloafing, achievement motivation, deviant workplace behavior.


(13)

12

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Internet yang merupakan singkatan dari interconnection-networking,dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang saling terhubung. Stevenson (2010) mendefinisikan internet sebagai jaringan komputer global yang menyediakan fasilitas informasi dan komunikasi, serta terdiri dari jaringan kerja yang berkaitan menggunakan protokol komunikasi yang terstandarisasi. Internet, dengan perantara komputer, memungkinkan interaksi antar individu di seluruh dunia tanpa batasan ruang dan waktu.

Berdasarkan pemaparan Kementerian Komunikasi dan Informatika (dalam Amarullah, 2014), saat ini terdapat 82 juta pengguna internet di Indonesia. Artinya, sekitar 30% dari total 253,609,643 jiwa penduduk Indonesia telah memanfaatkan fasilitas internet (Purnomo, 2014). Terjadi peningkatan sebanyak 5% dari tahun sebelumnya, dengan 63 juta pengguna internet dari total 251,160,124 jiwa penduduk Indonesia. Angka tersebut juga diperkirakan akan terus bertambah tiap tahunnya.

Peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan salah satunya adalah fasilitas wi-fi (wireless fidelity). Fasilitas tersebut memungkinkan beberapa komputer dalam jarak tertentu untuk mengakses internet tanpa menggunakan kabel (BBC, 2012). Pihak-pihak seperti restoran, penyelenggara pendidikan, perkantoran, bahkan pemerintah berlomba


(14)

menyediakan wi-fi gratis (Ningtyas, 2014). Program “Internet Masuk Desa” turut

mendorong penggunaan internet oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia (Aditya, 2012).

Faktor krusial lain yang mampu meningkatkan angka pengguna internet secara global adalah semakin bervariasinya media yang dapat digunakan untuk mengakses internet. Selain komputer, saat ini ponsel biasa, smartphone, tablet, hingga TV digital dapat juga digunakan (Galih & Pratomo, 2011; Masyitoh, 2013). Smartphone menempati posisi teratas sebagai media yang paling banyak digunakan dalam mengakses internet di Indonesia (APJII, 2012).

Variasi juga ditemukan dalam profil pengguna internet. Berdasarkan data APJII (2012), pengguna internet tertinggi berasal dari kelompok usia 20-30 tahun dan disusul oleh kelompok usia 12-19 tahun, yaitu sebanyak 37,6% dan 20,8% pengguna internet. Sedangkan pengguna internet terendah diduduki oleh kelompok usia 55-65 tahun, yaitu sebanyak 5,6%.

Sejalan dengan data tersebut, APJII (2012) menyatakan bahwa sekitar 63,4% pengguna internet di Indonesia berasal dari kelompok pekerja white collar. Kalangan white collar mengacu pada pekerja sektor formal, yang meliputi tenaga profesional, tenaga kepemimpinan, ketatalaksanaan, tenaga tata usaha, dan sejenisnya. Pada studi tersebut juga dinyatakan bahwa karyawan mengakses internet di tempat kerja tidak hanya untuk urusan pekerjaan, namun juga untuk kepentingan pribadi. Hal ini merupakan fenomena yang sedang marak terjadi di lingkungan kerja dan tengah mendapatkan perhatian dari para peneliti, yaitu


(15)

Maxwell (2013) menjelaskan bahwa istilah tersebut pertama kali muncul pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Dimana awalan kata cyber digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan komputer dan internet, digabungkan dengan kata loaf, yang mana mengacu pada aksi menggunakan waktu untuk menghindari pekerjaan. Cyberloafing didefinisikansebagai kegiatan penyalahgunaan akses internet yang disediakan oleh perusahaan selama jam kerja berlangsung, untuk menjelajahi situs-situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan demi keuntungan pribadi, dan untuk memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) pesan elektronik pribadi yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan (Lim, 2002).

Umumnya, karyawan menggunakan fasilitas internet perusahaan untuk mengunjungi situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan seperti, situs berita, situs hiburan, dan juga situs olahraga (Blanchard & Henle, 2008; Prasad, Lim, & Chen, 2010). Penggunaan internet perusahaan untuk mengunjungi situs dewasa dan berbelanja merupakan aktivitas cyberloafing yang paling jarang terjadi (Lim & Teo, 2005). Walau demikian, salah satu contoh nyata cyberloafing adalah ketika salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia tertangkap kamera jurnalis sedang mengakses video porno menggunakan tablet pada saat rapat paripurna DPR berlangsung (Simanjuntak, 2011).

Cyberloafing dapat memberikan efek negatif kepada perusahaan maupun karyawan yang melakukannya (Young & Case, 2004). Terbaginya konsentrasi karyawan dari pekerjaan saat melakukan cyberloafing dapat mengganggu produktivitas, yang mana dapat berimbas pada hasil kerja dan keuntungan


(16)

perusahaan (Beugré & Kim, 2006; Malachowski, 2005). Bahkan, Zyga (2013) menjelaskan hanya dengan godaan yang ditimbulkan internet, produktifitas karyawan dapat menurun. Karyawan mengolah informasi pengalih perhatian di tempat kerja melalui aktivitas menjelajah berbagai situs di internet, mengirim dan menerima pesan elektronik pribadi, yang mana mengurangi sumber daya kognitif untuk mengerjakan kewajibannya (Greenfield, 2009). Cyberloafing juga dapat membahayakan perusahaan dalam beberapa hal seperti: gangguan keamanan sistem perusahaan, virus, hacking, dan juga tanggung jawab hukum dalam bentuk fitnah (contoh: menyebarkan kebohongan tentang rekan kerja pada akun media sosial), pelecehan (contoh: menyebarkan lelucon berbau rasis), pelanggaran hak (contoh: mengunduh dokumen yang melanggar hak cipta), serta mempekerjakan lalai (contoh: karyawan yang meretas akun rekan kerja) (Bortolani & Favretto, 2009; Henle & Kedharnath, 2012). Selain itu, ketika karyawan dipecat karena kedapatan menggunakan internet untuk mengunjungi situs dewasa ataupun berjudi, perusahaan juga dapat dirugikan dalam bentuk biaya dan usaha untuk merekrut karyawan baru (Weatherbee, 2010).

Oleh Blanchard dan Henle (2008) sejumlah aktivitas penyalahgunaan internet yang dapat menyebabkan masalah-masalah seperti diatas, dinyatakan sebagai serious cyberloafing. Dengan kata lain, serious cyberloafing merupakan bentuk yang lebih serius dari cyberloafing, yang mana beberapa aktivitas didalamnya dinilai berbahaya dan mungkin ilegal (Henle & Kedharnath, 2012; Lim, 2002). Adapun aktivitas serious cyberloafing meliputi berinteraksi menggunakan chat rooms, mengunjungi situs dewasa, memperbaharui situs


(17)

ataupun akun pribadi, judi dan permainan online, serta mengunduh musik atau dokumen dari internet (Blanchard & Henle, 2008).

Berkaitan dengan pemaparan tersebut, serious cyberloafing dalam penelitian ini digolongkan kepada deviant behavior atau perilaku menyimpang (Norsilan, Omar, & Ahmad, 2014). Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Robinson dan Bennett (1995), telah mengembangkan tipe perilaku menyimpang pada lingkungan kerja, salah satunya adalah production deviance.

Askew (2012) menjelaskan istilah tersebut sebagai perilaku karyawan yang secara sengaja melalaikan, menghindari, dan menelantarkan tugas, atau secara sengaja bekerja dalam kualitas yang rendah.

Perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, begitupula serious cyberloafing (Lim & Teo, 2005; Schultz & Schultz, 1993). Dengan memahami faktor pemicu serious cyberloafing, maka perusahaan dapat membuat kebijakan atau peraturan yang tepat sasaran (Askew, 2012; Blanchard & Henle, 2008). Blanchard dan Henle (2008) mencoba melihat peranan norma terhadap seirous cyberloafing. Melalui penelitiannya ditemukan bahwa para pelaku serious cyberloafing sesungguhnya mengetahui bahwa apa yang dilakukan salah dan sulit untuk ditoleransi, namun hal tersebut tidak menghentikan mereka untuk melakukannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa serious cyberloafing lebih dipengaruhi oleh faktor internal dibandingkan eksternal.

Adapun faktor internal yang dimaksud adalah faktor kepribadian. Penelitian berikut menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi serious cyberloafing pada karyawan, seperti external locus of control yang tinggi, kontrol


(18)

diri (self-control)yang rendah, dan kegagalan dalam melakukan regulasi diri( self-regulation) (Blanchard & Henle, 2008; Prasad dkk., 2012; Ugrin, Pearson, & Odom, 2008).

Prasad dkk. (2012) yang melakukan penelitian terkait regulasi diri terhadap cyberloafing, menemukan bahwa karakteristik individual seperti

achievement orientation (orientasi berprestasi) merupakan variabel moderator signifikan yang menjembatani hubungan antara regulasi diri dengan cyberloafing. Individu yang tinggi orientasi keberhasilannya memiliki tekad untuk mengejar tujuan mereka, merasakan urgensi yang lebih besar dalam mengejar tujuan mereka dan bersedia untuk menginvestasikan waktu dan usaha untuk mengejar tujuan mereka (Diehl, Semegon, & Schwarzer, 2006). Individu dengan karakteristik tersebut juga merupakan seseorang yang memiliki regulasi diri yang tinggi, dimana fokus yang mereka miliki dapat mengarahkan usaha mereka terhadap pemenuhan tujuan atau tuntutan, dan pada akhirnya melakukan lebih sedikit

cyberloafing dibandingkan dengan yang memiliki regulasi diri yang rendah (Prasad dkk., 2012). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Malhotra (2013) yang mana individu dengan achievement orientation yang tinggi sangat berfokus untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak memanjakan diri dengan cyberloafing.

Bentuk achievement orientation sendiri mencerminkan proses motivasi berprestasi yang mempengaruhi pemilihan tugas oleh individu, penetapan tujuan pribadi, dan mekanisme usaha dalam konteks pembelajaran dan kinerja (Higgins, Friedman, Harlow, Idson, Ayduk, & Taylor, 2001; VandeWalle & Cummings, 1997). Orientasi berprestasi, yang memiliki hubungan langsung dengan


(19)

cyberloafing, merupakan perkembangan dari motivasi berpestasi (Kozlowski & Bell, 2006; Rozhkova, 2011).

Motivasi berprestasi selama beberapa dekade telah menjadi primadona dalam penelitian-penelitian, baik yang menyangkut dunia pekerjaan, edukasi, maupun perkembangan (Kenny, Walsh-Blair, Blustein, Bempechat, & Seltzer, 2010; Wigfield & Eccles, 2000; Zenzen, 2002). Motivasi berprestasi merupakan salah satu jenis motivasi utama yang relevan dengan dunia pekerjaan (Lahey, 2005; McClelland, 1987; Robbins, 2002). Motivasi berprestasi mengacu kepada kebutuhan atau dorongan dalam diri individu untuk dapat bersaing ataupun melampaui standar pribadi (McClelland, 1987).

Dalam bidang pekerjaan, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasakan kebutuhan untuk sukses dan berprestasi, karena mereka menganggap identitas mereka berasal dari kedua hal tersebut (Osland, Kolb, & Rubin, 2011). Setiap karyawan memiliki kebutuhan tersebut dalam tingkatan yang berbeda (Aamodt, 2007). Mc.Clelland (dalam Luthans, 2005) memaparkan ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, yaitu: (1) memilih untuk mengerjakan tugas dengan tingkat kesulitan moderat, (2) membutuhkan umpan balik terkait performa, (3) merasakan kepuasan dalam pencapaian, dan (4) bertanggung jawab terhadap tugas. Berbagai penelitian telah menemukan hubungan positif antara motivasi berprestasi dengan komitmen karir dan organisasi, performa kerja, effort, dan juga produktivitas (Hart, Karau, Stasson, & Kerr, 2004; Ohizu & Okoiye, 2014; Steer & Porter, 1991; Suar, 2010).


(20)

McClelland (1987) menggambarkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara personal terhadap performanya. Hal tersebut mendorong individu untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan. Penyelesaian tugas merupakan prioritas utama yang membuat mereka sulit untuk menunda-nunda perkerjaan dengan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan usaha penyelesaian tugas.

Penelitian akan dilakukan pada PT. Pos Indonesia (Persero) atau yang biasa dikenal sebagai PT. Pos. Perusahaan ini merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bisnis komunikasi, logistik, keuangan, keagenan, serta filateli. PT. Pos melayani jutaan masyarakat Indonesia dari dalam maupun luar negeri.

Pelayanan pos ditunjang dengan hadirnya kantor-kantor cabang yang dapat dijangkau masyarakat di setiap daerah di Indonesia. Kantor Pos Regional I Medan yang terletak di Jalan Prof. H. M. Yamin, S.H. No. 44, Medan membawahi 19 kantor cabang yang tersebar dari Provinsi Aceh hingga Sumatera Utara. Hal tersebut memberikan beban kerja lebih bagi perusahaan untuk mampu memberikan pengawasan dan berkoordinasi dengan setiap kantor cabang. Setiap karyawan memiliki target kerja yang harus dicapai.

PT. Pos kini menggunakan sistem daring (online) dalam berbagai kegiatan operasional. Setiap karyawan oleh PT. Pos disediakan komputer dengan akses intranet dengan homepage website PT. Pos karena karyawan setiap paginya diwajibkan melakukan log in pada sistem pos untuk mengetahui kabar terkini. PT.


(21)

Pos hanya memberikan akses internet bebas terhadap beberapa karyawan yang dalam tugasnya membutuhkan fasilitas internet. Walau begitu, PT. Pos tidak membuat larangan ataupun himbauan tertulis mengenai gadget ataupun fasilitas internet yang dibawa oleh karyawan ke kantor.

Bergerak dari fenomena yang terjadi terkait peyalahgunaan internet pada saat jam kerja berlangsung, maka akan diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh motivasi berprestasi mengenai serious cyberloafing.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti adalah sebagai berikut:

Bagaimanakah pengaruh motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing pada karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh dari motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing pada karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN


(22)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian empiris dan memperkaya temuan pada bidang Psikologi Industri Organisasi mengenai

serious cyberloafing di Indonesia dan kaitannya dengan motivasi berprestasi. Hal ini terkait dengan keterbatasan dalam menemukan referensi maupun literatur ilmiah yang membahas topik serious cyberloafing di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada perusahaan mengenai tingkat serious cyberloafing yang terjadi di tempat kerja, tingkat motivasi berprestasi karyawan, serta kontribusi motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab I - Pendahuluan

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan juga sistematika penulisan.

Bab II - Tinjauan Pustaka

Bab ini akan dimulai dari pemaparan berbagai teori terkait kedua variabel yang digunakan dalam penelitian, yakni motivasi berprestasi dan juga serious cyberloafing. Bab ini akan ditutup dengan pemaparan dinamika pengaruh motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing.


(23)

Bab III - Metode Penelitian

Bab ini terdiri dari identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.

Bab IV - Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan mengenai analisis data dan pembahasan yang berisikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian yang merupakan perbandingan hipotesis dengan teori-teori atau hasil penelitian terdahulu.

Bab V - Kesimpulan dan Saran

Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dari peneliti. Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan, baik untuk penyempurnaan penelitian ini, penelitian yang berhubungan dengan variabel yang diteliti di masa mendatang, serta saran untuk instansi terkait.


(24)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SERIOUS CYBERLOAFING

1. Pengertian Serious Cyberloafing

Henle dan Kedharnath (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai:

“Employees’ intentional use of Internet technology during work hours for personal purposes. This technology can be company provided or personal devices that employees bring with them to work (e.g., smartphone, iPad).”

Definisi tersebut menjelaskan bahwa cyberloafing adalah penggunaan internet yang dilakukan secara sengaja oleh karyawan selama jam kerja berlangsung untuk kepentingan pribadi, yang mana teknologi internet yang dimaksud telah disediakan oleh perusahaan ataupun yang dibawa karyawan ke tempat kerja.

Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan, dalam penelitian ini

cyberloafing secara umum termasuk dalam kategori production deviance, yang berarti cyberloafing dianggap sebagai perilaku tidak produktif yang akan mengganggu performa kerja karyawan (Blanchard & Henle, 2008). Istilah

production deviance sendiri berasal dari penelitian Robinson dan Bennett (1995) terkait perilaku melenceng ditempat kerja. Tipologi yang dikembangkan oleh tokoh tersebut juga dapat dibagi menjadi minor dan serious, tergantung seberapa besar dampak buruk yang dihasilkan bagi perusahaan.

Pada tahun 2005, Lim dan Teo melakukan studi eksplorasi mengenai


(25)

(perceived seriousness), pembenaran (justification), dan juga peraturan (regulation). Ditinjau dari keseriusan aktivitas cyberloafing, hasil menyatakan bahwa tidak semua aktivitas cyberloafing dipandang serius. Hasil lainnya menunjukkan adanya hubungan negatif antara prevalansi cyberloafing terhadap penilaian keseriusan aktivitas cyberloafing. Hal ini berarti karyawan akan lebih sering melakukan aktivitas cyberloafing yang dianggap kurang serius, dan sebaliknya, akan lebih jarang melakukan yang dianggap lebih serius.

Blanchard dan Henle (2008) kembali mencoba memformulasikan tipologi dari cyberloafing karena terdapat ketidakpuasan terhadap tipologi terdahulu. Sejalan dengan penelitian Lim dan Teo (2005), pembagian tersebut juga dibuat berdasarkan frekuensi kemunculan dan keseriusan efek yang ditimbulkan. Minor cyberloafing, tipe pertama dalam pembagian (Blanchard & Henle, 2008), mengacu kepada aktivitas-aktivitas cyberloafing yang umum dilakukan oleh karyawan serta secara normatif dinilai dapat ditoleransi. Tipe kedua, yaitu serious cyberloafing, mengacu pada aktivitas-aktivitas cyberloafing

yang lebih jarang terjadi dan umumnya dikaitkan dengan penggunaan internet yang berpotensi menghasilkan permasalahan legal (Henle & Kedharnath, 2012; Lim, 2002; Lim & Teo, 2005; Vitak dkk., 2011).

Dengan demikian, serious cyberloafing dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas penggunaan internet untuk kepentingan pribadi yang dapat menimbulkan permasalahan legal, yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama jam kerja berlangsung, dengan menggunakan fasilitas internet yang disediakan oleh perusahaan ataupun yang dibawa karyawan ke tempat kerja.


(26)

2. Aktivitas Serious Cyberloafing

Ditinjau dari frekuensi aktivitas cyberloafing yang dilakukan karyawan,

cyberloafing dibagi menjadi dua yaitu, minor dan serious (Blanchard & Henle, 2008). Aktivitas dalam minor cyberloafing, yang dinilai paling sering terjadi, meliputi memeriksa email pribadi hingga membuka situs mainstream (contoh: situs berita, olahraga, perbelanjaan, keuangan, dan liburan. Sedangkan aktivitas

serious cyberloafing, yang mana dikatakan paling jarang terjadi, meliputi: a. Visit adult oriented website (mengunjungi situs khusus dewasa)

b. Participate in chat rooms (berinteraksi dengan menggunakan chat rooms) c. Maintain personal web page (mengurus situs internet pribadi)

d. Visit virtual communities (mengunjungi komunitas virtual) e. Visit gambling sites (mengunjungi situs judi)

f. Check personals (memeriksa akun pribadi) g. Read blogs (membaca artikel dari blog) h. Download music (mengunduh lagu)

3. Faktor yang Mempengaruhi Serious Cyberloafing

Sampai saat ini penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi serious cyberloafing secara spesifik masih sangat terbatas (Blanchard & Henle, 2008). Dengan keterbatasan tersebut pembahasan selanjutnya akan dipaparkan dengan menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing secara umum.


(27)

Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kemunculan dari cyberloafing

dibagi ke dalam tiga faktor utama, yakni faktor individual, faktor organisasional, dan juga faktor situasional (Ozler dan Polat, 2012). Berikut akan dijelaskan secara singkat ketiga faktor tersebut beserta penelitian-penelitian pendukung dari berbagai sumber:

a. Faktor Individual

Perilaku manusia dapat terjadi atas dorongan yang berasal dari individu itu sendiri, begitu juga dengan cyberloafing. Terdapat beberapa hal dari dalam diri individu yang termasuk sebagai faktor individual:

1) Persepsi dan Sikap

Karyawan yang memiliki sikap positif terhadap komputer memiliki kecenderungan untuk menggunakan komputer di tempat kerja untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut juga memiliki hubungan positif dengan

cyberloafing (Liberman, 2011). 2) Trait Pribadi

Ugrin dkk. (2008) menemukan bahwa kontrol diri merupakan trait pribadi yang turut mempengaruhi aktivitas cyberloafing seseorang, yang mana individu dengan kontrol diri yang rendah melakukan lebih banyak

cyberloafing dibandingkan dengan individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi.

Blanchard dan Henle (2008) mencoba menghubungkan serious cyberloafing dengan variabel external locus of control. Hasil penelitian menunjukkan individu dengan external locus of control memiliki keyakinan


(28)

bahwa tertangkap basah ketika melakukan cyberloafing adalah faktor nasib atau keberuntungan. Hal ini membuat karyawan yang percaya bahwa nasib mereka ditentukan oleh faktor keberuntungan, menjadi lebih terlibat dengan

serious cyberloafing.

Prasad dkk. (2010) melakukan penelitian yang menghubungkan regulasi diri dengan cyberloafing. Dalam penelitiannya digunakan tiga variabel moderator, yaitu: self-efficacy, consciencetiousness, serta

achievement orientation (orientasi keberhasilan). Variabel terakhir ditemukan memiliki hubungan negatif dengan cyberloafing, yang mana individu dengan orientasi keberhasilan tinggi sangat berfokus pada tujuannya sehingga tidak memanjakan diri dengan cyberloafing.

3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet

Kebiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang sehingga menjadi otomatis. Seseorang yang memiliki kebiasaan yang tidak dapat dikontrol dapat menjadi kecanduan. Tingkat kecanduan internet yang tinggi dapat menimbulkan perilaku penyalahgunaan internet (Chen, Charlie, & Chen, 2008).

4) Faktor Demografis

Jenis kelamin dan usia merupakan faktor demografis yang berkontribusi terhadap cyberloafing. Namun hingga saat ini, temuan-temuan dari berbagai studi berbeda menunjukkan hasil yang saling berkontradiksi, sehingga tidak dapat dirincikan jenis kelamin dan usia yang bagaimana yang akan memiliki pengaruh terhadap cyberloafing (Weatherbee, 2010).


(29)

5) Niat untuk Melakukan, Norma Sosial, dan Kode Etik Pribadi Seorang karyawan yang menghargai larangan terkait penyalahgunaan internet berkorelasi negatif dengan penerimaannya terhadap perilaku tersebut. Sehingga seseorang dengan pandangan pribadi bahwa cyberloafing itu salah akan berkurang niatnya untuk melakukan cyberloafing (Vitak dkk., 2011). Walau begitu, hal ini tidak berlaku pada serious cyberloafing, dimana para pelaku mengetahui bahwa tindakan tersebut tidak benar dan tidak ditoleransi oleh norma sosial, namun tetap melakukannya (Blanchard & Henle, 2008).

b. Faktor Organisasional

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai peneliti, didapatkan faktor-faktor terkait organisasi yang dipastikan memiliki pengaruh terhadap cyberloafing pada karyawan. Komitmen kerja tinggi, sanksi yang berat, dukungan manajerial yang ambigu, serta karakteristik pekerjaan dengan tuntutan yang tinggi merupakan faktor yang dianggap menurunkan kecenderungan individu dalam melakukan cyberloafing (Garret & Danziger, 2008; Vitak dkk., 2011). Ketidakadilan yang dipersepsi oleh karyawan dan kepuasan kerja yang tinggi dinilai memicu cyberloafing (Lim, 2002; Ugrin dkk., 2008).

c. Faktor Situasional

Weatherbee (2010) menerangkan bahwa karyawan yang memiliki akses untuk menggunakan internet di tempat kerja lebih cenderung merupakan karyawan yang melakukan cyberloafing. Kay, Bart, Johnson, Chern, dan Kangas (2009) mengemukakan delapan faktor yang berkontribusi terhadap penggunaan


(30)

internet di tempat kerja, termasuk didalamnya: kesempatan dan akses, anonimitas, kemudahan, keterjangkauan, serta waktu kerja yang panjang di tempat kerja.

Orientasi keberhasilan, salah satu trait pribadi yang turut mempengaruhi

cyberloafing, mencerminkan proses motivasi berprestasi yang mempengaruhi pemilihan tugas oleh individu, penetapan tujuan pribadi, dan mekanisme usaha dalam konteks pembelajaran dan kinerja (Higgins, Friedman, Harlow, dkk., 2001; VandeWalle & Cummings, 1997). Perilaku yang mengacu pada orientasi keberhasilan merupakan bukti dari adanya motivasi berprestasi dalam diri seseorang.

Adapun penelitian ini akan melihat pengaruh motivasi berprestasi terhadap

serious cyberloafing. Maka dari itu, pada bagian selanjutnya akan dipaparkan lebih rinci mengenai motivasi berprestasi itu sendiri.

B. MOTIVASI BERPRESTASI 1. Definisi Motivasi Berprestasi

Menurut McClelland (1987) motivasi berprestasi adalah sebuah kebutuhan untuk dapat bersaing atau melampaui standar pribadi. Pekerja dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan menetapkan tujuan yang menantang, bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut, serta menggunakan keterampilan dan kemampuan untuk mencapainya (McClelland dalam Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1997). Sejalan dengan penjelasan tersebut, Schultz & Schultz (1993) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan atau kebutuhan dalam diri individu untuk meraih hasil atau prestasi tertentu.


(31)

Greenbergs (1996) memaparkan bahwa motivasi berprestasi adalah kekuatan hasrat seseorang untuk mampu menguasai, berhasil dalam tugas-tugas yang sulit, dan mampu menyelesaikan semuanya dengan baik. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung untuk memilih menyelesaikan suatu tugas dibandingkan membangun hubungan baik dengan rekannya.

Berdasarkan pemaparan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah kebutuhan dari dalam diri individu yang mendorongnya untuk melakukan pekerjaannya sebaik mungkin, mencapai prestasi, serta mengungguli standar pribadinya maupun standar atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi

McClelland (dalam Luthans, 2005) memaparkan beberapa karakteristik dari individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, yakni:

a. Memilih untuk mengerjakan tugas dengan kesukaran yang moderat. Walaupun kelihatannya orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan memilih tugas dengan resiko tinggi, kenyataannya mereka cenderung memilih tugas dengan resiko menengah (Gage & Berliner, 1991). Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi memperhitungkan kesulitan dari suatu tugas dan menyesuaikannya dengan kemampuan mereka, sehingga mereka dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan sebaik mungkin.


(32)

b. Membutuhan umpan balik mengenai performanya.

Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menyukai pekerjaan yang akan mendapatkan umpan balik mengenai performa kerja serta kemajuan yang telah ditampilkan dalam usaha mencapai tujuan (Osland dkk., 2011). Orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi juga menyukai jika terdapat penilaian rutin berdasarkan kriteria performa yang spesifik. Selain itu, umpan balik berfungsi sebagai kontrol bagi individu untuk tidak terjebak dalam situasi eksplorasi yang tidak berujung dalam pekerjaannya (Gage & Berliner, 1991). Umpan balik memberikan informasi mengenai seberapa dekat ataupun jauh, buruk maupun baik, usaha mereka pada waktu tertentu untuk mencapai tujuan.

c. Kepuasan akan pencapaian.

Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi merasakan kepuasan pribadi akan pencapaiannya pada sebuah tugas. Mereka pada umumnya tidak begitu mengharapkan imbalan material akan pencapaiannya. Imbalan material yang diterima hanya dianggap sebagai apresiasi ataupun ukuran keberhasilan terhadap hasil kerja mereka (Garg & Parimoo, 2014). Mereka akan cenderung memilih tugas yang cukup rumit dengan imbalan yang tidak terlalu besar, daripada memilih tugas yang mudah dan imbalannya lebih besar. Hal ini dikarenakan, tugas yang cukup rumit, jika mampu diselesaikan dengan baik akan membawa kepuasan yang lebih besar, dibandingkan dengan tugas yang mudah (Luthans, 2005).


(33)

d. Bertanggung jawab terhadap tugas.

Sekalinya individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menetapkan sebuah target, individu tersebut memiliki kecenderungan untuk secara total berfokus dengan tugas tersebut hingga tugas itu terselesaikan (Hermans, 1970). Dikatakan bahwa ciri ini membuat mereka sulit untuk meninggalkan begitu saja tugas yang setengah selesai, maka dari itu sulit bagi mereka untuk menunda-nunda suatu pekerjaan. Mereka juga tidak puas ataupun bangga dengan diri mereka sendiri, jika mereka tidak memberikan usaha maksimal untuk tugas tersebut.

C. DINAMIKA PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP

SERIOUS CYBERLOAFING

Penelitian ini menggolongkan cyberloafing kepada deviant behavior atau perilaku menyimpang(Garrett & Danziger, 2008; Lim, 2002; Robinson & Bennet, 1995). Cyberloafing dianggap sebagai perilaku yang tidak diharapkan oleh perusahaan karena dapat membawa dampak buruk bagi perusahaan, seperti menurunnya produktivitas (Beugré & Kim, 2006; Weatherbee, 2010). Lebih spesifik lagi, Blanchard dan Henle (2008) membuat tipologi cyberloafing

berdasarkan teori Robinson dan Bennet (1995), yang berpendapat bahwa terkait dampak yang ditimbulkan, production deviance dapat dibagi dalam tipe minor

maupun serious. Minor cyberloafing mengacu kepada aktivitas-aktivitas

cyberloafing yang umum dilakukan oleh karyawan serta secara normatif dinilai dapat ditoleransi. Sedangkan, serious cyberloafing mengacu pada


(34)

aktivitas-aktivitas cyberloafing yang lebih jarang terjadi dan umumnya dikaitkan dengan penggunaan internet yang berpotensi menghasilkan permasalahan legal (Henle & Kedharnath, 2012; Lim, 2002; Lim & Teo, 2005; Vitak dkk., 2011).

Blanchard dan Henle (2008) melalui penelitiannya menemukan bahwa norma dalam perusahaan tidak memiliki hubungan dengan serious cyberloafing, yang mana para pelaku serious cyberloafing sesungguhnya mengetahui bahwa apa yang dilakukan salah dan sulit untuk ditoleransi, namun hal tersebut tidak menghentikan mereka untuk melakukannya. Sedangkan external locus of control

memiliki kontribusi terhadap serious cyberloafing. Hal tersebut menunjukkan bahwa serious cyberloafing lebih dipengaruhi oleh faktor internal, seperti kepribadian, dibandingkan faktor eksternal.

Mengingat adanya keterbatasan penelitian spesifik mengenai serious cyberloafing, maka dari itu penelitian terkait faktor yang turut mempengaruhi

cyberloafing secara umum akan dipaparkan. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, Ozler dan Polat (2012) menjelaskan bahwa faktor individual turut menjadi faktor determinan dari cyberloafing. Adapun trait kepribadian yang dimaksud adalah

external locus of control yang tinggi, self-esteem dan self-control yang rendah (Chak & Leung, 2004; Ugrin dkk., 2008; Vitak dkk., 2011;).

Peneliti selanjutnya, yakni Prasad dkk. (2012), melakukan penelitian terkait regulasi diri terhadap cyberloafing dan menemukan bahwa karakteristik individual seperti achievement orientation (orientasi berprestasi) merupakan variabel moderator signifikan yang menjembatani hubungan antara regulasi diri dengan cyberloafing. Individu dengan orientasi keberhasilan yang tinggi memiliki


(35)

tekad untuk mengejar tujuan mereka, merasakan urgensi yang lebih besar dalam mengejar tujuan mereka dan bersedia untuk menginvestasikan waktu dan usaha untuk mengejar tujuan mereka (Diehl dkk., 2006). Individu dengan karakteristik tersebut juga merupakan seseorang yang memiliki regulasi diri yang tinggi, yang mana fokus yang mereka miliki dapat mengarahkan usaha mereka terhadap pemenuhan tujuan atau tuntutan, dan pada akhirnya melakukan lebih sedikit

cyberloafing dibandingkan dengan yang memiliki regulasi diri yang rendah (Prasad dkk., 2012).

Bentuk achievement orientation sendiri mencerminkan proses motivasi berprestasi yang mempengaruhi pemilihan tugas oleh individu, penetapan tujuan pribadi, dan mekanisme usaha dalam konteks pembelajaran dan kinerja (Higgins, Friedman, Harlow, dkk., 2001; VandeWalle & Cummings, 1997). Orientasi berprestasi, yang memiliki hubungan langsung dengan cyberloafing, merupakan perkembangan dari motivasi berpestasi (Kozlowski & Bell, 2006; Rozhkova, 2011).

Adapun motivasi menggambarkan keinginan untuk dapat melakukan sesuatu dan juga menentukan kemampuan yang dimiliki untuk memuaskan kebutuhan individu (Robbins, 2002). Motivasi juga merupakan proses mental yang tidak dapat dilihat secara langsung, namun wujudnya dapat diamati dari perilaku individu. Maxwell (dalam Socorro, 2012) menyatakan bahwa teori motivasi hadir untuk menjelaskan proses yang menggambarkan kenapa dan mengapa manusia melakukan sesuatu. Salah satu jenis motivasi yang relevan


(36)

dalam dunia pekerjaan dan turut mempengaruhi perilaku karyawan di tempat kerja adalah motivasi berprestasi(achievement motivation) (McClelland, 1987).

McClelland (dalam Hart dkk., 2004) menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah kebutuhan dalam diri individu untuk mencapai keberhasilan dalam mengerjakan tugas-tugas yang penuh tantangan, dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standar tertentu. Setiap karyawan memiliki kebutuhan tersebut dalam tingkatan yang berbeda. Dalam bidang pekerjaan, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasakan kebutuhan untuk sukses dan berprestasi, karena mereka menganggap identitas mereka berasal dari kedua hal tersebut (Osland dkk., 2011). Berbagai penelitian telah menemukan hubungan positif antara motivasi berprestasi dengan komitmen organisasi dan karir, performa kerja, effort, dan juga produktivitas (Hart dkk., 2004; Ohizu & Okoiye, 2014; Steer & Porter, 1991; Suar, 2010).

Hubungan signifikan motivasi berprestasi dengan komitmen organisasi menjelaskan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan lebih berkomitmen terhadap organisasinya (Ohizu & Okoiye, 2014). Sebelumnya, Garrett dan Danziger (2008) telah menemukan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi akan berkontribusi terhadap penurunan cyberloafing. Selain itu, terkait dengan penelitian Hart dkk. (2004) yang menunjukkan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi merupakan individu pekerja keras, yang menghindari faktor pengganggu, untuk tetap produktif. Sebaliknya, cyberloafing


(37)

sendiri telah dinyatakan sebagai aktivitas yang dapat menurunkan produktivitas (Beugré & Kim, 2006; Greenfield, 2009; Malachowski, 2005; Zyga, 2013).

McClelland (1987) menggambarkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara personal terhadap performanya, yang mendorong individu untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan. Penyelesaian tugas merupakan prioritas utama yang membuat mereka sulit untuk menunda-nunda perkerjaan dengan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan usaha penyelesaian tugas. Steel (2007) juga menemukan bahwa motivasi berprestasi merupakan prediktor yang kuat dan konsisten dalam kemunculan perilaku prokrastinasi, yang mana motivasi berprestasi yang tinggi dalam diri individu akan membuatnya fokus pada tugas sehingga tidak cenderung menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bisa menunda penyelesaian tugas.

Cyberloafing juga dikategorikan sebagai kegiatan prokrastinasi yang dilakukan oleh karyawan (Prasad dkk., 2012). Hal ini dijelaskan dengan penyelewengan waktu yang digunakan karyawan, yang mana pada jam kerja malah melakukan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.

Selain itu, penelitian Ugrin dkk. (2008) telah menemukan bahwa kontrol diri yang rendah berkontribusi terhadap peningkatan cyberloafing. Kontrol diri pada dasarnya merupakan bagian dari motivasi berprestasi, yang mana peningkatan kontrol diri berhubungan dengan peningkatan motivasi berprestasi (Ingalls, 2006; Rozhkova, 2011; Socorro, 2012). Ketika individu memiliki kontrol diri yang rendah memiliki kesulitan untuk mengatur dirinya, menahan godaan dari


(38)

kesenangan sesaat, yang mengakibatkan individu tersebut lebih rentan dan cenderung untuk melakukan cyberloafing (Ugrin dkk., 2008).

D. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah:

Ada pengaruh negatif motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing

dimana semakin tinggi motivasi berprestasi, maka akan berkontribusi terhadap penurunan serious cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin rendah motivasi berpretasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan seriouscyberloafing.


(39)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kuantitatif korelasional. Metode tersebut bertujuan untuk mendeteksi sejauh manakah variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2010). Dengan menggunakan penelitian korelasional, maka peneliti dapat mencapai tujuan penelitian, yakni untuk mengetahui pengaruh motivasi berprestasi terhadap

serious cyberloafing.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel-variabel yang terlibat di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas (independent variable) : motivasi berprestasi 2. Variabel terikat (dependent variable) : serious cyberloafing

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi adalah kebutuhan yang berasal dari dalam diri individu yang mendorongnya untuk berprestasi dalam pekerjaannya, yang dapat dilihat dari usaha maksimal yang diberikan dalam upaya penyelesaian tugas


(40)

sebagai bentuk rasa tanggung jawab, pemilihan tugas dengan taraf kesulitan menengah, dan mengharapkan adanya umpan balik atas performanya.

Motivasi berprestasi dapat diukur dengan menggunakan skala self-report,

yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori David McClelland. Aitem-aitem dalam skala ini disusun berdasarkan karakteristik individu yang mempunyai motivasi tinggi menurut McClelland (dalam Luthans, 2005). Adapun karateristik tersebut berupa: (1) memilih untuk mengerjakan tugas dengan tingkat kesulitan moderat, (2) membutuhkan umpan balik terkait performa, (3) merasakan kepuasan dalam pencapaian, dan (4) bertanggung jawab terhadap tugas. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat motivasi berprestasi responden. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dihasilkan, maka semakin rendah pula tingkat motivasi berprestasi pada responden.

2. Serious Cyberloafing

Serious cyberloafing didefinisikan sebagai aktivitas penggunaan internet ntuk kepentingan pribadi yang dapat menimbulkan permasalahan legal, yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama jam kerja berlangsung, dengan menggunakan fasilitas internet yang disediakan oleh perusahaan ataupun yang dibawa karyawan ke tempat kerja.

Serious cyberloafing dapat diukur dengan menggunakan skala Blanchard & Henle (2008) yang dimodifikasi oleh peneliti. Skala ini mengukur seberapa sering responden melakukan aktivitas menggunakan internet di tempat kerja yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya. Semakin tinggi skor yang dihasilkan dalam


(41)

kuesioner ini menunjukkan semakin seringnya responden melakukan serious cyberloafing. Sebaliknya, semakin rendah nilai yang dihasilkan, maka semakin jarang responden melakukan serious cyberloafing.

C. SUBJEK PENELITIAN

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Populasi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan objek penelitian apabila seseorang akan meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian. Apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2010).

Sejalan dengan pemaparan terdahulu, penelitian ini akan dilakukan pada seluruh karyawan PT. Pos (Persero) Indonesia Kantor Regional I Medan yang berjumlah 81 orang. Mengingat jumlah subjek penelitian masih kurang dari 100, maka peneliti hendak melakukan penelitian populasi. Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Karyawan yang memiliki akses internet di tempat kerja

Akses internet yang dimiliki oleh karyawan dapat berupa fasilitas jaringan internet yang disediakan oleh perusahaan, maupun milik personal karyawan. Tanpa adanya akses internet di tempat kerja, tidak memungkinkan untuk karyawan melakukan perilaku serious cyberloafing.


(42)

Perangkat komputer yang dimaksud disini adalah seperti ponsel biasa,

smartphone, tablet pc, komputer, dan laptop, yang mana dapat digunakan oleh karyawan untuk mengakses internet pada jam kerja. Adapun perangkat komputer tersebut dapat merupakan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan, maupun milik pribadi karyawan.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala. Menurut Azwar (2010), penggunaan skala merupakan metode untuk mendapatkan jawaban subjektif dari subjek dengan menempatkan respon pada titik-titik yang kontinum, sedangkan stimulus diberikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Skala yang akan diberikan di dalam penelitian ini merupakan skala Likert yang menyediakan respon yang kontinum dari respon negatif sampai dengan respon positif.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua alat ukur, yaitu skala motivasi berprestasi dan skala perilaku serious cyberloafing.

1. Skala Motivasi Berprestasi

Dengan menggunakan karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, peneliti hendak mengukur tingkat motivasi seseorang dengan kuesioner yang dirancang menggunakan teori yang dikemukakan oleh David McClelland. Total aitem dalam skala ini adalah 20 butir, yang terbagi kedalam dua kategori pernyataan, yakni aitem favorable (F) dan aitem


(43)

tersebut berupa: STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), S (Sesuai), dan SS (Sangat Sesuai).

Tabel 1 - Blue Print Skala Motivasi Berprestasi

No. Dimensi

Jenis Aitem

Jumlah %

F UF

1. Preference for moderate

risk 1, 18 4, 9, 13 5 25

2. Sense of accomplishment 5, 16, 20 3, 8 5 25 3. Personal responsibility for

performance 2, 15, 19 7, 12 5 25

4. Need for performance

feedback 11, 14, 17 6, 10 5 25

Total 11 9 20 100

2. Skala Serious Cyberloafing

Perilaku serious cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan akan diukur dengan menggunakan skala perilaku serious cyberloafing yang disusun dengan format Likert berdasarkan teori mengenai jenis perilaku dalam penelitian Blanchard & Henle (2008), yaitu serious cyberloafing. Skala terdiri dari 10 pernyataan favorable untuk mengukur frekuensi serious cyberloafing yang dilakukan responden. Kategori respon berisikan lima opsi jawaban, yaitu: TP (Tidak Pernah), J (Jarang), KK (Kadang-kadang), S (Sering), dan SS (Sangat Sering).


(44)

Tabel 2 - Blue Print Skala Serious Cyberloafing

No. Kategori

Jenis Aitem

Jumlah %

F UF

1. Serious cyberloafing

1, 2, 3, 4, 5,6, 7, 8, 9,

10

- 10 100

Total 10 - 10 100

Keterangan : (-) = kosong

E. UJI INSTRUMEN PENELITIAN 1. Validitas Alat Ukur

Pada dasarnya, validitas berasal dari kata validity, yaitu sejauh mana sebuah alat ukur mampu menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2010). Menurut American Educational Research Association, validitas jika dikaitkan dengan pengujian dapat didefinisikan sebagai kesesuaian, kebermaknaan, dan kegunaan dari suatu simpulan spesifik yang didapatkan dari skor suatu tes (dalam Jewell, 1998).

Menurut Anastasi dan Urbina (2006), validitas tes berhubungan dengan apa yang diukur oleh suatu tes dan seberapa baik tes tersebut dapat mengukur atribut. Validitas yang digunakan pada penelitian ini adalah content validity

(validitas isi), yang pada dasarnya berhubungan dengan pengujian yang sistematis terhadap isi dari tes untuk mengetahui apakah tes tersebut secara representatif telah mencakup konsep yang ingin diukur (Anastasi & Urbina, 2006). Validitas isi


(45)

merupakan konsep mengenai seberapa banyak tes tersebut dapat meliputi seluruh domain yang seharusnya hendak diukur.

Secara spesifik penelitian ini menggunakan koefisien validitas isi Aiken’s

V yang didasarkan pada hasil penilaian panel ahli sebanyak n orang terhadap suatu item mengenai sejauh mana aitem tersebut mewakili konstrak yang diukur (Azwar, 2012). Penilaian dilakukan dengan cara memberikan angka antara 1 (bila sangat tidak mewakili atau sangat tidak relevan) sampai dengan 5 (bila sangat mewakili atau sangat relevan). Penilaian tersebut nantinya akan dihitung untuk mendapatkan nilai Aiken’s V. Rentang angka V yang dapat diperoleh berkisar

dari 0 hingga 1. Azwar (2012) menyatakan nilai Aiken’s V sebesar 0,8, aitem

dapat dianggap sangat baik.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas alat ukur merupakan konsep sejauh mana alat ukur dapat dipercaya dan konsisten (Azwar, 2010). Menurut Jewell (1998), sebuah instrument pengukuran dikatakan reliabel ketika terdapat konsistensi hasil dari pengukuran awal dengan pengukuran selanjutnya dan/atau ketika orang berbeda diukur menggunakan instrument tersebut.

Pada penelitian ini, pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan konsistensi internal berupa koefisien Cronbach Alpha. Metode ini menguji konsistensi tes antar-aitem. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila konsistensi di antara komponen-komponen yang membentuk tes tinggi. Dalam Azwar (2010), reliabilitas dianggap memuaskan apabila koefisien konsistensinya


(46)

mendekati angka satu. Dalam penelitian ini, perhitungan koefisien reliabilitas akan dilakukan dengan metode komputasi menggunakan bantuan IBM SPSS Statistic 22.

3. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem digunakan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2010). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yang akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dapat dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi

Pearson Product Moment. Menurut Azwar (2010), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 maka daya pembedanya dianggap memuaskan. Sedangkan apabila aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2010). Pengujian daya beda aitem ini juga akan dibantu dengan program IBM SPSS Statistic 22.

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba alat ukur dalam penelitian ini dilakukan pada tanggal 14 Maret 2015. Uji coba dilakukan secara online dengan jumlah responden sebanyak 40 orang karyawan di kota Medan. Setelah seluruh data terkumpul , peneliti mengolah data uji coba untuk melihat daya beda aitem serta reliabilitas dari kedua


(47)

skala tersebut dengan menggunakan program IBM SPSS Statistic 22. Peneliti menggunakan kriteria pemilihan aitem berdasarkan nilai koefisien korelasi minimal 0,30 (rix ≥ 0.30). Hal ini dikarenakan semua aitem yang mencapai

koefisien korelasi minimal 0,30 dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan (Azwar, 2010).

1. Hasil Uji Coba Skala Motivasi Berprestasi

Skala motivasi berprestasi pada tahap validitas isi alat ukur yang

menggunakan koefisien Aiken’s V mendapatkan angka yang berkisar dari 0,41

hingga 0,92. Hal tersebut menandakan bahwa aitem-aitem yang dirancang telah memenuhi kriteria validitas isi.

Hasil analisis skala motivasi berprestasi menunjukkan bahwa dari total 20 aitem, terdapat 14 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total minimal 0,30. Sedangkan jumlah aitem yang gugur sebanyak enam aitem, yakni aitem 5, 9, 14, 15, 16, dan 17. Walaupun aitem-aitem tersebut gugur, skala yang terbentuk dianggap masih dapat digunakan untuk mengukur motivasi berprestasi karena sebaran aitem pada setiap aspek tidak berbeda jauh. Skala motivasi berprestasi ini memiliki nilai koefisien alpha sebesar 0,89. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,36 hingga 0,73.

Skala kemudian direvisi dan menghasilkan blue print skala motivasi berprestasi yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:


(48)

Tabel 3 - Distribusi AitemSkala Motivasi Berprestasi Setelah Uji Coba

No. Dimensi

Jenis Aitem

Jumlah %

F UF

1. Preference for moderate

risk 1, 12 4, 11 4 28,57

2. Sense of accomplishment 14 3, 7 3 21,43 3. Personal responsibility

for performance 2, 13 6, 10 4 28,57

4. Need for performance

feedback 9 5, 8 3 21,43

Total 6 8 14 100

2. Hasil Uji Coba Skala Serious Cyberloafing

Skala serious cyberloafing pada tahap validitas isi alat ukur yang

menggunakan koefisien Aiken’s V mendapatkan angka yang berkisar dari 0,5 hingga 0,92. Hal tersebut menandakan bahwa aitem-aitem yang dirancang telah memenuhi kriteria validitas isi.

Hasil analisis skala serious cyberloafing menunjukkan bahwa dari 10 aitem, terdapat 9 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total minimal 0,30. Hasil perhitungan reliabilitas skala serious cyberloafing menghasilkan nilai koefisien alpha sebesar 0,89. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,38 hingga 0,75.


(49)

Skala serious cyberloafing kemudian direvisi dengan mengeliminasi aitem yang bermasalah. Blue print skala serious cyberloafing yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4 - Distribusi AitemSkala Serious Cyberloafing Setelah Uji Coba

No. Kategori

Jenis Aitem

Jumlah %

F UF

1. Serious cyberloafing 1, 2, 3, 4,

5, 6, 7, 8, 9 - 9 100

Total 9 - 9 100

Keterangan : (-) = kosong

G. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Sebelum alat-alat penelitian digunakan pada sampel yang sesungguhnya, maka terlebih dahulu dilakukan beberapa tahapan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Pencarian referesi

Mengingat serious cyberloafing merupakan topik yang baru dalam penelitian, peneliti kesulitan untuk menemukan buku yang membahas topik tersebut dengan komprehensif. Walau begitu, peneliti mampu mendapatkan


(50)

banyak referensi dalam bentuk jurnal. Sebaliknya, peneliti tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam mencari materi mengenai motivasi berprestasi.

b. Pembuatan alat ukur

Pada tahap ini, peneliti akan membuat rancangan alat ukur berupa skala motivasi berprestasi karyawan dan serious cyberloafing. Penyusunan skala ini dimulai dengan mengkaji teori-teori maupun hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian dan dilanjutkan dengan membuat aspek-aspek untuk memudahkan dalam penjabarannya. Selanjutnya, peneliti membuat blue print

skala dan kemudian dioperasionalisasikan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan. Setelah aitem tersusun, peneliti meminta penilaian ahli yaitu pada beberapa dosen yang ahli dalam kedua variabel untuk menilai seberapa jauh aitem yang dirancang relevan dengan hal yang hendak diukur.

c. Uji coba skala sistem online

Setelah perancangan skala selesai, peneliti melakukan uji coba alat ukur. Uji coba ini bertujuan untuk memperoleh nilai reliabilitas dan validitas dari alat ukur. Keseluruhan data yang diterima peniliti, yakni sebanyak 40 data yang diisikan responden, berasal dari skala yang disajikan dalam bentuk online. Setelah

try out rampung, peneliti akan merevisi alat ukur dengan cara memilih aitem-aitem yang sudah teruji reliabilitas dan validitasnya.

d. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur peneliti menguji reliabilitas kedua skala dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer IBM SPSS Statistic


(51)

22. Setelah mengetahui aitem-aitem mana saja yang reliabel, peneliti memasukkannya dalam skala penelitian yang final.

e. Permohonan izin pengambilan data

Dalam tahap ini, peneliti mencari informasi tentang perusahaan atau instansi yang akan dijadikan tempat pengambilan data penelitian. Dalam proses penentuan perusahaan tempat penelitian, peneliti menemukan satu perusahaan yang berlokasi di Medan yaitu PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan. Peneliti datang untuk menjelaskan secara langsung perihal pengambilan data dan berhasil mendapatkan izin untuk mengadakan penelitian disana.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Proses penyebaran skala dilakukan dengan bantuan dari pihak PT. Pos, yang mana skala diberikan kepada perwakilan perusahaan tersebut. Sesuai dengan rancangan penelitian populasi, peneliti memberikan skala yang diperbanyak sesuai dengan jumlah karyawan aktif, yakni 81. Dalam waktu seminggu, sebanyak 51 skala yang dibutuhkan terkumpul dan diterima oleh peneliti.

Namun, berhubung jumlah skala tersebut masih jauh dari yang diharapkan, sehingga peneliti kembali menunggu satu minggu lamanya agar skala lainnya terkumpul. Pada hari yang ditentukan, pihak PT. Pos mengembalikan 25 skala yang telah terisi dan lima lainnya kosong. Adapun skala kosong tersebut dijelaskan pihak PT. Pos berkaitan dengan karyawan-karyawan yang sedang melaksanakan perjalanan dinas ke luar kota dan sulit untuk dijangkau. Maka dari


(52)

itu, jumlah keseluruhan skala yang terkumpul untuk penlitian ini adalah sebanyak 76 buah.

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah memperoleh data dari subjek, peneliti akan melakukan pengolahan data dengan metode komputasi yang dibantu oleh program aplikasi komputer

Microsoft Excel 2007 dan juga IBM SPSS Statistic 22.

H. METODE ANALISIS DATA

Metode analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis regresi sederhana dengan menggunakan bantuan program aplikasi komputer IBM SPSS Statistic 22. Metode analisis data ini bertujuan untuk membuat prediksi tentang

skor pada satu variabel dari pengetahuan mengenai skor variabel lain (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Teknik analisa regresi sederhana digunakan untuk menguji pengaruh motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing dengan menggunakan persamaan regresi sebagai berikut:

Y = a + b(X)

Dimana: a = konstanta

b = koefisien regresi

Y = variabel tergantung (serious cyberloafing) X = variabel bebas (motivasi berprestasi)


(53)

Sebelum analisis data dapat dilakukan, data tersebut diharapkan dapat memenuhi asumsi normalitas dan juga linearitas. Maka dari itu terlebih dahulu dilakukan uji asumsi sebagai berikut:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Test of Normality pada program IBM SPSS Statistic 22. untuk melihat apakah sampel yang digunakan berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Pengujian normalitas akan menggunakan Kolmogorow-Smirnov dengan Lilliefors Significance Correction

yang mana signifikansi harus lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) agar sampel dianggap berasal dari populasi yang terdistribusi normal.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Test for Linearity pada program IBM SPSS Statistic 22. untuk melihat apakah variabel motivasi berprestasi dan serious cyberloafing memiliki hubungan yang linear. Berbeda dengan pengujian normalitas, asumsi linearitas dianggap terpenuhi apabila nilai signifikansinya berada di bawah 0,05 (p < 0,05).


(54)

42

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan keseluruhan hasil penelitian, yang dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, dilanjutkan dengan hasil penelitian hingga pembahasan mengenai hasil analisa data.

A. ANALISA DATA

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini merupakan karyawan yang bekerja di PT. Pos Indonesia (Persero) Kota Medan yang berjumlah 76 orang. Berikut ini deskripsi umum subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia:

a. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tabel 5 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

Pria 45 59,21

Wanita 31 40,79


(55)

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah mayoritas subjek penelitian yang berjenis kelamin pria berjumlah 45 orang (59,21%) dan yang berjenis kelamin wanita berjumlah 31 orang (40,79%).

b. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, subjek penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu dewasa awal dan dewasa madya. Menurut Havighurst (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) rentang usia 20-40 tahun disebut masa dewasa awal, sedangkan rentang usia 40-60 tahun disebut masa dewasa madya. Deskripsi subjek berdasarkan usia terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6 - Sebaran Subjek Berdasarkan Usia

Usia (tahun) Jumlah Persentase (%)

20-40 21 27,63

40-60 55 72,37

Total 76 100

Tabel 6 mengindikasikan bahwa kebanyakan reponden dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 72,37%, berasal dari rentang usia 40-60 tahun. Responden yang berasal dari rentang usia 20-40 tahun, yakni sekitar 27,63%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah subjek yang berada pada usia dewasa madya lebih banyak daripada jumlah subjek yang berada pada usia dewasa awal.


(56)

2. Hasil Uji Asumsi Penelitian

Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana. Sebelum melakukan analisis tersebut maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yang bertujuan untuk melihat bagaimana distribusi data penelitian. Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linieritas.

a. Uji normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal. Pengujian akan dilakukan dengan bantuan IBM SPSS Statistic 22 dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov. Asumsi normalitas pada penelitian ini akan terbukti ketika nilai signifikansi residu antar variabel data lebih besar dari 0,05.

Tabel 7 - Hasil Uji Asumsi Normalitas

Standardized Residual Asymp. Sig. (2-tailed) Serious Cyberloafing dan Motivasi Berprestasi 0,20

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi residu serious cyberloafing dan motivasi berprestasi sebesar 0,20. Nilai signifikansi kedua variabel lebih besar dari 0,05, maka data berdistribusi dengan normal.


(57)

Uji linieritas hubungan dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas, yakni motivasi berprestasi, berkorelasi secara linier atau tidak terhadap variabel tergantung, yakni serious cyberloafing. Selain itu, uji linearitas juga dilakukan untuk mengetahui taraf signifikansi penyimpangan dari linieritas hubungan tersebut. Apabila penyimpangan tersebut tidak signifikan, maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linier. Uji linieritas pada penelitian ini

test for linearity dengan bantuan program komputer IBM SPSS Statistic 22. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung adalah linier apabila p < 0,05.

Tabel 8 - Hasil Uji Asumsi Linearitas

Variabel F p Keterangan

SeriousCyberloafing*MotivasiBerprestasi 34,46 0,00 linier

Hasil uji linieritas pada kedua variabel penelitian diperoleh nilai F = 34,46 dan nilai p = 0,00. Hasil menunjukkan bahwa nilai p (0,00) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang linier.

3. Hasil Penelitian

Sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini serta landasan teori yang telah dikemukakan pada bab kedua terdapat hipotesa yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu ada pengaruh negatif motivasi berprestasi terhadap perilaku serious cyberloafing.


(58)

Tabel 9 - Hasil Perhitungan Analisa Regresi

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 684,40 1 684,40 34,86 0,00b

Residual 1452,80 74 19,63

Total 2137,20 75

a. Dependent Variable: seriouscyberloafing b. Predictors: (Constant), motivasiberprestasi

Hipotesis penelitian ini adalah motivasi berprestasi berpengaruh negatif terhadap perilaku serious cyberloafing. Berdasarkan hasil perhitungan didapat nilai F = 34,86 dan p = 0,00. Jika nilai p < 0,05 maka Ho ditolak (Field, 2009), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara motivasi berprestasi dengan serious cyberloafing.

Tabel 10 – Sumbangan Efektif Variabel Motivasi Berprestasi

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 0,57a 0,32 0,31 4,43

a. Predictors: (Constant), motivasiberprestasi b. Dependent Variable: seriouscyberloafing

Hasil analisis regresi pada Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinan R-square (R2) adalah sebesar 0,32 atau 32%. Hal ini berarti bahwa motivasi berprestasi memberikan sumbangan efektif sebesar 32% terhadap perilaku


(59)

serious cyberloafing. Sedangkan sisanya 68% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Selain itu, pada Tabel 11 persamaan garis regresi yang dihasilkan adalah Y = 40,19 – 0,57 X. Perilaku serious cyberloafing dilambangkan dengan (Y) dan motivasi berprestasi dilambangkan dengan (X). Berdasarkan persamaan garis regresi dapat dijelaskan bahwa konstanta sebesar 40,19 yang artinya jika X bernilai 0, maka Y bernilai positif sebesar 40,19. Artinya, setiap penambahan satu satuan skor variabel motivasi berprestasi (X), maka perilaku serious cyberloafing (Y) akan berkurang sebesar 0,57. Dengan kata lain, semakin tinggi motivasi berprestasi dalam diri individu, maka akan semakin rendah frekuensi perilaku serious cyberloafing.

4. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian dilampirkan untuk mengetahui karakteristik data pokok yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Deskripsi data pokok yang

Tabel 11 – Koefisien Regresi

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 40,19 0,84 10,47 0,00

motivasiberpr

estasi -0,57 0,10 -0,57 -5,90 0,00


(60)

dilampirkan adalah perbandingan rerata empiris dan rerata hipotetik penelitian dan distribusi skor perolehan berdasarkan kategori tertentu.

Rerata empiris diperoleh dari respon subjek, sedangkan rerata hipotetik diperoleh dari rerata yang kemungkinan diperoleh subjek atas jawaban skala yang diberikan. Dalam penelitian ini skala yang diberikan adalah skala serious cyberloafing dan skala motivasi berprestasi. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, maka perbandingan data empiris dan hipotetik dari variabel serious cyberloafing dan motivasi berprestasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 12 - Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik

Variabel

Nilai Empirik Nilai Hipotetik

Mean SD Mean SD

Serious cyberloafing 17,72 5,34 27 6

Motivasi berprestasi 39,61 5,32 35 7

Tabel 12 menunjukkan bahwa mean empirik perilaku serious cyberloafing

sebesar 17,72 dengan standard deviasi 5,34 jauh lebih rendah dari mean hipotetiknya yaitu 27. Kemudian, mean empirik motivasi berprestasi sebesar 39,61 dengan standar deviasi 5,32 lebih tinggi dari mean hipotetiknya yaitu sebesar 35.

Selain tujuan di atas, deskripsi data juga diharapkan dapat menghasilkan penyebaran subjek berdasarkan kategori skor yang diperoleh. Berdasarkan deskripsi data penelitian dapat dilakukan pengelompokan yang mengacu pada kriteria


(1)

PETUNJUK PENGISIAN SKALA I

Berilah tanda silang (X) pada kolom TP, J, K, S, atau SS, untuk setiap pernyataan yang paling sesuai dengan perilaku Anda menggunakan internet pada saat jam kerja yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, Internet dapat berupa fasilitas perusahaan maupun pribadi. Jika Anda ingin mengganti jawaban, coretlah silang (X) pada jawaban yang salah dan berikan tanda silang kembali pada kolom jawaban yang Anda anggap paling sesuai. Contoh:

Keterangan:

SS : Sangat Sering S : Sering

K : Kadang-kadang

Mohon baca dan pahami setiap pernyataan dengan cermat sebelum menuliskan jawaban.

SELAMAT MENGERJAKAN

No Pernyataan TP J KK S SS

1. Mengunjungi situs perbankan.

X

2. Mengunjungi situs tujuan wisata.

X

X

J : Jarang


(2)

SKALA I

Pada saat jam kerja berlangsung, seberapa sering anda

menggunakan internet untuk kepentingan pribadi seperti.……

No. Pernyataan TP J KK S SS

1. Berinteraksi melalui pesan instan dengan orang lain. 2. Menonton video di Youtube.

3.

Mengunduh (download) hal-hal tidak berkaitan dengan

pekerjaan.

4. Mengunjungi situs khusus dewasa.

5. Mengunjungi situs jejaring sosial.

6. Mengikuti forum diskusi online diluar pekerjaan.

7. Memperbaharui (update) akun jejaring sosial.

8. Mengunjungi website yang berhubungan dengan hobi.

9. Streaming siaran TV maupun


(3)

PETUNJUK PENGISIAN SKALA II

Berilah tanda silang (X) pada kolom STS, TS, S, atau SS untuk setiap pernyataan yang paling sesuai dengan diri Anda, Jika Anda ingin mengganti jawaban, coretlah silang (X) pada jawaban yang salah dan berikan tanda silang kembali pada kolom jawaban yang Anda anggap paling sesuai. Contoh:

Keterangan:

STS : Sangat Tidak Sesuai TS : Tidak Sesuai

S : Sesuai

SS : Sangat Sesuai

Mohon baca dan pahami setiap pernyataan dengan cermat sebelum menuliskan jawaban.

SELAMAT MENGERJAKAN

NO PERNYATAAN STS TS S SS

1. Saya mampu mencapai target kerja

yang telah ditetapkan.

X

2. Saya sering menunda pekerjaan


(4)

SKALA II

No. Pernyataan STS TS S SS

1. Saya berusaha mengerjakan tugas dengan usaha maksimal.

2. Saya bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian tugas saya.

3.

Performa saya memberikan sumbangsih kecil terhadap keberhasilan kerja divisi saya.

4. Saya tidak memedulikan resiko yang saya ambil dalam mengerjakan tugas.

5. Kritik yang saya terima seringkali membuat saya merasa terpojokkan.

6.

Terkadang saya lupa untuk

menyelesaikan tugas yang telah saya mulai.

7. Saya ingin prestasi kerja saya

diapresiasi dalam bentuk kenaikan gaji.

8.

Sulit bagi saya untuk menerima kritik maupun saran mengenai performa saya.


(5)

Mohon periksa kembali jawaban Anda, pastikan tidak ada pernyataan yang belum diisi.

Terima Kasih

No. Pernyataan STS TS S SS

9.

Saya bersedia menerima saran dan kritikan yang berkaitan dengan pekerjaan saya.

10. Saya sering menunda pekerjaan yang harus diselesaikan.

11.

Saya puas dengan performa kerja saya saat ini, walau saya belum dapat

member usaha terbaik.

12. Saya mampu mencapai target kerja yang telah ditetapkan.

13. Saya memberikan usaha terbaik untuk mencapai target kerja.

14.

Keberhasilan yang saya peroleh berasal dari kerja keras, bukan keberuntungan.


(6)

LAMPIRAN E