Makna Hidup Pada Pelacur High Class

(1)

MAKNA HIDUP PADA PELACUR HIGH CLASS

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ANITA PRATIWI

031301061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2008/2009


(2)

SKRIPSI

MAKNA HIDUP PADA PELACUR

HIGH CLASS

Dipersiapkan dan disusun oleh

ANITA PRATIWI 031301061

Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji Pada tanggal

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) NIP. 140 080 762


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Makna Hidup Pada Pelacur High Class

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan didalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2008

ANITA PRATIWI NIM 031301061


(4)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Fenomena pelacuran telah cukup lama berlangsung khususnya di Indonesia. Pelacuran sendiri telah berlangsung sejak zaman kerajaan Mojopahit. Banyak wanita di Indonesia masuk kedunia pelacuran karena motivasi-motivasi tertentu. Motivasi tersebut yang akan mengklasifikasikan apakah ia termasuk kedalam pelacur low class atau high class. Pelacur high class memiliki ciri-ciri, berpendidikan tinggi, paktik kerja yang terselubung, memiliki tarif yang tinggi dan berwajah menarik, selain itu uang bukan merupakan motivasi utama seseorang ketika menjadi pelacur high class. Motivasi-motivasi tersebut antara lain adalah karena kesepian, kehilangan kasih sayang, untuk bersenang-senang dan lainnya. Wanita yang bekerja sebagai pelacur high class selalu memiliki materi yang berlimpah, namun dengan materi yang berlimpah tersebut tidak secara otomatis membuat semua pelacur high class menjadi bahagia. Apakah dengan menjadi seorang pelacur maka makna hidupnya akan ditemukan atau dengan menjadi seorang pelacur membuat makna itu semakin tidak terlihat semua itu tergantung kepada pelacur high class itu sendiri. Untuk itu seseorang harus melalui lima tahap dalam penemuan dan pemenuhan makna hidup yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna dan tahap penghayatan hidup bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran makna hidup pada seorang pelacur high class dilihat dari tahap-tahap penemuan dan pemenuhan makna hidup.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang pelacur high class. Bagaimana ia memaknai pekerjaannya sebagai seorang pelacur high class. Apakah pekerjaannya sebagai seorang pelacur membantunya dalam menemukan makna hidup. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan seorang wanita yang bekerja sebagai pelacur high class dan berada dikota Medan sebagai subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kedua pelacur hanya satu pelacur yang menemukan dan memenuhi makna hidupnya, dan pelacur yang berikutnya hanya sampai kepada tahap penemuan makna hidup dan belum terpenuhi. kedua pelacur berbeda dalam menemukan makna hidupnya. Mereka melewati semua tahap penemuan makna hidup namun tidak berurutan.

Implikasi dari penelitian ini berguna untuk pelacur high class itu sendiri agar belajar dari pengalaman pelacur high class dalam penelitian ini dalam menemukan makna hidupnya dan juga orang-orang disekitar pelacur high class itu sendiri dapat memahami latar belakang penyebab seseorang menjadi pelacur sehingga wanita yang menjadi pelacur high class dapat diminimalisir.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrhmanirrahim, Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya.

Skripsi yang penulis selesaikan ini berjudul “MAKNA HIDUP PADA PELACUR HIGH CLASS” yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kemampuan, baik pengetahuan maupun keterampilan penulis tentang makna hidup pada pelacur high class. Oleh karena itu penulis memohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Skripsi ini dapat selesai dengan tidak terlepas dari banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan ataupun semangat kepada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel Sp. A (K) selaku Dekan Psikologi USU yang telah memberikan masukan, kritikan dan nasehat kepada saya selama mengerjakan penelitian ini. Nasehat dari bapak mengingatkan saya untuk tetap berjuang dan berusaha untuk selalu mandiri dalam mengerjakan segala sesuatu. Terima kasih om…

2. Ibu Hasnida M. si selaku dosen pembimbing saya, yang selalu memberikan kritikan, saran dan masukan-masukan yang membangun untuk menyelesaikan penelitian ini, juga kesediaan ibu untuk mendengarkan cerita-cerita juga


(6)

curhatan saya selama mengerjakan penelitian ini dan tetap tersenyum walaupun pekerjaan saya banyak yang salah.

3. Ibu Raras Sutatminingsih, M. si, Psi selaku dosen penguji saya. 4. Ibu Namora Lumongga Lubis, MSc selaku dosen penguji saya.

5. Ibu Dra. Sri Mulyani M. Si sebagai dosen pembimbing akademik saya.

6. Kepada Bapak Ali Umri SH. Mkn yang telah menjadi abang yang paling baik dan menjadi motivator saya untuk menyelesaikan skripsi ini lewat pertanyaannya “kapan tamatnya tiwi?”

7. Kepada kak Yosi dan kak Beby, terima kasih atas kesempatan dan waktunya, telah bersedia membantu dalam penelitian ini.

8. Kepada seluruh dosen dan pegawai tata usaha Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada teman-teman saya Teambush’03 Indra, Rio, Bobby, Susi, Yulia, Nani, Mimi, cici, Frans, Along dan ulfi. Tempat saya bernaung dan memberikan warna dan keceriaan tersendiri selama kuliah Psikologi USU. Viva Teambush ever after

10.Kepada teman-teman 03 yang selalu bersama penulis sebagai tempat sharing

masalah skripsi, oma Yulia, Boby, Nina, Rima, Nella, Mimi, Mira, Anita, Arum, Reni, Ema dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Penulis juga mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua penulis (Alm) Ir. Chairuddin Kari dan Ikhwati R. atas dukungan doa, moril maupun materilnya, atas cinta dan kasih sayangnya kepada penulis. Kepada adik-adik penulis Siska dan lia yang memberikan keceriaan dalam hidup penulis dan kepada


(7)

tante-tante penulis, tante Cicik, tante Ita, tante Wiwik dan tante Inur sebagai tempat curhat yang bisa menjadi tante sekaligus teman bagi penulis.

Kepada semua pihak yang telah membantu saya baik secara moril, materil ataupun dengan doanya yang tidak bisa saya ucapkan terimakasih satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Medan, Desember 2008

Hormat saya


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………i

KATA PENGANTAR……….v

DAFTAR ISI……….………...vii

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……...1

B. Perumusan Masalah…...12

C. Tujuan Penelitian...12

D. Manfaat Penelitian...13

1. Manfaat Teoritis...13

2. Manfaat Praktis...13

E. Sistematika penulisan...14

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Makna Hidup...15

A. 1. Definisi Makna Hidup...15

A. 2. Karakteristik Makna Hidup...16

A. 3. Sumber-Sumber Makna Hidup...17

A. 4. Komponen Penentu Keberhasilan Makna Hidup...18

A. 5. Kelompok Orang yang Mencari Makna Hidup...19


(9)

A. 7. Penghayatan Hidup Tanpa Makna...24

B. Pelacuran...25

B. 1. Definisi Pelacuran...25

B. 2. Definisi Pelacur...25

B. 3. Alasan Menjadi Pelacur...27

B. 4. Jenis-Jenis Pelacur...28

a. Pelacur Jalanan (low Class)...28

b. Gadis Panggilan (High Class)...29

C. Makna Hidup pada Pelacur High Class……….31

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif...36

B. Responden Penelitian...37

B. 1. Karakteristik Partisipan Penelitian...37

B. 2. Jumlah Partisipan Penelitian...38

B. 3. Prosedur Pengambilan Sampel Penelitian...38

C. Metode Pengumpulan Data...38

C. 1. Wawancara Mendalam (Depth Interview)...39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data...40

D. 1. Tape recorder………....40

D. 2. Pedoman Wawancara………41

E. Prosedur Analisa Data………...41

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI A. Analisa Kasus Responden………43


(10)

A. 1. Gambaran Diri Responden I………44

A. 2. Gambaran Penderitaan yang Dialami Responden I……….48

A. 3. Pembahasan Penemuan Makn Hidup Responden I………..56

B. Interpretasi Data Responden I………...67

C. Analisis Kasus Responden II……….73

C. 1. Gambaran Diri Responden II……….73

C. 2. Gambaran Penderitaan yang Dialami Oleh Responden II….79 C. 3. Pembahasan Penemuan Makna Hidup Responden II………87

D. Interpretasi Data Responden II………..93

E. Perbandingan Proses Penemuan Makna Hidup Antar Responden I dan Responden II………98

F. Penjelasan Perbedaan Proses Penemuan Makna Hidup Antar Responden I dan Responden II……….100

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………..105

A. 1. Gambaran Proses Penemuan Makna Hidup Yang Dialami Oleh Pelacur High Class……….106

A. 2. Gambaran Makna Hidup Pelacur High Class……….108

B. Diskusi……….111

C. Saran………115

C. 1. Saran Praktis………115

C. 2. Saran Penelitian Lanjutan………115 DAFTAR PUSTAKA………


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Verbatim wawancara……… Lampiran 2 Pedoman wawancara……… Lampiran 3 Lembar persetujuan………...


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Perbedaan pelacur high class dengan pelacur low class…………...…...31 Tabel 2 Perbandingan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996) dengan

tahap penemuan makna hidup responden I……….68 Tabel 3 Perbandingan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996) dengan

tahap penemuan makna hidup responden II………93 Tabel 4 Perbandingan proses penemuan makna hidup responden I dengan


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Skema Proses Penemuan Makna Hidup Oleh Bastaman (1996)…….21


(14)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Fenomena pelacuran telah cukup lama berlangsung khususnya di Indonesia. Pelacuran sendiri telah berlangsung sejak zaman kerajaan Mojopahit. Banyak wanita di Indonesia masuk kedunia pelacuran karena motivasi-motivasi tertentu. Motivasi tersebut yang akan mengklasifikasikan apakah ia termasuk kedalam pelacur low class atau high class. Pelacur high class memiliki ciri-ciri, berpendidikan tinggi, paktik kerja yang terselubung, memiliki tarif yang tinggi dan berwajah menarik, selain itu uang bukan merupakan motivasi utama seseorang ketika menjadi pelacur high class. Motivasi-motivasi tersebut antara lain adalah karena kesepian, kehilangan kasih sayang, untuk bersenang-senang dan lainnya. Wanita yang bekerja sebagai pelacur high class selalu memiliki materi yang berlimpah, namun dengan materi yang berlimpah tersebut tidak secara otomatis membuat semua pelacur high class menjadi bahagia. Apakah dengan menjadi seorang pelacur maka makna hidupnya akan ditemukan atau dengan menjadi seorang pelacur membuat makna itu semakin tidak terlihat semua itu tergantung kepada pelacur high class itu sendiri. Untuk itu seseorang harus melalui lima tahap dalam penemuan dan pemenuhan makna hidup yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna dan tahap penghayatan hidup bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran makna hidup pada seorang pelacur high class dilihat dari tahap-tahap penemuan dan pemenuhan makna hidup.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang pelacur high class. Bagaimana ia memaknai pekerjaannya sebagai seorang pelacur high class. Apakah pekerjaannya sebagai seorang pelacur membantunya dalam menemukan makna hidup. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan seorang wanita yang bekerja sebagai pelacur high class dan berada dikota Medan sebagai subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kedua pelacur hanya satu pelacur yang menemukan dan memenuhi makna hidupnya, dan pelacur yang berikutnya hanya sampai kepada tahap penemuan makna hidup dan belum terpenuhi. kedua pelacur berbeda dalam menemukan makna hidupnya. Mereka melewati semua tahap penemuan makna hidup namun tidak berurutan.

Implikasi dari penelitian ini berguna untuk pelacur high class itu sendiri agar belajar dari pengalaman pelacur high class dalam penelitian ini dalam menemukan makna hidupnya dan juga orang-orang disekitar pelacur high class itu sendiri dapat memahami latar belakang penyebab seseorang menjadi pelacur sehingga wanita yang menjadi pelacur high class dapat diminimalisir.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pelacuran bukanlah menjadi hal yang baru di Indonesia. Pelacuran sendiri merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri (Kartono, 1997). Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran di Indonesia sudah terjadi sejak zaman Mojopahit. Fenomena tersebut kemudian berlanjut di dalam kurun waktu antara 1942-1945, pada masa penjajahan Jepang banyak wanita Indonesia yang dijadikan sebagai seorang pelacur yang disebut sebagai Jugun Ian Fu. Fenomena pelacuran tersebut berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana di kota Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan bisa diibaratkan sebagai lokasi strategis untuk menemukan sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di setiap sudut kota dari kalangan bawah sampai ke kalangan atas (Emka, 2005).

Tidak berbeda jauh dengan kota Jakarta khususnya di kota Medan, dalam segi pelacuran, eksploitasi perempuan hiburan malam memiliki cerita tersendiri dan hampir menyerupai Jakarta. Kawasan diseputar jalan Nibung Raya, pusat perbelanjaan Medan Mall, Thamrin Plaza dan Deli Plaza sudah terkenal sebagai transaksi masalah pelacuran (Sabili, 2003).

Pertumbuhan kota Medan yang berpenduduk kurang-lebih 2.006.142 jiwa ini (Data BPS dalam Popular, 2005) ternyata diikuti dengan berkembangnya tempat hiburan malam. Tidak heran bila kemudian kota yang memiliki luas


(16)

26.510 hektar atau 265,10 km² ini dikenal sebagai salah satu barometer hiburan malam dan pelacuran untuk wilayah Sumatera (Popular, 2005).

Definisi pelacuran sendiri merupakan suatu bentuk transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang bersifat jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam (Perkins & Bannet dalam Koentjoro 2004). Pihak-pihak yang terlibat adalah pelacur dengan pihak lain yaitu pelanggan.

Pelacur sendiri menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro 2004) adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Taber dan Pheterson (dalam Koentjoro 2004) menggolongkan pelacuran sebagai suatu jenis perburuhan seks perempuan yang membentuk suatu kontinum dari mulai pertukaran jangka pendek, uang dan seks, barang dan seks hingga pertukaran jangka panjang seks dengan pelayanan domestik dan reproduksi seperti dalam pernikahan. Istilah pelacur mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, merupakan sebuah status sosial yang sudah terstigmatisasi dan bersifat kriminal (Pheterson, 1996). Kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) untuk pelacur wanita dan pekerja seks komersil atau PSK (Koentjoro, 2004). Istilah pelacur pada dasarnya sudah terstigmatisasi dan bersifat kriminal, namun Kartono (1997) mengatakan bahwa tidak ada undang-undang yang melarang pelacuran di Indonesia, dan juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan hubungan seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan.


(17)

Banyak hal dan peristiwa sosial yang menyebabkan timbulnya pelacuran. Kurangnya lapangan pekerjaan untuk wanita, meningkatnya persaingan dalam mencari pekerjaan, tekanan ekonomi, faktor kemiskinan dan petimbangan-pertimbangan lain, juga peristiwa urbanisasi tanpa adanya jalan keluar menyebabkan tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan kesempatan kerja bagi wanita kecuali dengan menjadi seorang pelacur (Kartono, 1997).

Hal itu juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial bagi wanita yang menjadi seorang pelacur (Hoigard & Finstad dalam Phoenix, 2000). Kebanyakan dari wanita tersebut melacurkan diri dan memilih profesi tersebut dalam keadaan sadar dan suka rela. Hwang (2003) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian yang ia lakukan, terdapat sekitar 82% alasan seseorang menjadi pelacur adalah karena keinginannya dan pilihannya sendiri. Pilihan-pilihan tersebut berdasarkan kepada motivasi-motivasi tertentu yang berbeda pada setiap pelacur (Kartono, 1997).

Hull (1997) mengatakan bahwa secara umum masuknya para wanita ke dalam industri seks ini di dorong oleh hasrat untuk memperoleh penghasilan yang relatif lebih besar dalam jangka waktu yang singkat (instant money). Daya tarik kemakmuran yang diperoleh dengan mudah seiring dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi tetap merupakan faktor penggerak utama untuk masuk dan bekerja seseorang ke dalam industri seks.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hwang (2003). Penelitian yang ia lakukan di Taiwan mengatakan bahwa seorang wanita muda yang bernama Finny telah masuk kedalam dunia pelacuran karena melihat temannya yang memperoleh


(18)

uang yang cukup banyak dalam waktu yang singkat dengan cara menjadi seorang pelacur tanpa memerlukan kerja keras dan pengalaman dalam bekerja. Jumlah pelacur dengan latar belakang seperti ini berkisar antara 13% dari beberapa pelacur yang ada di Taiwan. Fenomena tersebut sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, untuk menjadi seorang pelacur tidak memerlukan kerja keras dan pendidikan yang tinggi. Hull(1997) mengatakan bahwa studi tentang pelacuran di Indonesia secara konsisten menunjukkan bahwa pendapatan pelacur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja pada jabatan jenis lain yang banyak di dominasi oleh tenaga kerja perempuan.

Sesuai dengan jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacur juga memiliki keragaman. Fieldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Pelacur jalanan (low class) dan gadis panggilan (high class) memiliki ciri-ciri yang berbeda. Ciri-ciri tersebut dapat berupa usia, lokasi, daya tarik, tingkat pendidikan dan motivasi. Untuk pelacur low class usia mereka berkisar antara 11-15 tahun (Kartono, 1997) dengan lokasi praktek pelacuran di daerah-daerah kumuh seperti pasar, kuburan, di sepanjang rel kereta api yang berbahaya dan sulit dijangkau (Hull, 1997). Berdasarkan tingkat pendidikan, pelacur low class

memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Umumnya mereka memiliki tingkat pendidikan di bawah SMU (Kartono, 2003) dan motivasi mereka ketika menjadi seorang pelacur adalah untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005). Seperti yang diungkapkan oleh seorang pelacur low class kepada peneliti,


(19)

” Aku ini perlunya duit...ini lah karna perut sejengkal ini. Duit dari mana aku kalo nggak jual ini (menunjuk kemaluan), nggak mungkin la aku pilih-pilih yang mana yang mau make’ aku. Yaanggak makan-makan la...” (Komunikasi personal, 21 Mei 2008)

Berdasarkan wawancara diatas, dapat di gambarkan bahwa kebanyakan para pelacur low class masuk kedunia pelacuran karena memiliki kebutuhan mendesak akan uang yang akan mereka pergunakan untuk membeli kebutuhan primer mereka seperti kebutuhan untuk membeli makanan dan lain sebagainya. Bahkan menurut penelitian Hwang (2003) yang ia lakukan di China, beberapa pelacur low class menggunakan penghasilan mereka untuk membayar hutang keluarga.

Berbeda dengan ciri-ciri pelacur low class yang telah dijabarkan diatas,

pelacur high class memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pelacur low class. Berdasarkan usia, pelacur high class umumnya berkisar antara 17-25 tahun. Pelacur high class selalu beroperasi di daerah yang tidak menunjukkan adanya lokasi yang terbuka seperti yang biasanya dilakukan oleh pelacur low class

(Mudjiono, 2005). Koentjoro (2004) juga menambahkan bahwa pelacur high class

sangat mengutamakan kerahasiaan, sehingga mereka tidak dapat di kunjungi langsung oleh pelanggan. Pelacur jenis high class seperti ini bahkan sering digunakan sebagai alat untuk memperlacar dan untuk mempermudah transaksi dalam dunia bisnis dan politik (Mudjiono, 2005).

Berdasarkan tingkat pendidikan, pelacur high class umumnya memiliki tingkat pendidikan setara dengan perguruan tinggi dan mempunyai keterampian tertentu (Kartono, 1997). Hal inilah yang menyebabkan pelacur high class


(20)

pelacur high class dianggap lebih bergengsi (Koentjoro, 2004). Mereka yang tergabung dalam kelompok high class umumnya terdiri dari mahasiswi, pegawai wanita, istri-istri simpanan dan yang lainnya (Kartono, 1997).

Pelacur high class memiliki motivasi berbeda dalam menjalankan perannya sebagai seorang pelacur, jika pelacur low class mengatakan bahwa motivasi utama mereka ketika bekerja sebagai seorang pelacur adalah untuk memenuhi kebutuhan primer, maka untuk seorang pelacur high class, materi

bukanlah merupakan satu-satunya alasan utama.

Seorang pelacur high class yang bernama Cindy (nama samaran), berdasarkan komunikasi personal kepada peneliti mengungkapkan bahwa,

”Sebenernya ni gara-gara keadaan juga. Orang tua aku tuh uda sama sekali

gak peduli sama aku..aku adik-adik aku ditelantarin gitu aja..sebenarnya aku Cuma mau cari perhatian mereka aja, karena orang tua ku itu udah sibuk sama urusannya masing-masing...”

(Komunikasi personal, 22 Mei 2008)

Berdasarkan pengakuan diatas, seorang pelacur high class yang bernama Cindy mengatakan bahwa motivasi utamanya masuk kedalam dunia pelacuran adalah sebagai pelarian atas masalah yang sedang dihadapinya di keluarganya. Cindy berusaha untuk mencari perhatian orang tuanya dengan menjadi seorang pelacur. Dengan menjadi seorang pelacur Cindy berharap kedua orangtuanya kembali menyayanginya. Uang dan kekayaan merupakan alasan kedua Cindy untuk menjadi seorang pelacur.

Pada dasarnya uang dan penghasilan yang diperoleh seorang pelacur high class hanya untuk berfoya-foya, namun kenyataannya terdapat beberapa pelacur yang menyisihkan sebahagian uang yang ia peroleh sebagai tabungan di masa


(21)

yang akan datang (Monto, 2001). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh seorang pelacur high class kepada peneliti,

”Aku sekarang lagi nabung, begini-begini aku inget nabung juga lho...aku pengen beli rumah yang besar buat aku dan keluarga ku. Tapi aku nggak tau kapan itu terjadi, punya rumah, punya keluarga..entahlah....”

(Komunikasi personal, 8 Juni 2008)

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa pelacur high class juga menginginkan perubahan dalam hidupnya. Walaupun pada dasarnya pelacur high class selalu hidup dengan materi yang berlimpah namun tidak menjamin bahwa hidup para pelacur high class tersebut akan bahagia. Hal ini juga dialami oleh pelacur high class yang bernama Maria (dalam Emka, 2005),

” Hidup ini semu, aku nggak pernah tau gimana rasanya cinta sejati. Pria yang pernah membuat aku jatuh cinta pergi begitu aja menelantarkan aku sia-sia. Aku sekarang easy going dan enjoy aja nikmatin hidup. Duit itu seakan ngak ada artinya karena aku sebenarnya butuh kasih sayang dan cinta sejati dari seorang lelaki.”

Maria yang juga merupakan seorang pelacur high class menganggap bahwa hidup yang ia jalani saat ini adalah merupakan hidup yang semu. Ia tidak pernah mengetahui kebahagiaan yang sejati itu seperti apa. Namun ia tidak berusaha untuk mencarinya mencari tahu kebahagiaan sejati tersebut. Hal itulah yang membuatnya menjadi sosok yang apatis dalam hidup. Ia tidak memperdulikan akan kemana ia membawa hidupnya. Dalam berhubungan dengan pelanggannya, ia terlihat begitu tegar dan percaya diri..Perilaku yang dialami oleh Maria muncul karena adanya rasa penyesalan pada seorang pelacur yang pada dasarnya mereka juga menginginkan kehidupan yang normal dengan memiliki keluarga yang utuh di kemudian hari (Kartono, 1997).


(22)

Perilaku ini menurut Bastaman (1996) merupakan salah satu komponen dalam pencarian makna hidup. Komponen ini disebut dengan pemahaman diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik lagi. Mereka berupaya untuk merubah hidupnya dengan cara menabung untuk membeli rumah agar mendapatkan masa depan yang lebih cerah walaupun mereka tidak memastikan kapan mereka bisa merubah hidup mereka.

Berbeda dengan Cindy dan Maria, Sarah salah seorang pelacur high class

lain yang peneliti temui mengungkapkan bahwa,

hmm...aku sih emang suka aja kerja kayak beginian, emang sih dulu awanya aku pernah sebel sama cowok aku. Dia yang jerumusin aku ke pekerjaan ini, tapi aku ngak nyesel juga.Soalnya lama-lama kerja beginian enak sih. Udah dapat duit banyak terus bisa puas lagi ...”

. (Komunikasi personal, 23 April 2008)

Jika dilihat dari kasus yang dialami oleh Sarah, masuknya ia ke dalam dunia pelacuran adalah karena kebutuhannya akan berhubungan seks yang cukup tinggi. Pada awalnya Sarah merasa marah karena dijerumuskan ke dunia malam oleh kekasihnya. Namun lama-kelamaan Sarah menjadi menikmati pekerjaan ini, karena pada dasarnya ia juga memiliki kebutuhan seksual yang harus dipenuhi.

Hal yang sama juga di dukung dengan pengakuan yang dilakukan oleh Cindy kepada peneliti,

” kamu tau lah kalo anak-anak malam ini mereka tuh jadi pelacur kalo

ngga karna di tinggal laki pasti nafsu seks nya tinggi..semua temen-temen kakak pasti penyakitnya itu..makanya mereka jadi kerja yang

beginian..macem-macem lah..ada juga yang di perkosa sama pacarnya...” (Komunikasi personal, 11 Mei 2008)


(23)

Pernyataan yang diungkapkan oleh Cindy turut menguatkan yang telah dialami oleh Sarah. Sarah merupakan salah seorang pelacur high class yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai seorang pelacur merupakan sebuah hiburan untuknya. Ia tidak menganggap masuknya ia kedalam dunia pelacuran karena sebuah penderitaan. Selain itu uang yang ia peroleh juga ia pergunakan sebagai pemasukan tambahan dan untuk memenuhi segala kebutuhannya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Mudjiono (2005), ia mengatakan bahwa hiburan juga merupakan salah satu motivasi seseorang ketika masuk kedalam dunia pelacuran. Bahkan beberapa diantara pelacur high class

yang kemudian di jadikan sebagai istri simpanan yang di ”simpan” di daerah pinggiran kota atau di daerah peristirahatan dengan fasilitas rumah mewah, lengkap dengan perabotan dan juga mobil (Kartono, 1997). Fasilitas rumah mewah dan lain sebagainya merupakan sebagian dari kesenangan yang di miliki oleh pelacur high class.

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sarah, yang merupakan seorang pelacur high class kepada peneliti,

Nyantai aja lah dulu...hidup ini musti dinikmati say...aku ngga perduli orang-orang pada ngomong apa. Yang penting aku have fun..sekarang ya sekarang, nanti ya nanti...bener ga...”

(Komunikasi personal, 11 Mei 2008 )

Berdasarkan ungkapan diatas, dapat digambarkan bahwa Cindy belum menyadari pentingnya memiliki tujuan hidup dalam dirinya. Pada saat itu ia belum memiliki kehendak untuk hidup bermakna. Ia kemudian memunculkan perilaku apatis dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Namun ungkapan Cindy di atas bisa juga bermakna lain


(24)

bahwa pada saat itu Cindy memang telah menemukan makna hidupnya. Karena pada saat itu Cindy menikmati hidupnya dengan bekerja sebagai seorang pelacur. Ia tidak memperdulikan apa yang di katakan oleh orang lain mengenai dirinya karena ia menyukai dan menikmati pekerjaaannya sebagai seorang pelacur.

Crumbaugh dan Maholich (Koeswara dalam Bukhori, 2006) mengatakan bahwa ciri-ciri kebermaknaan hidup adalah memiliki tujuan hidup, kepuasan hidup, kebebasan memilih, gairah hidup, dan tanggung jawab. Mereka yang memiliki kebermaknaan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan mereka menjadi terarah dan mereka juga merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai (Bukhori, 2006). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Savolaine & Granello (2002), mereka mengatakan bahwa dengan adanya makna didalam hidup maka makna tersebut akan mempengaruhi perilaku individu menjadi kearah yang lebih baik dan lebih positif. Individu yang tidak berhasil dalam menghayati makna hidup biasanya akan menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992).

Kebermakaan hidup itu sendiri dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas dan negara bahkan umat manusia (Ancok dalam Frankl, 2003).


(25)

Anggriani (dalam Bukhori, 2006) mengatakan bahwa makna hidup berarti penghayatan seseorang mengenai kualitas, tujuan dan harapan dalam hidupnya agar dapat berarti bagi diri sendiri dan sesamanya. Pendapat ini didukung oleh penelitian Reker dan Butler (dalam Bee, 1996) bahwa individu yang mempunyai misi dan arah, memiliki tujuan dalam hidupnya lebih sehat secara mental dan psikologis dari pada individu yang makna hidupnya tidak jelas. Untuk dapat berhasil menghayati hidup bermakna, sebelumnya individu harus dapat menemukan suatu makna kehidupannya.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa seorang yang bekerja sebagai pelacur high class walaupun memiliki pekerjaan yang sama antara satu dengan lainnya, ketika memutuskan untuk masuk ke dalam pekerjaan tersebut tentunya masing-masing memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda. Karena pada dasarnya setiap individu juga bervariasi dalam mencari dan menemukan makna hidupnya. Schultz (1991) mengatakan bahwa makna hidup bisa berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan berbeda setiap hari bahkan jam.

Hal ini sesuai dengan karakteristik makna hidup itu sendiri yaitu unik dan personal, tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan sendiri. Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu penting dan berharga bagi orang lain (Bastaman, 1996). Orang lain hanya sekedar menunjukkan berbagai sumber kebermaknaan hidup, tetapi pada akhirnya terpulang kepada orang yang ditunjuki untuk menentukan sendiri apa yang dianggap dan dirasakan bermakna bagi dirinya (Bastaman dalam Bukhari, 2006). Ada orang yang tidak dapat melihat adanya makna hidup mereka dalam keadaan


(26)

mereka yang buruk, padahal makna hidup itu sendiri tetap ada. Hal itu tergantung kepada kesadaran individu akan makna. Akan tetapi tidak semua individu langsung berhasil menemukan makna hidupnya. Ada kalanya individu tidak berhasil menemukan makna hidupnya karena dia memang tidak segera menyadari makna tersebut dan menyadari panggilan tersebut. Maka individu merasakan hidupnya hampa dan tidak bermakna (Frankl, 1984)

Berdasarkan permasalahan yang dijabarkan di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana makna hidup bagi seorang pelacur high class di Indonesia, dan bagaimana proses dari penemuan makna hidup jika dilihat berdasarkan kepada tahap-tahap dalam penemuan makna hidup tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah makna hidup bagi seorang pelacur high class?

2. Bagaimanakah proses pencarian makna hidup bagi seorang pelacur

high class dan bagaimana mereka menemukannya? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan makna hidup pada seorang pelacur high class dan menjelaskan bagaimana proses pencarian dan pemenuhan makna hidup dilihat dari tahap-tahap menemukan makna hidup itu sendiri.


(27)

1. Manfaat Teoritis

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologis, khususnya dibidang Psikologi Klinis dalam rangka perluasan teori, terutama berkenaan dengan makna hidup pada pelacur

high class dan dapat digunakan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi para pelacur

high class lainnya yaitu sebagai media inspiratif, dimana diharapkan dengan membaca penelitian ini dapat memberi masukan para pelacur high class lainnya untuk melihat pengalaman dari pelacur high class yang menjadi partisipan dalam penelitian ini bagaimana cara mereka dalam menemukan makna hidupnya.

Selain itu penelitian ini memberikan wacana bagi masyarakat umum untuk mengetahui motivasi-motivasi atau hal-hal apa saja yang bisa mempengaruhi seseorang untuk mejadi seorang pelacur high class.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II :Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.


(28)

Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, responden dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan subjek/ responden yang akan digunakan dalam penelitian.

BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian

Berisi uraian singkat hasil penelitian dan interpretasi data. BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Berisi tentang kesimpulan dari hasil yang diperoleh, diskusi tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran yang berhubungan dengan hasil penelitian dan penelitian lanjutan


(29)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Makna Hidup

A. 1. Definisi Makna Hidup

Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata ”logos” yang artinya makna (meaning) atau rohani (spiritualy), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life)

dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life) yang didambakan (Frankl dalam Bastaman 2007). Pencarian akan makna hidup akan berlangsung setua manusia itu sendiri. Hal ini adalah karakteristik utama yang membedakan keberadaan manusia dengan hewan (Lukas, 1986).

Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar sarta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Ungkapan seperti ”makna


(30)

dalam derita” (meaning in suffering) atau ”hikmah dalam musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup akan tetap dapat ditemukan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi maka kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless), hampa dan tidak berguna (Bastaman, 2007).

Makna hidup merupakan bagian dari kenyataan hidup yang dapat dijumpai di dalam setiap kehidupan. Oleh karena itu, makna hidup dapat berubah-ubah sewaktu-waktu. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi hanya dapat dipenuhi jika dicari dan ditemukan oleh diri sendiri (Frankl, 1984). Individu dalam mencapai makna hidupnya harus menunjukkan tindakan dari komitmen yang muncul dalam dirinya. Melalui komitmen tersebut seseorang akan menjawab tantangan yang ada dan memberikan sesuatu kepada hidup individu yang mencarinya (Koeswara, 1992).

A. 2. Karakteristik Makna Hidup

Makna hidup sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman, 2007) memiliki beberapa karakteristik :

a. Makna hidup memiliki sifat yang unik, pribadi dan temporer. Artinya segala sesuatu yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda dan tidak sama dengan makna hidup orang lain. Selain itu, makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun melainkan harus ditemukan sendiri (Frankl, dalam Bastaman 1996).


(31)

b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari serta tidak selalu dikaitkan dengan hal-hal yang abstrak, tujuan-tujuan idealistis dan prestasi-prestasi akademis.

c. Makna hidup memberi pedoman dan arah tujuan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan

A. 3. Sumber-Sumber Makna Hidup

Makna hidup menuntut keaktifan dan tanggung jawab individu untuk memenuhinya (Koeswara, 1992). Makna hidup tidak hanya ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun juga dapat ditemukan pada saat penderitaan. Dalam kehidupan, terdapat tiga bidang potensial yang mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya. Ketiga nilai

(values) ini merupakan sumber-sumber makna hidup, yang terdiri dari (Frankl, 1984) adalah :

a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)

Merupakan salah satu dari cara yang dikemukakan oleh logoterapi dalam memberikan arti bagi kehidupan yaitu dengan “melihat apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to life). Melalui tindakan-tindakan kreatif dan menciptakan suatu karya seni, menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya (Frankl dalam Bastaman 2007).


(32)

Cara kedua adalah dengan melihat ”apa yang dapat kita ambil dari dunia ini”

(what we take form the world). Dengan mengalami sesuatu, melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam dan budaya atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Selain itu cinta kasih dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam kehidupannya. Dengan mencintai dan merasa dicintai seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengn pengalaman hidup yang membahagiakan (Frankl, dalam Bastaman 2007)

c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)

Cara ketiga adalah “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering), Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan keadaan namun sikap yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan itu.

A. 4. Komponen-komponen yang Menentukan Keberhasilan dalam Pencarian Makna Hidup

Bastaman (1996) mengemukakan komponen-komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam merubah hidup dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi lebih bermakna. Komponen-komponen tersebut adalah:

1. Pemahaman Diri (Self Insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik.


(33)

2. Makna Hidup (Meaning of Life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah-pengarah kegiatannya.

3. Pengubahan Sikap (Changing Attitude), dari yang semula tidak tepat menjadi tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak dapat terelakkan.

4. Keikatan Diri (Self Commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang di tetapkan.

5. Kegiatan Terarah (Directed Activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi, bakat, kemampuan, keterampilan yang positif serta pemanfaatan relasi antarpribadi untuk menunjang tercapainya makna hidup dan tujuan.

6. Dukungan Sosial (Social Support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu pada saat-saat diperlukan.

A. 5. Kelompok Orang yang Mencari Makna

Frankl (1884) membagi dua kelompok orang yang mencari makna: a. People in Doubt

Orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat buruk dan dipertanyakan. Mereka mencari tujuan hidup untuk dikejar, ide untuk dipercayai dan tugas untuk dipenuhi. Mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan yang diistilahkan dengan existensial vacuum dan mereka tidak melihat adanya tujuan dalam hidup mereka, serta sedang mencari makna.


(34)

Pencarian makna ini jika tersangkut dalam suatu kondisi permanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis serius, psikotis dan depresi.

b. People in Despair

People ini despair adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tetapi kemudian kehilangan makna itu akibat hilangnya rasa percaya diri atau menemukan bahwa makna tersebut mengecewakan. Kelompok ini terdiri dari mereka yan pernah mengejar dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan dan sekarang masih merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran, perasaan tidak bermakna dan pemikiran untuk bunuh diri.

A. 6. Penghayatan Hidup Bermakna

Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek akan lebih jelas terlihat dan kegiatan individu tersebut akan menjadi terarah (Frankl dalam Bastaman 2007).

Menurut Schultz (1991) kehidupan baru terasa bermakna dan mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang penuh dengan penderitaan. Individu yang berhasil menghayati hidup bermakna akan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan penuh gairah dan semangat serta jauh dari perasaan hampa, walaupun dalam situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan (Budiraharjo, 1997). Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah


(35)

keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas dan negara dan bahkan umat manusia (Ancok dalam Frankl 2003). Bastaman (1996) berdasarkan pada teori Frankl mengajukan suatu proposisi mengenai urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan hidup dari kondisi tidak bermakna (meaningless)

menjadi bermakna (meaningfull). Proses tersebut digambarkan dalam skema 1 sebagai berikut :

Penghayatan tidak bermakna

(meaningless life)

Pemahaman diri (self insight)

Pengubahan Sikap (changing attitude)

Penemuan Makna dan Tujuan Hidup (finding meaning and purpose of life)

Pengalaman tragis

(tragic events)

Keikatan Diri (self commitment)


(36)

Selanjutnya tahap-tahap ini dapat di kategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan urutannya, yaitu (Bastaman, 1996) :

a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)

Individu berada dalam kondisi hidup tidak bermakna. Mungkin ada peristiwa tragis atau kondisi hidup yang tidak menyenangkan.

b. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)

Muncul kesadaran diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Biasanya muncul kesadaran diri ini disebabkan banyak hal, misalnya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya selama ini.

c. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup)

Kebahagiaan (Happiness) Hidup Bermakna (Meaningfull Life)

Kegiatan Terarah dan Pemenuhan Makna Hidup (Directed Activities and Fulfilling Meaning)


(37)

Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup. Hal-hal yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti penghayatan keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan tersebut.

d. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup)

Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan.

e. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan)

Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan sebagai hasil sampingnya.

Bastaman (1996) mengatakan bahwa kenyataannya urutan proses tersebut dapat tidak diikuti secara tepat sesuai dengan konstruksi teori yang ada.

A. 7. Penghayatan Hidup Tanpa Makna

Individu mungkin saja gagal dalam memenuhi hasrat untuk hidup dengan memiliki makna. Hal ini antara lain karena kurangnya kesadaran bahwa kehidupan dan pengalaman mengandung makna hidup potensial yang dapat


(38)

ditemukan dan kemudian dikembangkan (Bastaman, 1996). Ada individu yang tidak dapat melihat adanya makna hidup dalam keadaan mereka yang buruk padahal makna hidup akan tetap ada. Terkadang kehidupan baru dapat mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan penderitaan (Schultz, 1991).

Ketidakberhasilan menghayati makna hidup biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992). Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan dalam mengambil prakarsa (Bastaman, 2007).

Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kegiatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money)

(Frankl dalam Bastaman 2007).

B. PELACURAN B. 1. Definisi Pelacuran

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacuran merupakan perihal menjual diri sebagai pelacur atau penyundalan. Tabet (1989) dan


(39)

Phaterson (1990) dalam Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran merupakan suatu jenis perburuhan seks perempuan yang membentuk suatu kotinum dari mulai pertukaran jangka pendek uang dan seks, barang dan seks, hingga pertukaran jangka panjang seks dengan pelayanan domestik dan reproduksi seperti dalam pernikahan. Perkins & Bannet dalam Koentjoro 2004) juga mendefinisikan bahwa pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam.

B. 2. Definisi Pelacur

Pelacur adalah seseorang yang melacur di dunia pelacuran (Koentjoro, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal.

Selain pelacur, muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar (Koentjoro, 2004). Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja (Wagner & Yatim, 1997).


(40)

Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebihhaluskan istilah pelacur.

Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena (1) arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan.

Pelacur sendiri menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro 2004) adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Mukherji dan Hantrakul (dalam Koentjoro 2004) mendefinisikan seorang pelacur sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks pada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memilih pria mana yang menjadi langganannya.

Berdasarkan semua definisi diatas Koentjoro (2004) mengatakan bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan seks kepada kaum laki-laki.


(41)

Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka.

B. 3. Alasan Menjadi Pelacur

Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan/wanita menjadi seorang pelacur, adalah :

1. Materialisme

Materialisme atau aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

2. Modelling

Modelling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.

3. Dukungan Orang tua

Dalam beberapa kasus, orang tua dan suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.


(42)

Jika sebuah lingkungan sosial bersikap permisif terhadap pelacuran berarti kontrol tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika sebuah komunitas sudah lemah kontrol lingkungannya maka pelacuran akan berkembang di dalam komunitas tersebut.

5. Faktor ekonomis

Coleman & Cressey (1984) mengatakan bahwa dalam melakukan pekerjaanya sebagai seorang pelacur, terdapat unsur penting di dalamnya yaitu ada kompensasi berupa uang.

B. 4. Jenis-jenis Pelacur

Seperti jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacuran juga memiliki keragaman. Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Penggolongan pelacur ditentukan oleh usia (Kartono, 1997), lokasi, tingkat pendidikan dan daya tarik (Koentjoro, 2004).

1. Pelacur Jalanan (Low Class)

Untuk tarif pelayanan seks terendah ditawarkan oleh para pelacur jalanan, pelacur seperti ini sering beroperasi selalu berpraktik di tepi jalan atau di lokalisasi liar, di kawasan kumuh, di pasar, di kuburan, di sepanjang rel kereta api dan di lokasi lain yang sulit dijangkau bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan pelacur tersebut (Hull dkk, 1997). Pelacur seperti ini digolongkan kedalam pelacur low class (Kartono, 2003).

Pelacur low class pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus dan kurang berpendidikan (Kartono, 1997). Tarif seorang pelacur low class seperti


(43)

ini sangat rendah dibandingkan dengan pelacur high class (Hull, 1997). Untuk pelacur tingkat rendah (low class),mbiasanya berusia 11-15 tahun yang belum berpengalaman walaupun banyak diantara pelacur low class yang berusia lebih dari itu (Kartono, 1997). Untuk seorang pelacur low class, jumlah uang yang mereka keluarkan hanya untuk kebutuhan primer dan mendasar seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005).

Koentjoro (2004) juga menambahkan beberapa hal yang memotivasi seorang pelacur low class untuk menjadi seorang pelacur yaitu:

a. Kemiskinan

b. Pendapatan rendah c. Pendidikan rendah

d. Tidak memiliki keterampilan e. Pengangguran

2. Gadis Panggilan (High Class)

Gadis panggilan menurut Kartono (2003) terdiri dari wanita-wanita yang telah bekerja seperti wanita karier dan mahasiswi-mahasiswi. Gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class adalah karena mereka bersedia untuk dipekerjakan melalui layanan jasa informasi tertentu (Feldman dan MacCulloch dalam Koentjoro, 2004). Sesuai dengan pernyataan diatas, Mudjiono (2005) mengatakan bahwa pelacur high class memiliki sistem kerja yang tidak menunjukkan adanya tempat lokalisasi (market place) yang terbuka oleh umum seperti yang dilakukan oleh pelacur low class. Karena pelacur jenis ini memiliki pendidikan yang tinggi seperi wanita karier dan mahasiswi, maka akan


(44)

berhubungan dengan tarif pelayanan (Koentjoro, 2004). Semakin tinggi pendidikan pelacur, tarif yang diberikan akan semakin mahal. Harga pelayanan seksual dengan pelacur terpelajar jauh lebih mahal dibandingkan dengan pelacur biasa (low class) karena pelanggan menganggapnya lebih bergengsi (Koentjoro, 2004).

Julian (1986) mengatakan bahwa untuk menjadi seorang pelacur high class, pelacur high class tersebut harus menjalani pelatihan selama lebih kurang dua atau tiga bulan. Pelatihan tersebut berisi tentang sikap dan perilaku yang harus mereka berikan kepada pelanggan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Fieldman dan MacCullah (dalam Koentjoro, 2004), ia mengatakan bahwa untuk menjadi pelacur yang profesional diperlukan adanya pelatihan. Oleh karena itu berdasarkan kriteria diatas gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class.

Para pelacur high class memiliki motivasi dasar untuk bekerja sebagai seorang pelacur. Motivasi tersebut adalah :

1. Kesenangan (Mudjiono, 2005)

2. Uang dan atau narkoba (Koentjoro, 2004)

3. Kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004)

Untuk menyederhanakan dan melihat perbedaan antara pelacur low class

dengan pelacur high class dapat dilihat melalui tabel 1. berikut ini :

Tabel 1. Perbedaan pelacur high class dan Pelacur low class

Pelacur Low Class Pelacur High Class


(45)

2003)

(berdasarkan observasi peneliti, pelacur low class juga banyak yang berusia diatas 30 tahun).

antara 17 - 25 tahun (Kartono, 2003).

Lokasi Lokalisasi liar, kawasan kumuh, pasar, kuburan, rel kereta api (Hull dkk, 1997)

Tidak terbuka untuk umum (Mudjiono, 2005). Tidak dapat dihubungi langsung oleh pelanggan (Koentjoro, 2004). Daya tarik (tidak ada) Wajah dan tubuh yang menarik

(Koentjoro, 2004) Tingkat

pendidikan

SMU (Kartono, 2003) Wanita Karier dan Mahasisiwi (Kartono, 2003)

Motivasi Uang (Kartono, 2003) Kesenangan (Mudjiono, 2005) Uang dan atau narkoba (Koentjoro, 2004), kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004)

C. Makna Hidup pada Pelacur High Class

Pilihan untuk menjadi seorang pelacur merupakan pilihan yang sulit. Karena reaksi sosial, adat istiadat dan norma-norma sosial yang cukup menentang adanya praktik pelacuran (Kartono, 1997). Terlebih lagi rakyat di Indonesia merupakan rakyat yang beragama sehingga pelacuran menjadi sangat dilarang dan dianggap berdosa (Koentjoro, 2004). Namun karena pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan dasar (basic need), maka kebutuhan inilah yang harus dipenuhi oleh setiap manusia (Maslow dalam Sarwono, 2000).

Tidak dapat dipungkiri bahwa uang memiliki pengaruh penting dalam memiliki semua kebutuhan manusia, termasuk untuk kebutuhan dasar yang telah dijelaskan sebelumnya. Motif ekonomi ini yang kemudian secara sadar menjadi faktor yang memotivasi seorang untuk berprofesi menjadi pelacur yang dapat menghasilkan uang (Weisberg dalam Koentjoro, 2004).


(46)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pelacur menurut Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Walaupun pada umumnya motivasi utama untuk menjadi seorang pelacur yaitu uang (Coleman & Cressey, 1984), namun David dan Satz (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa terdapat segelintir pelacur yang tidak hanya dapat dipandang dari sisi ekonomis semata. Lebih lanjut lagi mereka mengatakan bahwa perempuan tidak lagi memasuki dunia pelacuran karena alasan untuk keluar dari tekanan ekonomi, namun karena adanya kebutuhan lain (David & Satz dalam Koentjoro, 2004). Menurut Koentjoro (2004) uang hanya merupakan mediasi bagi sebuah tujuan, dan orang yang di dominasi oleh orientasi material akan berjuang untuk kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004). Selain kekuasaan dan status, motivasi lain adalah hiburan (Mudjiono, 2005) dan kesepian (Kartono, 1997). Motivasi-motivasi inilah yang menjadi motif utama seorang pelacur high class atau gadis panggilan. Berbeda dengan pelacur

low class, mereka menjadi pelacur hanya untuk memenuhi basic need atau kebutuhan dasar dalam hidupnya (Hull, 1997).

Para pelacur high class yang secara finansial selalu berlebihan dan selalu hidup dalam kemewahan ternyata dalam keseharianya tidak selalu bahagia seperti yang sering ia perlihatkan kepada orang lain. Hidup berfoya-foya, menghambur-hanburkan uang dan berkecukupan dalam segi materi tidak menjadi jaminan bahwa hidup pelacur high class tersebut selamanya akan bahagia. Bagi sebahagiaan pelacur yang hidupnya berorientasi kepada uang, bersenang senang


(47)

dan kemewahan hidup mungkin saja akan merasa bahagia dengan bekerja sebagai seorang pelacur.

Bagi beberapa pelacur high class yang lain, mungkin saja dengan masuknya ia kedalam dunia pelacuran bukannya akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, sebaliknya masuknya ia kedunia pelacuran hanya akan menambah rumitnya masalah hidup yang telah ia temui sebelum masuknya ia kedunia pelacuran. Akibatnya muncul perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh beberapa pelacur high class. Bentuk perasaan yang tidak menyenangkan tersebut salah satunya adalah perasaan kesepian, hampa, kebosanan dan tidak memiliki tujuan hidup.

Perasaan hampa yang dialami oleh pelacur high class ini menyebabkan munculnya kecemasan dan konflik-konflik batin (Kartono, 1997). Konflik-konflik dan kecemasan ini tidak banyak berkaitan kepada masalah moral, namun lebih kepada konflik mengenai perasaan ingin dicintai, selalu merasakan kekosongan dan kehampaan karena tidak menemukan cinta sejati selama berprofesi menjadi seorang pelacur (Kartono, 2005). Perasaan hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup merupakan karakteristik seseorang yang penghayatan hidupnya tidak bermakna (Frankl dalam Bastaman, 2007).

Keadaan hampa dan tidak bermakna (meaningless) jika tidak diatasi akan memperburuk keadaan individu itu sendiri baik secara fisik maupun psikologis, oleh karena itu perlu ditemukan adanya makna hidup dalam kehidupan pelacur tersebut sehingga kehidupan mereka dapat menjadi lebih terarah dan bertujuan


(48)

sehingga kehidupan mereka akan bersemangat, bergairah dan bahagia (bastaman, 1996).

Pelacur yang tidak bisa melihat makna dibalik penderitaan maka ia akan tenggelam oleh penderitaan yang ia alami dan mengalami beberapa penghayatan hidup yang tidak menyenangkan seperti hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tidak berarti dan lain sebagainya (Bastaman, 2007) yang akan mempengaruhi kehidupannya selanjutnya. Sementara individu yang berhasil melihat adanya makna dibalik penderitaan maka ia akan menujukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Tujuan hidupnya baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang akan jelas bagi mereka dan dengan demikian kegiatan mereka pun akan lebih terarah sesuai dengan tujuan hidup yang ingin mereka capai.

Frankl (1984) juga mengatakan bahwa individu yang mempunyai pandangan hidup yang jelas akan bertahan hidup dan sanggup menghadapi masalah yang sulit sekalipun (Frankl dalam Schultz, 1991).

Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dilihat gambaran makna hidup bagi beberapa pelacur high class pada saat mereka masih berstatus sebagai pelacur

high class. Apakah pekerjaan mereka sebagai pelacur high class mempengaruhi makna hidup mereka, membantu mereka dalam menemukan makna hidupnya dan mengetahui tujuan hidupnya atau dengan masuknya mereka kedunia pelacuran makna dan tujuan hidup itu semakin tidak terlihat. Warren (2002) mengatakan bahwa tanpa suatu tujuan, kehidupan bagaikan gerakan tanpa makna, kegiatan


(49)

tanpa arah, peristiwa tanpa alasan. Tanpa suatu tujuan, kehidupan tidak berarti. Pendapat Warren didukung oleh penelitian Reker dan Butler (dalam Bee, 1996) yang mengatakan bahwa individu yang mempunyai misi dan arah, memiliki tujuan dalam hidupnya lebih sehat secara mental dan psikologis dalam menghadapi stress dibandingkan dengan makna hidupnya tidak jelas.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

III. A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah penghayatan subjektif individu dalam mencari makna hidupnya. Suprayogo dan Tobroni (2001) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif dapat memahami gejala sebagaimana responden mengalaminya sehingga diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri paritisipan dan bukan semata-mata untuk menarik sebab akibat yang dipaksakan. Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa pendekatan kualitatitf memungkinkan individu untuk memfokuskan variasi pengalaman dan individu-individu atau kelompok-keompok yang berbeda.

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan sebelumnya.


(51)

Padgett (1998) mengemukakan beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kualitatif digunakan jika peneliti ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui.

2. Jika topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan emosional.

3. Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya. 4. Diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program dan intervensi. 5. Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan

data atau dalam menjelaskan penemuan. B. Responden Penelitian

1. Karakterisik Responden Penelitian

Karakteristik partsipan dalam penelitian ini adalah : a. Wanita yang berstatus sebagai pelacur high class

Responden dalam peneltian ini adalah wanita yang berstatus sebagai pelacur

high class. Penentuan pelacur high class dalam hal ini ditentukan oleh ciri-ciri dan motivasinya.

b. Berdomisili di Kota Medan

Responden dalam penelitian ini berdomisili dikota Medan karena peneliti peneliti berdomisili di kota Medan dan Medan dikenal sebagai salah satu kota yang menjadi barometer hiburan malam di Sumatera.


(52)

Sampel dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya jumlah responden dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara tegas diawal penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2001). Pada penelitian ini, jumlah responden yang akan diambil adalah sebanyak dua orang.

3. Prosedur Pengambilan Sampel Penelitian

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational constuct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

C. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001)

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data peneitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) sebagai metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan seperti yang akan diuraikan selanjutnya.


(53)

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan responden penelitian, maka metode yang tepat digunakan adalah wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang drumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan (Poerwandari, 2001).

Wawancara juga dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang ingin diteliti dan bermaksud untuk melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk, dalam Poerwandari 2001). Dengan begitu wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti untuk mengungkapkan semua aspek-aspek yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini.

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan peneliti yang memungkinkan responden bebas mengekspresikan diri mereka (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).


(54)

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data penelitian yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi, maka diperlukan alat bantu yang digunakan untuk membantu mengumpulkan data penelitian tersebut. Alat bantu penumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Tape recorder (alat perekam)

Menurut Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian.

Dengan tape recorder peneliti tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap responden selama wawancara berlangsung. Semuanya ini memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat


(55)

bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

E. Prosedur Analisa Data

Prosedur analisa data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut (Poerwandari, 2001) :

1. Organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan penyampaian data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

2. Koding dan Analisis. Mula-mula peneliti menyusun transkripsi verbatim atau catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinu neakukan penomoran pada baris-baris transkip. Selanjutnya peneliti mulai memberikan perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan.

3. Pengujian terhadap dugaan. Peneliti akan mempelajari data yang kemudian akan mengembangkan data yang kemudian akan mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama, dalam hal ini peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang mungkin tidak disadari.


(56)

4. Strategis anakisis. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subyek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh subjek.

5. Interpretasi. Yaitu upaya untuk memahami data secara lebih eksensif dan mendalam.


(57)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI

A. Analisa Kasus Responden I Tempat wawancara : Restoran

Tanggal : - 10 Agustus 2008 - 23 Agustus 2008 - 13 September 2008 Data Kontrol :

Nama : Ayu ( Nama Samaran) Usia : 27 tahun

Agama : Kristen

Suku : Manado

Status Perkawinan : Belum Menikah Anak ke : 1

Dari : 3 Bersaudara Pendidikan terakhir : D 3

Tempat Tinggal : Medan Lama Menjadi Pelacur: 2 Tahun


(58)

A. I. Gambaran Diri Responden I

Responden I dalam penelitian ini adalah Ayu, seorang wanita berusia 27 tahun dan bersuku Manado. Ayu merupakan seorang pelacur high class sejak dua tahun yang lalu. Peneliti mengenal Ayu dari seorang kerabat keluarga peneliti yang juga mengenal Ayu.

Ayu adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Pada awalnya Ayu bertempat tinggal di Jakarta, namun karena Ayu memiliki masalah dalam keluarganya maka ia pergi ke kota Medan. Awal permasalahan dalam keluarganya inilah sebagai penentu masuknya Ayu kedalam dunia pelacuran high class di kota Medan.

Awalnya Ayu berasal dari sebuah keluarga yang harmonis. Ayah Ayu merupakan salah seorang pengusaha yang cukup sukses di Jakarta. Sedangkan ibu Ayu adalah seorang ibu rumah tangga. Sekian waktu berjalan, keluarga Ayu dilihat sebagai keluarga yang cukup harmonis karena jarang sekali muncul sebuah konflik besar dalam keluarga itu.

Konflik muncul dikarenakan terdengar kabar bahwa ayah Ayu berselingkuh dengan wanita lain. Namun kabar tersebut tidak dipercaya oleh Ayu dan keluarga. Terlebih lagi ibu Ayu merupakan seorang ibu yang tidak memiliki kekuatan didalam kehidupan rumah tangga mereka, sehingga tidak muncul pemberontakan.

Melihat istrinya tidak memberikan respon apa-apa, lama-kelamaan ayah Ayu semakin berani untuk menunjukkan kepada keluarganya bahwa ia telah memiliki wanita lain selain ibu Ayu. Hal ini lah yang membuat kehidupan


(59)

keluarga Ayu menjadi semakin tidak kondusif. Sering terjadi pertengkaran karena ibu Ayu banyak bertanya-tanya kepada ayah Ayu mengenai kebenaran kabar yang mengatakan bahwa ayah Ayu berselingkuh dengan lain. Namun ayah Ayu tetap membantah dan semakin marah, sedangkan ibu Ayu malah tidak dapat berbuat apa-apa.

Dua adiknya Ayu yang masih kecil hanya memandang ketakutan melihat pertengkaran ayah dan ibunya. Ayu yang telah dewasa hanya bisa menemani dan menenangkan ibunya saat sedih. Ayu juga tidak bisa berbuat apa-apa karena ayahnya yang otoriter dan selalu dominan di dalam keluarga mereka.

Keadaan semakin diperparah karena pada suatu hari ayah Ayu pulang kerumah sambil membawa seorang wanita yang kemudian diperkenalkan oleh ayah Ayu sebagai wanita idaman lain yang akan menggantikan sosok ibunya Ayu. Melihat itu langsung membuat ibu Ayu yang memang sudah sakit-sakitan semenjak mendengar ayah Ayu berselingkuh menjadi pingsan dan koma sehingga dibawa kerumah sakit. Pada saat ibu Ayu dibawa kerumah sakit dan dirawat di sana, posisi ibu Ayu digantikan dengan wanita yang merupakan kekasih baru dari ayah Ayu tersebut.

Melihat ibunya yang jatuh pingsan dan koma, Ayu merasa amat terpukul. Hari-hari dilalui Ayu dengan merawat ibunya dan pulang kerumah sambil mengurus adik-adiknya yang masih kecil. Beberapa hari setelah masuknya ibu Ayu kerumah sakit, dokter memberi diagnosa bahwa usia ibu Ayu tidak akan lama lagi karena jantung ibu Ayu semakin lama semakin melemah dan tidak kuat untuk bertahan lama.


(60)

Tak berapa lama, yaitu kira-kira dua minggu kemudian, prediksi dokter yang mengatakan bahwa usia ibu Ayu tidak lama lagi ternyata benar. Ibu Ayu kemudian meninggal dunia meninggalkan Ayu dan kedua adiknya. Meninggalnya ibu Ayu dan munculnya konflik dalam keluarga, membuat Ayu menjadi sosok yang labil. Ayu merasa tidak siap untuk menghadapi semua ini. Ia seperti kehilangan sandaran hidup karena ditinggal oleh dua orang yang ia sayangi, ayah dan ibunya. Ibu Ayu meninggalkan Ayu karena penyakit yang dideritanya sementara ayah Ayu meninggalkan Ayu karena telah memiliki wanita lain sebagai pengganti ibunya. Walaupun Ayu bertemu dengan ayahnya setiap hari di rumah, namun ia seakan-akan tidak memiliki ayah. Ayahnya kini seutuhnya hanya milik ibu tirinya saja, karena ayahnya jarang sekali memperhatikan Ayu dan adik-adiknya. Otomatis Ayu di rumah berubah peran, selain menjadi kakak ia juga menjadi ibu dan ayah untuk adik-adiknya. Ia merasa tidak ada lagi orang lain yang menyayangi dan peduli terhadapnya.

Peneliti mengenal Ayu dari salah seorang keluarga peneliti yang mengenal Ayu. Pertemuan peneliti dengan Ayu pertama kali pada tanggal 10 agustus 2008. Peneliti telah membuat janji dengan Ayu melalui perantara keluarga peneliti yang mengenal Ayu. Pertemuan itu terjadi pada pukul 11 malam disebuah hotel berbintang di kota Medan. Pada saat itu peneliti hanya sekedar berkenalan kepada Ayu sambil menanyakan kesediaan Ayu untuk diwawancarai oleh peneliti. Peneliti juga saat itu berusaha untuk membangun rapport agar Ayu bersedia untuk di wawancarai dan Ayu menjadi lebih terbuka dengan peneliti. Pertemuan itu


(61)

tidak berlangsung lama karena ternyata Ayu telah di booking oleh tamu dan tamunya sudah menunggu disebuah kamar hotel.

Pada saat pertama kali bertemu dengan Ayu, peneliti tidak sempat untuk membuat janji untuk bertemu lagi. Kesepakatan untuk bertemu lagi dengan Ayu peneliti lakukan melalui SMS. Pertemuan selanjutnya peneliti dengan Ayu terjadi pada tanggal 23 Agustus 2008 pada pukul 1 dini hari. Pada saat itu Ayu baru saja selesai bertemu dengan salah seorang tamunya. Pertemuan itu terjadi di sebuah restoran di kota Medan. Pada awalnya perbincangan masih kaku dan hanya berbasa-basi. Namur tak berapa lama kemudian obrolan pun mengalir hingga tidak terasa waktu satu setengah jam telah berlalu.

Pada pertemuan kali ini Ayu cukup kooperatif dalam menjawab semua pertanyaan peneliti. Ayu terlihat begitu santai dan tidak menjaga jarak dengan peneliti sehingga memudahkan peneliti untuk bertanya lebih lanjut. Ia bercerita mengenai bagaimana awalnya ia bisa masuk kedalam dunia pelacuran seperti ini, apa yang ia rasakan ketika menjadi seorang pelacur dan bagaimana ia menjalani kehidupannya sebagai seorang pelacur. Pada akhir pertemuan pertama, peneliti juga tidak menyepakati waktu yang tepat untuk bertemu lagi. Hal ini dikarenakan karen jadwal Ayu yang cukup padat karena menerima booking-an dari tamu-tamunya.

Pertemuan berikutnya disepakati juga melalui SMS. Pertemuan itu terjadi pada tanggal 13 September 2008 disebuah restoran pada pukul 8 malam. Pada pertemuan tersebut peneliti sudah mulai bertanya lebih dalam. Sama seperti dengan pertemuan pertama, pada pertemuan ini Ayu juga tidak sungkan untuk


(62)

menjawab pertanyaan yang lebih mendalam yang berkisar seputar masalah keluarga yang ia hadapi sebelum terjun kedunia pelacuran. Bagaimana ia menghadapi saat-saat sulit pada saat ia kehilangan ibunya, melihat ayahnya berselingkuh dan bagaimana ia menjaga adik-adiknya.

Ayu juga cukup terbuka dalam menjawab pertanyaan seputar pekerjaannya sebagai seorang pelacur. Apa yang ia rasakan ketika sedang melayani tamunya, bagaimana respon dari lingkungan di sekitanya, keluarganya dan lain sebagainya. A. 2. Gambaran penderitaan yang dialami responden I

Awal tahun 2005 merupakan awal dari sederet penderitaan yang dialami oleh Ayu. Pada saat itu Ayu berusia 24 tahun dan sedang menyelesaikan perkuliahaannya di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Pada saat itu konflik di keluarga Ayu sudah mulai memanas. Ayu yang merupakan anak yang tertua oleh ayah dan ibunya dipaksakan untuk menerima kenyataan bahwa keluarganya tidak harmonis lagi. Kenyataan bahwa ayahnya memiliki wanita simpanan lain membuat Ayu shock, terkejut dan tidak dapat menerima kenyataan. Ayu tidak menyangka bahwa Ayahnya akan berbuat seperti itu, mau berselingkuh dengan wanita lain dan membuat keluarganya menjadi berantakan. Disisi lain, ibu sebagai orang tua Ayu yang seharusnya bersikap lebih tegar malah terlihat sebagai sosok yang paling lemah dimata Ayu. Malah Ayu lah yang selalu memberi semangat kepada ibunya agar selalu tegar dalam menghadapi semua masalah ini. Bentuk semangat yang diberikan oleh Ayu adalah dengan menemani ibunya ketika ibunya sedang sendiri, sambil mengajak ibunya untuk bercerita dan bertukar pikiran.


(1)

1. Bagi pelacur high class lainnya diharapkan setelah membaca penelitian ini dapat dijadikan pembelajaran atau masukan untuk memaknai hidupnya, apa yang menjadi kekuatan atau hambatan seorang pelacur high class dalam memaknai hidupnya sehingga para pelacur high class lainnya bisa belajar dari pengalaman kedua responden dalam penelitian ini bagaimana cara mereka menemukan makna hidupnya.

2. Kemudian diharapkan bagi pembaca untuk dapat memahami salah satu fenomena sosial seperti ini dengan pemahaman yang lebih mendalam, terutama mengenai latar belakang mengapa seorang wanita memilih profesi dengan menjadi seorang pelacur. Setelah membaca penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui bahwa motivasi seorang wanita untuk menjadi seorang pelacur tidak hanya berdasarkan kepada uang semata namun terdapat aspek lain seperti kesepian, kehilangan kasih sayang dan lain sebagainya.

C. 2. Saran Penelitian Lanjutan

1. Partisipan penelitian ini berasal dari satu latar belakang pendidikan yang sama yaitu pada saat menjadi seorang pelacur high class masih berstatus sebagai mahasiswa. Penelitian selanjutnya diharapkan partisipannya memiliki karaktersistik yang berbeda seperti wanita karir yang juga berprofesi sebagai seorang pelacur

2. Penelitian ini juga memiliki partisipan yang berjenis kelamin wanita atau pekerja seks komersil wanita, pada penelitian selanjutnya dilakukan


(2)

bisa dilihat perbedaan makna hidup antara pekerja seks wanita dengan pekerja seks pria.

3. Penelitian ini menggunakan responden yang masih single dan belum berkeluarga. Penelitian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan responden yang telah berkeluarga atau dengan kata lain ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai seorang pelacur high class.


(3)

Daftar Pustaka

Afiatin, T. (1997). Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dalam Penelitian Psikologi. Buletin Psikologi, tahun V, Nomor 1, Hal 36-49.

Alsa, A. (2004). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Barry, Kathleen. (1995). The Prostitution of Sexuality. New York & London : New York University Press.

Bastaman, H. D. (1996) Meraih Hidup Bermakna. Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis. Jakarta : Paramadina.

Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi. Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Bee, H (1996). The Journey of Adulthood. New Jersey : Prentice-Hall Inc

Budiraharjo, (1997) Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta : Kanisus

Bukhori, Baidi. (2006) Kesehatan Mental Mahasiswa Ditinjau Dari Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup. Jurnal Psikologia, No 22 Vol XI.


(4)

Emka, Moamar ( 2006). Jakarta Undercover, Sex in the City. Jakarta : GagasMedia.

Frankl, V. E (1984). Man’s Search for Meaning. New York : Washington Square Press.

Frankl, V. E (2003). Logoterapi : Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Hwang, Shu-ling (2003). Precursor and Pathaways to adolescent prostitution in Taiwan. Journal of Sex Research, Olwen Bedford.

Julian, Joseph (1986). Social Problem. New Jersey : Prentice-Hall

Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim (1989). Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ed 2. Jakarta, Balai Pustaka.

Kartono, Kartini. (1997) Patologi Sosial Jilid 5. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Koentjoro, Phd. (2004) On the Spot : Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta, tinta.

Koeswara, E. (1992). Logotherapy : Psikoterapi Victor Frankl.

Yogyakarta : Kanisus

Lukas, E (1986). Meaningfull Living. A Logotherapy Guide to Health. New York : Grove Press/Institute of Logotherapy Press Book.


(5)

Matthews, Roger (2007) The Prostitution : Strategy and Response.

Community Safety Journal, London South Bank University.

Moleong, Prof. DR. (2005) Metode Penelitian Kualitatif ed Revisi. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Monto, A Martin (2001) Prostitution and Fellatio. Journal of Sex Research

http://findarticles.com/p/articles/mi_m2372/is_2_38/ai_79439404/pg_9

Mudjijono. (2005). Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Naylor, T. H. Wilimon & Naylor, M. R (1996). Pencarian Makna Sebuah Kehidupan.Alih Bahasa : Anton Adiwiyoto. Jakarta: Binarupa Aksara.

Nurdi, Srikawati (2003). Majalah sabili, Fenomenul potret masyarakat

sakit. Ed 22 TH X, 22 Mei 2003.

Padgett, D.K. (1998). Qualitative Methods in Social Work Research Challenges and Rewards. London: Sage Publications.

Pheterson, Gail. (1996). The Prostitution Prism. Amsterdam : Amsterdam University Press.

Phoenix, Joanna. (2000). Prostitute Identities. Men, Money and Violance.

The British Journal of Criminology; Winter 2000; 40, 1; Academic Research Library.


(6)

Pleyto, F Estee. (2006). Aliensi dan Kebermaknaan Hidup Pada Pekerja Seks penelitian pada pekerja seks di panti social Bina Karya Wanita Harapan. Jakarta (Tesis F. Psi UI Depok).

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Sarwono, W Sarlito (2002). Berkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi Ed.3. Jakarta : Bulan Bintang.

Schultz, D (1991) Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta : Kanisus.

Suprayogo, I. & Tobroni. (2001). Metodologi penelitian Sosial-Agama.

Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wagner, Lola&Yatim, Danny I (1997) Seksualitas di Pulau Batam. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Warren, R. (2002). The Purpose Driven Life : Kehidupan yang Digerakkan oleh suatu tujuan. Malang : Gandum Mas.