dalam suatu tabel khusus di dalam bagan itu sendiri. Pada DDC edisi sebelum edisi ke-18, instruksi ‘Add to’ ini menggunakan istilah ‘divide like’.
2.2.4 Keunggulan dan Kelemahan DDC
Sebagai sistem klasifikasi perpustakaan, DDC juga mempunyai keunggulan dan kelemahan. Sulistyo-Basuki 1991: 410 memaparkan
keunggulan dan kelemahan tersebut, antara lain: 2.2.4.1 Keunggulan
1. DDC merupakan sistem yang praktis. DDC merupakan bagan klasifikasi yang paling banyak digunakan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini
membuktikan kehandalannya sebagai sistem klasifikasi. 2 DDC menggunakan lokasi relatif untuk pertama kalinya. Lokasi relatif
adalah sistem penempatan yang memungkinkan perubahan letak selama bahan pustaka tetap berkaitan subjeknya.
3 Indeks relatif menyatukan subjek yang sama dengan aspek berlainan yang tersebar dalam berbagai disiplin ilmu.
4 Notasi murni dengan angka Arab dikenal secara universa, sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan sistem tersebut.
5 Urutan numerik kasat mata memudahkan penjajaran dan penempatan bahan pustaka dirak.
6 Sifat hirarkis notasi DDC mencerminkan hubungan antara nomor kelas. 7 Penggunaan notasi desimal memungkinkan perluasan dan pembagian
subdivisi tanpa batas. 8 Sifat mnemonics notasi membantu pemakai mengingat dan mengenali
nomor kelas. 9 Revisi berkala dengan interval teratur menjamin kemutakhiran bagan
klasifikasi Dewey. 2.2.4.2 Kelemahan
1 Klasifikasi Dewey terlalu berorientasi pada sifat Anglo-Saxon serta
Kristiani. Hal ini terlihat pada notasi 900 Geografi, 800 Kesusastraan, serta bias pada Protestanisme Amerika pada notasi 200 agama.
2 Disiplin ilmu yang berkaitan acapkali terpencar, misalnya 300 Ilmu-ilmu Sosial terpisah dari 900 Geografi dan Sejarah. Pada bidang lain, Kelas 400
Bahasa terpisah dari 800 Kesusastraan. 3 Penempatan beberapa subjek tertentu dipermasalahkan, misalnya Ilmu
Perpustakaan pada kelas karya umum 000-an, Psychology sebagai subdivisi dari Filsafat 100-an dan Olahraga serta hiburan dalam kesenian
700-an.
4 Pada kelas 800, karya literer oleh pengarang yang sama ditebarkan berdasarkan bentuk literer padahal para pandit scholar menginginkannya
terkumpul menjadi satu. 5 Basis sepuluh dalam DDC membatasi kemampuan perluasan sistem notasi
karena dari sepuluh divisi, hanya sembilan yang dapat diperluas untuk memberi tempat subjek yang bertingkat sama dalam hirarki. Bila sebuah
Universitas Sumatera Utara
subjek dibagi dalam 10 subdivisi terpaksa “mengalah” turun lebih rendah menjadi subdivisi-subdivisi.
6 Laju pertumbuhan ilmu pengetahuan tidak sama sehingga membuat struktur ilmu pengetahuan tidak seimbang. Ada kelas yang dianggap statis seperti
Agama dan Filsafat, ada pula yang tumbuh cepat seperti kelas 300 Ilmu-ilmu Sosial, 500 Sains, dan 600 Teknologi. Pada kelas 300, 500, dan 600 ada
kesan terlalu padat.
7 Perluasan sebuah subjek dapat dilakukan dengan sistem desimal, tetapi anehnya angka baru untuk subjek baru tidak dobel disisipkan antara nomor
koordinat yaitu nomor antara divisi, misalnya 610 dan 620 walaupun memang tempat yang layak ada di antara nomor koordinat. DDC melakukan
penambahan subjek baru dengan memasukannya pada subdivisi dari subjek yang telah ada.
8 Karena kemampuan perluasan tidak terbatas berkat sistem desimal, hasilnya ialah angka yang cukup panjang untuk beberapa subjek. Angka yang
panjang menyulitkan penempatan buku di rak. 9 Relokasi dan “phoenix schedule” sering menimbulkan masalah bagi
pustakawan karena setiap kali terjadi relokasi dan “phoenix schedule” maka pustakawan harus melakukan klasifikasi ulang.
2.3 Universal Decimal Classification UDC