5 terhadap oksidasi daripada minyak yang diekstrak dari kedelai Esaki et al.,
1996. Fermentasi tempe merombak protein menjadi asam-asam amino bebas
dan meningkatkan kadar peptida sehingga protein tempe memiliki kuantitas dan kualitas lebih baik serta lebih mudah diserap dibandingkan protein kedelai.
Protein tempe merupakan salah satu alternatif protein hewani yang sangat memadai Nout dan Kiers, 2005. Di samping itu tempe juga menghasilkan
antibakteri yang tidak dimiliki kedelai. Fermentasi tempe juga meningkatkan kualitas dan kuantitas zat-zat gizi kedelai asalnya antara lain vitamin B2,
vitamin B12, niasin, asam pantotenat, asam amino bebas, asam lemak bebas, fosfor, dan zat besi Yeong, et al., 1995.
Metabolisme kapang dan bakteri selama fermentasi meningkatkan kandungan grup vitamin B, terutama riboflavin, niasin, vitamin B6, dan
vitamin B12. Beberapa galur Rhizopus memproduksi betakaroten sehingga tempe yang difermentasi dengan kultur terseleksi dapat menjadi alternatif
solusi di berbagai negara-negara yang penduduknya mengalami kekurangan vitamin A. Tempe juga mengandung ergosterol, prekursor vitamin D2, hasil
aktivitas kapang Rhizopus sp. yang tidak terdapat pada kedelai asalnya Denter et al
., 1998. Tempe dapat menanggulangi anemia gizi besi dan berpotensi mencegah
kanker Astuti, 1996a dan Astuti, 1996b. Brata 1999 juga mengemukakan bahwa tempe mampu mencegah dan menanggulangi hiperkolesterolemia serta
penyakit-penyakit yang terkait seperti penyakit jantung dan atherosclerosis. Konsumsi tempe yang memiliki sifat anti-infeksi dan merupakan sumber
protein dengan kualitas, kuantitas, dan daya cerna yang tinggi juga telah terbukti mampu menanggulangi diare Karmini, 1999.
B. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE
Teknologi pembuatan tempe, seperti halnya teknologi pembuatan makanan tradisional lainnya, berkembang secara turun temurun, dari mulut ke
mulut dan berubah karena pengalaman. Teknologi pembuatan tempe tradisional sangat beragam Hermana dan Karmini, 1996. Selain urutan dalam
6 tahap produksi yang bervariasi, pada perkembangannya terjadi modifikasi
pada setiap tahap produksi tempe. Modifikasi tersebut antara lain waktu dan teknik perendaman, jenis dan cara penambahan ragi tempe, waktu perebusan
dan tambahan proses pemanasan pada tahap lain, jenis bahan pembungkus dan cara membungkus, serta waktu dan cara memeram Hermana dan Karmini,
1996. Perendaman yang dilakukan dalam teknologi pembuatan tempe tradisional ini dilakukan dengan tujuan pengasaman kedelai secara alami.
Pengasaman ini dapat dilakukan pula secara kimiawi dengan perendaman atau perebusan kedelai dalam bahan pengasam Nout dan Kiers, 2005.
Pengelompokan metode pembuatan tempe tradisional dapat dilakukan berdasarkan asal daerah pengembangannya Hermana dan Karmini, 1996
maupun urutan langkah produksi tempe Kuswanto, 2004. Berbagai metode pembuatan tempe tradisional dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan asal
daerah pengembangannya, metode pembuatan tempe dibagi menjadi teknologi pembuatan tempe Malang metode 8, tempe Purwokerto metode 9, dan
tempe Magelang metode 10. Urutan langkah produksi tempe yang seringkali membedakan metode pembuatan tempe tradisional diantaranya adalah
pencucian, perendaman, perebusan, pengupasan, inokulasi, pengemasan, dan jumlah pemanasan yang diterapkan metode 1 – 7.
Pembagian metode pembuatan tempe ini juga dapat dilakukan berdasarkan cara pengupasannya yaitu metode pengupasan basah dan metode
pengupasan kering. Metode pengupasan kering dilakukan untuk produsen dan industri tempe skala menengah dan besar, sedangkan pengrajin tempe skala
kecil umumnya menggunakan metode pengupasan basah Yeong et al., 1999. Kedelai merupakan sumber nutrisi rendah biaya yang kaya protein.
Nilai nutrisi kedelai dibatasi oleh beberapa komponen antinutrisi dan komponen toksik. Perendaman, pengupasan, dan perebusan secara efektif
meningkatkan nilai nutrisi kedelai. Pemanasan basah menghancurkan tripsin inhibitor. Pengupasan menghilangkan kandungan tanin. Fermentasi kedelai
dalam pembuatan tempe mereduksi fitat hingga 30.7. Kombinasi perlakuan perendaman, pengupasan, pemanasan, dan fermentasi oleh R. oligosporus
menghilangkan hampir semua stakiosa, yaitu oligosakarida kedelai yang sering menyebabkan flatulensi Egountley dan Aworh, 2003.
7
Metode 1
1
Metode 2
1
Metode 3
1
Metode 4
1
Metode 5
1
Metode 6
1
Metode 7
1
Metode 8
2 3
Metode 9
3
Metode 10
3
Kupas Rebus Rendam Rebus Rebus Rendam Rendam Rebus Rebus Rebus
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
Cuci Rendam Kupas Rendam Dinginkan
Rebus Rebus Kupas Kupas Kupas ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ Rebus Kupas Cuci Kupas Kupas Cuci
Dinginkan Rendam Rendam
Rendam ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ Tiriskan
Cuci Rebus Cuci Cuci Rebus Kupas Cuci Cuci Cuci
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
Dinginkan Tiriskan Tiriskan Rebus Rendam Dinginkan Cuci
Rebus Tiriskan Direndam
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ Bersama
Inokulasi Inokulasi Dinginkan Tiriskan Rebus Kupas Rendam Tiriskan Inokulasi Inokulum
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
Kemas Kemas Inokulasi Dinginkan
Tiriskan Cuci Rebus Dinginkan Kemas Tiriskan ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ Inkubasi
Inkubasi Kemas Inokulasi Dinginkan
Tiriskan Tiriskan Inokulasi Inkubasi Kemas
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ Inkubasi
Kemas Inokulasi
Inokulasi Dinginkan
Kemas Inkubasi
↓ ↓
↓ ↓
↓ Inkubasi
Kemas Kemas
Inokulasi Inkubasi
↓ ↓
↓ Inkubasi
Inkubasi Kemas
↓ Inkubasi
Keterangan:
1
Kuswanto 2004;
2
Winarno 1989;
3
Hermana dan Karmini 1996 Gambar 1 Beberapa metode pembuatan tempe tradisional
8
C. CITARASA TEMPE