8
C. CITARASA TEMPE
Fermentasi merupakan salah satu proses pembentukan citarasa dalam bahan makanan Heath dan Reineccius, 1994. Kapang Rhizopus oligosporus
yang biasa digunakan dalam pembuatan tempe memiliki kemampuan untuk tumbuh pesat, menghasilkan enzim-enzim proteolitik dan lipolitik yang
mengubah komponen-komponen kedelai dan menghasilkan aroma yang khas Mital dan Garg, 1990.
Salah satu faktor penghambat kedelai sebagai makanan, khususnya untuk bangsa Barat adalah aroma dan rasa kedelai atau “beany flavor and
taste ”. Oleh adanya aktivitas mikroorganisme aroma kedelai diubah menjadi
aroma khas tempe yang lebih dapat diterima Pawiroharsono, 1996. Peranan fermentasi tempe dalam pembentukan citarasanya ditunjukkan dengan
perubahan komponen volatil selama fermentasi tempe baik secara kuantitatif maupun kualitatif Nurjannah, 1999. Enzim yang dihasilkan kapang tempe
memacu perubahan kimia yang terjadi selama fermentasi tempe Varzakas, 1998.
Nurkori 1999 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komponen volatil pada kedelai yang teridentifikasi dengan jumlah cukup tinggi berasal
dari golongan asam karboksilat, senyawa ester alifatik, alkohol alifatik, aldehid alifatik, terpenoid, hidrokarbon, dan beberapa senyawa pyrazin.
Degradasi komponen volatil tersebut sangat berkontribusi terhadap aroma tempe yang dihasilkan Owens et al., 1997 .
Winarno et al. 1986 menyebutkan bahwa tempe segar memiliki penampakan putih bersih dan tidak memiliki aroma kacang-kacangan seperti
pada kedelai. Tempe tidak umum dikonsumsi dalam bentuk mentah melainkan setelah mengalami pengolahan. Menurut Mottram 1994, pengolahan panas
mempengaruhi citarasa bahan pangan melalui reaksi Maillard. Martoyo 2001 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengolahan
tidak menghilangkan deskripsi rasa asam dan pahit tempe. Tempe mentah dan tempe rebus tidak bergaram terdapat dalam kelompok atribut rasa yang sama
dan kelompok atribut aroma yang berbeda. Tempe rebus digambarkan dengan atribut aroma yang sama dengan tempe mentah tetapi dengan intensitas lebih
9 rendah dan aroma rebus lebih dominan Nurkori, 1999. Hasil deskripsi tempe
oleh panelis terlatih dan tidak terlatih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata Martoyo, 2001.
D. PENGASAMAN ALAMI