Modifikasi pengasaman kimiawi dalam pembuatan tempe yang didasarkan pada aspek citarasa

(1)

SKRIPSI

MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA

oleh

MARIA DEWI P. T. GUNAWAN P. F24101125

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Maria Dewi Puspitasari Tirtaningtyas Gunawan Putri. F24101125. Modifikasi Pengasaman Kimiawi dalam Pembuatan Tempe yang Didasarkan pada Aspek Citarasa. Di bawah bimbingan Hanny Wijaya dan Harsi D. Kusumaningrum.

RINGKASAN

Pengasaman merupakan salah satu tahap penting dalam pembuatan tempe yang dilakukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen serta memberikan kondisi optimum pertumbuhan kapang. Pengasaman alami dilakukan dengan perendaman kedelai dalam air selama semalam. Air rendaman kedelai hasil pengasaman alami sering menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Pengasaman alami dapat digantikan dengan pengasaman kimiawi, namun penggunaan asam dalam bahan pangan mempengaruhi citarasa. Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode pengasaman kimiawi untuk menggantikan metode pengasaman tradisional tanpa menurunkan kualitas citarasa tempe yang dihasilkan.

Penelitian ini terdiri atas empat tahap yaitu seleksi awal metode pengasaman kimiawi, modifikasi proses pengasaman, modifikasi jenis pengasam, dan perbaikan citarasa metode pengasaman kimiawi terpilih. Seleksi awal memilih metode pengasaman terbaik dari metode-metode pengasaman yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain. Berdasarkan skor kesukaan dan hasil pengamatan subjektif, metode pengasaman terpilih adalah pengasaman yang dilakukan dengan perebusan kedelai di dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman laktat menunjukkan perlunya pengembangan metode pengasaman untuk menekan atribut rasa asam.

Modifikasi proses pengasaman pada dasarnya merupakan usaha untuk mereduksi residu asam laktat pada akhir pengasaman. Modifikasi proses pengasaman yang terpilih adalah pengasaman yang dilakukan dengan perebusan kedelai di dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit dilanjutkan dengan perebusan kedelai dalam air bersih selama 20 menit. Pengamatan subjektif, uji afektif, dan uji deskriptif menunjukkan bahwa citarasa tempe yang dihasilkan dari pengasaman ini kurang memuaskan sehingga dilakukan pengembangan metode pengasaman lebih lanjut dengan modifikasi jenis pengasam.

Modifikasi jenis pengasam pada dasarnya merupakan substitusi asam laktat dengan bahan pengasam lain yang memiliki rasa lebih netral. Bahan pengasam yang diuji adalah asam fosfat, asam malat, bahan pengasam X serta kombinasi dari asam laktat, asam asetat, dan asam sitrat. Berdasarkan karakteristik visual dan citarasa hasil pengamatan subjektif, tempe yang terpilih pada tahap modifikasi jenis pengasam adalah tempe pengasaman X. Tempe pengasaman X termasuk dalam kelompok tempe dengan skor kesukaan paling tinggi dan karakter citarasa keseluruhan tidak berbeda nyata dengan tempe kontrol.

Atribut langu tempe pengasaman X lebih kuat bila dibandingkan kontrol. Atribut langu timbul pada tahap pengupasan kedelai karena rusaknya jaringan kotiledon dalam kondisi air berlebih. Reduksi atribut langu dilakukan dengan modifikasi pengolahan sebelum pengupasan. Tempe pengolahan X2 memiliki skor kesukaan tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan tempe pengolahan X3 memiliki skor kesukaan lebih rendah dibandingkan kontrol. Berdasarkan uji


(3)

MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARIA DEWI P. T. GUNAWAN P. F24101125

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARIA DEWI P. T. GUNAWAN P. F24101125

Dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1984 di Semarang

Tanggal Lulus: ...

Menyetujui

Bogor, 2006

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc. Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr. Dosen Pembimbing I

Diketahui

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 6 Juli 1984 sebagai putri ketiga dalam tiga bersaudara dari ayah Drs. Ranu Gunawan Uripwibowo, MBA dan ibu Emmy Susanti Widjajanti. Penulis lulus dari SMU Kolese Loyola Semarang pada tahun 2001 dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri IPB untuk jurusan Teknologi Pangan dan Gizi yang kemudian dikenal dengan nama Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Penulis terlibat dalam beberapa kegiatan organisasi selama masa studi di IPB, yaitu Kemaki 2002, NSPC 2004, dan kepanitiaan lainnya. Pada tahun 2003, penulis memenangkan The 2nd National Student Paper Competition IPB sebagai juara II dan pada tahun 2004 memperoleh beasiswa untuk mengikuti program Hokkaido University Short Term Exchange Program selama 11 bulan di kota Sapporo, Hokkaido, Jepang.

Penulis mengikuti praktikum terpadu yang dilaksanakan pada tahun 2004 di PT Fits Mandiri dan program Distant Learning hasil kerjasama SEAFAST IPB dengan Texas A&M University. Sebagai tugas akhir, penulis menyusun skripsi dengan judul “MODIFIKASI PENGASAMAN KIMIAWI DALAM PEMBUATAN TEMPE YANG DIDASARKAN PADA ASPEK CITARASA” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc.


(6)

PRAKATA

Penulis memanjatkan rasa syukur kepada Allah Bapa di surga atas segala rahmat-Nya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di laboratorium ITP, laboratorium SEAFAST, dan pengrajin tempe Warung Jambu selama lima bulan, yaitu dari Mei 2006-September 2006

Penulis menyadari bahwa penelitian ini dapat diselesaikan karena bantuan, kerja sama, dan dukungan banyak pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, MAgr. dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc. selaku pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, pencerahan, dan dukungan terhadap penulis.

2. Ir. Budi Nurtama, MAgr. selaku dosen penguji atas waktu yang diberikan untuk mendiskusikan rancangan percobaan dan pengolahan data.

3. Para pengrajin tempe Sukasari yang telah mengijinkan penulis untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman produksi tempe serta masukan yang telah diberikan termasuk ide yang melandasi penelitian ini.

4. Fierminich dan Dio atas bantuan flavor yang diberikan.

5. Bu Tati atas pertemanan, konsultasi, sikap keibuan yang telah diberikan selama pengujian bersama.

6. CAMO Software Asia Pvt. Ltd. atas ijin penggunaan perangkat lunak The Unscrambler® 8.0.

7. Inggrid, Pretty, Karen, Steisi, Fenni, Shinta, Eva, Randy, Mumus, Herold, Uli, Inda sebagai panelis terlatih dan panelis-panelis tidak terlatih lain yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga dalam begitu banyak uji-uji organoleptik.

8. Pak Rozak, Mas Edi, Pak Mul, Mbak Sri, Mbak Ari, Pak Koko, Pak Wachid, Pak Taufik, Teh Ida, Pak Solikin, Pak Sobirin atas segala bantuan, keramahan, dan canda tawa di laboratorium.


(7)

penelitian. Terutama ooh yang selalu memberikan kata-kata positif dan dukungan serta menjadi tempat mengeluh kala-kala mati lampu saat mengetik. 10. Pustakawan di perpustakaan Fateta dan perpustakaan PAU atas segala layanan

literatur dan fotokopian.

11. Teman-teman kost di Perwira 12, terutama Inge, Felis, Hadi, Kak Sapto, Kak Nona, dan Kak Meis.

12. Herold, Aponk, Vivi, Maya atas kebersamaan kita dalam penelitian dan bimbingan.

13. Inggrid, Pretty, Karen, Steisi, Herold, Tukep, Mel, Fenni atas waktu-waktu yang menyenangkan di L2.

14. Para pendamping yang telah memberikan banyak doa dan dukungan selama penelitian.

15. Seluruh pihak lain yang terlibat dalam memberikan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga skripsi ini menjadi salah satu karya ilmiah yang bermanfaat.

Bogor, September 2006 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEMPE ... 4

B. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE ... 5

C. CITARASA TEMPE ... 8

D. PENGASAMAN ALAMI ... 9

E. LIMBAH INDUSTRI TEMPE ... 12

F. PENGASAMAN KIMIAWI ... 14

G. ANALISIS SENSORI ... 19

1. Uji Diskriminatif ... 20

2. Uji Deskriptif ... 23

3. Uji Afektif ... 25

H. PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS (PCA) ... 26

III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN ... 28

B. METODE PENELITIAN ... 28

1. Seleksi Awal Metode Pengasaman Kimiawi ... 30

2. Modifikasi Proses Pengasaman ... 31

3. Modifikasi Jenis Pengasam ... 33

4. Reduksi Atribut Aroma Langu Tempe Pengasaman X ... 34

C. ANALISIS SENSORI ... 35

1. Uji Afektif ... 35


(9)

3. Uji Deskripsi ... 36

a. Persiapan panelis terlatih ... 36

b. Pengujian produk ... 38

c. Pengolahan data ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE ... 41

B. SELEKSI AWAL METODE PENGASAMAN KIMIAWI ... 44

C. MODIFIKASI PROSES PENGASAMAN ... 47

D. MODIFIKASI JENIS PENGASAM ... 51

E. REDUKSI ATRIBUT AROMA LANGU TEMPE PENGASAMAN X ... 55

F. KARAKTERISTIK CITARASA TEMPE PENGASAMAN KIMIAWI TERPILIH ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 63

B. SARAN ... 64


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi rata-rata air rendaman kedelai... 13 Tabel 2. Bahan pengasam yang digunakan sebagai bahan tambahan

pangan dan karakteristiknya ... 19 Tabel 3. Larutan sampel dalam penentuan rasa dasar ... 37 Tabel 4. Deskriptor yang digunakan dalam pengenalan aroma standar ... 38 Tabel 5. Standar citarasa yang digunakan dalam pengujian akhir QDA .... 39 Tabel 6. Hasil pengamatan subjektif pada tahap seleksi pengasaman

kimiawi ... 45 Tabel 7. Hasil pengamatan subjektif pada tahap modifikasi proses

pengasaman ... 49 Tabel 8. Bahan pengasam yang digunakan untuk modifikasi jenis

pengasam ... 52 Tabel 9. Hasil pengamatan subjektif pada tahap modifikasi jenis

pengasam ... 53 Tabel 10. Hasil pengamatan subjektif pada tahap reduksi aroma langu


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Beberapa metode pembuatan tempe tradisional ... 7

Gambar 2. Bagan alir teknologi pembuatan tempe pengrajin tempe Sukasari ... 29

Gambar 3. Seleksi awal metode pengasaman kimiawi ... 31

Gambar 4. Karakterisasi citarasa tempe laktat 1 ... 31

Gambar 5. Seleksi modifikasi proses pengasaman ... 32

Gambar 6. Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 ... 32

Gambar 7. Seleksi modifikasi jenis pengasam ... 33

Gambar 8. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman X ... 34

Gambar 9. Pengolahan untuk reduksi aroma langu tempe pengasaman X ... 35

Gambar 10. Air rendaman usia 22 jam dan kedelai prefermentasi ... 42

Gambar 11. Pembuangan limbah cair tempe pengrajin tempe Gg. Wahir ... 43

Gambar 12. Spider web tempe laktat 1 dan tempe kontrol ... 47

Gambar 13. Spider web tempe laktat 4, tempe laktat 1, dan tempe kontrol .... 50

Gambar 14. Spider web tempe pengasaman X dan tempe kontrol ... 54

Gambar 15. Spider web tempe pengolahan X2, pengolahan X1, dan tempe kontrol ... 56

Gambar 16. Spider web tempe pengolahan X3, pengolahan X1, dan tempe kontrol ... 57

Gambar 17. Grafik residual variance komponen utama citarasa tempe pengasaman kimiawi terpilih ... 60

Gambar 18. Grafik plot scores PC1 dan PC2 ... 60

Gambar 19. Grafik plot x-loading PC1 dan PC2 ... 61


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh formulir uji kesukaan ... 69

Lampiran 2. Contoh formulir simple different test ... 70

Lampiran 3. Contoh formulir uji penentuan rasa dasar ... 71

Lampiran 4. Contoh formulir uji segitiga rasa... 72

Lampiran 5. Contoh formulir uji deskripsi aroma ... 73

Lampiran 6. Contoh formulir uji segitiga aroma ... 74

Lampiran 7. Contoh formulir pengenalan standar aroma ... 75

Lampiran 8. Contoh formulir pelatihan penskalaan ... 76

Lampiran 9. Contoh formulir pelatihan intensitas rasa ... 77

Lampiran 10. Contoh formulir pelatihan intensitas aroma ... 78

Lampiran 11. Contoh formulir quantitative descriptive analysis rasa ... 79

Lampiran 12. Contoh formulir quantitative descriptive analysis aroma ... 80

Lampiran 13. Contoh formulir quantitative descriptive analysis tekstur ... 81

Lampiran 14. Data uji simple different test pada tahap seleksi pengasaman kimiawi ... 82

Lampiran 15. Analisis data uji simple different test pada tahap seleksi pengasaman kimiawi ... 83

Lampiran 16. Data uji kesukaan pada tahap seleksi pengasaman kimiawi ... 84

Lampiran 17. Analisis data uji kesukaan pada tahap seleksi metode pengasaman kimiawi ... 85

Lampiran 18. Data uji simple different test pada tahap modifikasi proses pengasaman ... 87

Lampiran 19. Analisis data uji simple different test pada tahap modifikasi proses pengasaman ... 88

Lampiran 20. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman ... 89

Lampiran 21. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi proses pengasaman ... 90

Lampiran 22. Data uji simple different test pada tahap modifikasi jenis pengasam ... 92

Lampiran 23. Analisis data uji simple different test pada tahap modifikasi jenis pengasam ... 93

Lampiran 24. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam ... 94 Lampiran 25. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam 95


(13)

Lampiran 26. Data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut aroma langu tempe

pengasaman X ... 97

Lampiran 27. Analisa data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut aroma langu tempe pengasaman X ... 98

Lampiran 28. Data QDA tempe kontrol ... 100

Lampiran 29. Data QDA tempe laktat 1 ... 101

Lampiran 30. Data QDA tempe laktat 4 ... 102

Lampiran 31. Data QDA tempe pengasaman X/pengolahan X1 ... 103

Lampiran 32. Data QDA tempe pengolahan X2 ... 104

Lampiran 33. Data QDA tempe pengolahan X3 ... 105


(14)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tempe didefinisikan sebagai suatu massa hasil fermentasi kapang dengan bahan baku biji-bijian yang terikat bersama oleh miselium kapang tersebut (Nout dan Kiers, 2005). Pada umumnya tempe Indonesia terbuat dari kedelai sehingga orang cenderung menyebut tempe kedelai dengan tempe saja (Yeong, 1999).

Teknologi pembuatan tempe seperti halnya teknologi pembuatan makanan tradisional lainnya berkembang secara turun temurun, dari mulut ke mulut dan berubah karena pengalaman. Meskipun demikian, ada hal-hal dasar yang diterapkan oleh semua pengrajin, salah satunya adalah pentingnya pengasaman kedelai sebelum inokulasi kultur starter (Hermana & Karmini, 1996).

Pengasaman kedelai dalam pembuatan tempe memberikan kontribusi terhadap keamanan dan penerimaan tempe yang dihasilkan. Fungsi utama proses pengasaman adalah mendukung pertumbuhan kapang dan menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen dan pembusuk (Kuswanto, 2004).

Pengasaman kedelai di Indonesia umumnya dilakukan secara alami dengan perendaman kedelai selama semalam pada suhu 28-31oC, yang merupakan suhu ruang di negara tropis, sampai air rendaman berbusa dan berbau asam (Yeong et al., 1999). Proses pengasaman alami merupakan proses biologis yang mengubah komponen dalam kedelai serta mempengaruhi citarasa, daya cerna, nilai gizi dan daya simpan tempe yang dihasilkan (Hermana & Karmini, 1996).

Bakteri asam laktat (BAL) yang mendominasi selama pengasaman alami menghasilkan asam-asam organik yang menghambat pertumbuhan patogen dan mikroba pembusuk pada tempe. Proses perendaman juga menurunkan zat-zat inhibitor pertumbuhan kapang sehingga memberikan kondisi pertumbuhan kapang yang lebih baik (Kuswanto, 2004).


(15)

alami seringkali menyebabkan masalah lingkungan yang cukup serius. Hal ini terutama karena sampai saat ini pembuangannya dilakukan begitu saja oleh sebagian besar pengrajin tempe (Yeong et al., 1999). Limbah cair hasil perendaman bersifat asam (Liu, 1997), mempunyai bau yang asam serta banyak mengandung bahan-bahan organik terlarut dan bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus sp. serta bakteri lain seperti bakteri pembusuk (Yeong et al., 1999).

Survei di empat pengrajin tempe di daerah Bogor (Sukasari, Cimanggu, Caringin, dan Warung Jambu) menunjukkan bahwa limbah cair industri tempe yang berasal dari air rendaman hasil pengasaman alami dicirikan sebagai larutan kental, kuning keruh, berbuih yang memiliki bau asam yang tajam. Karena pengolahan limbah belum diterapkan di keempat pengrajin tempe tersebut, beberapa dari para pengrajin tersebut mengakui bahwa masyarakat sekitar masih mengeluhkan kualitas air yang dicemari oleh limbah cair industri tempe tersebut.

Steinkraus et al. (1965) serta Nout dan Kiers (2005) menyatakan bahwa pengasaman alami dapat digantikan dengan pengasaman kimiawi. Seperti limbah cair hasil perendaman alami, limbah hasil pengasaman kimiawi memiliki keasaman yang tinggi sehingga bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992). Namun demikian limbah hasil pengasaman kimiawi dapat digunakan kembali sebagai bahan pengasam untuk proses pengasaman berikutnya. Selain itu, limbah hasil pengasaman kimiawi tidak mengandung bahan organik dan mikroorganisme sebanyak limbah cair hasil perendaman alami (Yeong et al., 1999) yang menghabiskan oksigen terlarut dalam air. Suplai oksigen yang menurun akan mengganggu keseimbangan ekologi air (Jenie dan Rahayu, 1989).

Pengasaman kimiawi ini pada mulanya dikembangkan untuk pembuatan tempe di negara beriklim sub tropis (Liu, 1997). Di negara beriklim subtropis, karena suhu lingkungan yang terlalu rendah untuk memicu aktivitas fermentasi BAL, pengasaman alami selama perendaman ini tidak terjadi atau berlangsung sangat lambat (Liu, 1997). Pengasaman kimiawi menguntungkan untuk produksi tempe skala industri karena memperpendek waktu pengasaman


(16)

hingga 2-3 jam bila dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu perendaman 20-30 jam (Hermana dan Karmini, 1996).

Steinkraus et al. (1965) mengemukakan tentang proses pengasaman kimiawi yang dilakukan dengan perendaman dalam larutan asam laktat 0.85% selama 2 jam pada suhu 25oC dan 30 menit pada suhu 100oC. Sedangkan Nout dan Kiers (2005) menyatakan bahwa asam asetat hingga konsentrasi 0.25% juga umum digunakan dalam pengasaman kimiawi.

Doores (1983) mengemukakan bahwa penggunaan bahan pengasam dapat mempengaruhi citarasa bahan pangan. Citarasa didefinisikan sebagai persepsi yang diterima oleh alat indera dari produk yang terletak di dalam mulut. Berdasarkan definisi tersebut, yang termasuk di dalamnya adalah aroma, rasa, faktor stimulasi kimia dan mouthfeel (Meilgaard et al., 1999; Civille dan Lyon, 1996).

Bahan pengasam pada umumnya berkontribusi terhadap rasa asam dan getir dari produk. Bahan pengasam dan hubungannya dengan citarasa seringkali membatasi penggunaannya dalam bahan pangan. Penggunaan bahan pengasam harus menyeimbangkan antara kepentingannya sebagai senyawa antimikroba dengan karakteristik citarasa yang dimilikinya pada suatu konsentrasi (Doores, 1990).

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode pengasaman kimiawi yang mampu menggantikan metode pengasaman alami tanpa menurunkan kualitas citarasa tempe yang dihasilkan.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEMPE

Tempe didefinisikan sebagai suatu massa hasil fermentasi kapang dengan bahan baku biji-bijian yang terikat bersama oleh miselium kapang tersebut (Nout dan Kiers, 2005). Tempe juga diklasifikasikan sebagai salah satu contoh produk fermentasi kacang-kacangan dan/atau serealia yang menghasilkan protein nabati bertekstur pengganti daging (Steinkraus, 2002).

Tempe dihasilkan dengan pemasakan dan pengupasan kedelai serta inokulasi beberapa galur Rhizopus yang berbeda (R. oligosporus, R. oryzae,

dan R. stolonifer). Fermentasi tempe merupakan fermentasi kultur padat yang melibatkan kapang, bakteri, dan khamir (Denter et al., 1998). Tempe yang baik dicirikan oleh permukaan yang ditutupi oleh miselium kapang secara merata, kompak dan berwarna putih, antara butiran kacang atau serealia dipenuhi oleh miselium dengan ikatan yang kuat dan merata sehingga bila diiris tempe tersebut tidak hancur (Yeong et al., 1999).

Fermentasi pada tempe merupakan jenis fermentasi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas nilai gizi dan karakter organoleptik (Nout dan Kiers, 2005). Tempe Indonesia pada umumnya terbuat dari kedelai. Tempe yang dibahas pada penulisan selanjutnya adalah tempe yang terbuat dari kacang kedelai.

Brata-Arbai (1996) menyatakan bahwa tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kedelai. Isoflavon kedelai yang dilaporkan dapat mencegah carcinoma payudara manusia dan sel kanker lambung meningkat jumlahnya pada tempe (Wang dan Murphy, 1996). Komponen isoflavon tempe yang lain, asam 3-hidroksiantranilat (HAA), efektif dalam mencegah autooksidasi kedelai dan memiliki aktivitas antioksidatif yang tinggi baik di dalam air, alkohol, maupun membran eritrosit. HAA tidak ditemukan dalam kedelai namun diproduksi selama inkubasi Rhizopus oligosporus. Tempe sangat stabil terhadap ketengikan. Minyak mentah yang diekstrak dengan hexan : alkohol (2:1) dari tempe dilaporkan lebih stabil


(18)

terhadap oksidasi daripada minyak yang diekstrak dari kedelai (Esaki et al., 1996).

Fermentasi tempe merombak protein menjadi asam-asam amino bebas dan meningkatkan kadar peptida sehingga protein tempe memiliki kuantitas dan kualitas lebih baik serta lebih mudah diserap dibandingkan protein kedelai. Protein tempe merupakan salah satu alternatif protein hewani yang sangat memadai (Nout dan Kiers, 2005). Di samping itu tempe juga menghasilkan antibakteri yang tidak dimiliki kedelai. Fermentasi tempe juga meningkatkan kualitas dan kuantitas zat-zat gizi kedelai asalnya antara lain vitamin B2, vitamin B12, niasin, asam pantotenat, asam amino bebas, asam lemak bebas, fosfor, dan zat besi (Yeong, et al., 1995).

Metabolisme kapang dan bakteri selama fermentasi meningkatkan kandungan grup vitamin B, terutama riboflavin, niasin, vitamin B6, dan vitamin B12. Beberapa galur Rhizopus memproduksi betakaroten sehingga tempe yang difermentasi dengan kultur terseleksi dapat menjadi alternatif solusi di berbagai negara-negara yang penduduknya mengalami kekurangan vitamin A. Tempe juga mengandung ergosterol, prekursor vitamin D2, hasil aktivitas kapang Rhizopus sp. yang tidak terdapat pada kedelai asalnya (Denter

et al., 1998).

Tempe dapat menanggulangi anemia gizi besi dan berpotensi mencegah kanker (Astuti, 1996a dan Astuti, 1996b). Brata (1999) juga mengemukakan bahwa tempe mampu mencegah dan menanggulangi hiperkolesterolemia serta penyakit-penyakit yang terkait seperti penyakit jantung dan atherosclerosis. Konsumsi tempe yang memiliki sifat anti-infeksi dan merupakan sumber protein dengan kualitas, kuantitas, dan daya cerna yang tinggi juga telah terbukti mampu menanggulangi diare (Karmini, 1999).

B. TEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE

Teknologi pembuatan tempe, seperti halnya teknologi pembuatan makanan tradisional lainnya, berkembang secara turun temurun, dari mulut ke mulut dan berubah karena pengalaman. Teknologi pembuatan tempe


(19)

tahap produksi yang bervariasi, pada perkembangannya terjadi modifikasi pada setiap tahap produksi tempe. Modifikasi tersebut antara lain waktu dan teknik perendaman, jenis dan cara penambahan ragi tempe, waktu perebusan dan tambahan proses pemanasan pada tahap lain, jenis bahan pembungkus dan cara membungkus, serta waktu dan cara memeram (Hermana dan Karmini, 1996). Perendaman yang dilakukan dalam teknologi pembuatan tempe tradisional ini dilakukan dengan tujuan pengasaman kedelai secara alami. Pengasaman ini dapat dilakukan pula secara kimiawi dengan perendaman atau perebusan kedelai dalam bahan pengasam (Nout dan Kiers, 2005).

Pengelompokan metode pembuatan tempe tradisional dapat dilakukan berdasarkan asal daerah pengembangannya (Hermana dan Karmini, 1996) maupun urutan langkah produksi tempe (Kuswanto, 2004). Berbagai metode pembuatan tempe tradisional dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan asal daerah pengembangannya, metode pembuatan tempe dibagi menjadi teknologi pembuatan tempe Malang (metode 8), tempe Purwokerto (metode 9), dan tempe Magelang (metode 10). Urutan langkah produksi tempe yang seringkali membedakan metode pembuatan tempe tradisional diantaranya adalah pencucian, perendaman, perebusan, pengupasan, inokulasi, pengemasan, dan jumlah pemanasan yang diterapkan (metode 1 – 7).

Pembagian metode pembuatan tempe ini juga dapat dilakukan berdasarkan cara pengupasannya yaitu metode pengupasan basah dan metode pengupasan kering. Metode pengupasan kering dilakukan untuk produsen dan industri tempe skala menengah dan besar, sedangkan pengrajin tempe skala kecil umumnya menggunakan metode pengupasan basah (Yeong et al., 1999).

Kedelai merupakan sumber nutrisi rendah biaya yang kaya protein. Nilai nutrisi kedelai dibatasi oleh beberapa komponen antinutrisi dan komponen toksik. Perendaman, pengupasan, dan perebusan secara efektif meningkatkan nilai nutrisi kedelai. Pemanasan basah menghancurkan tripsin inhibitor. Pengupasan menghilangkan kandungan tanin. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe mereduksi fitat hingga 30.7%. Kombinasi perlakuan perendaman, pengupasan, pemanasan, dan fermentasi oleh R. oligosporus


(20)

Metode 11) Metode 21) Metode 31) Metode 41) Metode 51) Metode 61) Metode 71) Metode 82) 3) Metode 93) Metode 103)

Kupas Rebus Rendam Rebus Rebus Rendam Rendam Rebus Rebus Rebus

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Cuci Rendam Kupas Rendam Dinginkan Rebus Rebus Kupas Kupas Kupas

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Rebus Kupas Cuci Kupas Kupas Cuci Dinginkan Rendam Rendam Rendam

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Tiriskan Cuci Rebus Cuci Cuci Rebus Kupas Cuci Cuci Cuci

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Dinginkan Tiriskan Tiriskan Rebus Rendam Dinginkan Cuci Rebus Tiriskan Direndam

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Bersama

Inokulasi Inokulasi Dinginkan Tiriskan Rebus Kupas Rendam Tiriskan Inokulasi Inokulum

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Kemas Kemas Inokulasi Dinginkan Tiriskan Cuci Rebus Dinginkan Kemas Tiriskan

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Inkubasi Inkubasi Kemas Inokulasi Dinginkan Tiriskan Tiriskan Inokulasi Inkubasi Kemas

↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Inkubasi Kemas Inokulasi Inokulasi Dinginkan Kemas Inkubasi

↓ ↓ ↓ ↓ ↓

Inkubasi Kemas Kemas Inokulasi Inkubasi

↓ ↓ ↓

Inkubasi Inkubasi Kemas

Inkubasi

Keterangan: 1)Kuswanto (2004); 2)Winarno (1989); 3)Hermana dan Karmini (1996)


(21)

C. CITARASA TEMPE

Fermentasi merupakan salah satu proses pembentukan citarasa dalam bahan makanan (Heath dan Reineccius, 1994). Kapang Rhizopus oligosporus

yang biasa digunakan dalam pembuatan tempe memiliki kemampuan untuk tumbuh pesat, menghasilkan enzim-enzim proteolitik dan lipolitik yang mengubah komponen-komponen kedelai dan menghasilkan aroma yang khas (Mital dan Garg, 1990).

Salah satu faktor penghambat kedelai sebagai makanan, khususnya untuk bangsa Barat adalah aroma dan rasa kedelai atau “beany flavor and taste”. Oleh adanya aktivitas mikroorganisme aroma kedelai diubah menjadi aroma khas tempe yang lebih dapat diterima (Pawiroharsono, 1996). Peranan fermentasi tempe dalam pembentukan citarasanya ditunjukkan dengan perubahan komponen volatil selama fermentasi tempe baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Nurjannah, 1999). Enzim yang dihasilkan kapang tempe memacu perubahan kimia yang terjadi selama fermentasi tempe (Varzakas, 1998).

Nurkori (1999) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komponen volatil pada kedelai yang teridentifikasi dengan jumlah cukup tinggi berasal dari golongan asam karboksilat, senyawa ester alifatik, alkohol alifatik, aldehid alifatik, terpenoid, hidrokarbon, dan beberapa senyawa pyrazin. Degradasi komponen volatil tersebut sangat berkontribusi terhadap aroma tempe yang dihasilkan (Owens et al., 1997) .

Winarno et al. (1986) menyebutkan bahwa tempe segar memiliki penampakan putih bersih dan tidak memiliki aroma kacang-kacangan seperti pada kedelai. Tempe tidak umum dikonsumsi dalam bentuk mentah melainkan setelah mengalami pengolahan. Menurut Mottram (1994), pengolahan panas mempengaruhi citarasa bahan pangan melalui reaksi Maillard.

Martoyo (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengolahan tidak menghilangkan deskripsi rasa asam dan pahit tempe. Tempe mentah dan tempe rebus tidak bergaram terdapat dalam kelompok atribut rasa yang sama dan kelompok atribut aroma yang berbeda. Tempe rebus digambarkan dengan


(22)

rendah dan aroma rebus lebih dominan (Nurkori, 1999). Hasil deskripsi tempe oleh panelis terlatih dan tidak terlatih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Martoyo, 2001).

D. PENGASAMAN ALAMI

Meskipun teknologi pembuatan tempe sangat beragam, ada hal-hal dasar yang diterapkan oleh semua pengrajin, salah satunya adalah pengasaman (Hermana dan Karmini, 1996). Di Indonesia, pengasaman biasanya dilakukan secara alami yaitu dengan perendaman kedelai beserta kulitnya, sehingga bakteri yang ada pada kulit kedelai tumbuh dan menghasilkan berbagai asam seperti asam sitrat, asam laktat, dan asam asetat. Yang penting dalam proses pengasaman ini adalah proses penurunan pH sehingga keasaman biji kedelai dan air rendaman mencapai nilai pH 3.5-5 (Yeong et al., 1999).

Proses pembuatan tempe melibatkan tahap perebusan yang mengeliminasi sebagian besar mikroorganisme, namun demikian kemungkinan terjadi rekontaminasi tetap ada. Rhizopus oligosporus dapat menghambat sebagian besar mikroorganisme, namun bakteri patogen tertentu masih dapat hidup apabila digunakan kultur murni R. oligosporus. Bakteri asam laktat (BAL) memberikan kontribusi penting dalam proses fermentasi dan menjamin keamanan tempe yang dihasilkan (Feng et al., 2005).

Selama pengasaman alami berlangsung, terjadi fermentasi asam laktat yang menghambat pertumbuhan patogen dan mikroba pembusuk pada tempe. Pada proses pengasaman alami ini jenis mikroorganisme yang umum ditemukan adalah jenis-jenis bakteri pembentuk asam-asam organik yaitu bakteri dari kelompok Enterobacillus seperti Lactobacillus sp., L. plantarum

dan sebagainya (Pawiroharsono, 1996).

Penelitian Feng et al. (2005) menunjukkan bahwa Lactobacillus plantarum dan BAL yang lain menghambat pertumbuhan bakteri patogen selama fermentasi tempe dan mempunyai efek inhibisi yang lebih tinggi pada kondisi asam. BAL yang mendominasi selama perendaman ini meningkatkan asam-asam organik secara signifikan (Nout dan Kiers, 2005).


(23)

Pengasaman kedelai terjadi secara alami selama proses perendaman pada daerah tropis. Selama periode perendaman pertumbuhan bakteri banyak berperan dan menurunkan pH hingga mencapai nilai pH 4.5-5.3 (Kuswanto, 2004; Yeong et al., 1999). Fungsi utama pengasaman adalah mendukung pertumbuhan bakteri dan menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen dan pembusuk. Namun demikian, proses pengasaman alami yang dilakukan dengan perendaman kedelai dalam air selama semalam juga dapat menurunkan zat-zat inhibitor pertumbuhan kapang (Kuswanto, 2004) dan mempermudah pencernaan atau hidrolisis protein kedelai pada tahap fermentasi berikutnya (Hermana dan Karmini, 1996). Proses fermentasi pada pengasaman alami ini penting dalam menghasilkan tempe dengan flavor, daya cerna, nilai nutrisi/gizi dan keawetan yang baik (Yeong et al., 1999).

Hal lain yang mendasari pentingnya aplikasi pengasaman terhadap kedelai yang akan digunakan dalam pembuatan tempe adalah karena kapang tempe memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi. Deaminasi yang mengikuti hidrolisis melepaskan amonia yang akan meningkatkan nilai pH. Nilai pH lebih dari 7.0 merupakan kondisi di mana amonia bebas terdapat dalam jumlah yang cukup untuk membunuh kapang. Nilai pH awal yang lebih rendah memerlukan waktu fermentasi yang lebih lama sebelum amonia dibebaskan dalam jumlah yang cukup besar untuk membunuh kapang (Steinkraus, 1996).

Fermentasi bakteri selama perendaman mengubah senyawa isoflavon kedelai menjadi antioksidan yang lebih aktif. Proses perendaman yang panjang juga memungkinkan pertumbuhan bakteri-bakteri lain penghasil vitamin seperti vitamin B2, B6, niasin, biotin, asam folat, asam pantotenat dan bahkan vitamin B12 (Hermana dan Karmini, 1996), vitamin dengan struktur molekul sangat kompleks yang umumnya terdapat pada produk-produk pangan hewani dan jarang ditemukan pada produk pangan nabati (Yeong et al., 1999).

Kemampuan BAL memproduksi senyawa-senyawa antimikroba telah lama digunakan dalam pengawetan pangan. Fermentasi oleh BAL mengurangi jumlah karbohidrat yang tersedia dan menghasilkan komponen organik dengan bobot molekul rendah yang menunjukkan aktivitas antimikroba


(24)

(Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Asam laktat, salah satu agen inhibisi yang dihasilkan BAL, merupakan produk akhir utama dari katabolisme karbohidrat. Karena dari proses konversi sumber karbon ini dihasilkan setidaknya 50% asam laktat, maka grup bakteri ini dinamakan bakteri asam laktat (De Vuyst dan Vandamme, 1994).

Fermentasi yang melibatkan BAL dikarakterisasi dengan akumulasi asam-asam organik yang menyebabkan penurunan pH (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Komponen-komponen tersebut pada umumnya berupa asam laktat, asam asetat, dan asam propionat (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Prinsip pengawetan dari fermentasi asam laktat terutama hasil dari aktivitas antimikroba asam-asam organik yang dihasilkan selama metabolisme BAL (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Pengasaman dan efek inhibisi yang lain dari BAL menekan mikroflora alami seperti koliform, Klebsiella pneumoniae, dan khamir sehingga dengan demikian memperpanjang masa simpan tempe (Nout dan Kiers, 2005).

Fermentasi asam laktat pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu homofermentasi dan heterofermentasi. Homofermentasi memproduksi asam laktat sedangkan heterofermentasi memproduksi asam laktat, asam asetat, karbondioksida, dan/atau etanol (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Selama pembuatan tempe pada iklim tropika seperti di Indonesia, heterofermentasi asam laktat berlangsung sangat aktif. Hal ini ditandai dengan terbentuknya buih dari gas CO2 (Yeong et al., 1999). Karbondioksida (CO2) terbentuk sebagai hasil heterofermentasi BAL terhadap heksosa. Gas CO2 memiliki efek antimikroba ganda karena selain memiliki aktivitas antimikroba, gas CO2 juga memberikan kondisi lingkungan anaerobik yang menghambat pertumbuhan mikroba aerofilik.

Dalam kondisi aerobik, BAL mampu membentuk hidrogen peroksida. Apabila dalam media tidak tersedia heme, BAL tidak akan memproduksi katalase untuk menghilangkan hidrogen peroksida dan dengan demikian menyebabkan akumulasi hidrogen peroksida. Efek bakterisidal dari hidrogen peroksida disebabkan oleh efek oksidasi terhadap sel bakteri, protein sel yang


(25)

memiliki grup sulfihidril, dan struktur lipid membran sel (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Menurut Sparringa dan Owens (1999) asam organik utama yang ditemukan setelah tahap perendaman adalah asam laktat yaitu sekitar 80% dari seluruh asam organik yang ditemukan dalam air rendaman. Demikian pula menurut Nout dan Kiers (2005) setelah perendaman selama 24 jam pada suhu 30oC, asam organik utama yang ditemukan dalam air rendaman kedelai hasil pengasaman alami teknologi backsloping adalah asam laktat (2.1% w/v air rendaman), sedangkan asam asetat (0.3% w/ v air rendaman) dan asam sitrat (0.5% w/ v air rendaman) ditemukan pula dalam jumlah lebih sedikit.

Pengasaman alami dengan perendaman kedelai tidak mempengaruhi citarasa tempe yang dihasilkan karena kapang Rhizopus memproduksi amonia dalam jumlah yang cukup untuk menetralisir asam (Yeong et al., 1999). Namun demikian Nout dan Kiers (2005) menyarankan proses pemasakan dalam air (kedelai : air = 1 : 6.5) setelah perendaman untuk menurunkan konsentrasi asam laktat dan asam asetat hingga 45% dan 51%.

E. LIMBAH INDUSTRI TEMPE

Limbah industri pangan dapat menimbulkan masalah karena mengandung sejumlah besar nutrisi sehingga dapat bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Umumnya limbah industri pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat, karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit. Akan tetapi limbah industri pangan dapat berperan sebagai pasokan makanan yang berlimpah bagi mikroorganisme, yang bila berkembang biak dengan cepat akan mereduksi oksigen terlarut dalam air dan menimbulkan bau yang tidak diinginkan (Jenie dan Rahayu, 1989).

Berdasarkan data yang diperoleh oleh Yeong et al. (1999), konsumsi kedelai yang diolah menjadi tempe di Kabupaten Bogor sekitar 13 ton per tahun. Dari jumlah ini limbah padat yang dihasilkan sekitar 9.36 ton per tahun dan limbah cairnya diperkirakan sekitar 130 m2 per tahun.


(26)

Limbah padat berupa kulit kedelai dihasilkan pada tahap pengupasan, sedangkan limbah cair dihasilkan pada tahap perebusan, perendaman (pengasaman alami), dan pencucian (Yeong et al., 1999). Limbah padat industri tempe telah mulai dimanfaatkan sebagai medium fermentasi dan makanan ternak yang baik dan ekonomis karena nilai proteinnya (Murti dan Nasution, 1996). Limbah cair yang merupakan limbah utama industri tempe dibuang secara langsung ke saluran yang ada atau ke sungai, kolam, maupun danau (Yeong et al., 1999).

Limbah cair hasil pengasaman alami berupa air rendaman kedelai mempunyai bau yang asam (Yeong et al., 1999) sehingga tidak jarang limbah produksi tempe ini menjadi sumber protes masyarakat sekitar pabrik (Murti dan Nasution, 1996). Air limbah rendaman kedelai banyak mengandung bahan-bahan organik terlarut seperti gula dan protein (Tabel 1). Air limbah rendaman kedelai mengandung bakteri penghasil asam laktat seperti

Lactobacillus sp. dan bakteri lain seperti bakteri pembusuk yang secara alami terdapat dalam air rendaman (Yeong et al., 1999).

Kandungan bahan organik dan mikroorganisme dalam air limbah rendaman kedelai meningkatkan nilai BOD (Biological Oxygen Demand) dan menghabiskan oksigen terlarut dalam air. Apabila suplai oksigen terus menurun, keseimbangan ekologi air terganggu bahkan dapat menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya (Jenie dan Rahayu, 1989).

Tabel 1. Komposisi Rata-rata Air Rendaman Kedelai*

Komponen Komposisi Rata-rata

Gula pereduksi (ppm) 599.2

Besi (ppm) 1.9

Kalsium (ppm) 97.0

Magnesium (ppm) 23.6

Fosfat (ppm) 14.3

Protein (%) 0.46

* Yeong et al., 1999

Air limbah rendaman kedelai juga bersifat asam (pH 3.5-5.2), karena pada tahap perendaman terjadi proses pengasaman (Liu, 1997). Peningkatan keasaman tersebut selain mengganggu kehidupan hewan air di sekitarnya juga


(27)

bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992).

Konsep perlindungan lingkungan yang dianut oleh industri selama ini adalah penanganan dan pembuangan limbah yang disebut konsep End of Pipe Treatment (EOPT). Konsep EOPT memiliki kelemahan yaitu kebutuhan akan biaya yang tinggi dan teknologi yang canggih sehingga sulit untuk diterapkan di industri kecil dan menengah (Suprihatin, 1999).

Suprihatin (1999) mengemukakan kemungkinan konsep alternatif yang lebih murah dan relatif lebih mudah yang disebut konsep teknologi produksi bersih. Konsep teknologi produksi bersih mencegah pencemaran lingkungan sejak pada sumber asalnya. Menurut Modak (1995), keberhasilan penerapan teknologi produksi bersih dapat dicapai dengan lima jalur yaitu penerapan

house keeping yang baik, modifikasi peralatan, substitusi, bahan baku, modifikasi produk, dan inovasi teknologi. Pengasaman kimiawi dapat digolongkan dalam usaha aplikasi teknologi bersih dengan cara inovasi teknologi sebagai alternatif solusi untuk masalah lingkungan yang ditimbulkan pengasaman alami.

Bahan pengasam juga memiliki keasaman yang tinggi sehingga bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992). Namun demikian limbah hasil pengasaman kimiawi dapat digunakan kembali sebagai bahan pengasam untuk proses pengasaman berikutnya. Selain itu, limbah hasil pengasaman kimiawi tidak mengandung bahan organik dan mikroorganisme sebanyak limbah cair hasil perendaman alami (Yeong et al., 1999). Bahan organik dan mikroorganisme menghabiskan oksigen terlarut dalam air dan meningkatkan BOD sehingga mengganggu kehidupan biota air (Jenie dan Rahayu, 1989).

F. PENGASAMAN KIMIAWI

Keunggulan nutrisi dan sifat fungsional tempe telah menarik perhatian dunia sehingga permintaan akan tempe di dunia internasional juga semakin meningkat. Ketertarikan dunia internasional bersama dengan sifat tempe yang


(28)

sangat mudah rusak mendorong negara industri, seperti Jepang untuk memulai produksi tempe di negaranya sendiri (Kozaki, 2004).

Di negara beriklim subtropis, pengasaman alami selama perendaman tidak selalu terjadi atau sangat lambat (Liu, 1997; Yeong et al., 1999). Pada kondisi suhu yang cukup dingin, fermentasi asam laktat pada umumnya kurang dapat berjalan dengan baik, sehingga untuk mencapai pH yang diinginkan perlu dilakukan pengasaman kimiawi dengan penambahan bahan pengasam (Yeong et al., 1999).

Berkembangnya proses pengasaman kimiawi didasarkan pada tujuan utama pengasaman kedelai dalam proses pembuatan tempe yaitu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk dan memberikan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan kapang (Kuswanto, 2004). Hal ini dapat dicapai dengan menambahkan bahan pengasam yang merupakan bahan tambahan pangan (BTP) yang diperbolehkan oleh peraturan (Doores, 1983).

Efek antimikroba asam tidak hanya diperoleh dari penurunan pH (Doores, 1990). Aktivitas antimikroba dari asam organik ditentukan oleh nilai pH, konstanta disosiasi (pKa) dan konsentrasi asam (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Penggunaan asidulan secara efektif tergantung pKa atau pH dimana 50% dari total asam terdisosiasi. Pada umumnya, asam-asam organik memiliki pKa 3-5 (Doores, 1983). Oleh karena itu asam organik umumnya memiliki aktivitas antimikroba yang lebih kuat pada pH rendah daripada pH netral (Ouwehand dan Vesterlund, 2004).

Asam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu asam lipofilik dan asam karboksilat. Asam lipofilik seperti asam asetat dan turunannya, asam propionat, asam laktat, dan asam kaprilat merupakan komponen yang relatif nonpolar. Komponen ini umumnya ditambahkan ke dalam bahan pangan karena properti antimikroba yang dimilikinya. Asam karboksilat lebih polar daripada asam lipofilik dan umumnya digunakan karena efek secondary (rasa, pengkelat ion logam, reaksi sinergis dengan antioksidan, mengkontrol pembentukan gel pektin, mencegah pencoklatan) daripada efek antimikrobanya (Doores, 1983).


(29)

Efek antimikroba dari asam sangat bergantung pada pH dan pada bentuk tidak terdisosiasi asam tersebut (Doores, 1990). Bagian yang tidak terdisosiasi dari suatu molekul dipercaya merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap efek antimikroba (Doores, 1983; Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Bentuk terdisosiasi asam lemah, tidak dapat menembus dinding sel mikroorganisme. Bentuk tidak terdisosiasi dari asam lemah dapat menembus bagian dalam sel dengan cepat karena kelarutannya dalam lemak sehingga mampu berdifusi melewati plasma membran dan berdisosiasi di dalam sel (Doores, 1990).

Asam lipofilik dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel mikroba, dan pada pH intaseluler yang lebih tinggi, terdisosiasi memproduksi ion hidrogen, dan menggangu fungsi metabolisme esensial seperti translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif, serta menurunkan pH intraseluler mikroba (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Oleh karena itu penggunaan asam yang bertujuan untuk pengawetan lebih baik digunakan pada nilai pH yang mendekati pKa (Doores, 1983). Pada suatu nilai pH, asam yang memiliki nilai pKa tertinggi, akan memiliki bentuk tidak terdisosiasi lebih banyak dan dengan demikian memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi (De Vuyst dan Vandamme, 1994).

Selama ini asam laktat merupakan pilihan utama sebagai bahan pengasam dalam pembuatan tempe. Jika tidak mungkin memperoleh asam laktat, asam cuka dapat digunakan (Hermana dan Karmini, 1996). Jumlah asam yang ditambahkan beragam tergantung suhu dan nilai pH akhir kedelai prefermentasi (Yeong et al., 1999).

Penggunaan bahan pengasam menambah biaya produksi namun mempersingkat waktu produksi tempe. Pengasaman kimiawi menguntungkan untuk produksi tempe skala industri karena hanya membutuhkan waktu 2-3 jam bila dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu 20-30 jam (Hermana dan Karmini, 1996).

Steinkraus (1965) mengemukakan bahwa di negara-negara subtropis pengasaman ini dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan asam laktat 0.85% selama 2 jam pada suhu 25oC dan 30 menit pada suhu 100oC.


(30)

Asam laktat merupakan inhibitor bakteri pembentuk spora pada pH 5.0. Asam laktat tidak efektif terhadap khamir dan kapang sehingga penggunaannya untuk mengasamkan kedelai tidak menggangu fermentasi kapang dalam pembuatan tempe (Doores, 1983). Selain menurunkan pH, asam laktat meningkatkan permeabilitas membran dan dengan demikian memicu aktivitas komponen antimikroba lain (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Berdasarkan status regulasinya, asam laktat dinyatakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP) Generally Recognized as Safe (GRAS) untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1061). Nilai asupan harian yang dapat diterima untuk asam laktat tidak dibatasi (Doores, 1983).

Nout danKiers (2005) menyatakan bahwa perendaman kimiawi dengan asam asetat (< 0.25%) juga umum digunakan untuk menggantikan metode pengasaman alami, meskipun menurut De Reu, Rombouts, dan Nout (1995) asam asetat menunjukkan efek inhibisi terhadap pertumbuhan kapang. Asam asetat merupakan antimikroba spektrum luas dengan properti bakterisidal dan mikosidal. Aksi antimikroba asam asetat dicapai pada pH yang lebih tinggi dibandingkan HCl (Doores, 1983).

Penggunaan utama asam asetat adalah untuk membatasi pertumbuhan bakteri dan khamir daripada kapang, namun pada pH 3.5 mempunyai aktivitas antifungal yang biasa digunakan untuk mencegah pertumbuhan kapang roti (Doores, 1983). Dalam kondisi dimana asam laktat dan asam asetat terdapat bersamaan, asam laktat berperanan menurunkan pH sedangkan asam asetat dalam bentuk tidak terdisosiasinya berperan sebagai antimikroba aktual (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Karakteristik rasa asam asetat seringkali membatasi penggunaannya (Doores, 1990). Berdasarkan status regulasinya, asam asetat dinyatakan sebagai BTP GRAS untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1005). Nilai asupan harian yang dapat diterima untuk asam asetat tidak dibatasi (Doores, 1983)

Asam sitrat merupakan salah satu asam yang ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada air rendaman kedelai hasil pengasaman alami (Nout dan Kiers, 2005). Asam sitrat merupakan komponen asam utama pada kebanyakan sayur-sayuran dan buah-buahan. Asam sitrat merupakan senyawa yang terjadi


(31)

secara alami sehingga nilai asupan harian yang dapat diterima tidak dibatasi. Asam sitrat dinyatakan sebagai BTP GRAS untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1033). Asam sitrat memiliki efek inhibisi paling baik pada salmonellae sehingga umum digunakan dalam pengawetan daging (Doores, 1983).

Asam malat merupakan asam nonhigroskopik dengan rasa asam yang terasa secara perlahan-lahan namun persisten, tidak menyengat seperti kebanyakan bahan pengasam lain. Asam malat dinyatakan sebagai BTP GRAS untuk penggunaan umum dan lain-lain (21 CFR 182.1069). Efek antimikroba asam malat terhadap khamir dan bakteri diperkirakan merupakan efek langsung dari manipulasi pH yang ditimbulkannya. Asam malat umumnya digunakan sebagai flavoring (Doores, 1983).

Asam anorganik seperti asam fosfat dapat pula digunakan sebagai bahan pengasam. Asam fosfat memiliki rasa datar, berbeda dengan rasa tart yang tajam kebanyakan asam organik. Asam fosfat dapat menyebabkan iritasi kulit sehingga memerlukan penanganan yang hati-hati (Reineccius, 1994).

Bahan pengasam X merupakan senyawa anorganik yang juga umum digunakan sebagai BTP dan memiliki status regulasi GRAS. Keamanan penggunaan bahan pengasam X telah terbukti secara empiris pada produk pangan lain. Pengasam X ini ditemukan dalam tubuh manusia dan dapat diperoleh dari fermentasi bahan pangan.

Penggunaan utama dari bahan pengasam adalah sebagai antimikroba untuk mencapai keamanan pangan (Doores, 1990). Bahan pengasam yang umum digunakan sebagai BTP dapat dilihat pada Tabel 2. Pemilihan bahan pengasam yang digunakan selain bergantung pada efek antimikrobanya juga harus mempertimbangkan status regulasi dan efeknya terhadap citarasa bahan pangan (Doores, 1983).

Bahan pengasam berkontribusi terhadap rasa asam dan getir dari produk (Doores, 1983). Tingkat keasaman yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengawetan dapat mempengaruhi citarasa bahan pangan. Bahan pengasamdan hubungannya dengan citarasa ini seringkali menjadi batasan penggunaan asam dalam bahan pangan (Doores, 1990).


(32)

Tabel 2. Bahan pengasam yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan dan karakteristiknya*

No Nama Asam Struktur pKa Bentuk fisik Kelarutan (g/100ml air) 1 Asam asetat C2H4O2 4.75 Cairan bening jernih Sangat larut 2 Asam adipat C6H10O4 4.43

5.41

Bubuk kristal 1.9g (20oC) 83g (90oC) 3 Asam askorbat C6H8O6 4.17

11.57

4 Asam kaprilat C8H16O2 4.89 Cairan bening jernih 5 Asam sitrat C6H8O7 3.14

4.77 6.39

Bubuk kristal 181g (25oC) 208g (25oC) 6 Asam fumarat C4H4O4 3.03

4.44

Granula atau bubuk kristal

0.5g (20oC) 9.8g (100oC) 7 Asam laktat C3H6O3 3.08 Cairan atau bubuk

kering

Sangat larut

8 Asam malat C4H6O5 3.40 5.11

Bubuk kristal 62g (25oC)

9 Asam fosfat 2.12

7.21 12.67

Cair Sangat larut

dalam air panas 10 Asam tartarat C4H6O6 2.98

4.34

Bubuk kristal 147g (25oC) 11 Asam propionat C3H6O2 4.87 Oily liquid Sangat larut

12 Asam sorbat Kristal putih Sedikit larut

13 Asam suksinat C4H6O4 4.16 5.61 *Doores, 1983; Doores, 1990; Reineccius, 1994

G. ANALISIS SENSORI

Analisis sensori didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang digunakan untuk memunculkan, mengukur, menganalisis, dan menginterpretasi persepsi terhadap produk yang diterima oleh indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba. Atribut sensori yang dianalisis dengan penginderaan ini antara lain adalah penampilan, aroma, tekstur dan konsistensi, citarasa, serta suara (Meilgaard et al., 1999).

Citarasa didefinisikan sebagai persepsi yang diterima oleh alat indera dari produk yang terletak di dalam mulut. Berdasarkan definisi tersebut, yang termasuk di dalamnya adalah aroma, rasa, faktor stimulasi kimia dan


(33)

karakteristik sensori produk pangan hanya dapat diukur dengan baik, lengkap, dan berarti bila menggunakan manusia sebagai subjek pengukuran. Dalam bahasa analisis sensori, subjek manusia biasa disebut panelis (Poste et al., 1991).

Panelis analisis sensori ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu kelompok expert yang sangat terlatih, panelis terlatih skala laboratorium, panelis penerimaan skala laboratorium, dan panelis konsumen skala besar.

Expert yang sangat terlatih (1-3 orang) digunakan untuk evaluasi kualitas yang membutuhkan derajat ketepatan yang tinggi seperti anggur, teh, dan kopi. Panelis terlatih (8-20 orang) digunakan untuk evaluasi perubahan karakteristik produk tanpa instrumentasi yang lengkap. Analisis sensori oleh panelis penerimaan skala laboratorium (25-50 orang) digunakan untuk prediksi reaksi konsumen terhadap produk. Panelis konsumen skala besar (lebih dari 100 orang) digunakan menetukan reaksi konsumen terhadap produk (Poste et al.,1991 dan Meilgaard et al., 1999).

Berbagai metode analisis sensori telah dikembangkan dengan keuntungan dan kelemahan masing-masing. Situasi yang berbeda membutuhkan metode berbeda. Tidak ada satu metode yang dapat selalu digunakan secara umum. Sebelum digunakan, penguji harus menentukan tujuan dari suatu pengujian dan informasi yang ingin dilihat dari pengujian tersebut (Poste et al., 1991).

Pada dasarnya, jenis analisis sensori terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu uji diskriminatif atau uji beda, uji deskriptif, dan uji afektif (Poste

et al., 1991; Meilgaard et al. 1999). Uji diskriminatif digunakan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan diantara sampel-sampel yang diujikan. Uji deskriptif digunakan untuk menentukan karakter dan intensitas perbedaan tersebut. Uji afektif didasarkan pada evaluasi preferensi atau penerimaan untuk menentukan preferensi relatif (Poste et al., 1991).

1. Uji Diskriminatif


(34)

1991). Secara umum uji diskriminatif terbagi menjadi uji diskriminatif keseluruhan (overall difference test) dan uji diskriminatif atribut tertentu (attribute difference test).

Uji diskriminatif keseluruhan seperti uji segitiga dan uji duo-trio, dirancang untuk menunjukkan apakah panelis dapat mendeteksi perbedaan yang terdapat pada sampel. Uji diskriminatif keseluruhan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya uji segitiga, uji duo-trio, uji two out of five, simple different test, uji A bukan A, uji different from control

(Poste et al., 1991, Meilgaard et al., 1999).

Kelima metode pertama yang disebutkan memiliki tujuan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan karakteristik sensori akibat perubahan bahan baku, pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan serta untuk menentukan apakah terdapat perbedaan karakteristik sensori secara keseluruhan dimana tidak ada atribut spesifik yang diketahui telah berubah (Meilgaard et al., 1999).

Uji different from control dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan diantara satu atau beberapa sampel dengan kontrol. Namun demikian uji ini juga dapat digunakan untuk memperkirakan seberapa jauh perbedaan tersebut. Uji segitiga dan uji two out of five dapat dilakukan untuk menyeleksi dan melatih kemampuan panelis dalam memilah perbedaan yang ada dalam sampel. Simple different test merupakan metode yang paling sederhana dan paling sering digunakan untuk menentukan keberadaan perbedaan karakteristik sensori di antara pasangan sampel yang disajikan (Meilgaard et al., 1999).

Uji diskriminatif atribut tertentu meminta panelis untuk berkonsentrasi pada satu atau beberapa atribut tertentu saja sementara atribut sensori yang lain tidak dihiraukan. Yang perlu diperhatikan dalam pengujian ini adalah tidak adanya perbedaan suatu atribut diantara sampel-sampel yang diujikan tidak menunjukkan bahwa diantara sampel-sampel tersebut juga tidak ada perbedaan atribut sensori secara keseluruhan. Metode pengujian dalam uji ini terbagi menjadi dua berdasarkan penyajian sampel


(35)

yang diuji yaitu paired comparison design dan multisample difference test

(Meilgaard et al., 1999).

Metode pengujian yang termasuk paired comparison design

diantaranya adalah directional difference test dan pairwise ranking test.

Directional difference test merupakan bentuk lain simple different test dan uji preferensi pasangan untuk analisis perbedaan atribut tertentu suatu produk pangan. Pairwise ranking test merupakan metode yang membandingkan atribut tertentu dari semua pasangan sampel yang mungkin dengan menggunakan panelis tidak terlatih (Meilgaard et al., 1999).

Multisample difference test umumnya dilakukan dengan membandingkan 3-6 sampel yang disajikan sekaligus. Namun demikian, pengujian dengan jumlah sampel yang terlalu banyak bila disajikan sekaligus dapat menggunakan rancangan pengujian balanced incomplete block. Pengujian ini merupakan rancangan penyajian dimana seorang panelis hanya menerima sebagian sampel yang diujikan, namun semua sampel mendapatkan jumlah evaluasi panelis yang sama (Meilgaard et al., 1999).

Metode pengukuran respon dalam uji diskriminatif multisample difference test yang umum digunakan adalah ranking atau rating. Ranking

pada dasarnya merupakan pengembangan dari pengujian paired comparison. Panelis menerima tiga sampel atau lebih kemudian diminta untuk mengurutkan sampel berdasarkan intensitas atribut sensori tertentu. Metode ini umumnya digunakan bukan untuk menguji semua sampel melainkan untuk memilih satu atau dua sampel dari suatu kelompok sampel. Data uji ranking tidak menunjukkan besar perbedaan diantara sampel-sampel yang diuji (Poste et al., 1991).

Rating merupakan salah satu bentuk dalam teknik penskalaan (scaling). Penskalaan adalah pengukuran respon evaluasi sensori yang menggunakan angka atau kata-kata untuk menunjukkan intensitas atau reaksi terhadap atribut sensori yang diterima oleh panelis. Respon dalam


(36)

teknik penskalaan dikelompokkan menjadi skala kategorial (rating), skala garis (skoring), dan skala magnitude estimation (ratio scaling).

Rating merupakan metode yang menggunakan kata-kata untuk menunjukkan intensitas atribut sampel. Skoring meminta panelis untuk memberikan tanda pada suatu garis horisontal sehubungan dengan intenstitas atribut yang dirasakan. Ratio scaling merupakan teknik penskalaan dimana panelis diminta memberikan nilai secara bebas pada suatu produk (Meilgaard, 1998).

2. Uji Deskriptif

Analisis sensori deskriptif merupakan identifikasi, deskripsi, dan kuantifikasi parameter sensori suatu produk dengan instrumen manusia yang telah mengalami pelatihan (Einstein, 1991). Hasil aplikasi uji deskripsi dapat memetakan atribut citarasa produk yang diuji (Meilgaard et al., 1999).

Uji deskriptif hanya menggunakan lima sampai sepuluh panelis untuk produk dengan variasi tinggi seperti produk pertanian. Panelis dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pula untuk uji deskriptif produk yang diproduksi secara massal di mana perbedaan yang sangat sedikit sangat penting (Meilgaard et al., 1999).

Panelis merupakan instrumen analisis dalam analisis sensori. Kualitas dari instrumen ini bergantung pada objektivitas, presisi dan kemampuan repetisi dari panelis itu sendiri. Sebelum seorang panelis dapat digunakan, kemampuan seorang panelis untuk membuat penilaian harus ditentukan terlebih dahulu. Panelis untuk pengujian deskripsi harus terlebih dahulu diseleksi dan dilatih (Poste et al., 1991).

Menurut Poste et al. (1991) seleksi panelis dilakukan berdasarkan karakter personal dan kemampuan panelis. Kemampuan panelis yang dimaksud antara lain status kesehatan, minat, ketersediaan waktu, kemampuan menepati waktu, dan kemampuan verbal. Pelatihan panelis secara umum dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas dan kemampuan


(37)

mengingat panelis untuk memberikan pengukuran sensori yang tepat, konsisten, dan terstandarisasi.

Panelis uji deskriptif terseleksi harus melalui pelatihan sehingga memiliki kemampuan untuk mendeteksi perbedaan karakteristik atau intensitas, kemampuan menggambarkan karakteristik secara verbal dan skala intensitasnya, serta kemampuan untuk mengingat reference (Einstein, 1995).

Uji deskriptif dapat digunakan untuk mendefinisikan properti sensori dari produk target dalam pengembangan produk baru atau kontrol untuk aplikasi quality assurance, quality control, atau riset dan pengembangan. Uji deskriptif dapat pula digunakan untuk melacak perubahan sensori selama penyimpanan. Sebelum dilakukan uji konsumen, deskriptif dapat membantu menseleksi atribut sensori yang perlu dimasukkan dalam kuesioner kepada konsumen dan membantu menjelaskan hasil yang diperoleh dari uji konsumen tersebut (Meilgaard et al., 1999).

Uji deskriptif yang umum digunakan antara lain Flavor Profile Method, Texture Profile Method, Quantitative Descriptive Analysis (QDA)® Method, SpectrumTM Descriptive Analysis Method, Time-Intensity Descriptive Analysis, Free Choice Profiling (Meilgaard et al., 1999).

Flavor Profile Method merupakan analisis karakteristik aroma dan flavor, intensitas, penampilan, dan aftertaste suatu produk hasil penilaian 4-6 panelis terlatih. Texture Profile Method dikembangkan untuk menilai atribut spesifik deskriptor produk-produk seperti pangan semi-solid, minuman, dan produk-produk yang diperuntukkan untuk kulit, serta bahan kain dan kertas. SpectrumTM Descriptive Analysis Method pada prinsipnya meminta panelis untuk memberikan skor terhadap intensitas stimulasi yang diterima bila dibandingkan referensi yang memiliki skala intensitas absolut dan telah dipelajari sebelumnya. Free Choice Profiling merupakan teknik baru yang mengijinkan panelis untuk menciptakan dan menggunakan istilah mereka sendiri sebanyak yang dibutuhkan untuk


(38)

mendeskripsikan karakteristik sensori sampel yang diujikan (Meilgaard et al., 1999).

Time-Intensity Descriptive Analysis adalah analisis deskripsi produk-produk tertentu dimana persepsi yang diterima dapat bervariasi seiring dengan periode waktu penginderaan. Contoh penggunaan metode ini adalah untuk mengukur intensitas warna lipstik setelah beberapa jam penggunaan, efek pahit dari bir, atau aftertaste yang ditinggalkan pemanis (Meilgaard et al., 1999).

Metode QDA menggambarkan karakteristik sensori secara matematis (Zook and Pearce, 1988) sehingga analisis statistik pada data yang diperoleh dapat diinterpretasikan lebih baik. Data QDA diolah secara sistematik dan hasilnya harus dapat ditampilkan dalam bentuk yang mudah dimengerti (Zook and Pearce, 1988). Hasil QDA umumnya dilaporkan dalam bentuk spiderweb dengan nilai nol pada titik pusat untuk setiap atribut (Meilgaard et al., 1999).

3. Uji Afektif

Uji afektif digunakan untuk mengevaluasi kecenderungan subjektif suatu produk berdasarkan properti sensorinya. Hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Uji afektif umumnya dilakukan menggunakan responden tidak terlatih dalam jumlah besar untuk mengetahui indikasi daya tarik suatu produk dibandingkan produk lainnya (Poste et al., 1991).

Secara umum terdapat dua macam uji afektif yaitu uji afektif kualitatif dan uji afektif kuantitatif. Metode uji afektif kualitatif terdiri dari

focus group, focus panel, dan wawancara personal. Sedangkan metode uji afektif kuantitatif terdiri dari uji kesukaan atau uji hedonik dan uji penerimaan (Meilgaard, 1998).

Uji afektif kualitatif mengukur respon subjektif panelis terhadap properti sensori suatu produk dengan menanyakan perasaan mereka terhadap sampel dalam wawancara atau suatu kelompok kecil. Salah satu


(39)

praduga terhadap konsep atau prototipe suatu produk (Meilgaard et al., 1999).

Kata hedonik didefinisikan sebagai “terkait dengan kesenangan”. Uji kesukaan yang disebut juga uji preferensi ini merupakan metode pengujian yang paling umum dilakukan untuk mengukur kesukaan suatu sampel bila dibandingkan sampel lain (Poste et al., 1991). Sedangkan uji penerimaan merupakan metode uji afektif kuantitatif untuk menentukan status kesukaan suatu produk yaitu sejauh mana produk tersebut disukai oleh konsumen.

H. PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS (PCA)

PCA adalah suatu analisis peubah jamak yang dapat mengurangi data yang komplek menjadi data yang mudah diinterpretasikan. Prinsipnya adalah transformasi berbagai dimensi ke dalam sistem koordinat dengan dimensi yang lebih kecil (Esbensen et al., 1994). Masing-masing dimensi baru harus memaksimalkan jumlah keragaman yang dijelaskan (Carpenter et al., 2000).

Tujuan PCA adalah menentukan komponen-komponen utama untuk menerangkan keragaman data semaksimal mungkin. Komponen utama yang diperoleh diurutkan berdasarkan penurunan keragamannya. Komponen utama pertama (PC1) adalah komponen utama dengan keragaman terbesar yang paling informatif dan paling berpengaruh. Bila informasi dari variabel yang

di-input dianalisis kembali akan muncul komponen utama pelengkap dengan keragaman kedua terbesar setelah PC1, disebut PC2, dan demikian seterusnya (Afifi dan Clark, 1996).

Tahapan dasar dalam analisis ini adalah mentransformasikan variabel asli yang kurang berhubungan ke dalam variabel baru yang disebut komponen utama. Variabel baru tersebut merupakan kombinasi linear dari variabel aslinya. Setiap komponen dalam model PCA mempunyai tiga set karakteristik atribut yaitu keragaman, loadings, dan skor (Esbensen et al., 1994).

Keragaman memberikan informasi-informasi untuk digunakan pada komponen utama yang dapt dinyatakan dengan residual variance dan


(40)

sedangkan scores menggambarkan sampel. Gabungan plot loadings dan

scores merupakan hasil analisis berupa grafik biplot yang menggambarkan hubungan antara variabel dan sampel secara keseluruhan (Esbensen et al., 1994).


(41)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah adalah kacang kedelai putih Finna, laru LIPI, asam laktat, asam asetat, asam sitrat, asam fosfat, asam malat, bahan pengasam X, dan bahan pengemas plastik PP. Bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian tempe yang dihasilkan adalah air, akuades, propilenglikol (PG), glukosa, NaCl, kafein, MSG, flavor meaty, hexanal, asam oktanoat.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci, baskom, tampah, saringan, ember, alat uji organoleptik, gelas ukur, toples kaca, pipet Mohr, pipet tetes, gelas piala, sealer, dan pHmeter.

B. METODE PENELITIAN

Secara umum penelitian ini terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama merupakan seleksi metode pengasaman kimiawi dari metode-metode terdahulu yang bervariasi dalam hal perlakuan (perebusan 30 menit atau perendaman 2 jam dalam bahan pengasam) maupun jenis asam (asam asetat dan asam laktat). Metode pengasaman kimiawi terpilih dalam seleksi awal, yaitu perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit (pengasaman laktat 1), dikarakterisasi citarasanya untuk menentukan arah modifikasi yang akan dilakukan.

Penelitian tahap kedua merupakan modifikasi proses pengasaman dari pengasaman laktat 1. Metode pengasaman yang diuji pada tahap ini adalah pengasaman laktat 1 dengan pengurangan konsentrasi asam laktat menjadi 0.3% (pengasaman laktat 3) dan pengasaman laktat 1 yang diikuti perebusan dalam air bersih selama 20 menit (pengasaman laktat 4). Karakterisasi citarasa dilakukan terhadap metode pengasaman kimiawi terpilih dalam modifikasi proses pengasaman, yaitu pengasaman laktat 4. Karakterisasi citarasa tempe terpilih dalam modifikasi proses pengasaman ini belum memuaskan sehingga


(42)

dilakukan modifikasi jenis pengasam yang digunakan pada penelitian tahap berikutnya.

Tahap ketiga merupakan seleksi metode pengasaman kimiawi yang telah dimodifikasi bahan pengasamnya (asam fosfat, asam malat, bahan pengasam X, serta kombinasi asam laktat, asam asetat, dan asam sitrat). Karakterisasi citarasa dilakukan terhadap metode pengasaman kimiawi terpilih dalam modifikasi jenis pengasam, yaitu pengasaman X. Tahap keempat hanya merupakan finishing atau perbaikan proses pengolahan kedelai sebelum pengupasan dalam pembuatan tempe menggunakan pengasaman X supaya produk tempenya memiliki citarasa yang lebih mendekati kontrol.

Teknologi pembuatan tempe tradisional yang menjadi basis metode pembuatan tempe secara umum pada penelitian ini adalah teknologi pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe Sukasari, Bogor. Tempe yang dihasilkan dari teknologi ini disebut tempe Bogor atau tempe Magelang. Secara umum teknologi pembuatan tempe ini digambarkan dalam bagan alir Gambar 2.


(43)

Proses pencucian dilakukan dengan merendam kedelai kering dalam wadah yang berisi air bersih kemudian mengaduknya dengan tangan berulang-ulang sampai air pencuci menjadi bening. Pemanasan awal dilakukan dengan memanaskan kedelai dalam air berlebih sampai mendidih, kemudian tetap dipanaskan dengan api kecil selama 10 menit, dan dibiarkan dalam air rebusan tersebut selama 1 jam.

Tahap pengasaman kedelai dilakukan hingga keasaman biji kedelai dan air rendaman turun mencapai nilai pH antara 3.5 sampai 5. Pengasaman yang dilakukan di pengrajin Sukasari dilakukan secara alami teknologi backsloping

yaitu perendaman kedelai dalam air yang ditambah dengan 5% air asam hasil pengasaman alami sebelumnya selama semalam (Kuswanto, 2004). Tempe yang diproduksi dengan pengasaman alami backsloping digunakan sebagai tempe kontrol dalam penelitian ini. Metode pengasaman yang diuji yaitu pengasaman kimiawi dilakukan dengan perebusan atau perendaman kedelai dalam bahan pengasam..

Pengupasan dilakukan sekaligus dengan pencucian kedelai prefermentasi. Setiap 1 kg kedelai ditambahkan 1 sendok teh laru LIPI. Kedelai yang telah diinokulasi dengan kultur starter kemudian didiamkan selama 40-44 jam. Masa inkubasi kedelai ini merupakan tahap fermentasi kedelai.

1. Seleksi Awal Metode Pengasaman Kimiawi

Seleksi awal metode pengasaman kimiawi ini dilakukan dengan membandingkan tempe kontrol dengan tempe dari metode-metode pengasaman kimiawi yang sudah dilakukan sebelumnya yaitu perendaman kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 2 jam dan perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85%, selama 30 menit (Steinkraus, et al., 1965) serta perendaman kedelai dalam asam asetat 0.25% selama 2 jam dan perebusan kedelai dalam asetat 0.25%, selama 30 menit (Nout dan Kiers, 2005).

Pengamatan subjektif dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Metode analisis yang digunakan untuk seleksi adalah uji


(44)

metode uji kesukaan. Seleksi awal metode pengasaman kimiawi dapat dilihat pada Gambar 3. Metode pengasaman kimiawi yang terpilih untuk dimodifikasi pada seleksi awal adalah pengasaman laktat 1.

Gambar 3. Seleksi awal metode pengasaman kimiawi

Karakterisasi citarasa tempe laktat 1 dilakukan dengan analisis sensori yang membandingkan produk tempe laktat 1 dengan tempe kontrol. Analisis sensori yang digunakan untuk karakterisasi citarasa tempe terpilih adalah uji deskriptif dengan metode QDA. Karakterisasi citarasa tempe laktat 1 dapat dilihat pada Gambar 4.

KEDELAI

Pengasaman Laktat 1 (rebus laktat 0.85%, 30')

Pengupasan

TEMPE Analisis sensori: Uji deskriptif Pengasaman

Kontrol (Alami,

backsloping)

Fermentasi


(45)

2. Modifikasi Proses Pengasaman

Modifikasi pengasaman laktat 1 dilakukan dengan perebusan kedelai selama 30 menit dalam asam laktat 0.3% dan perebusan kedelai dalam asam laktat 0.85% selama 30 menit dilanjutkan pemasakan dalam air selama 30 menit. Seleksi modifikasi proses pengasaman dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Seleksi modifikasi proses pengasaman

Pengamatan subjektif karakteristik visual dan citarasa dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Seleksi modifikasi proses pengasaman dilakukan dengan analisis sensori produk tempe yang dihasilkan terhadap tempe kontrol dan tempe laktat 1 sebagai pembanding. Metode analisis yang digunakan adalah uji diskriminatif metode simple different test dan uji afektif metode uji kesukaan. Metode pengasaman kimiawi hasil modifikasi proses yang terpilih adalah pengasaman laktat 4.

Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 dilakukan dengan analisis sensori yang membandingkan produk tempe laktat 4 dengan tempe kontrol. Analisis sensori yang digunakan untuk karakterisasi citarasa tempe terpilih adalah uji deskriptif dengan metode QDA. Karakterisasi citarasa tempe dari pengasaman laktat 4 dapat dilihat pada Gambar 6.


(46)

Gambar 6. Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 3. Modifikasi Jenis Pengasam

Pada tahap ini dilakukan pengasaman kimia dengan substitusi jenis pengasam untuk menggantikan laktat. Pengasam yang digunakan meliputi asam fosfat 0.6%, asam malat 0.1%, dan bahan pengasam X, serta kombinasi asam laktat 2.1%, asam asetat 0.3%, dan asam sitrat 0.5%. Seleksi modifikasi jenis pengasam dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Seleksi modifikasi jenis pengasam

Pengamatan subjektif karakteristik visual dan citarasa dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Seleksi modifikasi jenis pengasam dilakukan dengan analisis sensori produk tempe yang dari


(47)

pembanding. Metode analisis yang digunakan adalah uji diskriminatif metode simple different test dan uji afektif metode uji kesukaan.

Metode pengasaman kimiawi hasil modifikasi proses yang terpilih adalah pengasaman X. Karakterisasi citarasa tempe laktat 4 dilakukan dengan analisis sensori yang membandingkan produk tempe pengasaman X dengan tempe kontrol. Analisis sensori yang digunakan untuk karakterisasi citarasa tempe terpilih adalah uji deskriptif dengan metode QDA. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman X dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Karakterisasi citarasa tempe pengasaman X 4. Reduksi Atribut Aroma Langu Tempe Pengasaman X

Tahap keempat hanya merupakan finishing atau perbaikan citarasa tempe pengasaman X supaya produk tempe pengasaman X memiliki citarasa yang lebih mendekati kontrol. Perbaikan modifikasi metode pengasaman kimiawi terpilih ini merupakan aplikasi proses pengolahan kedelai sebelum dilakukan pengupasan. Sebagai pembanding digunakan pengolahan tempe kontrol dan pengolahan tempe dengan bahan pengasam X yang dilakukan pada tahap penelitian sebelumnya (pengolahan X1).

Pengolahan kedelai yang diuji dalam tahap perbaikan citarasa tempe pengasaman X ini adalah pengolahan X2 yaitu hasil modifikasi metode


(48)

Omura et al. (1991). Pengolahan untuk perbaikan citarasa tempe pengasaman X dapat dilihat pada Gambar 9.

Pengamatan subjektif karakteristik visual dan citarasa dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe rebus. Analisis sensori dilakukan dengan membandingkan sampel-sampel tempe hasil aplikasi proses pengolahan tersebut di atas dengan tempe kontrol dan tempe pengolahan X1 dengan uji afektif metode uji kesukaan. Karakterisasi citarasa menggunakan analisis uji deskriptif metode QDA.

Gambar 9. Pengolahan untuk reduksi aroma langu tempe pengasaman X

C. ANALISIS SENSORI

Analisis yang digunakan dalam pengambilan kesimpulan selama penelitian ini diantaranya adalah analisis sensori terhadap sampel tempe. Sampel tempe disajikan setelah dilakukan pengolahan minimal. Pengolahan yang dilakukan adalah perebusan selama 10 menit dalam air mendidih.

1. Uji Afektif

Metode uji afektif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji kesukaan. Pengukuran respon uji kesukaan ini dilakukan dengan dengan menggunakan skala garis berukuran 15 cm dengan ujung sebelah kiri menyatakan “sangat tidak suka” dan ujung sebelah kanan menyatakan


(49)

pada skala garis yang tersedia untuk mewakili kesukaan mereka terhadap sampel tempe yang diuji.

Hasil pengujian skala garis kemudian dikonversi menjadi angka-angka yang menunjukkan panjang garis dari ujung kiri sampai ke tanda yang diberikan oleh panelis. Analisa data menggunakan ANOVA Oneway

selang kepercayaan 95%dengan bantuan program SPSS 11.5 for Windows. Dari hasil uji ANOVA Oneway akan diketahui apakah perubahan metode pengasaman kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap skor kesukaan citarasa tempe yang dihasilkan. Bila perubahan metode pengasaman kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap skor kesukaan citarasa tempe yang dihasilkan, maka dilanjutkan uji lanjut dengan metode Duncan.

2. Uji Diskriminatif

Metode uji diskriminatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

simple different test. Sampel diujikan secara berpasangan dengan empat kombinasi pasangan (A/A, B/B, A/B, B/A) dan responden diminta untuk menyatakan apakah pasangan sampel sama atau berbeda (Lampiran 2). Setiap responden menerima dua jenis pasangan sampel yaitu pasangan yang sama dan pasangan yang berbeda Analisis data dapat dilakukan dengan uji Mc Nemar’s T. (Meilgaard et al., 1999). Mc Nemar’s T dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Mc Nemar’s T= (b-c)2/(b+c) Dimana:

b = jumlah responden yang menjawab benar baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda

c = jumlah responden yang menjawab salah baik untuk kombinasi pasangan yang sama maupun yang berbeda

3. Uji Deskripsi

a. Persiapan panelis terlatih


(50)

training panelis. Seleksi panelis bertujuan untuk menyeleksi calon panelis berdasarkan kepekaan sensori mereka. Seleksi ini dilakukan terhadap 38 calon panelis dengan uji penentuan rasa dasar (Lampiran 3), uji segitiga rasa (Lampiran 4), uji deskripsi beberapa aroma sederhana (Lampiran 5), dan uji segitiga aroma (Lampiran 6).

Uji penentuan rasa dasar dan deskripsi aroma dilakukan untuk mengetahui kemampuan calon panelis dalam mendeskripsikan rasa dan aroma yang dikenalinya dalam sampel. Pada uji penentuan rasa dasar, kandidat diminta menentukan rasa dasar dalam larutan uji yang tercantum pada Tabel 3, sedangkan pada uji deskripsi aroma calon panelis diminta mendeskripsikan flavor standar caramellic, coffee, chocolate, milk.

Tabel 3. Larutan sampel dalam penentuan rasa dasar* Rasa dasar Larutan uji

Manis Asam Asin Pahit Gurih

Sukrosa 20g/L As. Sitrat 0.5g/L NaCl 20g/L Kafein 1.0g/L MSG 0.4g/L *Meilgaard et al., 1999; Martoyo, 2001

Uji segitiga dilakukan untuk menyeleksi panelis berdasarkan kemampuan dalam membedakan perbedaan jenis rasa dan aroma yang dekat satu sama lain. Sampel yang diujikan dalam uji segitiga rasa adalah rasa asin-umami dan pahit-asam, sedangkan sampel yang diujikan dalam uji segitiga aroma adalah aroma fruity pada isoamil asetat-etil butirat.

Tahap pelatihan panelis terdiri dari pengenalan standar aroma (Lampiran 7), pelatihan penskalaan (Lampiran 8), pelatihan intensitas rasa (Lampiran 9) dan aroma (Lampiran 10). Pada tahap pengenalan aroma standar, masing-masing panelis mengenali dan mempelajari deskripsi lima macam aroma standar. Setelah pengenalan aroma standar, panelis memasuki pelatihan penskalaan.


(51)

diperkenalkan dengan lima standar aroma yang digunakan dalam uji deskriptif kuantitatif produk tempe yang dihasilkan dan deskripsinya. Standar aroma yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Pelatihan penskalaan bertujuan agar panelis terbiasa dengan jenis penskalaan yang digunakan serta agar panelis mampu menentukan skor yang harus diberikan berdasarkan intensitas flavor yang teridentifikasi. Pelatihan penskalaan diambil dari Sensory Evaluation Techniques (Meilgaard et al., 1999). Pelatihan ini dilakukan unuk melatih panelis dalam memberikan penilaian intensitas pada skala garis.

Tabel 4. Deskriptor yang digunakan dalam pengenalan aroma standar* Deskriptor Aroma Larutan Standar Pelarut Konsentrasi

Langu, green Hexanal PG 70µL/10ml

Tengik, rancid Octanoic acid PG 150µL/10ml

Asam, soury Asam asetat PG 150µL/10ml

Rebus-rebusan, boiled Kedelai direbus 30’ - -

Gurih, meaty Flavor daging PG 100µL/10ml

* Martoyo, 2001

Pelatihan intensitas rasa dan aroma merupakan tahap terakhir dalam pelatihan panelis. Pelatihan ini dilakukan untuk membiasakan panelis menilai intensitas rasa dan aroma sampel, serta membiasakan panelis dengan format isian pengujian sensori metode QDA.

Penilaian dilakukan pada skala tidak berstruktur sama seperti format penilaian yang akan diberikan dalam pengujian sampel tempe yang sebenarnya, hanya sampelnya adalah larutan standar yang diubah konsentrasinya. Panelis yang baik akan memberikan nilai yang dekat dengan nilai target yang telah diketahui.

b. Pengujian produk

Metode uji deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Panelis sejumlah 12 orang diminta untuk menilai intensitas setiap atribut aroma tempe hasil percobaan pada skala garis sepanjang 15 cm dengan ujung sebelah kiri


(1)

Lampiran 24. Data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam Panelis

Uji Kesukaan

Kontrol Fosfat Pengasam X Kombinasi

Panelis 1 6.7 7.4 7.2 6

Panelis 2 9.8 9 9.7 8.6

Panelis 3 5.8 0.93 9.5 5.7

Panelis 4 10.9 7.26 8 4.5

Panelis 5 5.65 5.68 8.65 5.62

Panelis 6 12.45 12.06 12.25 10.8

Panelis 7 7.5 10.9 8.4 4.1

Panelis 8 10.8 12.41 11.2 9.19

Panelis 9 3.2 6.47 8 1.1

Panelis 10 8 9.35 7.4 6.65

Panelis 11 5.6 5.7 2.1 5.5

Panelis 12 9.4 13.6 8.1 5.2

Panelis 13 7.25 14.41 11.95 0.09

Panelis 14 9.4 2.5 6.9 6.3

Panelis 15 8.95 4.59 12.5 13.31

Panelis 16 8.2 5.7 8.2 6.4

Panelis 17 12.15 11.1 12 10.2

Panelis 18 5.95 5.38 7.45 6.52

Panelis 19 5.7 6.7 2.5 4.7

Panelis 20 6.3 6.95 7.8 5.65

Panelis 21 9.9 15.56 12.2 4.24

Panelis 22 4.5 5.95 6.6 3.05

Panelis 23 7.5 6 13.9 5.5

Panelis 24 7.8 10.22 9 5.38

Panelis 25 3.8 1.35 3.3 1.2

Panelis 26 5.4 7.42 10.8 3.38

Panelis 27 10.2 10.5 10.2 9.9

Panelis 28 5.3 5.1 5.3 5.5

Panelis 29 8.4 6.75 12.1 7.5

Panelis 30 11 12.3 12.5 9.7

Panelis 31 2.1 3.2 5.8 1

Panelis 32 10.2 12 12 8.4

Panelis 33 7.6 12.9 10.6 2.3

Panelis 34 12.1 13.5 11.9 10.7

Panelis 35 4 8 4.9 0

Panelis 36 5.3 10.1 5.7 0.5

Panelis 37 5 1.5 9.8 2.9

Panelis 38 4.9 10.3 4.3 3.1

Panelis 39 5.3 5.7 5.3 4.9

Panelis 40 9.8 8.4 9.8 4.2


(2)

95 Lampiran 25. Analisis data uji kesukaan pada tahap modifikasi jenis pengasam

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

Value Label N

PANELIS 1 4

10 4

11 4

12 4

13 4

14 4

15 4

16 4

17 4

18 4

19 4

2 4

20 4

21 4

22 4

23 4

24 4

25 4

26 4

27 4

28 4

29 4

3 4

30 4

31 4

32 4

33 4

34 4

35 4

36 4

37 4

38 4

39 4

4 4

40 4

5 4

6 4

7 4

8 4

9 4

SAMPEL 1 Kontrol 40

2 Fosfat 40

3 Pengasam X 40


(3)

Lampiran 25. Analisis data uji kesukaan pada modifikasi jenis pengasam (Lanjutan)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

10048.388a 43 233.683 44.823 .000

971.095 39 24.900 4.776 .000

229.196 3 76.399 14.654 .000

609.982 117 5.214

10658.371 160

Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .943 (Adjusted R Squared = .922) a.

Post Hoc Tests

SAMPEL

Homogeneous Subsets

SKOR

Duncan

SAMPEL N Subset

1 2 3

Kombinasi 40 5.487

Kontrol 40 7.495

Fosfat 40 8.119 8.119

Pengasam X 40 8.645

Sig. 1.000 .224 .305

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5.214.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 40.000. b Alpha = .05.


(4)

97 Lampiran 26. Data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut langu tempe pengasaman X

Panelis Kontrol Pengolahan X1 Pengolahan X2 Pengolahan X3

Panelis 1 0.6 4.4 3.2 8.6

Panelis 2 0.5 11.2 13.4 13.4

Panelis 3 9.9 7.3 8.1 2.1

Panelis 4 3.8 10.2 6.6 4.8

Panelis 5 5.4 6.1 7.4 5.4

Panelis 6 0.2 4.3 3.4 5.2

Panelis 7 5.3 11.5 9.2 10.3

Panelis 8 4.4 3.0 1.2 2.1

Panelis 9 11.0 5.4 6.0 5.0

Panelis 10 2.1 6.6 7.5 5.8

Panelis 11 11.2 12.4 9.0 12.3

Panelis 12 7.6 7.5 7.4 5.3

Panelis 13 6.7 2.1 5.3 0.1

Panelis 14 4.0 1.9 4.5 5.7

Panelis 15 11.3 2.8 8.5 2.5

Panelis 16 5.0 11.8 5.4 1.7

Panelis 17 5.5 2.2 5.1 2.2

Panelis 18 5.3 7.1 8.5 8.5

Panelis 19 9.8 9.6 8.3 6.7

Panelis 20 4.5 12.0 11.7 6.2

Panelis 21 10.3 2.0 5.9 2.6

Panelis 22 8.0 10.2 11.8 1.8

Panelis 23 7.1 13.7 13.2 2.3

Panelis 24 9.4 8.4 9.3 4.1

Panelis 25 4.3 7.1 1.1 2.0

Panelis 26 5.7 4.2 3.8 6.5

Panelis 27 5.5 4.9 6.1 6.2


(5)

Lampiran 27. Analisis data uji kesukaan pada tahap reduksi atribut langu tempe pengasaman X

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

PANELIS 1 4

10 4

11 4

12 4

13 4

14 4

15 4

16 4

17 4

18 4

19 4

2 4

20 4

21 4

22 4

23 4

24 4

25 4

26 4

27 4

3 4

4 4

5 4

6 4

7 4

8 4

9 4

SAMPEL 1 Kontrol 27 2 Pengolahan X1 27 3 Pengolahan X2 27 4 Pengolahan X3 27


(6)

99 Lampiran 27. Analisis data uji kesukaan reduksi atribut langu tempe pengasaman X

(Lanjutan)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

5311.196a 30 177.040 28.660 .000

681.995 26 26.231 4.246 .000

66.201 3 22.067 3.572 .018

481.824 78 6.177

5793.020 108

Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .917 (Adjusted R Squared = .885) a.

Post Hoc Tests

SAMPEL

Homogeneous Subsets

SKOR

Duncan

SAMPEL N Subset

1 2

Pengolahan X3 27 5.163

Kontrol 27 6.733

Pengolahan X2 27 7.033 Pengolahan X1 27 7.070

Sig. 1.000 .643

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6.177.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 27.000. b Alpha = .05.