4. Tonus
semua otot polos lainnya seperti kandung empedu, ureter, kandung kemih, dan
5. Sekresi
kelenjar keringat, kelenjar air ludah, kelenjar lambung, kelenjar usus, dan kelenjar-kelenjar lain Mutschler, 1991.
Sistem vegetatif eferen pada simpatikus dan parasimpatikus masing- masing terdiri dari 2 neuron. Dari neuron yang satu rangsang dari sistem saraf
pusat dihantarkan ke suatu ganglion vegetatif, di sini terjadi perangsangan pada neuron kedua yang menuju organ yang dituju. Berdasarkan hubungan dengan
ganglion, neuron pertama disebut neuron preganglion dan neuron kedua disebut neuron postganglion Noback, 1982.
Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya, kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Sebagai contoh
denyut jantung bertambah cepat saat kita berolah raga, mengecilnya pupil dan menyipitkan mata saat mata menerima kelebihan cahaya, dan sebagainya
Mutschler, 1991.
D. Psikotropika
1. Definisi psikotropika
Psikotropika di dalam Undang-undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika didefinisikan sebagai zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat SSP yang menyebabkan perubahan yang khas pada aktivitas
mental dan perilaku Anonim, 1997. Santoso dan Wiria 1995 juga mendefinisikan psikotropika sebagai obat
yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis dan berpengaruh pada kelakuan seseorang.
2. Penggolongan psikotropika berdasarkan UU RI nomor 5 tahun 1997
tentang psikotropika
Berdasarkan potensi sindroma ketergantungan yang ditimbulkan, maka psikotropika dibagi dalam empat golongan :
a.
Psikotropika golongan I, adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi obat, serta mempunyai potensi amat kuat untuk menyebabkan
sindroma ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II,
adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan atau tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat menyebabkan sindroma ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III,
adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV,
adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan Anonim, 1997.
Selain psikotropika golongan IV masih terdapat obat-obat lain yang digolongkan sebagai obat keras. Jenis obat ini tidak menimbulkan ketergantungan
secara fisik tetapi menimbulkan ketergantungan secara psikologis dimana obat keras masuk dalam “Daftar G” Gevaarlick. Oleh karena, pengaturan,
pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku Anonim, 1997.
3. Penggolongan psikotropika menurut kegunaan.