Pada awal, PSAK 14 1994 ada tiga metode yang diakui yaitu FIFO, LIFO, dan metode rata-rata. Sejak tahun 2009 PSAK Indonesia melarang
metode LIFO yang digunakan oleh perusahaan karena sedikit demi sedikit mulai mengadopsi IFRS Internasional Financial Reporting Standar
yang dikeluarkan oleh Badan Standar Akuntansi Internasional IASB yang bertujuan untuk mengharmonisasikan standar akuntansi
internasional. Senada dengan itu Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Thn 2008 yang juga hanya memperbolehkan perusahaan menggunakan
metode FIFO dan rata-rata dan tidak menggunakan metode LIFO. Ada beberapa alasan larangan penggunaaan metode LIFO yaitu:
a. Penggunaan LIFO lebih banyak dimaksudkan untuk menghindari menunda kewaiban pajak terutama ketika inflasi daripada untuk
kepentingan ekonomi. Secara teori memang kewajiban pajak tersebut hanya tertunda sementara, namun selama terus terjadi
inflasi, maka penundaan pajak tersebut akan tetap dan mungkin bertambah yang kemudian akan menyebabkan penundaan pajak
menjadi permanent.
b. LIFO Reserve yang disajikan dalam laporan keuangan sering kali dinilai lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi. Ada indikasi
kecurangan yang dinilai oleh para analis pajak. Hal ini menyebabkan LIFO semakin dinilai hanya mengejar keuntungan
tax-saving. Oleh karena itu, para analis pajak tersebut, berpendapat bahwa LIFO sebaiknya dihapuskan.
2.3. Ukuran Perusahaan
Menurut Brigham dan Houston 2001:50, “ukuran perusahaan adalah rata- rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun
kemudian”. Ketentuan untuk ukuran perusahaan diatur dalam UU RI No. 20 Tahun 2008. Peraturan tersebut menjelaskan 4 jenis ukuran perusahaan yang
dapat dinilai dari jumlah penjualan dan asset yang dimiliki oleh perusahaan
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Keempat jenis ukuran tersebut antara lain: a. Perusahaan dengan usaha ukuran mikro, yaitu memiliki kekayaan
bersih ≤
Rp. 50.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki jumlah penjualan
≤ Rp. 300.000.000,-. b. Perusahaan dengan usaha ukuran kecil, yaitu memiliki kekayaan
bersih Rp. 50.000.000,- sampai Rp. 500.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan serta memiliki jumlah penjualan Rp.
300.000.000,- sampai dengan Rp. 2.500.000.000,-
c. Perusahaan dengan usaha ukuran menengah, yaitu memiliki kekayaan bersih Rp. 500.000.000,- sampai Rp. 10.000.000.000,-
tidak termasuk tanah dan bangunan serta memiliki jumlah penjualan Rp.2.500.000.000,- sampai dengan Rp.50.000.000.000,-.
d. Perusahaan dengan usaha ukuran besar, memiliki kekayaan bersih ≥ Rp. 10.000.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan serta
memiliki jumlah penjualan ≥ Rp. 50.000.000.000,-.
Pada perusahaan yang menggunakan metode persediaan FIFO, ukuran perusahaan yang dimiliki lebih rendah daripada perusahaan yang menggunakan
metode persediaan LIFO Cushing LeClere, 1992. Pada kondisi adanya perubahan harga, maka manajer persediaan dapat mengganti dengan metode
yang sesuai dengan harga yang terjadi, karena pada perusahaan besar manajer mempunyai
keahlian dan spesialisasi
yang lebih
jika dibandingkan dengan perusahaan kecil, hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Mukhlasin 2001. Menurut Mukhlasin 2001, perusahaan yang lebih besar menyukai metode penilaian persediaan yang dapat menunda pelaporan laba.
Kondisi ini ada dengan asumsi bahwa transfer kekayaan bagi perusahaan besar relatif lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kecil. Transfer kekayaan
yang secara langsung dilakukan adalah pembayaran pajak lebih kecil dibandingkan ketika perusahaan menggunakan metode FIFO. Kecenderungan
metode penilaian persediaan yang digunakan perusahaan besar adalah metode
Universitas Sumatera Utara
rata-rata yang dapat menurunkan laba. Ukuran perusahaan bertentangan dengan hasil Niehaus 1989 tidak menemukan bukti signifikan atas pengaruh ukuran
perusahaan terhadap pemilhan metode akuntansi persediaan, karena sampel yang digunakan kurang bervariasi.
2.4. Rasio Lancar