Terdapat faktor – faktor penghambat terhadap upaya implementasi restoratife
justice dan diversi dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia saat ini.
89
1. Hambatan Internal dalam putusan Nomor : 06PID. SUS.ANAK2014 PN.MDN
Terdapat hambat Internal belum diterapkannya konsep keadilan restoratif justice dan diversi dalam putusan Nomor : 06PID.SUS.ANAK2014PN.MDN
a. Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan sumber daya baik personel maupun fasilitas.
b. Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum dan korban di antara aparat penegak hukum.
c. Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat aparat penegak hukum dan pekerja sosial anak.
d. Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data dan informasi antara aparat penegak hukum.
e. Koordinasi antara aparat penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Bapas, Rutan, Lapas masih tersendat karena kendala ego sektoral atau belum
adanya sosialisasi terhadap Restoratif Justice dan Diversi.
89
Feri hidayat, diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia , https: ferli1982 .wordpress.com20130305, diakses tgl.19 febuary 2015
Universitas Sumatera Utara
f. Belum ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum mengenai penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik bagi
anak. g. Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan dengan
hukum selama proses pengadilan pra dan pasca putusan pengadilan . h. Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses rehabilitasi sosial
anak nakal dalam hal ini Departemen social atau Organisasi sosial kemasyarakat yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja sehingga dapat dikirim ke panti sosial untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan perilaku.
i. Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana namun kehendak demikian tidaklah mudah dilakukan karena kerena ketentuan dalam
sistem pemasyakatan anak saat ini tidak memberi peluang yang demikian. j. Pandangan penegak hukum sisem peradilan pidana anak masih berpangkal
pada tujuan pembalasan atas perbuatan jahat pelaku anak, sehingga hakim akan menjatuhkan pidana semata
– mata diharapkan agar anak jera
dan tidak mengulanginya lagi. 2. Hambatan Eksternal dalam Putusan Nomor : 06PID.SUS-ANAK2014
PN.MDN
Penerapkan sistem Restoratif Justice dan Diversi masih banyak hambatan
eksternal yang ditimbulkan yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Ketiadaan Payung Hukum Belum adanya payung hukum menyebabkan tidak semua pihak memahami
implementasi keadilan restorative dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Akibatnya sering ada pihak-pihak yang mengintervensi jalanya proses
mediasi. Banyak pihak yang belum memahami prinsip dalam ketentuan pasal 16 ayat 3 Undang
– Undang tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan, penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya
terakhir. Selain itu Undang – Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak
memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Namun demikian sebenarnya jika melihat pada Undang
– Undang Hak Asasi Manusia, Undang – Undang Perlindungan Anak, dan Keputusan Presiden tentang Pengesahan Hak
– Hak Anak, terdapat ketentuan yang mengarah dan menghendaki implementasi diversi.
Patut disayangkan karena penegak hukum cenderung melalaikan hal tersebut. b. Inkonsistensi penerapan peraturan
Belum adanya payung hukum sebagai landasan dan pedoman bagi semua lembaga penegak hukum, inkonsistensi penerapan peraturan di lapangan dalam
penanganan anak berhadapan dengan hukum masalah yang paling sederhana dapat dilihat pada beragamnya batasan yang menjadi umur minimal seorang anak pada
peraturan-peraturan yang terkait. Akibatnya aparat penegak hukum membuat putusan yang tidak konsisten dalam kasus anak berhadapan dengan hukum yang memiliki
kemiripan unsur-unsur perbuatan.
Universitas Sumatera Utara
c. Kurangnya dukungan dan kerjasama antar lembaga Masalah ini merupakan hambatan yang lain yang masih banyak terjadi dalam
menegakkan suatu ketentuan hukum, termasuk penanganan anak berhadapan dengan hukum banyak kalangan professional hukum yang masih menganggap mediasi
sebagai metode pencarian keadilan kelas dua dengan berpandangan bahwa mediasi tidak berhasil mencapai keadilan sama sekali karena tidak lebih dari hasi kompromi
pihak – pihak yang terlibat, padahal saat ini hakim adalah satu-satu pihak yang bisa
memediasi perkara anak yang berhadapan dengan hukum tidak seperti mediasi perdata yang memperbolehkan non-hakim menjadi mediator di pengadilan .
d. Pandangan masyarakat perbuatan tindak pidana Ide diversi masih terhalang adanya pandangan masyarakat yang cenderung
dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.
Universitas Sumatera Utara
BAB III Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana Penggelapan Putusan Nomor : 06 PID. SUS - ANAK2014PN.MDN.
A. Tindak Pidana Penggelapan
Menurut Pasal 372 KUHP, penggelapan adalah ”Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri zich toeeigenen barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”
90
Penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang, menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang
lain dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.
Unsur-unsur Pasal 372 KUHP Wetboek van Strafrecht : 1. Barangsiapa.
2. Dengan sengaja. 3. Melawan hukum wederrechttelijk mengaku sebagai milik sendiri zich
toeeigenen barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort.
90
Pasal 372 KUHP
Universitas Sumatera Utara
4. Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan anders dan door misdrijf onder zich hebben.
1. Unsur “Barangsiapa”
Unsur bestandeel barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku, subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek
hukum, baik berupa orang pribadi naturlijke persoon maupun korporasi atau badan hukum recht persoon, yang apabila terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak
pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader. Menurut Sudikno Mertokusumo subyjek hukum subjectum juris adalah
segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari
91
: a. orang natuurlijkepersoon
b. badan hukum rechtspersoon Menurut Simon, merumusakan strabaar feit atau delik sebagai berikut
92
: “eene starfbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een
toekeningsvatbaar persoon ”
Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu
dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya. 2.
Unsur “Dengan sengaja”
91
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1999, hlm.68-69.
92
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 98.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP Wetboek van Strafrecht
ialah unsur “dengan sengaja opzettelijk”, dimana unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada
subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Dan dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur “dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak
pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan. Terdapat dua teori berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke. Pertama, teori
kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara lain dianut oleh Hamel. Maksud unsur
kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.
Menurut PAF. Lamintang Dalam tindak pidana strafmaatregel penggelapan verduistering, agar seseorang dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja
melakukan tindakan penggelapan, maka dalam diri pelaku harus terdapat keadaan- keadaan sebagai berikut
93
: a. Pelaku telah
“ menghendaki ” atau “ bermaksud ” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum.
b. Pelaku “ mengetahui ” bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda.
c. Pelaku “ mengetahui ” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruh adalah
kepunyaan orang lain; d.
“ mengetahui” bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan. 3.
Unsur “ Melawan hukum wederrechttelijk mengaku sebagai milik sendiri zich toeeigenen barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort ”
Unsur lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP Wetboek van Strafrecht, yaitu unsur “ melawan hukum wederrechtelijk mengaku sebagai milik sendiri zich
93
PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus : Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989, hlm.106.
Universitas Sumatera Utara
toeeigenen barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain ” Maksud unsur “ melawan hukum ” atau wederrechtelijk adalah apabila
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader bertentangan dengan norma hukum tertulis peraturan perundang-undangan atau norma hukum tidak tertulis
kepatutan atau kelayakan atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.
Perkataan “ memiliki secara melawan hukum ” adalah terjemahan dari perkataan
“wederrechtelijk zich toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan sebagai:
“ het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is
” atau “ secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda
tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
94
Menurut Hoge Raad, perbuatan “ zich toeeigenen ” adalah “ Menguasai
benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.
95
Menurut H.A.K. Moch. Anwar, menyatakan : “unsur melawan hukum dapat
terjadi bilamana pelaku melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan , ia tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan
memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan pemilik, hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya.
96
94
P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm.155.
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum, sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal
sebagai berikut
97
: a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum. c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan goede zeden. e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat
untuk memperhatikan kepentingan orang lain Indruist N tegen dezorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer betaamt ten
aanzien van anders person of goed 4 Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan anders dan door
misdrijf onder zich hebben Untuk menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku dader yang diduga
telah melakukan tindak pidana strafmaatregel penggelapan verduistering harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.
Sesuatu benda berada dalam kekuasaan seseorang adalah apabila antara orang itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila ia
akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan lain .
”
98
Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab
perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.
99
96
H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus KUHP buku II, Alumni Bandung, 1979, hlm. 37.
97
Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 11.
98
Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, 1982, hlm. 12 15.
99
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
B. Hak – Ha k Anak Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35
Tahun 2014 atas perubahan Undang –undang Nomor 23 tahun 2002.
1. Dari sudut Perspektif Perlindungan Anak Seorang anak sebagaimana terdapat dalam Konvensi Hak Anak maupun
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 memiliki hak-hak sebagai berikut : a. Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
100
b. Hak atas suatu nama identitas status kewarganegaaraan.
101
c. Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan
Orang Tua atau Wali
102
d. Hak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau dalam keadaan terlantar, anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak orang lain sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
103
100
Pasal 4 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
101
Pasal 5 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
102
Pasal 6 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
103
Pasal 7 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
e. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jasmani sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
104
f. Hak memproleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan yang sesuai minat dan bakatnya.
105
g. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya berdasarkan niai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
106
h. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekpresi dan berekplorasi sesuai minat, bakat dan tingkat
kecerdasan demi pengembangan diri.
107
i. Setiap anak penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharan taraf kesejahteraan.
108
j. Selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan : 1. Diskriminasi
2. Eksploitasi,baik ekonomi maupun seksual. 3. Penelantaran
4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan 5. Ketidakadilan
104
Pasal 8 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
105
Pasal 9 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
106
Pasal 10 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
107
Pasal 11 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
108
Pasal 12 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
6. Perlakuan salah lainnya.
109
k. Hak untuk diasuh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan da atau aturan hukum sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupak pertimbangan terakhir.
110
l. Hak untuk memperoleh perlindungan dari : 1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata 3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung kekerasan 5. Pelibatan dalam peperangan.
6. Kejahatan seksual.
111
m. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukum. Penangkapan, penahanan , atau tindak pidana penjara anak
hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
112
n . Setiap anak yang dirampasa kekebasanya berhak untuk : 1. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa 2. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku 3. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
109
Pasal 13 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
110
Pasal 14 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
111
Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
112
Pasal 16 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
Setiap anak yang, menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
113
o. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
114
Kajian hak-hak anak yang secara formal diakui negara bahkan diwajibkan kepada negara untuk memenuhinya, pertanyaan yang diajukan hampIr sama dengan
analisis kebutuhan anak, yaitu sampai dimana orang dewasa, masyarakat, dan negara telah memenuhu hah-hak tersebut ?
115
. Adilkah ketika tidak memperoleh hak - haknya, anak harus memenuhi
kewajiban - kewajiban yang dibuat orang dewasa, harus menanggung hukuman pidana? Bukankah dalam konteks ini, jelas sekali seandainya anak-anak tidak bisa
memenuhi kewajiban mereka, sesungguhnya mereka adalah korban dari perlakuan orang dewasa yang tidak memenuhi hak - hak mereka.
116
Berdasarkan analisis hak- hak anak, penjatuhan hukuman melalui pemidanaan adalah tidak tepat karena
menyalahkan segala deviasi sosial dan kenakalan anak kepada anak an sich tanpa ada pengakuan konstruktif dari orang dewasa.
117
2. Perspektif Hukum Anak - anak melakukan kenakalan sering diluar kesadarannya, sebagai
refleksi spontan, yang sering tidak bisa dikontrol karena usia dan minimnnya
113
Pasal 17 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
114
Pasal 18 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
115
Hadi Supeno,op.cit.,hlm.176.
116
Ibid.
117
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pengalaman hidup adalah tidak menjadi adil manakala perbuatan yang bersifat spontan harus menerima hukum pemidanaan yang dirancang demikian sistematis,
terstruktur, dan rumit oleh negara. Anak - anak adalah produk sosial. Perbuatan yang mereka lakukan
berdasarkan perlakuan yang diterima dari orang dewaa dan lingkungan sosial yang dibuat orang dewasa.
118
Walaupun anak dipidana berdasarkan UU Pengadilan Anak, tetapi karena UU Pengadilan Anak merupakan bagian dari sistem peradilan umum,
perlakuan aparat hukum terhadap anak sama dengan perlakuan yang diberikan kepada orang dewasa.
119
Profil anak berkonflik dengan hukum lebih banya dijatuhkan hukuman pidana penjara daripada dijatuhkan hukuman tindakan maatregel, dan karenanya anak-anak
secara tersistematisasi menjalani pembinaan di Lapas anak atau dalam hal tidak tersedia Lapas Anak mereka menjalaninya di Lapas dewasa.
120
Berbagai alasan yang mengemuka di antaranya disebabkan belum tersedianya fasilitas dan program
pembinaan di luar lembaga yang di sediakan pemerintah, yaitu Departemen Sosial.
121
Kondisi anak-anak yang berada di dalam lembaga pembinaan, penahanan dan pemasyarakatan selama ini menampakkan wajah buruk, ketimbang sisi positif dalam
perkembangan anak.
118
Hadi Supeno, op.cit., hlm. 177.
119
Ibid.
120
Bambang Palasara, dkk., Aspek dalam Undang-Undang Pengadilan Anak UU No3. Tahun 1997, Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI ,
Jakarta, 2004, hlm. 97.
121
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
C. Pertimbangan hakim dalam Putusan No: 06PID.SUS-ANAK2014PN.MDN.
Seorang hakim harus berpikir kedepan agar memberi keadilan bagi anak pelaku tindak pidana, Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak sebagai
pelaku tindak pidana, maka perlu pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penggelapan. yaitu :
1. Dakwaan Penuntut Umum